Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19. Menuju Akhir

No feast last forever.

Sebuah judul autobiografi yang pernah dibaca gadis merah muda itu mewakili situasinya saat ini.

Ketika seseorang tengah menunggu, sepersekian detik terasa bagaikan satu abad. Dan ketika seseorang menikmati momen saat ini, waktu terasa begitu cepat bak roket berkecepatan cahaya.

Sesaat, gadis merah muda itu terlena hingga melupakan fakta bahwa kebersamaannya dengan lelaki yang belakangan ini mewarnai hari-harinya akan segera berakhir. 

Bahkan meski terkadang ia mengingatnya, ia memilih untuk menolak memikirkannya dan memilih menenggelamkan diri dalam fantasi semu mengenai kebersamaan abadi serta menikmati momen yang tersisa.

Fajar dan senja yang terus silih berganti menandakan hari demi hari yang terus berlalu dan mau tak mau gadis muda itu tersadar akan realita yang mati-matian dihindarinya. Dalam waktu kurang dari tiga minggu, ia kehilangan satu-satunya alasan untuk berada di tempat ini dan tak dapat lagi bertemu dengan lelaki yang belakangan ini mengisi benaknya.

Sepasang iris emerald  itu bergulir pada sebuah benda pipih di tangannya, mengecek tanggal hari ini. Dan sedikit kesedihan terpancar pada sorot matanya yang menatap layar ponsel.

Gadis itu telah menerima karma. Ketika sebelumnya ia meratapi kesialannya, kini ia mulai jatuh cinta dengan kesehariannya di tempat suram ini, juga mulai merasa tak rela berpisah dengan para pasien yang ditanganinya.

Jam makan siang baru saja berakhir dan ia bertugas mengawasi para pasien dengan gangguan jiwa sedang yang sedang dipandu untuk membuat kerajinan tangan. Tampaknya sang direktur berniat memberikan pelatihan pada para pasien dengan tujuan agar mereka memiliki keterampilan saat kembali ke masyarakat sehingga mengadakan kelas seperti ini.

Dan sesuai dugaannya, kali ini ia tak menemukan eksistensi lelaki bersurai hitam itu di kelas merajut. Di antara begitu banyak keahlian yang dimiliki lelaki itu, ia yakin kerajinan tangan bukanlah bidang yang dikuasainya.

Tatapan Sakura tertuju pada beberapa pasien wanita yang berada di dekatnya, memperhatikan agar mereka tidak melakukan sesuatu yang membahayakan dan mengikuti instruksi dengan baik.

"Sakura-san, sini," ucap seorang pasien wanita yan tiba-tiba menoleh serta mengangkat tangan untuk memanggilnya.

Tindakan wanita itu terkesan tidak sopan, namun Sakura membiarkannya. Ia tak bisa berharap banyak dan ia yakin para psikiater yang menanganinya akan mengajarkan mengenai tata krama yang seharusnya ketika wanita itu siap kembali ke masyarakat.

"Oh. Mei-san. Ada apa?"

"Belikan aku gaun pengantin, dong."

Sakura mengernyit secara refleks. Namun sesaat kemudian ia tersenyum tipis. Selama lebih dari dua bulan, ia sudah sering menemukan momen absurd semacam ini dalam berinteraksi dengan para pasien.

Bahkan Sasuke yang biasanya paling mumpuni untuk diajak berkomunikasi secara normal pun terkadang mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal, misalnya cerita mengenai asal-usul dirinya menjadi dewa maupun mengenai dirinya yang pernah melakukan konser di tempat-tempat yang tidak masuk akal, contohnya di planet berisi kurcaci.

"Gaun pengantin? Untuk apa?"

"Aku ingin menikah dengan Kakashi."

Sakura hampir tertawa dan meringis di saat yang sama. Mei adalah pasien berusia empat puluhan yang terobsesi dengan menikah setelah dikhianati oleh beberapa mantan kekasihnya.

"Bagaimana kalau kita merajut syal terlebih dulu?"

"Aku tidak mau. Maunya pakai gaun pengantin sekarang."

Sakura tersenyum. Ia tak ingin memicu emosi wanita itu dengan terang-terangan menyangkal halusinasi yang dimilikinya.

"Kalau kau menyelesaikan syalmu, kau bisa memberikannya pada orang yang kau inginkan, lho."

"Aku maunya memberikan pada Kakashi. Ah ... " wanita itu berambut pirang itu terdiam sesaat, "Atau Sasuke, ya? Aku suka pria muda."

Mei mengakhiri kalimatnya dengan kekehan genit dan Sakura mati-matian menahan diri untuk tidak meringis. Ia tak mengira jika pasien wanita pun bahkan bisa jatuh cinta pada lawan jenis. Beberapa dari mereka bahkan terang-terangan menunjukkan ketertarikan mereka pada Sasuke hingga bertengkar karena menganggap lelaki itu sebagai suami atau pacar mereka.

"Nah. Kalau begitu kau yakin mau memberikan syal yang belum jadi? Nanti bagaimana memakainya, dong?" ujar Sakura dengan maksud menggiring agar wanita itu mau mengikuti kegiatan.

"Kalau untuk Sasuke atau Kakashi warna apa yang bagus?"

Sakura terdiam sesaat. Sebelumnya wanita itu sudah mulai membuat syal dengan warna merah. Namun tampaknya wanita itu berniat memulainya dari awal dan hal itu akan memakan waktu lama.

"Warna biru atau hitam bagus. Tapi merah juga oke."

"Aku ganti warna biru tua," ucap Mei seraya berniat menarik syal yang telah dirajutnya sedikit serta berniat menghancurkannya.

"Jangan!" ucap Sakura secara refleks dan berniat menghentikkan wanita itu. 

Seketika wanita itu menatap Sakura dengan nanar dan menjauhkan syal serta jarum yang dipegangnya dari Sakura.

"Apa, sih? Kau mau merebut pacarku, ya?"

Sakura bertindak tanpa berpikir sama sekali. Entah kenapa ia merasa sayang jika syal yang telah dibuat susah payah dihancurkan begitu saja dengan ditarik secara kasar.

Mendadak Sakura merasa takut jika wanita itu akan menyerangnya. Sesaat otaknya terasa buntu hingga akhirnya ia berkata, "Maksudku, sayang sekali syal yang telah kau buat bagus begitu dirusak."

Sakura melanjutkan ucapannya ketika menyadari wanita itu masih menatapnya dengan risih, "Bagaimana kalau orang yang kau berikan syal ternyata suka warna merah?"

Mei terdiam dan melanjutkan kegiatan merajutnya seraya duduk dengan posisi memunggungi Sakura, entah apa alasannya.

Mendadak gadis itu tersadar bahwa selama ini ia sama sekali tak memikirkan hadiah yang ingin ia berikan pada Sasuke. Apa sebaiknya ia memberikan hadiah perpisahan bagi lelaki itu?

Ia ingin melakukannya. Namun merasa bimbang mengingat lelaki itu jelas-jelas mengatakan bahwa ia tidak mengenalnya. Bagaimana kalau lelaki itu menolak hadiahnya?

.

.

"Tidak kusangka waktu magangmu sudah mau habis. Padahal rasanya kau baru mulai magang," ujar Kurenai seraya mengaduk secangkir kopi hitam yang ia letakkan di atas mejanya di ruang staf.

Sakura memejamkan mata sejenak dan menghembuskan napas. Bisakah ia kembali ke masa lalu dan mengulang kebersamaannya yang akan berakhir sebentar lagi?

Gadis merah muda itu tak perlu mengutarakan pertanyaannya untuk mendapat jawaban. Hal itu jelas mustahil.

"Tinggal dua minggu lagi, kan?" timpal Kakashi yang baru saja berjalan ke mejanya setelah mengisi gelasnya dengan air di dispenser.

Dua minggu. Empat belas hari. 168 jam. Hanya itulah waktu yang tersisa baginya untuk bisa berada di tempat ini.

Dalam hati ia bertanya-tanya, seandainya ia tak lagi bersua dengan lelaki itu, akankah lelaki itu merasa sedikit kehilangan? Atau mungkin menjalani hari-harinya seperti biasa seolah dirinya tak pernah ada sejak awal?

Sesungguhnya ia lebih yakin pada opsi kedua. Sasuke bukanlah orang yang sangat emosional, setidaknya begitulah yang terlihat di permukaan. Lagipula ia tak yakin lelaki itu menganggapnya lebih dari sekadar mahasiswi yang kebetulan magang, tak kurang maupun lebih.

Sakura mendesah pelan. Sesungguhnya ia tak perlu membebani dirinya dengan pemikiran seperti ini. Apapun persepsi lelaki itu mengenaiya sama sekali bukan urusannya.

Meski lelaki itu tak akan mengingatnya sekalipun, ia akan tetap mengingat lelaki itu sebagai seseorang yang pernah berada di suatu masa dalam hidupnya. Ia akan mengingat lelaki itu sebagai mentornya.

"Iya."

"Hey! Kita harus mengadakan perpisahan untukmu. Beberapa pasien kan juga sudah terbiasa denganmu," ujar Gai, psikiater eksentrik yang terlihat enerjik itu.

Sakura tak berani menjawab. Ia hanya seorang mahasiswi magang, apakah harus repot-repot mengadakan perpisahan untuknya?

Ia baru saja akan menolak dengan meminta mereka untuk tidak repot-repot, tetapi Kurenai langsung menanggapi dengan antusias, "Benar. Kau belum pernah mencoba masakan Sasuke-san, kan? Kau harus mencobanya nanti."

Sakura tak mengira kalau lelaki itu juga bisa memasak. Namun apakah rasa masakan lelaki itu setidaknya layak untuk dikonsumsi dengan tingkat higienitas memadai? Ia merasa ragu mengonsumsi makanan yang dibuat oleh pasien rumah sakit jiwa.

"Ah? Dia memasak?"

Kurenai menyadari keraguan yang terlihat jelas di wajah Sakura dan tertawa pelan, "Haha ... aku tidak heran kalau kau kaget, sih. Dia pernah memasak ketika salah satu juru masak sedang cuti."

"Masakannya mengingatkanku akan masakan ibuku," psikiater eksentrik itu menimpali dengan nada antusias.

Ucapan Kurenai dan psikiater itu membuat Sakur merasa tertarik. Bagaimanapun juga, ia harus mencoba masakan lelaki itu di saat terakhir. Jika ia tak mencobanya sekarang, maka tak akan ada lagi kesempatan.

"Wah. Aku benar-benar tak menduga lelaki sepertinya juga memasak," ucap Sakura dengan kekaguman yang tersirat melalui intonasi suaranya.

"Makanya kau harus mencobanya."

Rasa penasaran membuatnya berharap dua minggu akan segera berlalu sehingga ia bisa menikmati masakan lelaki itu. Tetapi ketika ia tersadar bahwa menikmati masakan lelaki itu menandakan hari terakhirnya magang membuatnya merasa sedih seketika.

.

.

"Kau berbakat."

Sebuah pujian yang tak biasanya diutarakan pada seseorang berhasil meluncur dari bibir Sasuke tepat sesudah ia mengakhiri sesi pelajaran pianonya malam ini.

Sakura terhenyak sesaat. Untuk pertama kalinya ia mendengar lelaki itu memuji seseorang setelah biasanya memanggil dirinya dengan sebutan 'bodoh' atau 'idiot'. Ia pikir ia pasti salah dengar.

"Eh? Kau bilang apa?"

"Besok kita belajar lagu yang ini," ujar Sasuke seraya mengarahkan jari telunjuknya yang panjang dan lentik pada salah satu sheet musik.

"Rasanya tadi kau tidak bilang begitu, deh."

Sasuke sengaja tak menghiraukan gadis itu dan berkata, "Kau sudah bisa membaca semua not balok, hn? Kau bisa mempelajari lagu di buku-buku lain dengan melihat tutorial di internet nanti."

Lagi-lagi seseorang mengucapkan sesuatu yang mengingatkannya akan perpisahan dan ia kembali merasa sedih.

"Oh, iya. Masih ada dua minggu lagi, kan?"

"Hn."

Sasuke segera menutup pianonya dengan gerakan yang elegan tanpa menatap Sakura yang duduk di sampingnya. Belakangan ini lelaki itu jarang memainkan piano dan lebih berfokus mengajari Sakura.

"Kalau boleh, aku ingin mendengarkan permainan pianomu sekali lagi," ucap Sakura tiba-tiba.

"Sekarang?"

Sesungguhnya ia lebih mengharapkan sebuah konversasi. Namun ia tak keberatan jika lelaki itu ingin melakukannya.

"Terserah. Kalau tidak sekarang juga tidak apa-apa."

"Ada lagu yang ingin kau dengar?"

"Claire de Lune. Kau bisa memainkannya?"

Pertanyaan Sakura terdengar bodoh. Ia tak pernah mempelajarinya, namun sepertinya lagu itu tidak begitu sulit mengingat tempo nya juga tidak terlalu cepat pada sepertiga lagu pertama. Setidaknya lagu itu mungkin lebih mudah ketimbang Flight of Bumblebee.

"Aku tidak ingat seluruh lagunya. Kalau kau memperlihatkan sheet-nya padaku, aku bisa memainkannya."

Sakura bisa saja memperlihatkan sheet di internet yang diakses menggunakan ponsel pada Sasuke. Namun ia tak ingin merepotkan lelaki itu sehingga berkata, "Kalau begitu lagu apapun yang kau bisa, deh."

Sasuke tak menyahut dan segera membuka penutup tuts pianonya kembali. Lelaki itu menarik napas dan menghembuskan perlahan sebelum meletakkan seluruh jemarinya di atas tuts.

Sakura begitu terkejut ketika seluruh jemari Sasuke mulai menari di atas tuts dengan cepat bagai kerasukan setan. Tempo permainan lelaki itu begitu cepat hingga Sakura sedikit kesulitan mengamati pergerakan jari lelaki itu.

Sasuke seolah berniat menunjukkan kemampuan bermain pianonya dengan cara yang menjengkelkan menurut Sakura. Lelaki itu memainkan Flight of Bumblebee yang begitu rumit dengan tempo super cepat sejak awal lagu.

Sesaat bibir Sakura sedikit terbuka tanpa sadar, namun ia mulai menikmati permainan piano lelaki itu dan semakin mengaguminya.

Tentu saja tak semua orang bisa memainka lagu itu. Dan ia sendiri berpikir kalau ia tak akan pernah bisa menguasai lagu itu sekalipun ia tetap mempelajari piano sesudah magangnya berakhir.

Lagu berakhir sesudah beberapa menit dan atensi Sakura sepenuhnya tertuju pada Sasuke dan jemarinya yang bergerak super cepat, berusaha mengikuti pergerakan lelaki itu.

"Gila. Aku bahkan kesulitan memperhatikan jarimu. Bagaimana bisa kau menekan tuts-tuts itu dengan cepat?" ucap Sakura dengan penuh kekaguman.

Sasuke menyeringai. Ia sebetulnya tak berniat memamerkan kemampuannya, namun ia dengan sengaja memberikan sedikit kejutan pada gadis itu.

"Aku membakar buku pelajaranku dan mencampurkan dengan air lalu meminumnya."

Sakura meringis mendengar jawaban lelaki itu dan sedikit mengerucutkan bibirnya. 

Namun Sasuke kembali mengulurkan tangan dan menepuk kepala gadis itu dengan pelan, "Belajar sana. Nanti kau juga pasti bisa."

Sakura berpikir jika Sasuke hanya menghiburnya. Sekalipun ia belajar mati-matian, jika ia tak memiliki bakat maka tak akan bisa memainkan lagu dengan tingkat kerumitan seperti itu.

"Aku cuma belajar untuk hobi, kok. Setelah lulus nanti, aku ingin bekerja di kantor. Jadi aku akan sibuk," Sakura dengan sengaja menyangkal agar tak merasa sedih seandainya ia belajar dan tak menguasai lagu itu.

Sasuke merasa sedikit kecewa entah kenapa. Perasaannya sulit dijelaskan. Namun ketika ia sudah mengajari seseorang, maka ia berharap bisa mengajarinya hingga tuntas.

Ia memilih untuk tak menghiraukannya dan bangkit berdiri serta berjalan menuju pintu.

"Sudah malam. Aku ingin kembali ke kamar."

Sakura mengikuti lelaki itu meninggalkan ruangan musik dan menyusuri lorong. Malam ini pun ia kembali mengunci pintu kamar lelaki itu dan sesungguhnya ia masih merasa tidak nyaman melewati bangsal khusus meski sudah mulai terbiasa.

Kedua insan berlainan jenis itu tak saling berucap meski berjalan bersisian tanpa saling menatap satu sama lain.

Dan pada akhirnya Sasuke memutuskan memecah keheningan dan memulai konversasi.

"Dua minggu lagi akan diadakan perpisahan untukmu dan aku diminta memasak. Makanan apa yang kau inginkan?"

"Terserah kau saja."

Ketika mengatakan 'terserah', makna ucapannya sama dengan isi hatinya. Ia tak menginginkan sesuatu secara spesifik dan akan memakan apapun selama makanan itu layak untuk dikonsumsi.

"Bagaimana kalau kubuat semua hidangan berbahan dasar tomat?"

Sakura meringis. Lelaki itu benar-benar pecinta tomat sejati dan pasti akan sangat menikmatinya. Namun para pasien dan staf pasti akan tersiksa setengah mati menikmati hidangan yang seluruhnya menggunakan tomat.

"Kau pikir semua orang maniak tomat sepertimu, eh? Bisa-bisa para staf dan pasien mual-mual karena hidangan serba tomat buatanmu."

"Aku malah jadi ingin membuatnya," goda Sasuke.

"Terserah, sih. Jangan salahkan aku kalau sesudahnya para staf dan pasien memprotesmu beramai-ramai."

Sasuke masih memperlihatkan seringaian jahil di wajahnya, namun sesungguhnya lelaki itu tak lagi tersenyum. Konversasi mengenai perpisahan membuatnya tersadar jika ia semakin nyaman bersama wanita itu.

Seandainya ia telah berpisah dengan Sakura, akankah ia tetap baik-baik saja dan menjalani kehidupan seperti biasa? Barangkali keputusannya untuk sedikit lebih akrab pada wanita itu adalah sebuah kesalahan.

Pertemuan secara konstan melahirkan sebuah kenyamanan. Dan kenyamanan melahirkan sedikit rasa kemelekatan.

Sasuke menepuk bahu gadis itu dengan pelan. Belakangan ini ia lumayan sering menyentuh gadis itu secara refleks, entah apa yang ia pikirkan.

Sakura terkejut dan menoleh. Iris zamrudnya bersua dengan sepasang iris oniks yang menatapnya dan ia bertanya, "Apa?"

Sasuke terdiam sesaat. Otaknya terasa buntu dan tak mampu bekerja dengan baik ketika ia memikirkan sebuah alasan yang masuk akal. 

Dan pada akhirnya ia berkata, "Kita akan melewati bangsal khusus."

"Aku tidak takut lagi, kok."

Sasuke menatap telapak tangannya sendiri sebelum melepaskannya perlahan. Seharusnya ia merasa senang karena gadis itu memiliki keberanian, namun di saat yang sama ia merasa kecewa karena tak lagi memiliki alasan untuk menyentuh gadis itu.

'Lihatlah. Kau sudah tak lagi berguna.' terdengar suara sinis seorang wanita paruh baya.

Sasuke mengedarkan pandangan. Ia sadar bahwa hanya dirinya dan Sakura yang berada di lorong sehingga suara tersebut pastilah halusinasi.

Terkadang halusinasi berupa suara masih akan muncul meski Sasuke telah mengkonsumsi obat secara rutin belakangan ini. Biasanya halusinasi akan muncul ketika ia terlalu lelah atau merasakan emosi yang kuat.

'Gadis itu juga akan meninggalkanmu sebentar lagi. Kau memang tak seharusnya akrab dengan siapapun.'

'Hihi ... sampah sepertimu berbahaya.'

Sasuke menarik napas dan menghembuskan perlahan untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa perpisahannya dengan Sakura memang sudah seharusnya terjadi.

Sakura tersentak ketika ia mendengar suara dari salah satu bangsal. Ia merasa terkejut dan menyentuh lengan Sasuke hingga lelaki itu menoleh dan Sakura cepat-cepat menjauhkan tangannya.

"Maaf. Aku kaget."

Sasuke menyadari Sakura yang berusaha terlihat berani meski faktanya tidak. Dan sebuah dengkuran dari salah satu bangsal yang baru saja mereka lewati mampu membuat gadis itu melonjak kaget.

Lelaki itu berdecak dan menyentuh bahu gadis itu dan merangkulnya serta mendekatkan gadis itu pada tubuhnya sendiri.

"Itu dengkuran."

Sakura merasa malu ketika Sasuke memergokinya ketakutan seperti ini. Dalam dua minggu yang tersisa, ia ingin menunjukkan citra dirinya sebagai calon psikolog profesional, namun lagi-lagi lelaki itu melihatnya dalam kondisi yang memalukan.

"Aku tahu. Aku tidak takut, kok. Cuma kaget saja," ucap Sakura seraya menegakkan tubuhnya dan sedikit mempercepat langkah.

'Kau ini beban. Tidak berguna dan tidak dibutuhkan.'

Lagi-lagi terdengar suara pelan yang merupakan halusinasi dan Sasuke memilih mengabaikannya.

Sakura berhenti melangkah di depan bangsal Sasuke, tempat yang bahkan sudah ia hafal setelah melewatinya hampir setial hari.

Gadis itu membukakan pintu dan membiarkan Sasuke masuk serta melambaikan tamgan seraya mematri seulas senyum tipis.

"Sampai besok, ya."

"Sakura."

Sasuke terdiam setelahnya. Rasanya ia ingin mengatakan sesuatu namun tak menemukan kata yang tepat.

"Ya?"

"Hati-hati."

Itulah kata yang berhasil ditemukan Sasuke meski bukan hal itu yang ingin ia ungkapkan.

"Ah, terima kasih," ucap Sakura seraya  menutup pintu dan menguncinya.

Sesudahnya ia menyusuri lorong sepi dengan langkah perlahan dan kepala tertunduk serta rasa sesak yang menenuhi dadanya.

Ia terlanjur menikmati kenyamanan dari eksistensi lelaki itu.

----------------
Author's Note :
----------------
Sejujurnya ketika menulis fanfict ini, terutama ketika membuat karakter Sasuke yang digambarkan terlalu sempurna, aku pun berpikir 'Masa iya orang gangguan jiwa begini, sih?'. Rasanya terlalu realistis dan dewasa.

Namun aku teringat kalau karya ini terinspirasi akan sebuah jawaban di Quora dan akhirnya memutuskan membaca ulang.

Dan ternyata, karakter pasien gangguan jiwa yang ditemui sang penulis memang terlihat lebih dewasa dibanding pasien lain. Bahkan bisa mengajari main musik dan juga bisa memasak.

Bahkan beberapa scene di sini juga diambil dari jawaban orang itu meski tidak sama persis seluruhnya (Maaf. Mungkin tindakanku tidak etis).

Mengenai ending, aku pun masih dilema. Aku tidak berniat membuat ending yang menggantung kali ini, namun membuat happy ending terasa kurang realistis. Sedangkan sad ending rasanya terlalu sedih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro