Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Sebuah Fakta Mengenainya

"Gimana magangmu, forehead? Pasien-pasien di rumah sakit jiwa itu tidak seburuk yang kau bayangkan, 'kan?"

Sakura menatap sahabat Ino, sahabatnya yang juga mengambil jurusan psikologi, sesaat sebelum menganggukan kepala.

Siang ini mereka berdua memutuskan untuk bertemu di hari libur magang dan menghabiskan waktu dengan mengunjungi kafe baru yang sedang populer di Instagram. Belakangan ini baik Ino maupun dirinya begitu sibuk dengan kegiatan magang masing-masing hingga tak sempat saling berkirim pesan.

"Sepertinya ucapanmu benar. Aku tidak menyangkan akan bertemu begitu banyak hal yang tak akan kutemui seandainya aku magang di tempat lain."

Ino tersenyum tipis. Ketika Sakura datang padanya dan mengeluhkan kesialannya mendapat magang di rumah sakit jiwa, ia terus meyakinkan gadis itu kalau magang di rumah sakit jiwa lebih menyenangkan ketimbang yang terlihat. Dan ia merasa senang karena sahabatnya baik-baik saja.

"Iya, 'kan? Kau akan bertemu lebih banyak orang-orang yang unik ketimbang magang sebagai HRD di perusahaan sepertiku."

"Aku bertemu seseorang yang menarik disana," ucap Sakura dengan sedikit antusiasme yang tersirat di balik intonasi suaranya.

Seketika atensi Ino tertuju sepenuhnya pada Sakura. Sebagai sesama pengagum lelaki tampan dengan selera yang mirip, mereka berdua seringkali fangirling  terhadap sosok lelaki yang sama.

"Menarik? Kau bertemu psikiater muda tampan disana?"

Sakura menggeleng, "Hentikan pikiran gilamu, pig. Yang kumaksud menarik itu sikapnya, tahu."

Ino menyeringai, "Biar kutebak, wajahnya pasti di atas rata-rata menurut standar kita, 'kan?"

"Yah," sahut Sakura. Ia segera menimpali, "Dan menurut beberapa pasien wanita serta perawat di rumah sakit jiwa tempatku magang juga."

Tawa Ino meledak seketika. Ia bahkan hampir menyemburkan kopi yang sedang diminumnya ke wajah Sakura. Pada akhirnya ia terbatuk-batuk dan harus berdehem berkali-kali.

Sakura ikut tertawa. Ia tak merasa heran dengan reaksi Ino. Bahkan ia sendiri mati-matian menahan tawa ketika melihat dua pasien wanita yang bertengkar memperebutkan Sasuke yang mereka anggap sebagai miliknya hingga perutnya terasa sakit.

"Duh, lelaki itu pasti sangat tampan. Aku tak heran kalau pasien wanita di sana bahkan tertarik pada dokter tampan. Tahu begini aku akan memohon pada dosen kita untuk bertukar tempat magang denganmu."

"Orang yang kubahas ini juga pasien, pig."

"HAH?" Ino berseru dengan keras dan membelalakan mata sesudahnya. Ia begitu terkejut dengan ucapan Sakura.

"Jadi, kau tertarik dengan pasien rumah sakit jiwa? Sadarlah, forehead, mungkin saja selamanya dia tidak akan pernah pulih. Kalaupun bisa, mungkin saja dia harus tergantung pada obat selamanya. Kau harus siap menjalani hubungan dengan seseorang yang tidak stabil," ujar Ino setelah berhasil mengendalikan keterkejutannya.

Sakura menghembuskan napas lelah. Meskipun ia seorang wanita lajang straight, bukan berarti ia memiliki ketertarikan dengan semua lelaki tampan secara romansa.

Ketimbang tertarik secara romansa, ia lebih tertarik dengan kehidupan Sasuke. Bagaimana masa lalu lelaki itu? Seperti apa lingkungannya dan bagaimana caranya dibesarkan hingga ia berakhir seperti ini?

Sakura hanya merasa sayang karena seorang lelaki yang seharusnya begitu cemerlang malah berakhir dengan menjadi pasien rumah sakit jiwa.

"Jangan berharap banyak padanya. Kau mungkin akan kecewa," ucap Ino lagi. Ia berpikir untuk menyadarkan kenyataan pahit pada sahabatnya sebelum gadis itu terlanjur benar-benar jatuh cinta pada seseorang yang tak bisa ia miliki.

"Kau salah paham," sanggah Sakura. "Aku mengagumi kepribadiannya."

Ino memotong kue dihadapannya sebelum kembali menatap Sakura, menunggu gadis dihadapannya melanjutkan pembicaraannya.

"Aku bertemu dengan seorang pasien lansia di tempat kerjaku, dan dia mengira aku adalah putrinya yang sudah meninggal," Sakura memulai ceritanya.

Sakura meneguk ludah sesaat sebelum melanjutkan ucapannya, "Aku berpura-pura menjadi putrinya meski aku tahu itu adalah hal yang salah. Dan lelaki itu menyadarkanku kalau berbohong bukanlah hal yang baik."

Ino masih tak melepaskan pandangan dari Sakura. Gadis itu terlihat begitu serius dengan perkataannya, "Di detik itu, aku merasa tertohok dan miris pada diriku sendiri. Bagaimana bisa orang yang dianggap tidak waras menurut masyarakat malah menghadapi situasi yang sama dengan cara yang lebih baik ketimbang aku yang normal? Bukankah seharusnya aku merasa malu dengan kewarasanku sendiri?"

Ino menyadari kekaguman yang terlihat jelas dari cara Sakura menceritakan sosok lelaki yang bahkan tidak diketahui namanya.

Diam-diam Ino merasa sedikit iri pada Sakura. Ia merasa iri karena gadis itu bertemu dengan orang-orang yang tulus di tempat kerjanya, bukan bertemu dengan sekumpulan munafik bermuka dua yang terlihat baik namun bisa mengkhianati orang lain sedetik kemudian.

"Lalu kau ingin menyembuhkannya? Untuk membuatnya menjadi orang 'normal' di mata masyarakat?" Ino bersuara pada akhirnya.

Sakura menganggukan kepala dengan mantap.

"Aku mengerti," ucap Ino sambil menganggukan kepala. Tatapannya sedikit menerawang dan ia berkata, "Sangat mengerti."

Sakura menyadari perubahaan suasana hati Ino yang semula ceria dan kini terlihat lebih muram. Ia baru saja akan berkata sesuatu, tetapi Ino sudah membuka mulut untuk berkata.

"Kau tahu kenapa aku ingin menjadi psikolog?"

Sakura mengangguk, "Tentu saja. Kau bilang ingin tetap bersamaku sampai kuliah, 'kan?"

Ino menggelengkan kepala dan menatap sahabatnya lekat-lekat, "Sebetulnya tidak cuma itu alasanku. Kalau kau memilih jurusan lain pun, aku akan tetap mengambil jurusan psikologi."

"Hey, kau belum pernah bercerita soal ini padaku, pig," sahut Sakura.

Ino tersenyum dengan senyuman yang terlihat sedih. Sakura yakin apapun yang akan dikatakan gadis itu pasti adalah alasan yang begitu kuat. Ia hampir tak pernah melihat Ino bereaksi seperti ini sebelumnya.

"Ketika kecil, aku sering pergi ke taman di dekat toko bunga ayahku sendirian. Di sana aku bertemu dengan wanita baik hati yang selalu menemaniku bermain selama berjam-jam. Setiap kali aku melihatnya, dia selalu membawa setangkai bunga dan memberikan bunga itu padaku ketika tahu kalau aku menyukai bunga." Tatapan Ino menerawang untuk sesaat dan tampak benar-benar sedih.

"Belakangan dia tak pernah mengganti pakaian dan sering melamun hingga tak menyadari keberadaanku. Aku merasa dia aneh, tapi aku tidak peduli dan selalu duduk di sampingnya. Aku tidak sadar kalau dia mengalami gangguan jiwa hingga suatu kali aku tak pernah menemuinya lagi di taman meski aku sudah menunggunya sampai sore."

Ino mengerjapkan mata dan menatap Sakura dengan tatapan yang penuh dengan kesungguhan, "Setelah itu kudengar dia terjaring razia yang dilakukan dinas sosial terhadap orang-orang yang mengalami gangguan jiwa. Aku tak pernah bertemu dengannya sampai sekarang dan aku berpikir untuk menjadi psikolog. Aku ingin menangani orang-orang yang mengalami permasalahan psikologis sebelum mereka berakhir di rumah sakit jiwa."

Sakura terkejut dengan alasan yang diutarakan sahabatnya. Ia pikir sahabatnya yang selama ini jarang terlihat serius memasuki jurusan psikologi hanya agar bisa bersama dengannya. Selama bertahun-tahun berteman, ia baru menyadari kalau Ino adalah sosok yang dewasa.

Ino menatap Sakura lekat-lekat, "Kau tahu, aku sama sekali tak ingin bekerja menjadi HRD dan menghadapi orang-orang 'normal' setelah lulus."

Sakura menyadari jika caranya memandang sahabatnya tak akan pernah sama lagi sesudahnya. Kekagumannya terhadap sosok Ino semakin bertumbuh.

"Pig, skizophrenia itu tidak bisa disembuhkan, 'kan?" Sakura bersuara pada akhirnya.

Ino menyadari kemana arah pembicaraan Sakura. Ia yakin sahabatnya pasti sedang membicarakan lelaki yang ditemuinya di rumah sakit jiwa tempatnya magang.

"Lelaki yang kau maksud mengalami skizophrenia?"

Sakura mengangguk, "Dari gejala yang terlihat, aku merasa dia mengalami skizophrenia."

Ino merasa kagum dengan Sakura. Ia tak merasa heran jika Sakura yang memiliki GPA 3,99 bisa mendiagnosis seseorang dari gejala yang terlihat ketika biasanya mahasiswa tingkat akhir pun cukup kesulitan mendeteksi gangguan yang dialami seseorang.

"Aku juga berpikir jika dia mungkin memiliki masalah dengan keluarganya. Dia bahkan menolak menyebutkan nama keluarganya dan menyadari kalau ia mempermalukan keluarganya jika sampai memberitahunya pada orang lain," ujar Sakura.

"Wow," Ino menyuarakan kekagumannya. Ia mengagumi analisis Sakura, juga tindakan lelaki tak dikenal itu yang bahkan masih memikirkan harga diri keluarganya, "Kalau kau tidak bilang dia adalah pasien rumah sakit jiwa, aku juga tidak akan berpikir kalau lelaki itu adalah pasien."

"Dia benar-benar seperti orang normal hingga dia menunjukkan gejala yang sesungguhnya ketika telat meminum obat."

Ino terdiam sesaat sebelum ia menepuk bahu Sakura dengan lembut, "Aku masih ingat ucapan salah satu dosen kita. Skizophrenia memang tidak bisa disembuhkan sampai sekarang, tetapi setidaknya gejala bisa ditekan dengan obat."

Sakura mengangguk. Ia sudah tahu soal itu, bahkan semua literatur yang ia baca juga mengatakan hal yang sama. Dan ia merasa Sasuke begitu kasihan karena hidup lelaki itu tak akan pernah sama dibanding sebelumnya sekalipun diperbolehkan pulang ke rumah.

.

.

"Aku benar-benar penasaran. Sebetulnya Sasuke mengalami skizophrenia, 'kan?"

Sakura mengajukan pertanyaan pada Shizune dan dua orang dokter yang kebetulan makan siang bersama di kafetaria yang terletak tak jauh dari rumah sakit.

Shizune terlihat sedikit tidak nyaman dengan pertanyaan Sakura. Ia menyentuh tengkuknya dan berusaha menghindari pertanyaan Sakura.

Tetapi seorang dokter laki-laki berambut perak yang sejak awal cukup baik pada Sakura dan bahkan membimbingnya tersenyum tipis, "Wah, pintar juga. Kau benar, Sakura."

Seorang dokter perempuan paruh baya yang beberapa hari lalu datang bersama Shizune ketika gejala Sasuke kambuh ikut tersenyum dan bertanya, "Kau begitu penasaran dengannya? Kau bukan orang pertama yang begitu, kok."

Shizune tersipu malu. Ia merasa ucapan Kurenai, si dokter paruh baya itu, tertuju padanya. Memang, ia sendiri sempat merasa penasaran pada Sasuke hingga bertanya pada Kurenai yang akrab dengannya.

"Ah, begitulah. Awalnya aku berpikir dia bukan pasien disini."

"Kau bisa berpikir begitu karena baru melihatnya sekarang," jelas Kurenai.

Ucapan Kurenai membuat Sakura semakin penasaran. Ia memutuskan bertanya, "Memangnya dulu seperti apa, Kurenai-san?"

Kurenai memandang Kakashi dan tersenyum. Mereka berdua sepakat untuk mengelak dari pertanyaan Sakura.

"Bagaimana? Kuberitahu jangan, ya?" Kurenai memutuskan untuk sedikit menggoda Sakura.

Kakashi ikut menyeringai dan berkata, "Yah, kurasa itu tidak akan menarik. Jadi sebaiknya kau mencari tahu sendiri, Sakura. Gunakan saja kemampuan analisismu, siapa tahu pengalaman yang kau dapat disini akan berguna untukmu sesudah lulus."

Sakura menyadari jika pertanyaannya sudah kelewat batas. Ini menyangkut privasi seorang pasien dan Sakura tahu jika Shizune, Kakashi ataupun Kurenai pasti akan merahasiakannya.

"Maaf aku malah bertanya begitu pada kalian. Kurasa aku tidak sopan."

Kurenai melirik Sakura dan tertawa pelan, "Tenang saja. Aku mengerti kalau kau kagum padanya. Sebetulnya dia memang mengagumkan, kok. Aku pernah mendengarnya bermain piano dan permainannya sangat bagus."

Sakura terkejut. Piano adalah instrumen favoritnya meski ia tak bisa memainkannya dan ia bahkan tidak menyadari kalau rumah sakit jiwa ini juga memiliki piano.

"Eh? Disini juga ada piano? Memangnya ada yang bermain piano disini?"

"Ada, tahu. Ayah Sasuke memberikannya secara cuma-cuma ke rumah sakit ini. Katanya Sasuke suka memainkan paino itu dan dia ingin menyingkirkan hal yang berkaitan dengan Sasuke dari rumahnya," sahut Shizune.

Detik berikutnya, Shizune meringis seketika. Ia baru saja mengungkapkan sebuah fakta yang mungkin tak seharusnya. 

Sakura menyadari sebuah fakta mengenai Sasuke. Ia yakin kalau lelaki itu benar-benar dari keluarga kaya mengingat piano bukanlah benda yang murah. 

Dan kini Sakura menyadari jika kekayaan bukanlah jaminan utama bahwa seseorang pasti akan bahagia, tak seperti yang dipikirkannya selama ini.

-TBC-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro