15. Perjalanan
"Kau tidak apa-apa begini?" tanya Kurenai dengan heran seraya melirik Sasuke dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Hn."
Kurenai merasa heran karena Sasuke dengan sendirinya meminta agar ia dibiarkan mengikuti wisata dengan mengenakan restraint jacket. Padahal biasanya pasien gangguan jiwa akan mengamuk dan merasa tidak nyaman jika dipaksa mengenakannya. Dan para pasien yang diperbolehkan mengikuti wisata kali inipun tidak mengenakannya.
"Sayang sekali. Kau nanti tidak bisa duduk dengan nyaman di bis, lho."
"Tidak masalah."
Sebetulnya bukan tanpa alasan Sasuke meminta seperti itu. Ia berkata jika ia meminta seperti ini demi keamanan. Namun sebetulnya ia mengkhawatirkan gadis merah muda yang berisik dan penuh rasa ingin tahu itu.
Sasuke menyadari jika gadis merah muda itu akan pergi sebentar lagi. Diam-diam ia bahkan mengecek tanggal dan menghitung beberapa hari yang tersisa sebelum ia berpisah dengan gadis itu serta mempersiapkan dirinya sendiri.
Gadis merah muda itu bukanlah satu-satunya mahasiswa magang yang 'berteman' dengannya. Sesungguhnya kebanyakan mahasiswa magang yang datang pasti akan mendekatinya dan menjadikannya sebagai teman untuk konversasi. Namun Sakura lah satu-satunya orang yang bertahan meski sudah melihat kondisinya yang sesungguhnya.
Sasuke menyadari jika Sakura adalah seorang mahasiswi dengan penuh kekhawatiran mengenai masa depan, namun juga berusaha keras menjadi orang dewasa yang 'layak' di masa depan. Setelah dua, lima, atau sepuluh tahun, barangkali gadis itu juga akan melupakan eksistensi dirinya.
Namun setidaknya Sasuke tak ingin meninggalkan kenangan yang buruk bagi gadis itu. Meski gadis merah muda itu mungkin saja tak menganggapnya lebih dari sekadar pasien yang ditemuinya saat magang, setidaknya ia ingin membuat gadis itu merasa nyaman sekaligus membuat dirinya berguna. Karena itulah, ketika ia tahu bahwa Sakura menyukai piano, ia benar-benar serius untuk mengajarinya.
"Sasuke!"
Lelaki berambut jelaga itu menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Sekalipun ia memejamkan mata, ia tetap akan mengenali suara yang berbincang dengannya setiap malam.
"Hey! Kenapa kau berpenampilan begitu? Kau sudah minum obatmu tadi pagi, kan?"
"Hn."
Sakura baru menyadari keberadaan Kurenai dan menundukkan kepala pada seniornya dengan sopan, merasa tidak enak membiarkan wanita itu melihat sikapnya yang cenderung tidak sopan pada pasien.
"Aku juga menanyakan hal yang sama. Namun Sasuke-san memilih memakainya meskipun kalau tidak juga tidak apa-apa," ujar Kurenai pada Sakura.
"Nah! Kalau begitu tidak usah begitu. Kau kan tidak selalu bisa pergi keluar, jadi nikmati saja lah."
"Bagaimana kalau aku membahayakan orang lain?"
Sakura dan Kurenai saling bertukar pandang tanpa berucap sepatah kata pun, seolah mampu membaca pikiran satu sama lain.
"Sudah kubilang, aku ini perempuan kuat. Aku benar-benar bisa menggendongmu, lho. Bahkan membantingmu juga bisa kalau aku mau," ujar Sakura tanpa memedulikan Kurenai yang sedikit terkejut.
Sasuke tak mampu menahan diri untuk tidak menyeringai akan ucapan gadis itu. Baginya, Sakura adalah gadis unik yang dengan bangga memamerkan kekuatan tubuhnya di saat perempuan pada umumnya bangga akan kecantikan atau keseksian tubuh mereka.
"Kenapa? Kau tidak percaya?" Tantang Sakura ketika melihat seringaian Sasuke yang terkesan meremehkan menurutnya.
Sakura segera mengangkat tubuh Sasuke tanpa berkata apapun, membuat lelaki itu membelalakan mata dan memekik pelan secara refleks karena terkejut.
Dengan cepat, Sakura menurunkan tubuh Sasuke dan mengembalikan lelaki itu ke posisi semula, yakni ke posisi berdiri. Kurenai yang terkejut bahkan membelalakan mata lebar-lebar dan menganga.
"Lihat, aku serius, kan? Jadi lepaskan saja. Aku bisa mengatasimu."
"Katamu kau merasa sayang menjadi security. Bagaimana kalau menjadi atlet angkat besi, hn?" celetuk Sasuke dengan maksud menjahili gadis merah muda itu.
Sakura mendengus jengkel. Padahal sebagai perempuan ia ingin dipandang sebagai sosok yang lembut dan feminin. Namun Sasuke sama sekali tidak memandangnya begitu.
"Sakura-san benar. Jadi turuti saja dia, kalau tidak nanti kau dibanting, lho," goda Kurenai yang kini telah memahami situasi sepenuhnya.
Sasuke menurut dan membiarkan Kurenai melepaskan restraint jacket yang membuat tangannya tidak bisa bergerak bebas.
Ketika jaket itu sudah terlepas, Sasuke segera menghampiri Sakura dan menyentuh kepala gadis itu serta mengacak-acak rambut gadis itu, membuat Sakura menahan diri untuk tidak memelototi lelaki itu.
Kurenai menyadari jika relasi antara Sakura dan Sasuke terlihat tak seperti pasien dan psikolog. Mereka berdua lebih seperti seorang teman yang saling meledek satu sama lain, namun juga saling menghargai di saat yang sama.
"Duh, rambutku jadi kusut, nih," keluh Sakura seraya merapikan rambutnya dengan tangan. Ia pasti terlihat seperti pasien rumah sakit jiwa yang mengenakan pakaian petugas dengan rambut acak-acakan saat ini.
"Kau jadi terlihat mirip pasien di sini," celetuk Sasuke, membuat gadis merah muda itu semakin jengkel.
Tampaknya Sasuke menyadari ego yang dimiliki Sakura maupun manusia lainnya yang menganggap diri mereka waras. Ketika seseorang dikatakan terlihat mirip pasien rumah sakit jiwa yang dianggap gila, maka secara otomatis orang itu akan merasa harga dirinya turun setingkat lebih rendah.
Sakura merasa tidak nyaman karena Sasuke yang jelas-jelas merupakan pasien pun berpenampilan rapi. Setidaknya lelaki itu tidak berambut acak-acakan dan mandi secara rutin.
"Bisnya sudah datang," Sakura mengalihkan topik meski ia hampir membuka mulut untuk menyangkal. Setidaknya ia tak ingin melukai perasaan Sasuke.
Lelaki berpupil jelaga itu segera melangkahkan kaki setelah mengangkat tangan dengan maksud berpamitan pada Kurenai, sedangkan Sakura cepat-cepat berpamitan serta mengikuti lelaki itu.
Lelaki itu melangkahkan kakinya yang jenjang dan ramping dengan tempo cepat namun terkesan elegan, membuat Sakura terpaksa setengah berlari untuk mengejar lelaki itu.
Wisata kali ini dilakukan dengan bus kecil berkapasitas dua puluh empat penumpang dan dilakukan selama satu setengah jam. Bus akan berkeliling melewati lokasi-lokasi di sekitar rumah sakit jiwa maupun daerah perkantoran dengan gedung pencakar langit serta daerah wisata populer.
Para pasien lainnya terlihat begitu antusias dan beberapa bahkan bercakap-cakap satu sama lain, membuat Sakura tersenyum karena faktanya para pasien gangguan jiwa bertingkah layaknya manusia normal.
"Oh. Kau juga ikut Sasuke?" tanya salah seorang pasien pria yang dibalas dengan anggukan.
Ketika memasuki bus, Sakura menyadari jika beberapa pasien wanita seketika menatapnya dengan tajam dan sinis. Ia merasa heran, namun dengan cepat menyadari jika atensi mereka kemudian tertuju pada Sasuke.
"Aku boleh duduk bersama pacarku?" tanya seorang pasien wanita secara terang-terangan seraya menatap Sasuke.
Salah seorang dokter wanita yang duduk di sampingnya segera berkata, "Tapi kali ini Sasuke-san harus duduk bersama penjaganya."
Sakura merasa tidak nyaman dengan situasi seperti ini. Ini pertama kalinya ia berada di ruang tertutup dengan begitu banyak pasien dan beberapa dari mereka menganggapnya seolah merupakan ancaman.
Sakura yang berjalan di belakang Sasuke segera berhenti di samping deretan kursi wanita itu dan tersenyum tipis, "Hai, Karin-san."
Wanita bernama Karin itu terlihat jengkel pada Sakura. Namun Sakura tak peduli dan ia segera mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan fotonya berdua dengan salah seorang teman prianya yang kebetulan masih ia simpan, "Tenang saja. Aku ini sudah punya pacar di kampusku. Jadi aku tidak akan menggoda Sasuke-san. Ini pacarku."
Wanita bernama Karin itu menatap foto yang diperlihatkan Sakura sebelum menggulirkan pandangan pada gadis merah muda itu.
"Begitu?"
"Iya. Lagipula bulan depan aku juga tidak di sini lagi, kok. Jadi tenang saja."
Suara Sakura cukup keras hingga dapat terdengar oleh Sasuke yang sudah duduk di kursi yang berada di samping jendela. Lelaki itu menengadah sesaat dan tanpa sadar memperlihatkan ekspresi yang sulit dijelaskan sebelum cepat-cepat menghapus ekspresi dari wajahnya, memperlihatkan raut wajah dingin seperti biasa.
Sasuke tak berharap empat minggu segera berakhir. Lelaki itu tak berniat mengakui pada dirinya sendirinya, namun sesungguhnya ia menikmati setiap momen bersama gadis merah muda itu.
Sakura segera duduk di kursi kosong di samping Sasuke dan lelaki itu segera berkata, "Boleh kulihat foto pacarmu?"
Sakura meringis. Tentu saja ia tidak punya pacar saat ini. Lelaki itu hanyalah teman dekatnya. Namun ia sengaja membalas Sasuke, "Kau tidak ingat nasihat yang kau katakan padaku waktu itu?"
Sasuke segera menyahut, "Bukan. Aku hanya ingin memastikan kalau tubuh lelaki itu tidak lebam atau patah tulang. Bisa saja kau membantingnya, hn?"
Sakura merutuk dalam hati. Sungguh sial, lelaki itu lagi-lagi mempermainkannya. Ia berpikir jika mungkin saja Tuhan mempertemukannya dengan Sasuke hanya untuk membuatnya merasa jengkel setiap hari.
"Aku tidak berniat membanting lelaki manapun selain dirimu."
Sasuke berpura-pura menggeser tubuhnya dan merapatkan tubuh pada jendela, berusaha menghindari Sakura.
"Mengerikan."
Sakura berbisik dengan suara pelan seraya melirik Karin yang tak mendengarnya. Sebetulnya ia tak perlu menjelaskan hal ini, namun entah kenapa ia tak berniat membohongi Sasuke.
"Sebenarnya aku tidak punya pacar, tahu. Aku hanya berbohong sedikit."
Diam-diam, Sasuke merasa lega mendengar ucapan Sakura. Ia tak lagi memahami perasaannya sendiri dan meyakinkan dirinya jika ia merasakan hal seperti itu karena kondisi mentalnya.
Bus perlahan bergerak dan meninggalkan area parkir rumah sakit, membuat beberapa pasien memekik girang.
Sakura sendiri merasa geli dan menahan diri agar tidak tertawa. Padahal ia melewati jalanan di sekitar rumah sakit setiap hari dan merasa biasa saja, namun hal yang sama bisa membuat seseorang merasa senang. Barangkali mereka semua merasa jenuh dan merindukan suasana di luar.
Sasuke sama sekali tak berucap sepatah kata pun. Atensi lelaki itu sepenuhnya tertuju pada jalanan yang terlihat melalui jendela bus. Rasanya sudah begitu lama sejak kali terakhir melihat arus lalu lintas meski dulu ia menghadapinya setiap hari.
Iris emerald gadis berambut sewarna bunga sakura itu tertuju pada Sasuke sambil sesekali mengulirkan pandangan ke arah lain, mengamati para dokter dan perawat berinteraksi dengan pasien yang mereka dampingi.
Sakura merasa gugup dan tak tahu apa yang harus ia lakukan dalam kondisi seperti ini. Ada pasien yang bernyanyi riang layaknya seorang anak-anak ketika bus bergerak dan ada pula yang malah bercerita sesuatu.
Setidaknya Sasuke bukanlah pasien yang merepotkan. Namun lelaki itu hanya terdiam dan mengabaikan eksistensi Sakura yang duduk di sampingnya.
"Kau rindu suasana di luar? Kalau kau rutin minum obat, suatu saat nanti kau bisa meninggalkan rumah sakit dan menikmati suasana di luar secara langsung, lho," ujar Sakura dengan maksud memberi sedikit harapan pada lelaki itu.
Sakura berpikir jika Sasuke akan menatapnya dengan kegembiraan samar ketika membahas hal itu. Para pasien lainnya yang mengikuti wisata kali ini terlihat senang dan bahkan ada yang langsung bertanya kapan mereka diperbolehkan pulang.
Namun reaksi Sasuke berbeda. Lelaki itu hanya memberikan pandangan yang tak menyiratkan antusiasme setitikpun.
"Hn."
"Kau juga bisa menonton JAV sepuasnya nanti. Dulu kau bilang penasaran ingin menontonnya, kan?" ucap Sakura dengan suara pelan, berharap tak seorangpun mendengarnya.
Sasuke terdiam sesaat. Setiap kali mengingat masa lalunya, ia selalu teringat dengan kenangan buruk hingga tak mau mengingatnya. Bahkan sesungguhnya ia tak menyebutkan nama belakangnya bukan hanya karena tak ingin mempermalukan keluarganya, melainkan karena ia tak ingin mengingat seseorang yang membuatnya terluka.
"Kau pikir aku serius, hn?"
"Yah bagaimanapun juga kau ini laki-laki dewasa, kan?"
Sesungguhnya obat yang diberikan dokter membuat Sasuke berbeda dengan lelaki dewasa normal pada umumnya. Ia tak lagi merasakan libido maupun ereksi seperti yang dialami lelaki normal. Dan entah kenapa ia juga tak mempermasalahkan hal itu meski lelaki lain akan menganggapnya sebagai masalah.
Sebaliknya, ia malah berpikir jika hal itu adalah suatu keuntungan. Seandainya ia memiliki libido yang tinggi, ia akan sangat menderita berada di rumah sakit selama bertahun-tahun tanpa kesempatan untuk berhubungan romansa dengan satupun wanita, atau setidaknya hubungan seksual.
Sasuke mengatupkan mulutnya rapat-rapat, tak berniat menjawab ucapan Sakura. Suasana hatinya tidak begitu baik sejak bus mulai berjalan. Ia merasa seolah dipaksa untuk membuka kembali lembaran masa lalunya.
Suara-suara samar kembali terdengar di benak Sasuke, bergantian antara suara pria maupun wanita, baik suara tinggi maupun rendah. Mendadak ia merasa takut jika kehilangan kendali atas dirinya dan menimbulkan masalah bagi Sakura dan pasien lainnya.
Luka di hati yang telah ditorehkan bertahun-tahun tak akan sembuh dengan mudah. Setidaknya butuh waktu yang lama untuk menyembuhkannya, atau barangkali tidak akan pernah sembuh.
"Hey, Sasuke. Kalau kau meninggalkan rumah sakit suatu saat nanti, apa yang ingin kau lakukan?"
Pertanyaan Sakura terdengar bagai fatamorgana bagi Sasuke. Lelaki itu bahkan berpikir jika suara yang ia dengar tidak nyata. Namun gadis merah muda itu menatapnya dengan tidak sabar, menunggu sebuah reaksi darinya.
Sasuke tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Namun sesungguhnya ia tak pernah berharap jika ia akan meninggalkan rumah sakit. Ia merasa jika eksistensinya di dunia ini tak lagi diinginkan oleh seorangpun, termasuk keluarganya.
Selama bertahun-tahun di rumah sakit, Sasuke juga tak pernah dikunjungi satu pun teman yang pernah dikenalnya, setidaknya begitulah yang diingatnya. Ia tak tahu apa yang dikatakan keluarganya pada semua orang yang dikenalnya, namun ia sedikit bersyukur karena tak satupun teman yang menyaksikannya dalam kondisi seperti ini.
Seandainya teman-temannya melihatnya begini, mereka juga pasti akan meyesal telah mengenalnya dan juga memilih menjauh. Karena itulah, ia tak menaruh ekspektasi apapun.
"Aku ingin menjadi aktor JAV populer."
Sakura meringis seketika. Beberapa orang memang ingin bekerja di industri seperti itu. Namun meskipun industri seperti itu dilegalkan oleh pemerintah, namun secara norma dipandang rendah oleh masyarakat. Tak seorangpun mengatakan hal itu secara terus terang.
"Kau serius?"
Sasuke memejamkan matanya dan memalingkan wajahnya dari Sakura, tak berniat memperlihatkan ekspresi wajahnya.
"Aku ..." Sasuke mengambil jeda dan berkata dengan suara yang sangat pelan hingga Sakura harus berkonsentrasi untuk mendengarnya. " ... juga tidak tahu."
Sakura terkejut ketika menyadari kerapuhan yang tersirat di balik suara lelaki itu. Ia menatap Sasuke, sedikit memaksa untuk melihat wajah lelaki itu dan mendapati ekspresi menderita di wajahnya.
Ia pernah menyaksikan raut wajah itu sebelumnya. Ketika ia memegang kaki lelaki itu saat kambuh beberapa waktu yang lalu, ia menyadari raut wajah yang sama yang diperlihatkan lelaki itu.
Sakura mulai waspada dan ia bertanya, "Sasuke, kau baik-baik saja? Bisa mendengarku? Kita berada di bus saat ini."
Ucapan Sakura membantu Sasuke untuk menepis bisikan-bisikan yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Ketika ia masih bisa mengendalikan dirinya sendiri, ia akan berusaha melakukannya demi gadis merah muda yang berada di sampingnya. Ia tak akan mampu memaafkan dirinya jika ia sampai melukai seseorang ketika ia bisa mengendalikan diri untuk tidak melakukannya.
"Kau sendiri, apa yang ingin kau lakukan sesudah lulus?"
Sakura menjawab tanpa berpikir sedikitpun. Ia sudah yakin akan keinginannya sejak semester awal dan merasa semakin yakin setelahnya, "Ah, aku ingin bekerja di bidang HRD. Kalau bisa, aku ingin bekerja di korporat."
Sasuke semakin yakin jika ia mungkin saja tak akan bertemu lagi dengan gadis merah muda itu meski saat ini merupakan momen dimana mereka berdua berada di jalan yang sama. Ia menyadari jika jalannya dan jalan gadis merah muda itu semakin jauh dan barangkali tak akan lagi saling bersilangan.
"Kau pasti bisa, Idiot."
Sakura tersenyum, "Kuharap begitu. Dan aku juga berharap kau bisa meraih impianmu. Kau pasti pernah memiliki impian, kan?"
Bus bergerak menuju daerah dimana terdapat gedung-gedung pencakar langit. Netra oniks Sasuke tertuju pada sebuah gedung dan seketika mengalihkan pandangan. Seandainya ia tidak 'meledak', barangkali saat ini ia sedang berada di salah satu ruangan di lantai tertinggi di gedung tersebut dan berkutat dengan segudang jadwal serta setumpuk dokumen.
"Dulu aku ingin menjadi pianis," ujar Sasuke dengan tatapan yang menyiratkan luka dan kekecewaan.
Meski biasanya Sakura selalu bertanya 'mengapa', namun kali ini ia tak berniat menanyakan hal itu. Intonasi suara Sasuke dan cara lelaki itu menatap sudah lebih dari cukup untuk menyadarkan Sakura bahwa ia tak seharusnya bertanya lebih dalam.
Sasuke tak biasanya menceritakan mengenai kehidupannya sendiri. Ia seolah sedang mengorek lukanya sendiri ketika membahasnya. Namun setidaknya ia berharap seseorang mengetahui mimpinya, dan ia memilih Sakura.
"Aku mengagumi permainan pianomu, lho. Rasanya jadi lebih rileks dan menyenangkan ketika mendengarmu bermain piano," Sakura berkata denga jujur. Baginya, suasana rumah sakit jiwa tak lagi suram ketika mendengar permainan piano lelaki itu. Mendengar permainan lelaki itu seolah memberikan secercah harapan bagi siapapun yang mendengarnya.
"Wah, fansku," goda Sasuke dengan maksud mencairkan suasana meski suasana hatinya sendiri masih tidak begitu baik.
"Bukan kau. Aku mengagumi permainan pianomu," Sakura dengan sengaja menekankan soal permainan piano.
"Kalau kau mengagumi permainan pianoku, sama saja kau mengagumiku, hn?"
Sakura meringis dan berkata, "Kutarik ucapanku kembali."
"Sudah terlanjur didengar, tuh."
Sakura kembali mengumpat dalam hati. Lelaki itu benar-benar pandai mempermainkan emosinya. Baru saja ia merasa bersimpati, dan kini ia merasa benar-benar jengkel. Ia terkesan seperti seorang remaja labil ketimbang seorang calon psikolog profesional setiap berhadapan dengan lelaki itu.
"Kau benar-benar ingin menjadi HRD di korporat?" tanya Sasuke tiba-tiba.
Sakura mengangguk. Apakah lelaki ini idiot hingga bertanya begini ketika ia sudah mengatakannya dengan jelas?
"Tentu saja. Aku bahkan sudah memikirkannya sejak semester awal. Memangnya kenapa?"
"Terkadang sesuatu yang ingin kau lakukan belum tentu sesuatu yang benar-benar kau inginkan, tahu."
"Maksudnya? Kalau aku ingin melakukan sesuatu ya berarti aku menginginkannya, dong."
Sasuke tak merasa senang dengan wisata yang mengingatkannya akan bagian-bagian di masa lalu, khususnya ketika melewati beberapa area di kawasan perkantoran. Namun ia teringat akan sesuatu dan memutuskan membahas hal ini pada gadis merah muda itu.
"Kau bisa saja ingin melakukan sesuatu karena kau dituntut untuk melakukannya, namun sama sekali tidak menginginkannya. Dan itu tidak akan membuatmu bahagia, Bodoh."
Tentu saja Sakura tidak dituntut siapapun untuk menjadi seorang HRD. Ia benar-benar menginginkan pekerjaan itu, bahkan memasuki jurusan psikologi atas kehendaknya sendiri.
"Aku tak tahu apa impianmu. Kalau kau belum berusaha meraihnya, kau tidak terlambat untuk mulai melakukannya."
Sasuke mengingat masa lalunya sendiri ketika ia mengekspresikan pemikirannya dalam kalimat panjang meski tak terbiasa melakukannya. Setidaknya, ia tak ingin seseorang berakhir seperti dirinya yang hidup dalam tekanan dan tak berusaha memperjuangkan impiannya.
Seandainya ia berusaha lebih keras untuk mempertahankan impiannya, barangkali kini ia tak akan berakhir di rumah sakit jiwa saat ini. Mungkin ia sedang tampil di salah satu konser, entah konser solo atau bersama kelompok orkestra.
Bagaikan sebuah barang, Sasuke merasa dirinya adalah produk rusak yang tak bisa lagi diperbaiki. Meski ia bisa diperbaiki sekalipun, kondisinya tak akan lagi sama seperti dulu. Dan dengan kondisinya, ia tak lagi mampu berjuang meraih impiannya.
Ucapan Sasuke membuat Sakura terdiam, kehabisan kata untuk menanggapi lelaki itu. Di masa sekolah, ia pernah memiliki impian yang menurutnya mustahil untuk diwujudkan sehingga ia memilih mengejar mimpi lain yang menurutnya lebih realistis.
Sakura segera menepis pemikirannya sendiri. Ia hampir saja terpengaruh ucapan Sasuke, namun ia menyadari jika lelaki itu tak akan memahami kondisi sesungguhnya.
Bagaimanapun juga, Sasuke hanyalah seorang pasien rumah sakit jiwa yang bahkan tak mengetahui kondisi riil di masyarakat. Dan ia tak seharusnya mendengarkan ucapan lelaki itu sepenuhnya.
-TBC-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro