6. PTSD
"SEMBILAN PULUH?" bentak seorang lelaki paruh baya seraya membelalakan mata dan menatap anak lelaki di hadapannya yang sedang menundukkan kepala, tak berani menatap wajah lelaki itu secara langsung.
"Maaf. Aku akan berusaha belajar lebih keras," ucap anak lelaki itu dengan suara yang bergetar karena ketakutan. Suara anak lelaki itu bahkan hampir tak terdengar.
Uchiha Fugaku, lelaki paruh baya itu menatap lembar kertas ulangan yang berada di tangannya dan merobek-robek kertas itu serta melemparkan serpihan-serpihan kertas pada anak lelaki dihadapannya.
Ia merasa begitu marah pada anak lelaki itu. Bagaimana bisa anak lelaki itu gagal dalam segala hal dibanding kakak laki-lakinya? Ia berpikir kalau anak laki-laki itu pasti bukanlah darah dagingnya sendiri meski hasil tes DNA menyatakan kecocokan DNA sebesar 99,9 persen. Bisa saja wanita laknat itu menukar rambutnya dan rambut ayah biologis bajingan itu secara diam-diam.
Sebuah tamparan keras melayang ke wajah anak lelaki dihadapannya. Fugaku merasa emosinya meningkat seketika setiap kali ia melihat sosok Sasuke, putra bungsunya yang begitu mirip dengan perempuan jalang itu.
"Maaf. Maafkan aku, Ayah." Sasuke berkata dengan suara yang sangat pelan hingga hampir tak terdengar karena menahan air mata yang hampir mengalir. Sedangkan salah satu tangannya menyentuh pipinya yang bengkak dan memerah serta terasa panas.
"DIAM! AKU BUKAN AYAHMU!" bentak Fugaku seraya bangkit berdiri dan ia menarik bagian keras pakaian Sasuke. Ia menatap wajah Sasuke lekat-lekat dan merasa muak seketika melihat wajah anak itu.
Entah kenapa Fugaku selalu teringat dengan sang istri yang berselingkuh ketika sedang hamil putra kedua mereka. Saat itu Fugaku sampai meragukan kalau anak yang dikandung istrinya benar-benar anaknya, bukan anak bajingan tengik yang berselinguh dengan istrinya.
Saat itu sang istri sampai berlutut dan memohon ampun karena telah berselingkuh darinya ketika ia sendiri menahan diri untuk tak berselingkuh dengan wanita manapun meski ia bisa mendapatkan wanita seperti apapun yang ia inginkan dengan kekayaannya.
Fugaku merasa begitu marah, terlebih dengan Sasuke yang sama sekali tak berprestasi di bidang apapun dibanding Itachi, putra sulungnya yang jelas-jelas merupakan anak biologisnya. Tanpa harus melakukan tes DNA, wajah Itachi yang benar-benar mirip dengan Fugaku telah menunjukkannya.
Dengan jijik, Fugaku meludahi wajah Sasuke sebelum mengangkatnya bocah itu tinggi-tinggi dan kemudian menghempaskannya ke lantai marmer di ruangan tempatnya berada.
"Cepat mati saja, anak tidak berguna!"
Ini bukanlah kali pertama Fugaku melakukan hal ini. Setiap kali ia mengalami masalah, ia akan mendatangi Sasuke dan menjadikan anak itu sebagai pelampiasan emosinya. Ia akan memukul, menendang atau bahkan membanting anak itu dan berhenti ketika sudah puas sekalipun Sasuke tak melakukan apapun.
Dan tak ada seorangpun yang berani menghentikannya, termasuk istrinya sendiri. Bahkan putra sulungnya yang lebih tua lima tahun juga tak bisa melakukan apapun. Ia tahu kalau putra sulungnya sangat menyayangi Sasuke sebetulnya, tetapi ia berusaha keras menjauhkan mereka berdua. Ia merasa anak itu begitu hina untuk bisa bergaul dengan Itachi, bahkan pelayan atau keluarga pelayan pun jauh lebih pantas ketimbang Sasuke.
Sasuke tanpa sengaja menengadahkan kepalanya dan memberanikan diri menatap ayahnya dengan tatapan yang samar karena air mata.
"Sial! Tangismu mengangguku," keluh Fugaku.
Lelaki paruh baya itu melepas ikat pinggangnya dan segera menghampiri Sasuke serta memukulkan ikat pinggang itu ke tubuh Sasuke dengan keras berkali-kali hingga menimbulkan bilur kemerahan di kulit putih lelaki itu.
Dan malam itu berakhir dengan jeritan Sasuke ketika ikat pinggang mulai mengenai tubuhnya. Air matanya tak berhenti mengalir dan ia hanya bisa membiarkan tubuhnya dipukuli dan menutupi mulutnya dengan telapak tangan, berusaha agar tak menjerit secara refleks.
.
.
Sasuke terbangun dengan tubuh yang bergetar dan air mata yang membasahi pipinya. Ia segera mendudukkan diri dan menyandarkan punggungnya pada tembok ruangannya serta memeluk lututnya sendiri dan menyembunyikan kepalanya, posisi yang begitu sering ia lakukan saat berusaha bersembunyi dari ayahnya.
Ini bukanlah kali pertamanya mengalami mimpi buruk seperti ini. Sebelumnya ia sudah begitu sering mengalaminya, bahkan ia pernah mengalaminya setiap malam hingga kualitas tidurnya memburuk.
Sasuke merasakan rasa sakit yang tak kasat mata di punggungnya yang kini memiliki begitu banyak bekas luka yang tersembunyi di balik pakaiannya. Di beberapa bagian lain seperti lengan dan kaki juga terdapat bekas-bekas luka meski tak sebanyak di punggung maupun dadanya.
Kondisi Sasuke memang lebih baik sekarang berkat obat-obat yang dikonsumsinya. Tetapi ketika pertama kali berada di rumah sakit jiwa, kondisinya begitu buruk hingga ia harus diikat di tempat tidur dan secara terus menerus menjerit meraung-raung jika tidak diberikan obat penenang.
Ia terus menerus mendengar bentakan ayahnya di kepalanya meski sebetulnya suara tersebut tidak nyata dan ia begitu tersiksa. Semua orang yang dilihatnya adalah sang ayah yang memarahinya sehingga ia takut bertemu orang lain.
Hingga saat ini, Sasuke tak pernah tahu mengapa ayahnya begitu membencinya dan selalu menjadikan pelampiasannya. Tetapi ia mendengar kalau dulu ibunya berselingkuh sehingga ayahnya sangat marah dan meragukan dirinya sebagai putra kandung lelaki itu.
Sasuke merasa dirinya adalah beban dan tidak berguna. Ia berpikir kalau ia adalah anak haram yang tak seharusnya lahir sejak awal. Selain itu ia juga mendengar suara-suara yang membuatnya semakin yakin untuk melakukan percobaan bunuh diri.
Bekas-bekas sayatan di bagian tangan Sasuke adala salah satu bukti 'kegilaan' yang telah ia lakukan. Ia benar-benar serius untuk bunuh diri dan saat itu ia bahkan sama sekali tidak merasa kesakitan ketika menyayat tangannya sendiri.
Tubuh Sasuke masih bergetar tanpa bisa ia kendalikan. Ia semakin sulit mengendalikan pikirannya dan mulai kembali mendengar suara-suara samar yang menyuruhnya untuk mati meski ia tahu kalau ia sendirian di dalam ruangan.
Sasuke berusaha menarik nafas dan menghembuskan perlahan untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia memberanikan diri untuk meraih obat yang telah dipersiapkan di atas nakas dan segera meminumnya meski ia belum mengisi perutnya dengan apapun.
Ia sadar jika dirinya adalah beban, karena itulah ia harus mempertahankan kondisinya agar tidak semakin memburuk sehingga semakin membebani keluarganya.
.
.
"Sial! Bangsat! Awas kau, ya," desis seorang pasien rumah sakit jiwa yang didekati Sakura saat jam makan siang.
Di rumah sakit jiwa tempat Sakura magang, setiap hari beberapa petugas, entah dokter ataupun perawat secara bergiliran ditugaskan menemani para pasien makan siang. Mereka bertugas mengamati para pasien sekaligus membantu agar mereka semua setidaknya dapat makan sendiri.
Sakura merasa ketakutan seketika. Ia berusaha tenang dan bertanya sambil tersenyum lembut, "Kau baik-baik saja?"
Pasien itu menatap Sakura dan memegang sumpitnya dan membuat gerakan seolah akan menusuk dengan sumpitnya serta menatap ke arah salah seorang petugas yang menyiapkan makanan dan berkata, "Sejak tadi dia terus menatapku dengan tatapan meremehkan dan membicarakan orang dengan suara keras."
Sakura cukup yakin kalau pasien baru itu berhalusinasi. Sejak tadi ia tak merasa petugas yang dimaksud menatap pasien itu terus menerus. Bahkan ia tak mendengar petugas itu berbincang dengan siapapun, termasuk petugas lainnya.
"Sabar, ya," ucap Sakura dengan nada yang menenangkan. "Tadi aku tidak mendengar apapun, nih."
Pasien wanita yang merupakan pasien baru itu terdiam sesaat. Menurut teori yang dipelajari Sakura, seorang psikolog sebaiknya tidak membenarkan halusinasi yang dialami penderita skizophrenia. Dan kali ini Sakura mempraktikan teori yang ia pelajari dengan benar.
"Hey, bilang pada orang itu untuk tidak membicarakan orang lain dengan suara keras! Itu tidak sopan, tahu."
Sakura hanya diam dan menatap pasien wanita itu lekat-lekat, "Sabar, sabar. Sekarang kita makan, yuk."
Pasien wanita itu mengalihkan atensinya pada makanan yang tersaji di depannya dan ia segera makan.
Sakura merasa benar-benar ketakutan sebetulnya. Ia mendengar dari dokter Kurenai kalau sebetulnya kondisi wanita ini tidak begitu parah karena masih bisa diajak berbicara dengan normal. Tetapi tetap saja Sakura merasa ketakutan dan risih.
Tatapan Sakura tertuju pada Sasuke yang sedang membantu petugas untuk menyediakan makan siang bagi setiap pasien. Lelaki itu bahkan tidak makan bersama pasien lainnya dan hingga kini masih menyiapkan makanan untuk setiap pasien.
Rasanya benar-benar aneh melihat seorang pasien yang justru bertindak layaknya seorang petugas. Dan setelah diperhatikan, Sakura baru sadar kalau sebetulnya Sasuke cukup sering terlihat sedang membantu petugas, entah menyiapkan makanan atau bersih-bersih.
Lagi-lagi Sakura dibuat malu oleh lelaki itu. Sebagai seorang wanita, bersih-bersih adalah kegiatan yang tidak disukainya. Ibunya bahkan sering mengomelinya karena dianggap malas.
Tetapi tindakan Sasuke justru bertolak belakang dengan Sakura. Lelaki itu tampaknya cukup menikmati kegiatan bersih-bersih. Bahkan Sasuke tak pernah terlihat mengeluhkan pekerjaannya.
Sakura benar-benar tak habis pikir. Bagaimana bisa Sasuke malah mengerjakan tugas-tugas layaknya seorang petugas di rumah sakit ini ketika sebetulnya lelaki itu adalah pasien? Apakah direktur rumah sakit ini sama sekali tidak tahu?
Rasanya Sakura begitu penasaran hingga ia berniat menanyakan hal itu secara langsung pada sang direktur kalau saja ia bisa melakukannya.
Pasien terakhir baru saja menerima makan siangnya dan kini para petugas yang mengurus makan siang mulai membawa kereta dorong untuk mengambil piring kotor dan meletakkannya disana untuk dibawa ke dapur.
Sakura baru saja menghabiskan makan siangnya dan ia segera mengangkat piringnya. Sasuke yang kebetulan berada di dekatnya segera menghampirinya dan meletakkan piring kotor Sakura di atas kereta dorong.
"Terima kasih," ucap Sakura tepat ketika Sasuke mengambil piringnya.
"Hn."
"Kau tidak makan?" Sakura memutuskan untuk bertanya. Ia pikir jam sudah menunjukkan pukul setengah satu siang dan seharusnya lelaki itu segera makan.
"Nanti."
Sasuke segera pergi meninggalkan meja dan menghampiri pasien lain untuk mengambil piring mereka.
Sakura sedikit kecewa. Ia berharap bisa berbincang lebih banyak dengan lelaki itu dan mencari jawaban atas rasa penasarannya.
.
.
Tatapan Sakura tertuju pada seorang lelaki berambut hitam yang dicarinya. Ia baru saja selesai mendampingi kegiatan dan saat ini ia sedang memiliki waktu luang sehingga memutuskan untuk menghampiri Sasuke yang sedang duduk sendirian di taman.
Lelaki itu memejamkan matanya dan baru saja berniat untuk tidur sebentar di kursi sebelum kembali membuka matanya saat mendengar suara seseorang yang mendekatinya.
"Hn?"
"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Sakura seraya duduk di samping Sasuke tanpa mengatakan apapun.
Sasuke tidak menjawab dan balik bertanya, "Kau sendiri?"
Sakura mengumpat dalam hati. Lelaki itu cukup pintar untuk mengelak pertanyaan yang tak ingin dijawab dengan mengajukan pertanyaan yang serupa pada lawan bicara.
"Aku baru selesai mendampingi kegiatan," ucap Sakura.
Sasuke tak lagi menjawab. Lelaki itu hanya menatap lurus ke depan, memperhatikan pasien yang berlalu lalang di taman.
Sakura menatap Sasuke yang duduk di sampingnya dan menyadari pemandangan yang sedang ditatap lelaki itu. Ia merasa miris dengan kenyataan bahwa inilah pemandangan yang dilihat Sasuke setiap harinya selama bertahun-tahun.
"Kenapa kau berada disini?" Tanya Sakura,
Sasuke terdiam sesaat. Ekspresi wajah yang berbeda kembali nampak di wajah Sasuke, sama seperti kemarin malam.
"Aku terlalu populer sebagai dewa sekaligus pianis terkenal. Karena ada orang yang tidak suka padaku, maka mereka mengirimku kesini."
Sakura menahan diri agar tidak meringis. Bagaimanapun juga, ia tak bisa mengharapkan Sasuke untuk bersikap layaknya orang 'normal' secara terus menerus.
Sakura merasa begitu konyol karena mengharapkan konversasi dengan Sasuke sore ini. Seketika ia tersadar bahwa ia mungkin saja bisa mendapatkan informasi secara langsung dari Sasuke meksipun kondisinya seperti ini.
"Siapa yang tidak suka padamu?"
"Banyak. Salah satunya ayahku. Dia bahkan berusaha membunuhku," Sasuke mengakhiri kalimatnya dengan berdecih.
"Dia bahkan berusaha mencekikku dan menusukku dengan katana. Sebenarnya dia itu Lucifer yang datang dari neraka dan menyamar menjadi manusia, tahu. Ini rahasia, ya."
Sikap dan cara bicara Sasuke agak berbeda dibanding ketika lelaki itu sedang bersikap 'normal'. Biasanya Sasuke bukanlah orang yang terlalu banyak bicara begini, kata-katanya juga cenderung singkat kecuali jika memiliki hal yang penting untuk disampaikan.
"Kau tidak menganggapku aneh, 'kan? Sebetulnya aku lumayan suka di sini. Ini satu-satunya tempat yang aman dari Lucifer. Dia tak bisa menjangkauku walaupun dia tahu aku di sini."
Insting Sakura mengatakan kalau ucapan Sasuke tidak sepenuhnya kacau meskipun lelaki itu sedang kambuh saat ini. Ia merasa ada hal yang benar dari apa yang dikatakan Sasuke.
Sakura teringat dengan ucapan Shizune beberapa hari yang lalu mengenai ayah Sasuke yang ingin menyingkirkan semua barang yang berkaitan dengan Sasuke di rumahnya. Hubungan Sasuke dengan ayahnya pasti tidak baik, dan mungkin saja sang ayah adalah alasan mengapa lelaki itu berakhir di rumah sakit jiwa.
Sasuke mengubah posisi duduknya di kursi, namun tanpa sengaja kausnya sedikit tertarik ke atas sehingga memperlihatkan bagian pinggangnya dan sebagian punggungnya.
Tanpa sengaja Sakura menatap beberapa bekas luka berwarna gelap yang terlihat olehnya dan sangat kontras dengan kulit putih Sasuke.
Seketika Sakura terkesiap begitu tersadar. Jika dilihat dari posisinya, Sasuke tak mungkin melukai dirinya. Seseorang pasti telah meninggalkan banyak luka pada tubuh Sasuke, juga pada mentalnya.
-TBC-
--------------------------------------------------
Author's Note :
--------------------------------------------------
Untuk chapter kali ini, aku mencoba membaca artikel mengenai PTSD. Dan dari beberapa informasi yang kubaca, termasuk dari salah satu teman yang juga mengalami mental illness (udah di confirm psikolognya) ternyata seseorang bisa memiliki lebih dari 1 jenis mental illness.
Menurut artikel yang kubaca mengenai PTSD, seseorang bisa mengalami PTSD karena pengalaman traumatik, misalnya penyiksaan saat kecil. Bahkan seseorang bisa mengalami PTSD karena penyakit mental lainnya.
Oh ya, buat kalian yang penasaran, aku juga nemu salah satu video yang mungkin bisa membantu kalian memahami soal skizophrenia. Aku sendiri juga memakai video ini sebagai salah satu refrensi : .
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro