18. Atensi
"Bagaimana kuliahmu?"
Sakura terkejut ketika mendapati pertanyaan itu di tempat magangnya. Dan yang lebih mengejutkan, pertanyaan pertama mengenai hal ini tidak ia dapatkan dari Kakashi ataupun staf lainnya, melainkan dari Sasuke.
"Eh? Kuliahku? Baik. Memangnya kenapa?"
Sakura begitu terkejut hingga dengan konyolnya malah mengutarakan pertanyaan, menjawabnya sendiri dan kembali melempar pertanyaan pada lelaki itu.
Sasuke sendiri juga terkejut dengan pertanyaan yang ia ajukan. Ini jelas bukan urusannya dan tak seharusnya ia tanyakan. Namun ia begitu penasaran hingga bertanya secara refleks.
Lelaki itu tak sempat menjawab ketika Sakura lagi-lagi mengajukan pertanyaan yang mendadak menyeruak di benaknya.
"Omong-omong kau pernah kuliah, kan? Kalau boleh tahu, kau dulu kuliah dimana? Dan jurusan apa?"
"Menurutmu?"
Sakura tak lagi terkejut dengan reaksi lelaki itu. Ia sudah terbiasa mendapati pertanyaan yang ia ajukan dibalas dengan pertanyaan sebagai cara untuk mengelak.
"Kau ... " Sakura mengambil jeda dan menatap lekat-lekat serta berpikir keras. Lelaki itu jelas tak terlihat seperti anak IT ataupun DKV. Jadi kedua jurusan itu jelas tidak mungkin.
"Apa, ya? Mungkin kedokteran? Tapi sepertinya juga tidak mungkin, deh," ucap Sakura seraya kembali melirik lelaki itu dengan ragu.
Sasuke terdiam dan membiarkan gadis merah muda itu bertanya-tanya. Ia bisa saja membuat gadis itu berhenti membahasnya dengan mengucapkan kalimat sinis seperti biasa, namun ia berniat sedikit mempermainkan gadis itu.
"Atau akuntansi? Tapi sepertinya tidak mungkin juga. Sepertinya kau bukan tipe orang yang suka mencatat dan menghitung-hitung dengan teliti."
"Aku mengambil jurusan akting. Untuk mempersiapkan diri menjadi aktor JAV yang sukses."
Sakura meringis. Lelaki itu benar-benar telah mempermainkannya dan terlihat begitu menikmatinya.
"Bohong. Mana ada jurusan yang mengajarkan seseorang menjadi aktor JAV, sih?"
Sasuke menyeringai, "Jurusan akting benar-benar ada. Kau tidak tahu, hn?"
Sakura tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Ia sedikit terbelalak dan berkata, "Aku tidak menyangka kau benar-benar pernah belajar akting di universitas dulu."
"Kau percaya?" goda Sasuke dengan sengaja untuk memancing reaksi penasaran gadis merah muda itu.
"Eh? Kau tidak serius? Jadi kau jurusan apa?"
Sasuke terdiam sesaat. Ia tak seharusnya memberikan lebih banyak informasi pribadi selain nama dirinya sendiri tanpa memberitahu nama keluarga. Entah apa yang merasukinya hingga ia berniat memberitahu hal ini pada gadis yang tak akan ditemuinya lagi dalam kurang dari satu bulan.
"Ekonomi bisnis."
Sakura tak mengira jika lelaki itu mengambil jurusan yang terdengar lumayan serius karena berbau bisnis. Namun ia tidak begitu terkejut mengingat lelaki itu pernah memberinya saran terkait fenomena di dunia kerja saat ini, dan saran itu juga sangat riil.
Jika lelaki itu mengambil jurusan ekonomi bisnis, ia mengira lelaki itu mungkin berencana untuk menjalankan bisnis atau setidaknya bekerja di perusahaan. Lantas mengapa lelaki itu malah berakhir di rumah sakit jiwa?
Ia merasa begitu penasaran, tetapi lelaki itu pasti tak akan menjawabnya sekalipun ia bertanya. Saat inipun ia sudah merasa heran karena lelaki itu mau mengungkapnya.
"Wah. Siapa tahu kau bisa mengaplikasikan ilmu yang kau miliki suatu saat nanti. Bisa saja wajahmu muncul di majalah bisnis atau di televisi, kan?" Sakura dengan sengaja berkata seperti itu untuk memancing Sasuke. Siapa tahu ia berhasil menyadarkan lelaki itu dan memberinya motivasi.
Namun harapan Sakura tak membuahkan hasil. Ia tak tahu jika hal itu bukanlah sebuah prestis, melainkan sesuatu yang biasa saja bagi Sasuke. Lelaki itu bisa muncul di televisi, majalah bisnis atau headline berita jika menginginkannya, seperti yang sudah dilakukan sang kakak.
"Kau tidak terkejut kalau menemukan foto mantan pasienmu di majalah?"
"Tidak. Kenapa harus terkejut?"
Lelaki itu tergugu. Untuk sesaat tubuhnya seolah membeku akibat rasa takut. Entah mengapa ia merasa takut mengungkapkan kekhawatiran yang selama ini ia pikirkan sendiri.
"Orang-orang mungkin tak menerima,"ucap Sasuke dengan suara pelan dan parau. Bahkan akhir kalimat lelaki itu hampir tak terdengar sama sekali meski sang dewi malam telah memakzulkan sang mentari berjam-jam yang lalu.
Sakura menyentuh kedua bahu Sasuke dan mencengkramnya serta sedikit mengguncangnya, membuat lelaki itu mau tak mau mengalihkan atensi padanya. Iris hitam kelam itu menatapnya dengan tatapan yang terlihat tidak nyaman.
"Memangnya kenapa? Tidak seorangpun bisa disukai oleh semua orang, kan? Aku ingin kau tahu kalau di dunia ini, setidaknya masih ada orang yang akan menerimamu tak peduli seperti apapun dirimu."
Sakura meneguk ludah sesaat sebelum melanjutkan perkataannya, "Aku bertemu dengan ibumu kemarin di kedai kopi dan dia berkata kalau dia berharap kalau kau dapat sembuh dan dia memintaku menyampaikannya padamu."
Sasuke hampir mendesah secara refleks. Bahkan dirinya masih mendapatkan ekspektasi ketika berada di rumah sakit jiwa. Sepertinya seluruh jiwa, raga dan hidupnya bukanlah miliknya sendiri, melainkan keluarganya. Ia bahkan tak bisa menjadi tuan atas dirinya sendiri.
Sepanjang hidupnya, lelaki itu hidup dengan berbagai ekspektasi untuk menjadi yang terbaik di bidang yang diinginkan orang tuanya. Ia bahkan tak begitu tertarik dengan ekonomi dan bisnis, namun ia diminta mengambil jurusan itu dengan harapan dapat membantu menjalankan kerajaan bisnis keluarganya.
Dan ketika ia tak bisa lagi menerima ekspektasi terkait kondisinya, sang ayah memutuskan 'membuang' eksistensinya, bagaikan sebuah mesin produksi yang telah berakhir masa manfaatnya.
"Tak hanya ibumu, aku dan para staf lain di sini juga mengharapkan hal yang sama. Bagiku, ketika kau berhasil kembali ke masyarakat dan melakukan apapun yang kau inginkan, aku akan merasa senang meskipun belum tentu akan kembali bertemu. Aku benar-benar mengharapkannya."
Sasuke merasa dirinya begitu egois ketika hatinya menjerit untuk menentang ucapan gadis itu. Seandainya ia bisa kembali ke masyarakat, sudut hati terdalamnya menginginkan pertemuan dengan gadis itu.
Ia berusaha menampik pemikiran egois tersebut, namun juga mengakuinya di saat yang sama. Ia meyakinkan dirinya untuk tak terlena dalam kenyamanan yang akan segera berakhir dan kembali mengingatkan dirinya bahwa ia bukanlah sebuah 'akhir', melainkan sebuah 'proses' dalam hidup gadis merah muda itu.
Tak peduli seberapa banyak keinginannya untuk menjalin sebuah relasi dengan seseorang, entah sekadar pertemanan jangka panjang atau bahkan lebih, ia menyadari bahwa ia tak layak untuk memilikinya. Sekalipun ia berhasil memilikinya, ia tak cukup stabil untuk mempertahankannya dan pada akhirnya menjadikan siapapun yang menjadi pihak kedua sebagai korban.
"Apapun yang terjadi padaku, itu bukan urusanmu. Kau tak perlu terlalu memikirkan hal ini, Sakura."
Kata-kata lelaki itu tidak salah sepenuhnya. Sesungguhnya apapun yang terjadi pada lelaki itu memang bukan urusannya. Dalam beberapa minggu, mereka tak akan bertemu lagi dan ia juga kembali ke kehidupan normalnya sebagai mahasiswi psikologi, bukan sebagai calon psikolog magang di rumah sakit jiwa.
"Mengharapkan sesuatu yang baik bagi orang lain bukan hal yang salah, kan? Kalau kau bisa mengharapkanku mengejar apapun impianku, aku juga boleh berharap kau akan hidup normal dan kembali ke masyarakat, bukan?"
"Aku tidak berharap begitu," sangkal Sasuke.
"Lalu mengapa kau menyarankanku untuk mengejar impianku?"
Sasuke terhenyak. Gadis itu cukup pintar untuk menyadari intensi dari ucapannya serta menyadari bahwa ia tulus dan serius ketika mengatakannya.
Perlahan ia mengangkat tangan dan mengusap helaian merah muda itu dengan lembut. Ia menatap netra hijau itu lekat-lekat, seolah berusaha mematri wajah gadis itu sebaik mungkin di benaknya sebelum perlahan memudar dan pada akhirnya menghilang.
"Seorang mahasiswi sepertimu memiliki jalan yang panjang, Idiot. Banyak hal yang bisa kau lakukan di luar sana. Jangan jadikan seseorang yang tidak kau kenal sebagai harapanmu."
Kata-kata Sasuke diucapkan Sasuke terdengar lembut, namun juga kasar di saat yang sama. Lelaki itu menyadarkannya akan realita tanpa tedeng aling-aling.
Sakura mengernyitkan dahi. Apakah interaksi selama dua bulan tak cukup untuk menganggap lelaki itu sebagai seseorang yang dikenalnya?
Bagi Sasuke, gadis merah muda itu bagaikan sebuah buku yang terbuka dan dapat dibaca dengan mudah. Ia menyadari keheranan gadis itu yang terlihat dengan jelas dan segera berkata, "Apa yang kau tahu mengenaiku hingga membuatmu berpikir kalau kau mengenalku?"
Sakura terhenyak seketika. Selama dua bulan, apa yang sudah diketahui mengenai lelaki itu? Ia hanya tahu nama lelaki itu, yang entah nama sungguhan atau bukan, fakta bahwa lelaki itu memiliki seorang ibu dan merupakan putra bungsu yang itupun diketahui dari ibunya, juga fakta bahwa lelaki itu pernah mengambil jurusan ekonomi bisnis berdasar pengakuannya, entah kapan dan dimana.
Dan sebuah fakta lain yang ia ketahui, lelaki itu juga bisa bermain piano. Hanya itu saja yang ia ketahui tentang Sasuke, tak lebih dan juga tak kurang.
Kini ia merasa bodoh karena berpikir bahwa ia mengenal lelaki itu meski faktanya tidak. Bagaimana mungkin ia berpikir bahwa ia mengenal seseorang ketika ia bahkan tak tahu apakah nama orang itu adalah nama asli.
"Nama depanmu? Lalu kau pernah kuliah di jurusan ekonomi bisnis dan memiliki ibu."
Tawa Sasuke hampir meledak ketika menyadari gadis itu begitu naif. Karena itulah ia merasa sedikit khawatir dan berniat menampar gadis itu kembali dengan realita.
"Bagaimana kalau aku berbohong? Lagipula kau bahkan bisa tahu mengenai nama lengkap, tanggal lahir dan makanan favorit tokoh idolamu tanpa harus benar-benar mengenalnya, hn?"
Lagi-lagi ucapan Sasuke menyadarkannya akan realita. Demi Tuhan, lelaki itu benar-benar ahli mempermalukan dirinya meski dilakukan dengan cara yang positif.
Sasuke merasa heran pada dirinya sendiri yang bahkan repot-repot meluangkan waktu untuk memberi nasihat pada gadis itu. Kekhawatiran membuatnya bertindak lebih dari yang seharusnya.
"Bagaimana denganmu? Apakah kau mengenalku?"
Sasuke tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Apakah ia mengenal gadis merah muda itu? Ia memang tahu nama lengkap gadis itu, jurusan dan nama universitas, juga beberapa fakta yang diceritakan gadis itu. Namun apakah ia benar-benar mengenalnya?
Ia mengendikkan bahu sebagai reaksi. Dan gadis itu jelas tak puas akan jawabannya, tetapi tak menuntut jawaban lebih.
Ia meletakkan kedua jarinya di kening gadis merah muda itu sesaat sebelum melepaskannya dan membuat gadis itu heran. Ia selalu mengingat gesture itu dan pernah begitu menikmatinya ketika seseorang melakukan itu padanya di masa lalu.
"Berhati-hatilah sedikit pada orang di sekitarmu dan jangan terlalu ceroboh. Berbahaya kalau kau terus bersikap begini, Bodoh."
Lagi-lagi Sasuke mengekspresikan kekhawatirannya pada gadis merah muda itu. Dan tatapannya juga gesture yang lembut telah mengekspresikan sedikit isi hatinya. Ia memiliki atensi pada gadis itu.
-TBC-
--------------------
Author's Note :
--------------------
Maaf kalau double update kali ini terkesan monoton dan plot juga bertele-tele.
Sejujurnya ingin berfokus pada perasaan kedua karakter utama di fanfict ini, namun sepertinya cara penceritaan yang digunakan kurang tepat.
Mengenai atensi yang dibahas pada chapter ini, belum tentu atensi yang dimaksud berbau romansa. Seseorang bisa saja memiliki atensi pada teman, orang tua, atau bahkan pada orang yang tidak dikenal yang tentunya bukan secara romansa.
Begitupun dengan perasaan sayang. Seseorang tidak harus jatuh cinta untuk saling menyayangi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro