Epilog
Ratusan pasang kaki berlalu lalang melalui jalanan kota yang cukup ramai di sabtu sore. Beberapa melangkah dengan tergesa-gesa meski ada pula yang terlihat bersantai.
Senyuman terlihat di wajah beberapa orang, ketika beberapa orang lainnya tak berekspresi apapun atau bahkan terlihat muram.
Seorang gadis berambut merah muda menatap layar ponselnya sesaat sebelum menatap papan nama yang tertera di depan kafe tempatnya berpijak saat ini, memastikan bahwa ia tidak mengunjungi kafe yang salah.
Ia segera melangkah memasuki kafe dan membuka pintu, sedangkan beberapa pelayan menyambutnya secara serempak.
Terdengar alunan musik jazz nan lembut dan suara beberapa orang yang bercakap-cakap di dalam kafe di pinggir stasiun yang mengusung tema semi private dimana terdapat sejenis sekat yang memisahkan antar meja, bahkan ada pula sebuah meja panjang di dalam ruangan terpisah yang dapat terlihat dari kaca besar yang terpasang di bagian luar ruangan itu.
Mata gadis itu menatap sekeliling, berharap agar ia bisa menemukan orang yang dicarinya. Dan ia segera menghampiri ketika sebuah tangan terangkat di meja yang berada di bagian tengah ruangan yang terpisah dengan sekat yang membatasi antar ruangan.
Sudut bibir gadis itu sedikit terangkat dan ia menghampiri meja tersebut.
"Sakura!" sapa Shizune seraya tersenyum dan melambaikan tangan.
"Lama tidak bertemu denganmu," ucap Kurenai yang duduk berhadapan dengan Shizune.
Sakura terkejut dengan keberadaan Kurenai, sang psikiater yang cukup akrab dengan Kurenai. Awalnya ia berencana pergi berdua dengan Shizune tanpa mengajak Kurenai. Di luar dugaan Shizune malah mengajak wanita itu.
"Hai," sapa Sakura seraya mendudukkan diri di kursi kosong yang bersebelahan dengan Shizune.
Seorang pelayan segera meletakkan buku menu dan memberikannya pada Sakura. Ia memutuskan untuk memesan souffle pancake green tea dan matcha latte setelah mengetahui bahwa kedua menu itu adalah menu terfavorit di kafe tersebut.
"Maaf kalau aku mendadak mengajak Kurenai. Soalnya dia juga ingin mencoba kafe baru ini."
Kurenai menatap Sakura dengan perasaan tidak enak. Ia yakin gadis itu pasti merasa canggung bersama dengan seorang senior sepertinya, terlebih lagi usia mereka berbeda lebih dari sepuluh tahun.
"Maaf, ya. Kuharap kau tidak canggung bersamaku."
Sakura menggelengkan kepala dan tersenyum meski ia tak menampik bahwa ia merasa canggung bersama Kurenai. Bagaimanapun juga, ia tak bisa memperlakukan wanita itu layaknya seorang teman sebaya karena perbedaan usia mereka berdua yang terlampau jauh meski mereka cukup akrab selama magang.
"Oh, tidak apa-apa, kok. Aku tidak masalah."
Kurenai tersenyum tipis untuk sesaat sebelum menatap Sakura, "Bagaimana kuliahmu?"
Sakura terdiam sesaat. Dua bulan telah berlalu sejak hari terakhirnya magang di rumah sakit jiwa dan sejak itu ia sama sekali tak pernah berkunjung ke sana. Ia pikir, ia sudah tak lagi memiliki alasan untuk datang.
Setiap kali ia melewati rumah sakit jiwa tempanya magang secara kebetulan, kenangan-kenangan yang ia lewati selama magang muncul begitu saja dan ia merindukan momen yang telah ia lalui.
Ia merindukan beberapa pasien yang ditemuinya di sana, juga lingkungan kerja yang terasa hangat dimana setiap karyawan tampaknya saling mendukung satu sama lain, sebuah situasi yang belum tentu akan ditemui Sakura jika ia memutuskan bekerja di perusahaan setelah lulus nanti.
"Begitulah. Sebentar lagi ujian kenaikan semester, nih. Bagaimana dengan pekerjaan kalian?"
"Minggu lalu ada seorang pasien yang pulang," ucap Kurenai seraya tersenyum.
Shizune ikut tersenyum dan melirik Sakura, "Ya. Aku paling senang ketika melihat ada pasien yang pulang dengan dijemput oleh keluarga mereka."
Sakura ikut tersenyum. Ia mengerti bagaimana perasaan Kurenai dan Shizune yang terlihat begitu bahagia.
Kebahagiaan yang dirasakan Kurenai dan Shizune bukan sekadar mengenai keberhasilan pekerjaan mereka, melainkan rasa lega karena salah seorang pasien dapat kembali ke masyarakat dan menjalani hidup layaknya orang normal meski beberapa dari mereka masih harus mengonsumsi obat seumur hidup mereka.
Hati kecil Sakura berharap jika pasien yang diceritakan Kurenai dan Shizune adalah Sasuke. Jika lelaki itu meninggalkan rumah sakit jiwa, Sakura merasa sangat bahagia dan sungguh berharap agar lelaki itu bisa menjalani kehidupan normal. Ia pikir, lelaki itu pantas untuk bahagia setelah melalui begitu banyak momen yang mencabik sanubarinya membuatnya menjadi manusia yang rusak secara mental.
"Oh, Sasuke sudah pulang?"
Senyuman yang semula terpatri di wajah Kurenai dan Shizune perlahan memudar. Keduanya terdiam dan saling menatap, menunggu salah satu dari mereka mulai berbicara.
Seorang pelayan menghampiri meja mereka dan mengantarkan pancake serta latte pesanan Sakura.
Sakura menatap Kurenai dan Shizune serta berkata, "Mau coba?"
"Boleh," ucap Shizune dan Kurenai seraya mengalihkan atensi mereka pada panekuk Sakura.
Sakura segera memotong panekuk dan memberikan sedikit pada Shizune dan Kurenai. Ia sendri segera memotong panekuk dan memakannya dengan es krim rasa teh hijau yang disediakan.
Panekuk dengan tekstur lembut itu berpadu dengan rasa es krim teh hijau yang sedikit pahit dan terasa segar. Sakura benar-benar menyukai panekuk itu, begitupun dengan Shizune dan Kurenai.
"Enak," ucap Shizune.
Kurenai mengangguk, "Ya. Aku suka es krim teh hijau nya."
Sakura mengangkat gelas berisi latte dan meminumnya. Rasa latte itu juga tak kalah enak. Ia tak mengerti bagaimana bisa latte itu memiliki rasa yang manis, namun tetap memiliki rasa dan aroma teh hijau yang kuat di saat yang sama.
"Kau benar-benar suka pada instruktur pianomu?" Goda Shizune seraya tersenyum jahil.
Sakura menggelengkan kepala. Ia bahkan tak yakin dengan perasaan yang ia milki terhadap Sasuke. Ia memang mengharapkan yang terbaik untuk lelaki itu dan peduli padanya, tetapi ia tak bisa melihat lelaki itu secara romansa mengingat kondisi Sasuke tidak stabil.
Ia menganggap Sasuke adalah orang yang baik, rasional dan cukup hangat meski terkadang kata-katanya menyebalkan. Lelaki itu menyadarkannya akan berbagai perspektif dan bahkan 'menopangnya' dalam beberapa momen. Namun lelaki itu tak akan mampu untuk melakukannya terus menerus, sedangkan ia mendambakan pasangan yang stabil.
Lagipula, ia sendiri bahkan tak pernah mengetahui nama lengkap lelaki itu hingga akhir atau usia. Sesuai ucapan lelaki itu, ia bahkan hampit tak mengenalnya.
"Aku menyukainya. Namun tidak seperti yang kalian bayangkan," ucap Sakura seraya meringis.
Shizune tersenyum, "Lalu suka yang seperti apa?"
"Aku menyukainya sebagai seorang manusia. Maksudku, aku mengagumi kemampuannya bermain piano, menyukai pemikiran dan kepribadiannya dan berpikir kalau dia seseorang yang menyenangkan. Hanya itu saja, kok."
"Wah, wah. Benih-benih cinta akan tumbuh, nih," goda Shizune.
Kurenai menatap Shizune dengan tajam dan berkata, "Shizune!'
Shizune terdiam seketika. Ia merasa bersalah ketika Shizune memberikan peringatan padanya dan ia menundukkan kepala, "Maaf."
Kurenai merasa benar-benar tidak nyaman. Sebetulnya ia sendiri menganggap relasi antara Sasuke dan si mahasiswi magang benar-benar manis. Seandainya semua berjalan sesuai yang diharapkan, barangkali mereka akan menjadi pasangan.
Tampaknya keduanya memahami satu sama lain, dan perbedaan usia mereka juga tidak terlalu jauh. Setidaknya tidak lebih dari sepuluh tahun. Karena itulah ia membiarkan Shizune terus menggoda mereka selama magang.
"Sakura."
Kurenai menatap Sakura lekat-lekat. Ekspresi wajah wanita itu tampak begitu serius hingga Sakura merasa gugup.
"Ya?"
Kurenai menghela nafas sesaat sebelum berkata, "Sasuke sudah pergi ke tempat yang lebih baik."
Sakura terdiam sesaat. Otaknya seolah kosong dan ia mengharapkan probabilitas terbaik dari ucapan Kurenai. Ke tempat yang lebih baik, maksudnya kembali ke keluarganya?
"Ah? Dia kembali ke keluarganya?"
Kurenai terdiam sesaat, memikirkan kata-kata yang tepat untuk dikatakan pada Sakura.
Kurenai baru akan menjawab ketika Shizune berkata, "Bukan. Tempat yang lebih baik dimana dia tidak perlu menghadapi siapapun yang memiliki prasangka dan mungkin menolaknya."
Sakura memahami maksud ucapan Kurenai dan Shizune. Sasuke tak lagi hidup di dunia yang sama dengan dirinya maupun Kurenai dan Shizune.
Iris emerald Sakura berkaca-kaca, dan sepersekian detik kemudian, tetesan air mata telah mengalir dari pelupuk mata gadis itu.
Sakura tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Sasuke saat itu. Barangkali lelaki itu tak memiliki siapapun di sisinya ketika ia menghembuskan napas terakhirnya, entah apa yang dipikirkannya untuk kali terakhir.
Selama tiga bulan yang dilaluinya bersama Sasuke, ia berpikir kalau lelaki itu terlihat jauh lebih baik dari hari ke hari. Bahkan Tsunade juga mengatakan hal yang sama.
Ia pikir, masih ada harapan untuk bertemu setelah meninggalkan rumah sakit jiwa. Kalaupun tidak, ia pikir lelaki itu akan menjalani kehidupan yang lebih baik dan kembali ke masyarakat, mengejar mimpinya dan melakukan apapun yang selama ini tak bisa dilakukannya.
Sakura menyadari jika secara teori Sasuke adalah pasien yang memiliki potensi tinggi untuk melakukan bunuh diri. Usianya di bawah tiga puluh, belum menikah, memiliki tekanan untuk terlihat sempurna ketika muda, juga memiliki kecerdasan di atas rata-rata.
Tetapi Sakura mengabaikannya. Ia pikir, itu hanyalah sekadar teori dan bisa jadi berbeda dalam praktik.
Kini Sakura merasa menyesal dan bersalah. Apakah segala proses penyembuhan lelaki itu hancur akibat kata-katanya?
Seandainya ia tidak mengucapkan hal itu, mungkin saja Sasuke masih tetap hidup. Seandainya ia lebih gamblang dalam mengutarakan keinginannya, dan mengatakan kalau ia ingin bertemu lagi dengan lelaki itu, mungkin masih akan ada kesempatan bertemu. Dan seandainya ia memutuskan mengunjungi lelaki itu sebagai pengunjung, mungkin tak akan ada perasaan kesedihan akibat kesepian dan perasaan dilupakan setelah tiga bulan yang mereka lalui.
Memikirkan beribu pengandaian melahirkan penyesalan yang menyesakkan dada. Dan tak peduli seberapa keras Sakura menangis, ia tak bisa mengulang masa lalu.
Shizune memeluk Sakura dengan erat, sedangkan Kurenai mengeluarkan tisu dan memberikannya pada Sakura.
Baik Shizune dan Kurenai mengerti bagaimana perasaan Sakura. Mereka sendiri merasakan kekecewaan yang sama ketika menemukan raga tak bernyawa Sasuke beberapa minggu yang lalu dengan pisau dapur yang menancap di tubuhnya.
Air mata Sakura mengalir deras tak lama setelah ia memeluk Shizune dengan erat. Gadis itu meneteskan air mata dan menangis tanpa bersuara.
"Mungkin ini adalah caranya meraih kebahagiaan," ujar Kurenai dengan tenang.
Ucapan Kurenai membuat Sakura menyadari sebuah sudut pandang baru. Ia berpikir bahwa sungguh disayangkan jika seorang pria cemerlang seperti Sasuke memilih mengakhiri hidupnya. Ia terbelenggu dalam opini masyarakat yang menganggap bahwa tetap hidup adalah yang terbaik dan kematian adalah sebuah hal yang menyedihkan.
Padahal, tak seorangpun bisa sepenuhnya mengerti beban yang dialami oleh orang lain selain mengalaminya sendiri. Terkadang, kehidupan seseorang begitu berat hingga tak ada lagi jalan untuk menyelesaikan masalah. Bagaimana jika mengakhiri hidup lebih awal adalah cara termudah untuk meraih kebahagiaan di dalam hidup seseorang yang dipenuhi kesedihan tak berujung?
Ya, kematian tak akan mengakhiri masalah. Tentu saja masalah akan tetap ada. Tetapi setidaknya seseorang tak lagi perlu menghadapi masalahnya atau bertemu dengan orang-orang yang tak ingin ditemuinya setelah mati.
Sakura melepaskan pelukannya pada Shizune dan mengusap air matanya. Ia tak lagi memiliki alasan untuk menangis.
Sasuke sudah pergi untuk mengejar kebahagiaannya. Dan dimanapun lelaki itu berada saat ini, Sakura berharap Sasuke telah menemukan kebahagiaannya.
-The End-
----------------------------------
Author's Note :
----------------------------------
Terima kasih buat kalian yang udah baca, vote & comment di cerita ini.
Maaf kalau cerita ini mungkin kurang memuaskan dari segi alur, gaya kepenulisan maupun aspek lainnya.
Menurut salah satu artikel mengenai skizophrenia yang kubaca, pria dibawah 30 tahun yang belum menikah, memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan memiliki tekanan untuk menjadi yang terbaik di masa kecil atau dewasa muda memang memiliki kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.
Selain itu, seandainya seseorang dengan kondisi seperti Sasuke di dunia nyata, kemungkinan bisa mengalami stress. Mengubah kondisi keluarga yang awalnya nggak menyukai keberadaan menjadi support dengan keberadaan anggota keluarga yang kurang disukai nggak mudah.
Lalu seseorang dengan gangguan jiwa (meskipun kondisi sudah bisa dikontrol) belum tentu bisa diterima masyarakat dan bisa bekerja. Bukan soal performa, melainkan kesediaan pihak perekrut untuk merekrut. Di beberapa perusahaan bahkan menggunakan jasa pegawai HRD yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang psikologi untuk melakukan perekrutan calon karyawan.
Karena itulah, aku memutuskan membuat ending begini di epilog dengan bagian yang menggantung mengenai kondisi keluarga Sasuke.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro