Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25. Akhir

Gadis merah muda itu tersenyum lembut pada siapapun yang ditemuinya petang ini, seolah berusaha meyakinkan jika dirinya baik-baik saja.

Sesungguhnya dia tidak berusaha meyakinkan siapapun melainkan dirinya sendiri. Ketika ia tersenyum, ia hanya berusaha menambah sugesti pada dirinya sendiri.

Pertunjukkan paduan suara yang disaksikannya bukanlah pertunjukkan terbaik yang pernah didengar olehnya. Sasuke memang memainkan lagu dengan baik seperti biasa, namun gabungan suara para pasien yang dilatih itu merupakan siksaan singkat bagi pendengaran.

Ini bukanlah deskripsi hiperbolis. Faktanya, suara itu memang siksaan bagi pendengaran meski tak seorangpun mengakuinya secara langsung, melainkan di dalam hati masing-masing.

Namun Sakura mengapresiasinya. Ia mengapreasiasi sekumpulan orang yang dianggap tidak waras di masyarakat namun bersedia mengucapkan selamat tinggal atas kepergiannya dengan berupaya melakukan sesuatu yang bisa dilakukannya.

Manik zamrudnya terpejam dan ia menghembuskan napas dalam-dalam demi menenangkan dirinya begitu paduan suara berakhir dan Sasuke hendak menampilkan pertunjukkan piano solo untuknya.

Ia tersenyum sebelum membuka mata dan memberanikan diri menatap Sasuke. Ia pikir ia baik-baik saja setelah bersumpah pada dirinya sendiri untuk terus tersenyum dan menpertahankan topeng yang ia kenakan.

Namun ketika pandangannya bersua dengan lelaki itu, ia segera menundukkan kepala dan mengalihkan pandangan. Dadanya terasa sesak hingga napasnya sedikit tersengal.

Kali ini bukan hanya karena ia mungkin tak bisa lagi bertemu dengan lelaki itu, melainkan juga pada fakta bahwa lelaki itu bermain dengan sangat baik di atas panggung seadanya. Seandainya hidup sedikit berbaik hati pada lelaki itu, barangkali ia tidak akan menyaksikan lelaki itu di panggung yang dipasang di sebuah institusi mental, melainkan di sebuah hall megah. Atau setidaknya, di tempat yang lebih baik dimana ada penonton yang datang memahami dan mengapresiasi seninya.

Keheningan tercipta secara naluriah. Entah mengapa tak seorangpun bersuara, seolah terhipnotis oleh permainan Sasuke meski tak dikomandoi oleh siapapun.

Sesaat, Sakura juga terhipnotis oleh permainan lelaki berambut hitam itu hingga ia terdiam dan hanya menikmati alunan melodi nan lembut yang mengarahkannya pada ilusi. Dan di tengah permainan, ia baru tersadar jika ia seharusnya mengabadikan momen dimana ia bisa menyaksikan Sasuke dalam kondisi terbaiknya.

Sakura segera mengeluarkan ponsel dan hendak merekam lagu kedua yang dimainkan lelaki itu, mengorbankan diri tak dapat sepenuhnya menikmati permainan lelaki itu meski lagu ini adalah yang terakhir.

.

.

Sasuke menepati janjinya ketika ia mengatakan bahwa ia tidak akan membuat hidangan serba tomat. Bahkan tidak ada satupun menu berbahan dasar tomat pada menu yang dihidangkan.

Sakura terkejut ketika menyaksikan seluruh makanan yang dihidangkan secara prasmanan. Ia pikir ia akan mendapati satu hidangan berbahan tomat. Namun ternyata tidak ada sama sekali, membuatnya sedikit bertanya-tanya.

"Aduh cepat sekali. Besok aku tidak bisa bertemu Sakura-chan lagi, deh," ucap Shizune yang duduk di samping Sakura.

Sakura tersenyum pada sang perawat. Dibanding staf lainnya, ia merasa paling akrab dengan wanita itu. Perbedaan umur mereka tidak sampai sepuluh tahun dan kepribadian mereka sedikit mirip. Selain itu Shizune juga orang pertama yang berkenalan dan mengajaknya makan bersama.

"Aku mau menambah makanan, ah," ujar Sakura seraya bangkit berdiri dan mengangkat piringnya tanpa menghiraukan Shizune.

Entah mengapa wanita itu mendadak berniat menjahili Sakura tanpa peduli jika tindakannya tidak profesional. Ia berseru, "Dasar. Kau suka makanannya karena enak atau karena yang memasak Sasuke-san, sih?"

Kurenai menatap Shizune dengan tajam, namun wanita itu berpura-pura tidak menyadarinya dan mengalihkan pandangan pada makanan di hadapannya. Kurenai berpikir jika wanita itu seharusnya menjaga image di hadapan Tsunade yang berada satu meja bersama mereka, namun wanita berambut pirang itu malah tersenyum seraya menenggak sedikit sake.

"Sudahlah. Tidak usah terlalu kaku di hari seperti ini. Minum?"

Kurenai terkejut dan segera menolak. Sebetulnya tindakan sang direktur agak tidak etis karena minum alkohol saat masih ada pasien meski para dokter dan staf yang tidak mengawasi berada di meja terpisah dengan pasien. Namun ia tak bisa berkata apapun.

"Keduanya," sahut Sakura pada Shizune sebelum bergegas meninggalkan meja. Sesudahnya wajanya sedikit merona karena malu akan apa yang sudah diucapkannya.

Sakura menghampiri meja prasmana dan berniat menambah nasi dan beberapa lauk. Ia tak peduli jika makan berlebihan akan membuat berat badannya meningkat. Ia berpikir untuk menikmati masakan Sasuke yang tak akan dicicipinya lagi.

Ia secara refleks mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, mencari keberadaan sosok Sasuke. Ketika ia mendapati lelaki itu tengah menikmati santapan, ia segera mengalihkan pandangan.

Ia khawatir topeng yang ia kenakan akan hancur sebelum waktunya meski ia yakin topengnya pasti akan hancur nanti. Ia masih harus berfoto dengan pasien maupun para staf nanti. Akan sangat aneh jika ia menunjukkan wajah lembap dengan residu air mata.

Semalam, ia kembali ke kamar dan menyadari jika ia harus belajar untuk melepaskan dan ia berniat memulainya malam ini. Meski ia ingin berpamitan dengan Sasuke, ia ingin menampilkan senyuman di wajahnya.

Namun sekarang ia mulai tak yakin dengan keputusannya. Ia bahkan hampir meneteskan air mata hingga berpura-pura membelalakan mata atau memejamkan mata serta berpura-pura mengucek mata agar air mata tak sampai menetes.

Sakura mengambil sepotong ikan, tahu dan tempura serta segera kembali ke mejanya. Ia berharap agar makanan dapat membantunya mempertahankan senyuman  di wajahnya, setidaknya hingga waktu yang tepat.

.
.

Sasuke menatap wajahnya sendiri di cermin. Entah mengapa, ia tak nyaman menatap dirinya sendiri di cermin. Rasanya seolah seseorang sedang menatapnya dan ia  hampir selalu mendengar suara-suara yang menghujatnya setiap bercermin, mengatai betapa menyedihkan penampilan dirinya.

Namun hari ini ia mencoba bersahabat dengan cermin. Ia bercermin jauh lebih sering untuk memastikan wajahnya tidak memperlihatkan emosi yang sesungguhnya.

Sejak awal ia menyadari jika ia sudah menyadari jika keberadaan gadis itu hanya sementara. Namun ia mulai merasa nyaman dengan eksistensi Sakura di dekatnya hingga lupa jika ia tak seharusnya menanggapi gadis itu tanpa melibatkan perasaan berlebih seperti yang biasa ia lakukan pada mahasiswa magang lainnya ketika ia sudah mampu berinteraksi.

Semalam ia menghabiskan waktu yang cukup lama untuk memeluk Sakura dan membiarkannya menangis di pelukannya. Namun sebetulnya ia sendiri sempat meneteskan air mata tanpa disadari gadis itu.

Ketika Sakura melepaskan pelukannya, ia dengan lihai memperlihatkan wajah datar sebelum mengulas senyuman dan mengusap wajah gadis itu.

Perasaan ingin memiliki eksistensi gadis itu begitu kuat bak api yang membara. Dan ia mati-matian mengingatkan dirinya sendiri dengan fakta sesungguhnya.

Seandainya ia memiliki eksistensi gadis itu, mampukah ia membahagiakan seseorang ketika ia tak stabil?

Ia bahkan tak memahami dirinya sendiri. Ia tak paham mengapa ia begitu takut kehilangan dan seemosional ini pada seseorang yang baru dikenal. Ia bahkan tidak merasakan hal yang sama saat ibu dan kakaknya selesai berkunjung meski ia mengenal mereka hampir sepanjang hidupnya.

"Ayo lihat kamera."

Ucapan salah seorang petugas membuat Sasuke tersadar dan ia segera menatap kamera, memperlihatkan raut wajah datar seperti biasa. Ia bahkan masih tak paham harus berpose bagaimana di depan kamera dan terus memperlihatkan wajah yang sama meski Sakura berada di depannya seraya tersenyum dan membuat tanda peace dengan kedua tangannya.

Sesi foto yang kesekian kalinya berakhir dan salah seorang nenek meraih tangan Sakura dan berkata, "Aku mau berfoto dengan cucuku ini."

Sasuke segera menyingkir dan membiarkan Sakura berfoto dengan beberapa pasien. Ia ingin meminta bertemu sebentar ketika gadis itu akan pulang, tetapi tak enak mengatakannya di depan para pasien maupun staf.

Sejak tadi pagi ia belum bertemu dengan Sakura dan berbincang dengan gadis itu. Ia pikir, ia harus mengucapkan selamat tinggal dengan benar demi dirinya sendiri. Ia tak ingin menyesal sampai mati sesudahnya.

"Sasuke, ayo sini," ujar Sakura dengan suara keras seraya melambaikan tangan ke arah Sasuke.

Sasuke menyadari suara yang memanggilnya dan ia berjalan ke arah gadis itu. Beberapa pasien telah mengerubungi Sakura dan berpose, beberapa bahkan berpose dengan absurd dan tampak nyeleneh.

"Kita akan masuk TV!" seru salah seorang pasien, membuat Sakura tersenyum tipis.

"Bukan! Kita akan masuk koran, tahu. Iya kan, Haruno-san?" sahut pasien lainnya.

Sakura segera berkata, "Sudahlah ayo kita berfoto lagi sebelum kalian masuk kamar."

Kemudian gadis itu menarik tangan Sasuke yang berjalan ke belakangnya dan meminta lelaki itu menyelipkan tubuhnya.

"Hey! Kau mau centil dengan Sasuke-kun, ya?" seorang pasien wanita protes pada Sakura dan menatap jengkel.

Sakura belum sempat menjawab ketika Sasuke mendadak berkata, "Sakura ini sudah punya pacar di luar."

Sakura mendelik kaget. Ia lupa dengan kebohongan yang pernah ia katakan sewaktu wisata ke luar bersama para pasien. Namun Sasuke mengedipkan mata dan mengangguk pelan, membuat Sakura menyadari jika ia sebaiknya mengikuti alur dengan baik.

"Oh, iya. Tenang saja, Karin-san."

Karin tak menyahut dan kembali menatap kamera, memperbaiki posenya yang sedikit sensual.

Sasuke memutuskan untuk tersenyum di foto ketika menyadari Sakura juga tersenyum. Ia tak biasa tersenyum lebar dan merasa aneh, tetapi ia melakukannya seraya berusaha memotivasi diri, seperti yang diajarkan psikolog yang menanganinya.

Para staf selanjutnya mengantarkan para pasien menuju kamar dan Sasuke segera menyentuh bahu Sakura ketika gadis itu masih terdiam di tempat, terlihat ragu entah kenapa. Ia segera berbisik, "Setelah selesai berkemas, aku akan menunggumu di taman."

"Oke," sahut Sakura seraya tersenyum.

Sesudahnya ia cepat-cepat membuang muka. Ia tak ingin Sasuke menyadari jika bibirnya berkedut-kedut dan topengnya hampir pecah ketika Sasuke mengatakan soal berkemas.

.

.

Sakura berpelukan dengan Shizune sebelum meninggalkan ruang staf dan mengambil berkas yang telah disiapkan untuknya.

Hari ini direktur bahkan menyempatkan diri untuk datang saat jam makan malam sekaligus memberikan laporan magang yang sudah ditandatangani untuk diserahkan pada pihak fakultas.

Sakura merasa sedikit kecewa karena laporan yang sudah diberikan sehingga ia tak lagi memiliki alasan untuk datang. Namun di saat yang sama ia merasa bersyukur karena tak perlu menyiksa batinnya sendiri jika sampai bertemu Sasuke lagi. Ia mungkin tak akan siap dengan kunjungan singkat layaknya pengunjung pasien pada umumnya.

"Kapan-kapan mampirlah kalau kau sempat. Kalau bisa kita tetap kontak sesudahnya, ya," ucap Shizune sambil tersenyum ramah..

Sakura hanya tersenyum. Ia merasa tidak enak berkunjung tanpa alasan. Rasanya ia seolah menganggu para staf yang sedang sibuk.

"Haha ... tentu saja."

"Sasuke-san menunggumu di taman, tuh. Cepat pergi temui dia."

Wajah Sakura sedikit merona karena malu. Ia tak tahu dari mana Shizune bisa mengetahuinya. Namun ia yakin Sasuke pasti memberitahu karena ia tak ikut kembali ke kamar bersama para pasien lain.

Sakura melambaikan tangan pada Shizune yang dibalas oleh wanita itu. Ia menatap tas berisi pakaian di bahunya serta seplastik cemilan yang masih tersisa dari Sasuke. Semua cemilan itu sesuai dengan seleranya, tetapi tidak dengan Sasuke. Sampai detik ini ia masih tak paham mengapa ibu lelaki itu tak membeli cemilan yang sesuai dengan selera anaknya sendiri, entah apa yang menjadi dasar pemikirannya.

Sasuke duduk membelakangi Sakura dan lelaki itu tak jua menoleh ketika ia mendekat. Padahal ia masih tak menguasai cara berjalan tanpa suara meski mengamati lelaki itu selama tiga bulan.

Iris oniks lelaki itu tertuju pada langit malam yang tak banyak berubah. Tentu saja ini bukanlah kali pertama mereka duduk bersisian, namun kali ini terasa berbeda.

Pertemuan pertama mereka berada di taman yang sama, dan perpisahan mereka juga berada di taman yang sama. Sungguh ironi, namun tempat yang sama bisa menjadi awal dan akhir bagi seseorang.

Sasuke mengeluarkan sekantung penuh buku dan memberikannya pada Sakura, "Untukmu."

Sakura menerima kantung yang berat itu dan menyadari buku piano pada tumpukan teratas. "Ini semua buku pianomu?"

"Hn. Ada beberapa not yang belum kau pahami cara membacanya. Aku sudah menuliskan semua petunjuk yang kau butuhkan."

Sakura menyadari jika buku itu berjumlah lebih dari sepuluh. Beberapa buku sudah sedikit menguning, tampaknya lelaki itu sudah mempelajarinya cukup lama.

"Kau tidak apa-apa memberikannya untukku? Bagaimana kalau ada lagu yang ingin kau mainkan?"

Sasuke menggeleng, "Aku sudah menghafalnya, tuh."

Sakura mendengus karena nada bicara lelaki itu terkesan sombong. 

Tentu saja Sasuke tak benar-benar menghafal semuanya. Ia hanya menghafal beberapa lagu yang ia suka, namun itu sudah cukup baginya. Ia yakin Sakura pasti lebih membutuhkan buku-buku itu ketimbang dirinya.

"Mana mungkin kau menghafal semua buku ini," sahut Sakura.

"Sudahlah simpan saja," ujar Sasuke seraya melirik kantung yang berada di pangkuan Sakura dan menyadari jika buku itu terlihat berat. Ia segera berkata, "Bukunya berat. Bagaimana kalau aku membawakannya untukmu sampai pintu masuk?"

Sakura menatap Sasuke dengan ragu, "Bolehkah? Lagipula kau juga repot, kan?"

Sasuke menyadari kekhawatiran Sakura dan ia menggeleng, "Di pintu masuk ada penjaga. Aku juga tidak ingin langsung masuk ke kamar."

"Ah, oke," ucap Sakura sambil tersenyum.

Sejujurnya hatinya mejerit saat ini. Ia mati-matian mempertahankan senyuman di wajahnya demi memberi kesan yang menyenangkan di saat terakhir.

Ia tak tahu jika Sasuke pun memiliki pemikiran serupa. Lelaki itu sengaja meminta obat lebih banyak sejak beberapa hari yang lalu demi membunuh halusinasi untuk sesaat meski tubuhnya mulai merasakan efek samping yang tidak nyaman.

Sasuke bertahan demi memastikan bahwa ia meninggalkan kesan yang baik bagi Sakura di saat yang terakhir. Ia berusaha terlihat baik-baik saja dan bersikap sedikit jahil seperti biasa.

"Aku jadi khawatir kalau kau bekerja nanti. Kau kan ceroboh."

Sakura meringis. Selama magang, ia memang terkadang bertindak ceroboh. Misalnya saja soal ia yang jatuh karena berjinjit sambil berlari meninggalkan area bangsal khusus secara memalukan di hadapan Sasuke maupun saat-saat lainnya.

"Tidak usah mengkhawatirkanku. Pokoknya lihat saja, nanti aku akan bekerja sebagai staf HRD, lalu melanjutkan S2 dan menjadi psikolog sungguhan. Karierku pasti akan sangat bagus."

Sasuke tersenyum dan meletakkan tangan pada helaian merah muda gadis itu sebelum mengacaknya. Sensasi yang ia rasakan saat helaian merah muda yang lembut itu menyusup di sela jemarinya membuatnya ingin emlakukannya lagi. Karena itulah belakangan ini ia sering menepuk, mengelus atau mengacak rambut gadis itu.

"Kalau begitu buktikan padaku."

"Tentu saja. Saat itu akan kubuat senyuman sombongmu yang menyebalkan itu hilang karena terkejut."

Sakura tak menyadari fakta dan seolah terlarut suasana. Ia lupa jika sekalipun ia berhasil membuktikannya, ia tak memiliki cara memberitahu Sasuke. Bisa saja lelaki itu sudah tak berada di rumah sakit jiwa lagi meski di saat yang sama itu adalah hal yang bagus.

Sasuke merasa lega karena Sakura tak lagi terlihat sedih seperti kemarin malam. Ia menyadari fakta sesudah mengatakannya dan segera meralatnya.

"Aku mengharapkan yang terbaik untuk si Bodoh yang ceroboh ini," ucap Sasuke sambil menepuk kepala Sakura dengan lembut dan menatap mata gadis itu lekat-lekat.

Sakura meletakkan plastik di pangkuannya ke semen dan segera memeluk Sasuke dengan erat, membuat lelaki itu terkejut pada mulanya.

"Aku juga," ucap Sakura seraya menahan air mata akibat perasaaan nyaman ketika tubuhnya merasakan kehangatan lelaki itu, kenyamanan yang tak akan ia nikmati lagi.

"Aku juga mengharapkannya untukmu. Aku ingin kau bahagia. Kau pantas untuk bahagia," kata Sakura lagi.

Sasuke membalas pelukan gadis itu dan Sakura tersenyum demi menahan air mata. Seandainya ia menangis, lelaki itu pasti akan sadar jika pakaiannya basah mendadak.

Setelah membuat Sasuke tidur lebih larut dari pasien lainnya selama beberapa waktu karena mengajarinya piano, ia berpikir untuk segera pulang agar Sasuke bisa segera tidur meski ia ingin menghabiskan sepanjang malam bersama lelaki itu lagi.

Sakura melepaskan pelukan meski ia tak ingin melakukannya. Hatinya masih merindukan kehangatan dan kenyamanan dari tubuh lelaki itu, tetapi ia berusaha mencukupkan dirinya.

"Ah, sepertinya aku harus pulang, nih. Kau juga harus tidur, kan? Apalagi belakangan ini sepertinya kau kurang tidur sehingga kantung matamu agak menghitam."

"Oh. Kau besok kuliah, hn?"

Sakura mengangguk, "Aku harus memberi laporan magang pada dosenku."

"Kuharap isi laporannya bagus."

Sakura tersenyum. Ia yakin isinya pasti bagus meski ia belum sempat melihatnya karena lelaki itu telah memperjuangkan nilainya.

"Terima kasih karena telah memperjuangkannya untukku."

Sasuke tersentak sesaat secara refleks dan segera mengubah ekspresinya beberapa detik kemudian, "Mana kutahu soal penilaianmu? Kubilang kau ceroboh. Sepertinya mereka kasihan padamu."

Sakura menyadari jika Sasuke pasti tak akan mau mengaku dan berpura-pura tidak tahu. Ia tak peduli dan memilih berterima kasih sebagai caranya menunjukkan apresiasi.

Ia segera bangkit berdiri dan Sasuke mengikuti seraya membawa plastik berisi buku-buku itu. Sakura berkata, "Kenapa tiga bulan terasa cepat sekali, ya? Kupikir itu akan sangat lama."

Sasuke juga bertanya-tanya akan hal yang sama. Ia sudah terbiasa akan rutinitas bersama Sakura setiap malam. Kini ia berpikir bagaimana ia akan melalui malam-malam selanjutnya?

Lelaki itu mengendikkan bahu dan berkata, "Artinya kau harus memakai waktumu dengan baik."

Sakura meringis, "Ya Tuhan, nasihat bijak darimu lagi. Aku benar-benar membutuhkan bimbinganmu."

Sasuke kembali mengulurkan tangan dan menepuk kepala Sakura lagi dari belakang untuk sesaat, membuat gadis itu berhenti melangkah, "Kuharap kau menemukan seseorang yang bisa membimbingmu di luar nanti."

Sakura tersenyum. Ia tak ingin terlalu berlarut-larut dalam perasaannya dan menghancurkan topengnya yang mulai retak, "Semoga."

Sakura segera membuka mulutnya lagi, tetapi kata-kata yang tersusun dalam benaknya seolah menghilang begitu saja. Ia ingin mengutarakan harapannya untuk bertemu lelaki itu lagi, tetapi keraguan mengalahkan tekadnya.

"Apa?"

"Oh, maksudku, kuharap semoga kau bisa bertemu mahasiswa magang lain yang juga menyukai musik. Siapa tahu kau punya teman ngobrol," jawab Sakura seraya kembali berjalan.

"Yang jelas, aku berharap agar mahasiswa itu tidak berjinjit sambil berlari meninggalkan bangsal khusus dan melemparkan sepatunya padaku," sahut Sasuke seraya menyeringai.

Sakura meringis jengkel. Ia merasa malu setiap mengingatnya, "Sudahlah, berhenti membahasnya. Itu memalukan."

"Aku malah jadi ingin membahasnya lagi. Saat memasak kau hampir memasukkan gula ketika seharusnya memasukkan garam. Lalu-"

Sakura memutus ucapan Sasuke dan berseru, "Hentikan!"

Sasuke menyeringai, "Pastikan kau belajar memasak nanti. Aku bersimpati pada siapapun yang terpaksa memakan masakanmu."

"Aku tidak sebodoh itu. Aku hanya mengantuk waktu itu," Sakura membela diri. Ia merasa malu karena begitu ceroboh hingga tanpa sadar mengambil gula karena warna nya juga putih. Padahal butiran gula lebih besar.

"Oh, kau juga hampir berjalan lurus sampai ujung kakimu menabrak anak tangga."

Wajah Sakura semakin memerah karena malu dan ia berkata, "Iya. Aku memang ceroboh sungguhan. Berhentilah membahasnya."

Sasuke merasa senang karena membuat gadis itu jengkel. Bersikap seperti ini membantunya mengatasi perasaan sesak karena ia harus berpisah dengan gadis itu meski di saat yang sama ia juga sudah merelakannya.

Dua penjaga keamanan dan staf yang berada di dekat pintu menyadari kehadiran mereka dan Sasuke segera mengangguk. Sebelum staf itu sempat mengatakan sesuatu, ia terlebih dahulu berkata, "Ah, aku cuma membantu Sakura membawa barang sampai sini."

"Oh, tidak apa-apa," ucap staf tersebut pada Sasuke sebelum beralih pada Sakura, "Sudah mau pulang, ya?"

Sakura tersenyum dan menundukkan kepala, "Ya. Terima kasih atas bimbingannya selama tiga bulan ini."

Staf itu tersenyum tipis sekedarnya.

Tatapan Sakura tertuju pada Sasuke yang kini menyerahkan kantung berisi plastik, "Aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik."

"Kau juga, Bodoh."

Seorang penjaga keamanan membantu Sakura membuka pintu dan Sakura hendak keluar.

Namun mendadak gadis itu merasa ingin memeluk lelaki itu dengan erat, hanya saja canggung karena keberadaan staf dan penjaga keamanan.

Emosi mulai menguasai dirinya. Persetan dengan mereka, toh evaluasi magangnya sudah keluar dan ia juga tidak akan bertemu mereka lagi. Ia meletakkan plastiknya di lantai dan menghampiri Sasuke serta memeluk lelaki itu selama beberapa detik.

"Dah, Sasuke!" ujar Sakura sambil tersenyum lebar dan melambaikan tangan. Mempertahankan topengnya yang hampir hancur sebentar lagi.

"Hati-hati."

Sakura hanya mengangguk sekilas sebelum mengambil kedua plastik yang ia letakkan di lantai serta berjalan menuju pintu. Ia menoleh sekali lagi hanya karena ingin melihat sosok lelaki itu dan mendapati Sasuke masih berdiri di tempat yang sama, tersenyum menatap kepergiannya.

Sasuke telah menguatkan hatinya dan melepaskan kepergian gadis itu di detik ketika Sakura meninggalkan pintu. Dan kini ia benar-benar berharap gadis itu berhasil mengejar kebahagiannya di luar sana.

Ketika gadis itu menoleh dan menatapnya melalui pintu kaca, ia tersenyum dan menganggukan kepala, seolah mengatakan jika ia baik-baik saja dan meminta Sakura agar pergi tanpa keraguan sedikitpun.

Sakura melepas pandangan dari Sasuke yang kini juga membalikkan punggungnya dan detik berikutnya topengnya hancur berkeping-keping.

Air mata mulai mengalir dan siapapun yang melihatnya keluar dari rumah sakit jiwa dengan membawa barang sambil menangis mungkin akan menatapnya dengan curiga. Namun ia tak peduli dengan persepsi orang dan ia segera mencegat taksi yang kebetulan lewat meski sebetulnya ia bisa naik kereta dengan harga lebih murah.

Ia segera menyebutkan alamat rumahnya dan taksi segera berjalan meninggalkan rumah sakit jiwa itu.

Ia merindukan Sasuke pada detik pertama sejak perpisahannya dengan lelaki itu, dan barangkali akan tetap begitu selama beberapa waktu ke depan.

-The End-

------------------------------------

Author's Note :

------------------------------------

Trims telah membaca karyaku hingga chapter terakhir. Sejujurnya, ketika menulis karya ini, aku memang berencana membuat sad ending. Di pertengahan chapter, sempat terpikir mengubah rencana dan membuat karya ini berakhir happy ending.

Namun jika dilihat secara realistis, rasanya akan sulit bagi Sasuke untuk bersama Sakura. Mencari pekerjaan akan sulit, terlebih dengan kondisi keluarganya. Maka aku memutuskan membuat ending seperti ini  agar lebih simple dan realistis.

Untuk selanjutnya, kemungkinan akan membuat fanfict tetralogi SasuSaku Spring yang berbeda dengan karya sebelumnya yang di unpublish meski judulnya sama.

Epilogue dan bonus chapter juga akan diupdate bersamaan dengan chapter ini dan tidak akan ada sekuel.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro