20. Rasa
Orang awam akan mengira jika seorang psikolog ataupun psikiater adalah orang yang ahli mengenai kejiwaan ataupun perasaan sehingga dapat selalu mengidentifikasi perasaan dirinya sendiri maupun orang lain.
Faktanya persepsi tersebut berbeda dengan realita. Sakura bahkan kesulitan mengidentifikasi perasaan yang ia miliki terhadap Sasuke.
Apakah ia jatuh cinta dengan lelaki itu? Jika sebelumnya ia menyangkal, kini ia mulai mempertanyakan.
Ia pikir, seandainya ia jatuh cinta dengan lelaki itu ia akan menghentikan dirinya sendiri. Lelaki itu tak cukup stabil, namun memberikan rasa nyaman yang mungkin tak akan ia dapatkan dari lelaki lain dalam hidupnya.
Bersama Sasuke, ia bisa bercerita apa saja dan mengungkapkan kekhawatirannya hingga terkadang ia berpikir Sasuke adalah wadah konsultasinya, bukan sebaliknya. Ia berasumsi jika dirinya yang menangani Sasuke meski faktanya ia merasa sebaliknya.
Seorang psikolog tak berbeda dengan orang awam lainnya, bisa mengalami masalah terkait psikologis karena pengalaman yang dialaminya dalam hidupnya. Dan hal ini menciptakan sebuah situasi ambigu dimana seorang psikolog diminta menangani pasien ketika dirinya sendiri mungkin butuh ditangani.
Dan ketika Sakura memutuskan bercerita pada Sasuke, ia merasa bebannya sirna.
Setiap senja akan berakhir, secara refleks ia menantikan momen dimana ia menghabiskan malam dengan berbincang bersama Sasuke.
Ketika para pasangan menunggu malam dan menghabiskan waktu dengan bercinta sebagai sarana peningkst hormon endorfin, ia merasa bahagia hanya dengan menghabiskan waktu melalui konversasi.
Gadis merah muda itu tak berniat segera makan malam kali ini. Ia membantu mengawasi para pasien yang diperbolehkan keluar dari ruangan untuk mengantri.
Beberapa dari mereka memang cukup ribut saat mengantri, namun setidaknya selama ini belum pernah ada kejadian dimana mereka menyelak atau bertengkar karena berebut makanan.
Iris emerald Sakura tertuju pada sosok Sasuke yang kini kembali mendapat giliran untuk membantu membagikan makanan pada para pasien yang mengantri.
Secara refleks ia menatap lelaki yang menjadi pusat atensinya dan mengangkat sudut bibirnya membentuk seulas senyum. Lelaki itu mengangkat sudut bibirnya beberapa milimeter, tak cukup tinggi untuk disebut sebagai senyuman namun mengedipkan mata padanya, seolah berkata 'selamat berjuang'.
Gadis itu mengangat salah satu kepalan tangannya dan menatap Sasuke serta membuat gesture yang mengatakan hal yang sama tanpa berucap sepatah kata pun.
Interaksi dari lelaki itu bagaikan obat terlarang yang menyebabkan candu. Sesudahnya, Sakura seolah mendapat tambahan energi dalam menghadapi para pasien.
.
.
"Bolehkah aku ber-selfie denganmu satu kali?" Sakura memberanikan diri untuk bertanya ketika ia berada di ruang musik bersama Sasuke.
Seharusnya tindakan seperti ini tidak diizinkan. Hal itu tidak etis dan seandainya hal ini sampai tersebar, maka ia akan mendapat teguran keras atau bahkan sanksi dari pihak universitas.
Identitas pasien adalah privasi, khususnya pasien di institusi mental seperti ini. Seandainya tersebar, bukan hanya sang pasien,melainkan bisa saja keluarganya ikut menanggung malu.
Namun gadis itu sudah tak peduli dengan hal semacam itu. Ia pikir toh ia tak akan pernah menyebarkannya kemanapun.
"Hn? Aku tidak masalah. Kupikir kau yang akan bermasalah kalau seseorang mengetahuinya."
Sakura menduga jika ini adalah cara Sasuke untuk mengelak secara sopan dan ia merasa kecewa. Sesungguhnya, ia hanya ingin ber-selfie sebagai kenang-kenangan.
Ia pikir, ketika suatu saat nanti ia merindukan lelaki itu, ia dapat melihat foto sebagai pengingat bahwa lelaki itu benar-benar ada, bukan khayalan maupun sebuah ilusi yang ia anggap sebagai realita.
"Ah. Benar juga, ya. Kupikir aku ... " Sakura berkata dengan suara pelan karena merasa tidak enak. Dan ucapannya terputus ketika Sasuke mendadak meraih ponselnya.
"Berikan ponselmu."
"Apa?"
Sasuke menerima ponsel yang diberikan Sakura dengan ragu. Entah mengapa, mendadak ia berubah pikiran dan memilih berfoto dengan gadis merah muda itu.
Biasanya ia tak begitu antusias soal berfoto. Namun kali ini ia seolah ingin meninggalkan jejak eksistensinya pada gadis itu ketika ia sendiri tak memiliki jejak eksistensi akan Sakura.
Hanya butuh sekitar dua bulan untuk menyadarkan dirinya sendiri akan realita. Ketika sebelumnya ia berpikir bahwa dirinya adalah dewa sekaligus musisi, kini ia sepenuhnya menyadari bahwa ia adalah seorang pasien penyakit jiwa. Karena itulah ia menghabiskan beberapa tahun terakhir dengan sedikit terisolir dari dunia luar.
Dan ia juga menyadari kalau sangat sulit bagi mereka berdua untuk kembali bertemu. Sakura tak memiliki alasan untuk kembali dan ia juga tak yakin kapan ia akan meninggalkan institusi mental ini.
Barangkali ia akan berada di rumah sakit hingga lima tahun lagi, atau bahkan sepanjang hidupnya. Dan eksistensi dirinya hanyalah sebuah kenangan yang mungkin akan terlupakan bagi Sakura.
Sakura tersenyum ketika melihat pantulan dirinya sendiri di kamera depan, sedangkan Sasuke memegang kamera dengan memperlihatkan raut wajah datar. Lelaki itu tak terbiasa berfoto dan tak tahu harus berekspresi bagaimana. Bahkan sebetulnya ia merasa canggung melihat wajahnya sendiri dan muncul sedikit perasaan tak nyaman.
Sasuke membenci dirinya sendiri dan ia bahkan tidak senang melihat pantulan dirinya sendiri. Dirinya adalah sebuah kesalahan, begitulah yang dipikirnya. Karena itulah ia tanpa sadar terlihat tidak nyaman.
"Kau kenapa? Tidak nyaman berfoto denganku? Tidak usah memaksakan dirimu, Sasuke."
Sasuke sedikit terkejut akan pertanyaan Sakura. Tampaknya ketidaknyamanan terlihat jelas di wajahnya.
Ia memaksakan diri untuk mengangkat sedikit sudut bibirnya, memperlihatkan senyum yang seolah terlihat natural demi memperlihatkan kebahagiaan seandainya gadis itu melihat fotonya suatu saat nanti.
Sakura ikut tersenyum lebar dan sedikit mendekatkan wajahnya, sedangkan Sasuke menekan tombol mengambil foto. Setelahnya ia meminta lelaki itu mengambil foto lagi dan kini berganti gaya, sedangkan Sasuke masih mempertahankan ekspresinya.
Sakura menatap hasil fotonya dan tersenyum tipis, merasa puas dengan hasilnya. Sasuke tetap terlihat menawan saat di foto jika dibandingkan dengan yang sesungguhnya, juga terlihat seolah baik-baik saja.
"Fotonya bagus," ucap Sakura seraya tersenyum.
Dan Sakura menyadari jika ia begitu dekat dengan Sasuke hingga ia merasa ingin merengkuhnya. Namun ia tak memiliki alasan untuk melakukannya sehingga ia memilih mengenyahkan pemikiran tak realistisnya.
"Kau juga terlihat bagus di foto."
Jiwa wanita Sakura melonjak kegirangan. Bagaimanapun juga, ia merasa senang mendapat pujian dan itu adalah hal yang normal.
Sasuke sendiri terkejut dengan apa yang ia katakan dan menyesal sesudahnya. Ia pasti terkesan seolah sedang menggoda wanita itu, benar-benar tak tahu diri. Namun sejujurnya ia merasa Sakura memang terlihat cantik di foto.
"Kau juga," balas Sakura dengan sedikit gugup.
Sasuke terdiam, tak tahu harus bereaksi bagaimana. Hormon endorfin dalam tubuhnya meningkat sesudahnya, membuat suasana hatinya membaik.
.
.
Sakura kembali ke kamarnya seraya menikmati sebatang coklat yang diberikan Sasuke untuknya.
Hari ini ibu lelaki itu datang berkunjung dan membawakan berbagai cemilan untuknya, termasuk coklat dengan kadar sembilan puluh sembilan persen yang sanggup membuatnya meringis, tetapi begitu dinikmati Sasuke.
Menurut Sasuke, rasa coklat itu enak sehingga lelaki itu memutuskan memberikan sebatang untuknya. Namun Sakura merasa heran karena memakan coklat itu terasa bagaikan penyiksaan baginya.
Rasa pahit yang tertinggal di lidahnya membuatnya tak sanggup berpikir dengan benar, tetapi ia masih tetap memakan coklat itu tanpa berniat membuangnya sama sekali.
Dan kini ia mulai mempertanyakan dirinya sendiri dalam pengandaian dengan mengesampingkan rasionalitas. Seandainya ia jatuh cinta pada Sasuke, apa yang dilihatnya dari lelaki itu?
Wajah Sasuke memang menarik dan tubuhnya juga indah, bahkan beberapa perawat serta dokter pun mengakuinya. Salah satu perawat centil mengaku pernah menyentuh sekujur tubuh Sasuke dan ia menikmatinya, begitu yang ia akui dalam suatu konversasi sebelum rekannya menatap dengan tajam dan ia segera terdiam.
Namun ketampanan dan keindahan tubuh bukanlah sesuatu yang abadi. Dalam beberapa tahun seseorang akan menua dan wajahnya tak lagi semenarik dulu. Keindahan tubuh juga dapat menghilang jika terjadi perubahan pola makan maupun aspek lainnya.
Soal kekayaan, Sakura tak tahu seberapa besar kekayaan yang dimiliki keluarga lelaki itu. Namun kekayaan itu jelas bukan milik Sasuke dan kekayaan tidak sepenuhnya menjamin kebahagiaan seseorang.
Di dunia ini, banyak perempuan yang tidak bahagia meski menikahi lelaki kaya karena lelaki itu brengsek. Dan Sakura tak berniat menjadi salah satu dari sekumpulan wanita semacam itu.
Kepintaran, ya dia memang mengagumi kepintaran Sasuke. Ketika lelaki itu dalam kondisi baik, lelaki itu bahkan dapat diajak berdiskusi mengenai banyak hal meski lelaki itu tak pernah meninggalkan rumah sakit selama bertahun-tahun terkecuali saat wisata singkat beberapa waktu yang lalu.
Dari segala aspek, ia menyadari jika ia menyukai kepribadian lelaki itu. Kepribadian adalah sesuatu yang melekat pada diri seseorang dan tak mudah untuk diubah. Meski seseorang bisa mengubah sifat baik menjadi buruk, hati terkecil seseorang akan tetap berada pada hakikatnya. Akan ada rasa tak tega dan perasaan tak bahagia ketika seseorang memaksakan diri untuk mengabaikan hati nuraninya.
Menemukan seseorang dengan kepribadian yang sesuai dengan kriteria bukanlah hal yang mudah mengingat setiap orang adalah pribadi yang unik dengan kepribadian yang berbeda-beda. Bahkan saudara kembar pun tidak akan memiliki kepribadian yang sama.
Sakura menyadari jika ia mendapatkan kenyamanan dari Sasuke. Ia menyukai kedewasaan dan rasionalitas lelaki itu yang seolah menopang serta membimbingnya selama beberapa bulan terakhir.
Bersama Sasuke membuatnya dapat melihat lebih jelas akan sebuah fakta dalam kehidupan. Setiap orang, terlepas bagaimanapun kondisinya, dapat menjadi guru bagi orang lain secara seksama. Ketika menyaksikan para pasien rumah sakit jiwa, ia belajar bahwa seseorang dapat terluka akibat tindakan seseorang dan menyembuhkan luka dalam hati bukanlah perkara yang mudah sehingga seseorang harus memperlakukan sesama dengan baik.
Ketika bertemu dengan para pegawai yang melakukan pekerjaan kasar, ia belajar bahwa mereka semua bekerja keras dan melalui hal-hal yang sulit. Karena itu ia harus menghormati mereka dan berusaha untuk sedikit meringankan beban mereka, misalnya dengan menjaga kebersihan atau sekedar memberikan senyuman saat berpapasan.
Ketika bersama Sasuke, ia menyadari jika lelaki itu tidak selalu berada dalam kondisi terbaik. Terkadang kondisi lelaki itu bisa sangat buruk, atau setidaknya tak bisa diajak berkomunikasi dengan lancar akibat psikosis (gangguan berupa keyakinan yang salah atas diri sendiri) yang kambuh.
Dan ia menyadari jika seseorang yang tampak sempurna sejatinya memiliki kekurangan. Dan jika ia berusaha menerima kekurangan seseorang, maka di saat yang sama ia juga bisa mendapatkan kebaikan seseorang. Ketika ia berusaha merengkuh Sasuke dalam kondisi terburuknya, lelaki itu memberikan kenyamanan dan berbagai pelajaran ketika berada dalam kondisi terbaiknya.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Sakura benar-benar berkeinginan melakukan yang terbaik dengan menerapkan ilmunya pada seseorang. Ketika sebelumnya ia berpikir ingin menjadi psikolog hanya untuk sekedar menganalisis seseorang, kini ia berniat untuk membantu seseorang. Dan orang itu adalah Sasuke.
Kini, Sakura juga berada dalam proses pembelajaran lainnya. Perlahan, seiring waktu yang terus bergulir, ia belajar untuk melepaskan zona nyaman dan merelakan seseorang. Ia perlu belajar merelakan kenyamanan yang telah ia rasakan bersama Sasuke, melalui setiap malam yang dihabiskan bersama.
Dan mungkin ia juga perlu belajar mengenai cara mempertahankan eksistensi seseorang yang berarti di dalam benaknya dan mendoakan kebahagiaan seseorang dengan tulus, meski mereka bisa saja tak akan bersua lagi.
-TBC-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro