2. Perkenalan
Rasa penasaran yang dimiliki Sakura semakin menguat setiap kali tatapannya tanpa sengaja bertemu dengan sosok lelaki itu.
Ia pikir, lelaki itu adalah sosok yang normal dan bahkan cukup ceria. Ia beberapa kali memandangi lelaki itu dan mendapatinya sedang tersenyum saat berbincang pada petugas ataupun sesama penghuni rumah sakit jiwa lainnya. Aura lelaki itu juga berbeda dengan penghuni rumah sakit jiwa lainnya. Sakura merasa jika dia adalah sosok yang tenang dan tidak mengerikan dibanding apa yang dibayangkan Sakura mengenai sosok pasien rumah sakit jiwa.
Sakura berharap jika ia memiliki kesempatan untuk berbincang dengan lelaki itu hari ini. Sayangnya ia sama sekali tak mendapat kesempatan karena ia harus bertemu dengan berbagai pihak serta mengamati para petugas yang membimbing para pasien melakukan kegiatan bersama.
Dan malam ini Sakura memutuskan untuk pulang pada pukul setengah sepuluh, setengah jam sesudah seluruh pasien masuk ke dalam bangsal masing-masing dan pintu terkunci. Ia benar-benar lelah setelah evaluasi dan bahkan hampir tidak bisa membuka matanya.
Sebetulnya pemilik rumah sakit jiwa telah menyarankannya untuk menginap di kamar kosong untuk staf karena Sakura terlihat sangat lelah, tetapi Sakura menolak dengan tegas. Ia tidak berniat untuk tidur di tempat kerjanya, apalagi jika tempat itu adalah sebuah rumah sakit jiwa.
Sakura memutuskan untuk berjalan ke taman dan menyandarkan tubuh ke kursi yang kini telah kosong. Taman itu sepi tanpa seorangpun di sana, namun terasa nyaman bagi Sakura. Setidaknya lebih baik menikmati suasana sepi ketimbang mendengar jeritan mengerikan seperti yang didengarnya siang tadi.
Tangan Sakura meraih kopi hitam kalengan yang diberikan salah seorang dokter dan ia segera membukanya. Ia mengangkat kaleng itu dan berniat meminumnya, tetapi segera berhenti ketika mendengar suara langkah.
Sakura menoleh ke belakang dan mendapati sosok lelaki berambut hitam mencuat dengan tatapan tajam itu sedang berjalan ke taman. Lelaki itu terkejut untuk sesaat ketika melihat sosok seseorang di taman, begitupun dengan Sakura.
"Kau yang baru magang disini?" tanya lelaki itu dengan santai, seolah tak peduli dengan keterkejutan yang masih nampak di wajah sang lawan bicara.
Sakura menganggukan kepala, "Eh? Kau tahu?"
Lelaki itu tertawa pelan dan menatap Sakura, "Kau sendiri yang memperkenalkan diri siang tadi."
Sakura meringis. Ia berpikir kalau lelaki itu mungkin saja tidak mengingatnya. Lagipula bukankah ada beberapa pasien rumah sakit jiwa yang memiliki halusinasi? Bisa saja lelaki itu mengira ucapannya adalah halusinasi sehingga memutuskan untuk tidak mengingatnya, 'kan?
Lelaki itu segera mengulurkan tangan dan berkata, "Sasuke. Senang bertemu denganmu."
Sakura terlihat ragu untuk sesaat dan menatap tangan yang terulur padanya. Kemudian ia memutuskan untuk bersalaman dengan lelaki itu. Ia menyadari kalau tangan Sasuke cukup hangat, berbeda dengan kesannya yang terlihat dingin entah kenapa.
"Namamu Sasuke saja?"
Sasuke, si lelaki itu, terdiam untuk sesaat. Matanya seolah menerawang dan bibirnya terbuka sedikit, tetapi tak ada satupun kata yang keluar.
Sakura merutuki kebodohannya sendiri. Bagaimana bisa ia bertanya seperti itu pada pasien rumah sakit jiwa? Padahal bertanya begitu pada orang normal saja terkesan tidak sopan. Ia takut kalau pertanyaan itu akan menimbulkan kenangan yang tidak menyenangkan dan bisa saja lelaki itu akan mengamuk.
"Ck... dasar bodoh. Memangnya kalau kau berada di posisiku, kau akan memberitahu nama keluargamu pada orang lain?" jawab Sasuke seraya berdecak.
Sakura merasa dirinya begitu menyedihkan sekarang. Sudah mendapat magang di tempat yang tidak pernah ia harapkan sebelumnya, menemukan hal yang mengerikan, dikatai 'bodoh' oleh pasien rumah sakit jiwa, pula.
Bagi orang waras seperti Sakura, ia mengerti kalau beberapa orang menganggap anggota keluarga mereka yang dirawat di rumah sakit jiwa adalah aib. Semakin dekat hubungan keluarga, semakin besar dampak akan rasa malu yang dirasakan. Tetapi Sakura merasa aneh karena seorang pasien rumah sakit jiwa pun menyadari hal itu.
"Tunggu, kau ini juga pasien di rumah sakit ini? Kenapa kau berada disini? Seharusnya kau beristirahat bersama teman-temanmu."
Lelaki itu menyeringai jahil, "Petugas lupa mengunci kamarku. Jadi aku memutuskan untuk berjalan-jalan keluar."
Otak Sakura terasa kosong seketika. Padahal ia sudah membaca begitu banyak buku dan artikel untuk membantunya menghadapi orang dengan berbagai jenis gangguan jiwa. Ia bahkan sudah menghafal teorinya, tetapi kini semua teori yang ia pelajari hilang begitu saja.
Tubuh Sakura seolah membeku seketika. Bulu kuduknya meremang dan ia menatap jarak antara tubuhnya dan Sasuke yang hanya berjarak sekitar satu meter. Tubuh lelaki itu juga tinggi dan tampaknya cukup kuat, kalau sampai lelaki itu tiba-tiba mengamuk, maka Sakura akan sangat kesulitan. Apalagi pasien gangguan jiwa yang telah mengamuk memiliki tenaga yang lebih ketimbang manusia waras, ia sudah mendengar sendiri dari Shizune.
Sasuke menyadari kalau Sakura terlihat tegang seketika. Gadis itu tampak ketakutan sehingga ia memutuskan untuk menjahilinya sedikit.
"Eh, bagaimana kalau kau tidur sekarang dan berjalan-jalan di taman besok pagi? Cuaca di malam hari bisa membuatmu flu. Lagipula cukup tidur bisa membuatmu menjadi semakin tampan."
Sakura bahkan sudah tidak peduli dengan apa yang ia ucapkan. Ia hanya berusaha mempraktikan teori yang dipelajarinya, yakni untuk tidak berbohong dan memperlakukan mereka dengan sopan layaknya manusia normal lainnya.
Sakura begitu ketakutan sebetulnya. Ini pertama kalinya berada begitu dekat dengan pasien rumah sakit jiwa tanpa keberadaan dokter atau siapapun.
Sasuke hanya tersenyum tipis untuk sesaat ketika mendengar ucapan Sakura. Ia sudah sering mendengar pujian mengenai wajahnya sejak dulu, dan ia selalu menanggapinya dengan senyuman tipis meski merasa risih hanya karena ia harus menjaga kesopanan pada orang lain.
Senyuman di wajah Sasuke menghilang dan ia mendengus, "Tidak profesional. Kalau kau sudah lulus nanti, kau akan memuji wajah pasienmu, hn?"
Demi Tuhan! Rasanya Sakura ingin menghilang saja kalau bisa. Ucapannya memang tidak salah, sih. Tidur cukup bagus untuk kulit dan akan membuat orang terlihat lebih cantik atau tampan, tetapi ia malah terkesan sedang menggoda pasiennya.
Kalau saja Sakura bisa pindah ke rumah sakit jiwa lain, ia pasti akan melakukannya demi menjaga harga dirinya yang sudah terlanjur dihancurkan Sasuke. Tetapi ia tak bisa berkutik ketika dosennya yang telah memilihkan tempat untuknya.
Sakura mengangkat kaleng berisi kopi dan menghabiskan isinya dalam sekali teguk. Rasa pahit mendominasi indra pengecap Sakura hingga mulutnya pun terasa pahit.
"Ini sudah malam. Kau menginap disini?"
Sakura mengeluarkan ponsel dan terkejut karena ia sudah menghabiskan lebih dari lima belas menit, "Tidak. Aku harus pulang sebentar sekarang. Aku cuma duduk untuk minum kopi sebentar karena aku sangat mengantuk."
"Hati-hati."
Sakura mengangguk. Ia segera bangkit berdiri dan berkata, "Terima kasih. Kau juga cepat kembali ke kamar, ya."
"Hn."
Sakura melangkah meninggalkan Sasuke yang masih duduk di bangku taman dan segera membuang kaleng kopinya ke tempat sampah terdekat.
Sepanjang konversasi mereka, Sakura sama sekali tak menemukan ada hal yang janggal dengan Sasuke. Apa yang salah dengan lelaki yang sepertinya masih berumur dua puluhan dengan sikap yang agak jahil dan blak-blakan serta wajah yang memesona itu?
Entah kenapa Sakura malah semakin penasaran dengan lelaki itu. Ia ingin bertanya lebih banyak pada Shizune besok.
.
.
Sakura tiba di rumah sakit jiwa dengan wajah yang terlihat segar meski ia baru sampai di rumah pukul sebelas lewat lima belas menit semalam.
Lelaki bernama Sasuke itu membuat Sakura sangat penasaran. Bukan berarti ia tertarik pada lelaki itu, hanya saja ia merasa lelaki itu adalah sosok yang tak pernah ia bayangkan akan ia temui di rumah sakit jiwa.
Tuhan seolah merestui keinginan Sakura untuk bertanya pada Shizune ketika ia mendapati wanita itu melambaikan tangan padanya dan tersenyum.
"Wah! Kau datang pagi sekali," ujar Shizune sambil tersenyum.
"Tidak juga, sih. Aku takut telat, jadi aku memutuskan datang lebih awal."
Shizune membuka tasnya dan merogoh sesuatu serta mengeluarkan sebuah roti. Ia memberikannya pada Sakura, "Nih untukmu. Kebetulan aku dapat gratis setelah membeli roti di bakery dekat stasiun."
Sakura menatap roti yang diberikan Shizune dengan ragu. Padahal mereka baru kenal kemarin. Ia merasa tidak enak menerima roti begitu saja.
"Buatku nih? Tidak apa-apa?"
"Sudahlah cepat ambil."
Sakura mengambil roti itu dan berterima kasih sesudahnya. Sekarang bahkan masih kurang empat puluh menit dari jadwal kerja mereka yang seharusnya sehingga mereka masih bisa bersantai sekarang.
Shizune mengajak Sakura pergi ke dalam sebuah ruangan yang merupakan tempat istirahat karyawan. Disana tak ada siapapun selain mereka berdua.
Sakura menatap ruangan dengan meja dan kursi besi yang tidak terlalu luas. Terdapat mesin pembuat kopi dan toples berupa gula. Lalu ada sebuah dispenser dan lemari berisi piring dan gelas.
"Gimana? Kau sudah menemukan pemandangan yang kumaksud, 'kan?" ucap Shizune ketika kembali ke tempat duduk dengan secangkir teh hangat di tangannya.
"Pemandangan? Maksudmu taman di rumah sakit?"
Shizune tertawa, "Oh, ayolah. Padahal kau terlihat jelas berkali-kali menatapnya kemarin."
Wajah Sakura sedikit memerah karena malu. Setelah dipermalukan oleh lelaki itu kemarin, sekarang ia dipermalukan karena lelaki itu.
"Maksudmu Sasuke?"
Shizune tertawa, "Tentu saja. Harus kuakui wajahnya memang tampan, kok. Bahkan dia memiliki fans disini."
Sakura meringis mendengarnya. Memangnya lelaki itu artis sampai bisa memiliki fans? Ia sendiri menatap lelaki itu karena penasaran.
"Dia benar-benar pasien disini?"
Shizune mengangguk, "Sayangnya iya. Kalau tidak sih sudah kujadikan pacar sejak dulu."
"Dasar gila," ucap Sakura sambil meringis. Seketika ia tersadar kalau ucapannya mirip dengan ucapan lelaki itu padanya kemarin dan ia meringis semakin keras.
"Serius? Dia terlihat baik-baik saja, tuh."
Shizune tersenyum, "Itu karena kau baru bertemu dengannya satu hari. Lagipula kau bertemu dengannya sekarang, bukan ketika pertama kali dia dibawa ke rumah sakit ini."
Sakura begitu penasaran dan ia menatap Shizune lekat-lekat. Sebetulnya apa yang akan ia katakan mungkin saja tidak etis. Tetapi ia terlalu penasaran dan tak ingin melewatkan kesempatan untuk mendapat jawaban.
"Bagaimana keadaannya saat itu?"
Shizune menghirup tehnya dan terdiam sesaat sebelum berkata, "Aku tidak enak membahasnya. Setelah kau berada di sini dan semakin mengenalnya, kau pasti menyadarinya, kok."
Sakura memutuskan untuk tak memaksa Shizune bercerita padanya. Ia menghormati keputusan wanita itu dan berharap agar ia memiliki kesempatan untuk menyadarinya sebelum masa magangnya berakhir.
"Yang pasti, dia itu paket komplit sebenarnya."
Ucapan Shizune mengingatkan Sakura akan makanan. Ia mengernyitkan dahi dan bertanya, "Paket komplit? Maksudnya?"
Shizune tertawa, "Yah, dimana kau bisa menemukan lelaki tampan dengan otak pintar, jago masak, bersih-bersih, main musik dan-"
Shizune hampir mengatakan sesuatu, tetapi ia segera memutus ucapannya sendiri, "-ya pokoknya begitu, lah."
Sakura meringis seketika. Entah kenapa ia malah merasa perempuan itu seolah sedang mempromosikan Sasuke padanya.
Tatapan Sakura tanpa sengaja tertuju pada bagian pergelangan tangan Shizune yang terlihat ketika ia meletakkan tangan di meja. Terdapat garis di bagian nadi di pergelangan tangan Shizune, mengingatkannya akan tangan Sasuke yang kemarin diulurkan padanya. Hanya saja, bekas sayatan di tangan Shizune terlihat kecil dan samar, sedangkan bekas sayatan di tangan Sasuke cukup jelas. Selain itu ada bekas sayatan lainnya yang terlihat jelas di sekitar area pergelangan tangan.
Shizune menyadari Sakura yang menatap pergelangan tangannya, ia segera berkata, "Jangan khawatir. Aku tanpa sengaja tergores pisau ketika sedang mengambil sendok sayur ketika memasak."
Sakura hanya terdiam. Ia sedang terlarut dalam pemikirannya mengenai tangan Sasuke yang kemarin dilihatnya. Ia masih tak tahu apa yang terjadi, tetapi ia berpikir jika mungkin saja lelaki itu sengaja menyayatnya sendiri.
-TBC-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro