Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Luka

"Aku merasa penasaran," ucap Sakura seraya meletakkan gelasnya dan menatap Shizune yang duduk berhadapan dengannya.

Siang ini secara kebetulan mereka berdua tidak mendapat tugas untuk makan siang bersama dengan para pasien sehingga mereka pergi ke restoran cepat saji terdekat.

"Kenapa? Kau benar-benar tertarik pada 'pemandangan' itu?"

Sakura meringis mendengar ucapan Shizune. Mereka berdua baru saja berkenalan beberapa minggu, tetapi sudah cukup akrab hingga bisa pergi makan berdua jika Kakashi dan Kurenai sedang tidak bisa makan bersama mereka.

Setiap kali bersama dengan Shizune, Sakura selalu teringat dengan Ino. Kepribadian mereka berdua cukup mirip meskipun usia dan penampilan mereka berbeda.

"Bukan begitu. Aku hanya merasa heran karena sering melihatnya melakukan pekerjaan petugas, misalnya bersih-bersih atau mengunci bangsal."

Shizune memahami kekhawatiran Sakura. Ia sendiri juga merasa heran pada awalnya, tetapi ia akhirnya mengerti ketika mendengar penjelasan dari Kurenai dan Kakashi yang menangani Sasuke.

Sebetulnya Sasuke adalah orang yang haus akan penghargaan dan akan berusaha keras untuk mendapat pengakuan. Dan lelaki itu juga bukan tipikal orang yang suka berdiam diri ketika sedang 'normal'. Ia merasa dirinya harus berguna, karena itulah ia dengan senang hati menawarkan diri untuk membantu petugas.

Shizune tersenyum dan berkata, "Awalnya aku juga kaget dan khawatir. Ketika Sasuke mengatakan ingin membantu melakukan sesuatu, Kakashi membiarkannya membantu mengambilkan makanan bagi pasien lainnya. Di luar dugaan, dia bekerja dengan giat."

"Tapi sampai mengunci bangsal juga? Bagaimana kalau dia tidak mengunci dengan benar sehingga pasien lain bisa berkeliaran di tengah malam?"

Shizune menatap Sakura lekat-lekat dan meminum seteguk soda sebelum berkata, "Selama ini tidak pernah begitu, kok. Lagipula petugas lain juga selalu memeriksa apa yang sudah dikerjakannya. Direktur yang memerintahkan begitu"

Sakura menganggukan kepala. Ia merasa begitu lega karena para petugas tidak begitu saja menyerahkan pekerjaan mereka pada Sasuke.

"Eh? Direktur bahkan tahu?"

"Tentu saja," sahut Shizune. Ia meneguk ludah sebelum melanjutkan ucapannya, "Bahkan direktur menyuruh untuk membiarkan Sasuke bekerja dan memastikan kami menunjukkan apresiasi padanya ketika dia menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Katanya itu bisa membantu proses penyembuhannya."

Sakura mengernyitkan dahi. Ia masih tak begitu paham. Memangnya apa hubungan penyembuhan penyakit jiwa dengan memberi tugas pada pasien?

"Memang sih, kondisinya jadi lebih baik. Sayangnya entah kenapa dia malas meminum obat kalau gejalanya tidak kambuh, padahal sepertinya dia bukan tipikal orang yang serampangan. Aku juga heran, terkadang memang sulit memahami jalan pikiran orang yang mengalami gangguan mental," ucap Shizune panjang lebar dengan sedikit kekecewaan yang terlihat di wajahnya.

Sakura juga merasa heran setelah mendengar ucapan Shizune. Seketika ia teringat dengan ucapan Sasuke serta luka-luka yang tak sengaja terlihat olehnya dan memutuskan memancing Shizune untuk bercerita.

"Ketika sedang kambuh, dia pernah bercerita kalau ayahnya berniat membunuhnya dan menyebut ayahnya sebagai Lucifer. Lalu dia bilang, rumah sakit jiwa adalah tempat yang aman dari ayahnya. Dan aku tanpa sengaja melihat bekas-bekas luka di pinggangnya. Aku jadi berpikir kalau ucapannya berkaitan dengan ceritamu soal piano yang diberikan ke rumah sakit jiwa."

Shizune mendesah pelan, ia tahu ke mana arah pembicaraan Sakura. Gadis itu pasti berusaha mencari informasi sebanyak mungkin soal Sasuke.

Pada akhirnya Shizune memutuskan untuk mengalah dan memberi informasi soal Sasuke. Toh Sakura juga tidak akan datang lagi setelah magang, lagipula gadis itu juga tak tahu nama keluarga Sasuke. Siapa juga yang tertarik dengan latar belakang pasien rumah sakit jiwa yang tidak jelas selain orang yang mengenalnya?

"GPA-mu berapa, sih?"

Sakura mengernyitkan dahi, "Memangnya kenapa? Aku tidak mau pamer, ah."

Shizune menyahut, "Kau pintar juga sampai bisa mengaitkannya dengan ceritaku."

Sakura tersenyum. Ini bukanlah kali pertama ia mendengar pujian soal kepintaran dirinya, entah dari teman maupun dosennya. Padahal ia merasa dirinya biasa-biasa saja.

"Ingat, rahasiakan ini dari siapapun, ya. Bahkan Sasuke sendiri tak pernah mau bercerita pada siapapun. Kami mendengar ini dari ibu dan kakaknya."

Sakura tak pernah melihat ibu dan kakak Sasuke sebelumnya, tetapi ia merasa senang karena lelaki itu tak sepenuhnya 'dibuang'. Setidaknya masih ada keluarga yang mengunjunginya.

"Kata ibunya, sejak kecil Sasuke dibenci oleh ayahnya. Bahkan ayahnya juga sering menjadikannya tempat pelampiasan emosi dan melakukan kekerasan fisik hampir setiap hari meski dia tak melakukan apapun. Kalau kau melihat luka di punggung, area pinggang, dan dadanya, itu semua perbuatan ayahnya-"

Sakura segera memotong ucapan Shizune. Ia tak pernah merasa semarah ini ketika mendengar cerita orang lain yang tak berkaitan dengan dirinya.

"Dasar sampah! Kurasa seharusnya ayahnya yang diperiksa ke psikiter dan dibawa ke rumah sakit jiwa karena membuat anaknya sampai menjadi gila," umpat Sakura dengan jengkel.

Rasanya Sakura tak bisa menahan diri untuk tidak mengumpat meski ia bukanlah orang yang terbiasa mengumpat. Ia tak bisa membayangkan seandainya memiliki ayah seperti itu, pasti ia akan ditangkap polisi karena melakukan kekerasan pada ayahnya.

"Sepertinya kau benar, deh. Ayahnya memberi target kalau Sasuke harus menjadi yang terbaik dalam segala hal. Setiap ujian harus mendapat nilai seratus. Lalu menurut kakaknya, ayahnya pernah mencekik dan menggores punggung Sasuke dengan pisau dapur. Aku belum pernah mendengar orang normal melakukan hal itu."

Sakura benar-benar marah hingga ia harus mengatur nafas demi mengendalikan amarahnya. Dugaannya memang tepat, ucapan Sasuke tidak sepenuhnya salah.

"Keluarganya tidak mencoba melindungi Sasuke?"

Shizune menggelengkan kepala dengan tatapan yang terlihat sedih, "Tidak. Mereka ketakutan. Bahkan Sasuke juga tak pernah sekalipun melawan."

Iris oniks Shizune memandang sekeliling sebelum ia mendekatkan wajah pada Sakura dan berkata, "Aku merasa ada sesuatu yang janggal. Ibunya berkata kalau ayahnya sering mengatai Sasuke bukan anaknya. Jangan-jangan-"

Sakura menganggukan kepala, "Tidak usah dilanjutkan, aku mengerti maksudmu, Kau curiga ibunya selingkuh, 'kan?"

Shizune terkejut. Ia tak salah dengan penilaiannya akan kecerdasan Sakura. Gadis itu bisa menangkap ceritanya dengan cepat.

"Aku tidak bilang begitu, lho."

Sakura merasa benar-benar kasihan pada Sasuke. Sekalipun lelaki itu memang anak haram, bukan berarti pantas diperlakukan begitu. Kalau memang begitu membenci, mengirim ke panti asuhan jauh lebih baik ketimbang menyiksa secara fisik dan emosional.

"Hey, Shizune. Aku benar-benar berharap kalau dia bisa kembali normal suatu saat nanti. Atau setidaknya, bisa meninggalkan rumah sakit jiwa ini."

"Kau pikir aku tidak berharap begitu? Tidak cuma aku, bahkan direktur, dokter maupun semua petugas juga mengharapkan hal yang sama. Tapi ini adalah tahun ketiganya berada di sini dan dia sendiri sepertinya tak benar-benar berniat untuk sembuh."

Sakura merasa benar-benar tak tahan lagi. Ia tak peduli kalau dirinya hanyalah seorang mahasiswi magang. Setidaknya ia harus mencoba melakukan sesuatu dan membuat kondisi lelaki itu sedikit membaik.

.

.

Sakura bergidik ngeri ketika seorang petugas yang seharusnya menemaninya mengunci bangsal wanita memohon untuk pulang lebih cepat karena harus mengurus anaknya yang sedang demam.

Rasanya mengerikan membayangkan ia harus mengunci semua bangsal, termasuk bangsal khusus dimana para pasien diikat di tempat tidur. Bahkan ia juga harus mengunci bangsal Mizuno, pasien yang menjerit-jerit di hari pertama Sakura bekerja.

Sakura menahan nafas dan secara refleks berusaha untuk tidak bersuara sama sekali ketika ia mengunci pintu bangsal khusus yang untungnya menggunakan dua lapis pintu dimana pintu lapisan kedua selalu terkunci jika tidak ada dokter atau perawat yang masuk demi menghindari pasien lain masuk ke dalam.

Sakura bahkan sampai berjinjit dan ia berusaha mengunci pintu seluruh bangsal secepat mungkin. Sekarang sudah larut dan ia berpikir untuk segera meninggalkan area bangsal serta kembali ke kamarnya.

Setelah selesai mengunci pintu bangsal terakhir dan memastikan semua pintu sudah terkunci, Sakura segera berjalan dengan suara seminim mungkin untuk meninggalkan area bangsal.

Ketika Sakura melewati area bangsal khusus, Sakura berhenti sejenak dan menahan nafasnya. Ia begitu takut dan segera melepas sepatunya serta segera berjinjit dan berlari secepat mungkin karena begitu ketakutan.

"Hn?"

Sakura terkejut ketika mendengar suara seseorang. Jantungnya seolah akan melompat keluar dan seketika ia terjatuh karena tersandung kakinya sendiri. Sepasang sepatu yang dipegangnya terlepas dari genggamannya.

Sakura begitu kaget hingga terjatuh dengan posisi mencium lantai. Sepatunya terlempar dan mengenai tulang kering lelaki yang berada di hadapannya.

Sasuke yang juga baru selesai mengunci bangsal pria pada awalnya merasa heran karena melihat Sakura di kejauhan. Gadis itu mendadak melepas sepatunya dan berjinjit serta berlari saat melewati area bangsal khusus sambil menundukkan kepala dan berfokus pada kakinya sendiri.

Tanpa berkata apapun, Sasuke menghampiri gadis itu dan sedikti membungkuk serta mengulurkan tangannya. Ia yakin gadis itu pasti kesakitan setelah terjatuh.

Sakura memberanikan diri mengangkat kepalanya sedikit dan mengusap-usap bibirnya yang terasa kotor karena bersentuhan dengan lantai. Lutut dan betisnya terasa sakit hingga ia kesulitan berjalan.

Ia terkejut ketika menyadari Sasuke mengulurkan tangan padanya. Ia merasa dirinya begitu memalukan hingga melakukan hal konyol dan terjatuh di hadapan seorang pasien. Dan ia berpikir untuk menyelamatkan citranya dengan memaksakan diri untuk bangkit berdiri tanpa bantuan serta berpura-pura tak terjadi apapun.

Tetapi rasa sakit di tubuh Sakura terasa begitu nyata. Sebagian area wajahnya yang membentur lantai terasa sakit dan ia berjalan dengan pincang meski berusaha keras berjalan dengan normal.

"Kau ngapain, sih?" Sasuke bertanya dengan heran seraya memungut sepatu milik Sakura yang tadi mengenainya.

Sakura tak tahu harus menjawab apa. Ia tak mengerti mengapa Tuhan seolah berusaha mempermalukannya dengan membiarkan dirinya terlihat begitu konyol di depan Sasuke yang merupakan pasiennya.

"Mengunci bangsal wanita. Malam ini kau yang mengunci bangsal pria lagi?" Sakura berusaha terlihat tenang demi menjaga wibawanya meski kakinya terasa sakit. Kulit di bagian lututnya bahkan sudah mengelupas dan memerah.

"Kau ketakutan, hn?"

Sakura menggelengkan kepala. Mau dikemanakan harga dirinya kalau ia sampai kelihatan ketakutan di depan pasiennya sendiri? Lagipula mana mungkin ada psikolog yang ketakutan dengan orang yang mengalami gangguan mental tak peduli seberat apapun kondisinya.

"Tidak, tuh."

"Ck ... kalau begitu kenapa kau melepas sepatumu dan berlari sambil berjinjit, hn?"

Sakura meringis. Kenapa lelaki itu pintar sekali sampai bisa menyadari kalau ia ketakutan? Sepertinya Sasuke sebetulnya adalah tipe lelaki yang peka terhadap hal di sekitarnya meskipun terlihat cuek ketika sedang dalam kondisi normal.

"Ah, aku sedang berlatih untuk berjalan tanpa suara sepertimu. Katanya, cara berjalan yang anggun harus seperti itu," jawab Sakura dengan asal. Ia tak peduli kalau ia terlihat konyol demi menyelamatkan harga dirinya yang berkali-kali dihancurkan Sasuke.

"Idiot."

Sakura meratapi dirinya yang begitu menyedihkan. Sekarang ia malah dikatai idiot, tingkatan yang lebih parah ketimbang 'bodoh'.

"Sepatuku?" Sakura mengulurkan tangan dan memberi gesture agar Sasuke mengembalikan sepatunya.

Sasuke mengembalikan sepatu Sakura tanpa berkata apapun dan Sakura berusaha memakai sepatunya kembali meski kakinya terasa nyeri ketika memakai sepatu.

Sakura segera berjalan tanpa mengatakan apapun. Ia menahan diri untuk tidak meringis kesakitan meski kakinya terasa sangat sakit. Ia baru sadar kalau telapak kakinya juga tertekan saat jatuh sehingga terkilir.

"Naik," ucap Sasuke seraya berjongkok tepat di depan Sakura.

Sakura menggelengkan kepala. Ia merasa malu jika seseorang sampai melihatnya, "Hah? Aku baik-baik saja, kok."

"Cepatlah. Sebentar lagi efek obatku akan habis. Bisa saja aku menyerangmu dan kau tidak bisa kabur dengan kaki yang terluka," Sasuke dengan sengaja berkata begitu untuk menjahili Sakura.

Sakura yakin kalau Sasuke pasti berbohong. Saat ini menunjukkan pukul sembilan malam dan seharusnya efek obat yang diberikan dokter dapat bertahan sampai besok pagi. Kalau tidak, mana mungkin area bangsal begitu tenang di malam hari.

Dengan ragu Sakura segera naik ke punggung Sasuke dan ia memeluk punggung lelaki itu. Ia menyadari kalau punggung Sasuke sebetulnya cukup kuat, namun terlihat rapuh entah mengapa.

Setidaknya ini jauh lebih baik ketimbang harus berjalan tertatih-tatih menuju ruang petugas. Tetapi ia yakin siapapun akan salah paham melihat hal ini.

"Terima kasih, ya. Padahal kau tidak perlu repot-repot menggendongku begini."

Sasuke tak mau mengatakannya, tetapi sebetulnya ia tak tega melihat orang lain mengalami kesulitan di depannya. Bahkan sekalipun seorang pria yang mengalami hal seperti Sakura, ia tetap akan melakukan hal yang sama.

Sebetulnya Sasuke melakukan tindakan yang nekat saat ini. Beberapa tahun yang lalu ia pernah mengalami cedera tulang belakang akibat kekerasan yang dilakukan ayahnya hingga ia harus menjalani operasi. Sesudahnya dokter menyuruhnya untuk sebisa mungkin tidak mengangkat apapun yang berat. Dan kini ia malah menggendong gadis merah muda itu.

"Hn."

Sakura mengeratkan pelukannya pada punggung Sasuke. Ia takut lelaki itu tiba-tiba menjatuhkannya. Bagaimanapun juga, lelaki itu bukanlah orang yang stabil dan saat ini ia melakukan tindakan nekat dengan membiarkan Sasuke menggendongnya.

Sakura menempelkan kepalanya dan tanpa sengaja menghirup aroma sabun bercampur dengan aroma pakaian yang menguar dari tubuh Sasuke. Ia merasa lega karena setidaknya lelaki itu masih bisa membersihkan dirinya sendiri secara teratur.

"Turunkan saja aku disini," ucap Sakura tepat ketika mereka berada di depan ruangan petugas.

Sasuke dengan sengaja berpura-pura berniat melepaskan tubuh Sakura yang digendongnya tanpa berniat untuk berjongkok sehingga Sakura dapat turun dengan lebih mudah.

"Wah!" pekik Sakura secara refleks ketika menyadari Sasuke berniat melepas tubuhnya begitu saja.

Sasuke segera mengetuk pintu tanpa mempedulikan Sakura yang mulai protes dan ia segera masuk ke dalam ruangan petugas.

Beberapa petugas di dalam ruangan terkejut melihat Sakura yang digendong oleh Sasuke.

Sakura merasa malu karena menjadi pusat perhatian dan ia segera berkata, "Jangan salah paham. Aku tadi jatuh di lorong dan dia memaksa menggendongku."

Sakura dengan sengaja memperlihatkan lututnya yang memerah dan mengelupas.

"Wah, wah. Kau benar-benar bisa diandalkan, Sasuke-san. Kalau begini, bisa-bisa kau membuat wanita meleleh," ucap salah seorang petugas pria sambil tersenyum.

Salah seorang petugas yang juga cukup jahil segera berkata, "Ah, Haruno-san, bisakah kau mengantar Sasuke-san ke kamarnya dan mengembalikan kunci bangsal pria sesudahnya?"

Sakura meringis dalam hati. Sudah tahu kaki orang sedang terluka, mengapa masih seenaknya menyuruhnya?

Sakura belum sempat menolak ketika Sasuke langsung berkata, "Kau tidak lihat kakinya terluka, hn?"

Petugas itu terkejut sesaat, namun kemudian tersenyum tipis karena reaksi Sasuke.

Sakura tak kalah terkejut dengan reaksi Sasuke. Ia tak mengira kalau lelaki itu juga bisa memedulikan orang lain sampai seperti ini.

Sepertinya Sasuke adalah orang yang baik sesungguhnya.

-TBC-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro