14. Impian
Note : Terdapat konten yang mungkin menjijikan bagi sebagian pembaca di bagian pertengahan chapter.
.
"Wah, wah. Kulihat belakangan ini kau sering menghabiskan waktu berdua saja dengan Sasuke di saat malam," goda Shizune ketika Sakura kembali ke kamar staf yang ditempatinya bersama Shizune.
Sakura mendesah lelah. Malam ini cukup banyak staf yang menginap setelah hari yang melelahkan karena kedatangan beberapa pasien baru setelah razia yang dilakukan oleh dinas sosial.
Biasanya Sakura menempati satu kamar sendiri, namun kali ini ia terpaksa berbagi kamar dengan Shizune yang berkata kalau ia terlalu lelah untuk mengejar kereta dan pulang ke rumah, terlebih lagi ia mendapat shift pagi keesokan harinya.
"Tidak, aku cuma belajar piano saja. Dan aku tidak menyangka kalau mengobrol dengannya ternyata menyenangkan."
"Iya, kan? Sudah kubilang dia itu paket komplit sebenarnya," ujar Shizune dengan antusias.
"Aku merasa malu. Terkadang aku berpikir kalau dia lebih humanis ketimbang yang kubayangkan," Sakura mengaku dengan jujur.
Shizune menyeringai dan menatap Sakura dengan antusiasme yang terpancar melalui sorot matanya, "Kau bukan orang pertama yang mengaguminya. Percayalah, banyak staf yang juga berpikiran sama."
Sakura mendudukkan diri di kursi dan memeluk lututnya serta menatap dengan tatapan yang sedikit menerawang, "Aku masih merasa miris mengapa orang semenakjubkan itu berakhir begini."
Shizune tersenyum miris. Di masa lalu, ia tak pernah mengira jika seorang pasien yang datang dengan kondisi buruk yang memiliki kecenderungan melukai diri sendiri adalah seorang pria yang menakjubkan, bukan hanya rupa maupun keahliannya, melainkan juga kepribadiannya.
Tampaknya penyakit mental bisa menjangkiti siapa saja, termasuk seseorang yang terlihat sempurna sekalipun. Pada hakikatnya, seorang manusia, tak peduli seperti apapun dirinya, memiliki perasaan dan bisa terluka.
"Dia kurang beruntung," sahut Shizune. Entah mengapa topik pembahasan mengenai Sasuke selalu menarik baginya dan ia bisa membahas lelaki itu selama satu jam tanpa henti. Baginya, lelaki itu adalah pasien favoritnya dan ia berharap agar lelaki itu segera keluar dari rumah sakit.
"Dia pasien favoritku sebetulnya. Dan aku berharap agar dia cepat pulang dan kembali ke masyarakat," ucap Shizune lagi.
Sakura mengangguk, "Aku juga begitu. Sejujurnya aku merasa nyaman magang di sini karena keberadaannya. Aku bahkan sampai bertemu dengan Tsunade-sama dan meminta dibiarkan pulang malam hanya karena ingin menemaninya setiap malam serta bekerja lebih lama meskipun tak mendapat bayaran tambahan."
"Kau jatuh cinta padanya, eh?" Shizune mengerling jahil, membuat Sakura meringis serta menepuk lengan wanita itu kuat-kuat.
"Mana mungkin. Dia itu pasien, lho."
Shizune menyentuh lengannya yang terasa panas. Pukulan Sakura jauh lebih kuat dibanding yang ia bayangkan.
"Hati orang bisa berubah, Sakura. Kalau kau tidak mencintainya sekarang, mungkin saja kau baru menyadarinya nanti."
Sakura tak menampik jika Sasuke adalah laki-laki yang paling mendekati kriterianya sebagai pasangan hidup seandainya lelaki itu tidak memiliki gangguan mental. Lelaki itu berpikiran dewasa dan bisa membimbingnya layaknya seorang ayah, namun juga bisa menyebalkan dan sedikit jahil layaknya seorang kakak laki-laki. Yang jelas, ia merasakan kenyamanan.
Terkadang Sakura merasa jika Sasuke seolah sedang menunjukkan kehangatan dibalik kata-katanya yang menyebalkan. Lelaki itu juga bisa bersikap sedikit hangat di momen yang tepat meski secara umum bersikap cuek dengan ucapan yang blak-blakan.
"Aku tidak tahu. Mungkin, ketika dia sudah keluar dari rumah sakit dan sudah lebih stabil, aku bisa saja tertarik padanya."
Shizune tersenyum. Rasanya benar-benar lucu melihat seorang gadis yang menyangkal meski benih-benih perasaan yang akan tumbuh terlihat jelas dalam diri gadis muda itu.
Di usia kepala tiga, Shizune sudah cukup berpengalaman mengenai hal seperti itu dan karena itulah ia memutuskan menggoda Sakura agar gadis itu menyadari perasaannya.
"Jadi kau berharap agar dia sembuh sehingga kau bisa mendekatinya?"
Sakura menggelengkan kepala. Tentu saja ia tidak berpikiran oportunis seperti itu. Ia menyukai Sasuke sebagai sesama manusia, bukan secara romansa. Seandainya lelaki itu tidak menyukainya atau mereka bahkan tidak akan bertemu lagi, ia tetap mengharapkan yang terbaik bagi lelaki itu sebagai sesama manusia.
"Tidak juga. Sekalipun aku tidak akan bertemu dengannya lagi, aku tetap berharap agar dia bisa kembali ke masyarakat."
Shizune menyadari jika Sakura terlihat tulus dengan perkataannya. Ia menepuk Sakura dan berkata, "Kupikir itu hal yang bagus kalau kau tetap menemaninya. Tidak semua orang berani berada di dekatnya ketika mengetahui kondisinya yang sesungguhnya."
Sakura memakluminya. Sejujurnya ia juga merasa takut dan berpikir untuk menghindar seandainya ia tak bertemu Ino yang menasihatinya.
"Bagi orang yang tidak terbiasa, melihatnya begitu memang menakutkan. Sejujurnya aku juga ngeri pada awalnya."
Shizune mengangguk, "Terkadang aku juga merasa ngeri menghadapi pasien meski seharusnya sudah terbiasa. Namun aku berpikir kalau hal itu terasa kejam bagi sang pasien."
Sakura mengamini perkataan Shizune, terlebih sesudah menyadari jika Sasuke tampaknya tidak ingat mengenai apa yang terjadi padanya saat itu.
"Sebetulnya aku tidak kaget ketika kau tertarik pada Sasuke-san yang terlihat menonjol dibanding pasien lainnya. Sebetulnya hampir semua mahasiswa magang disini, baik laki-laki maupun perempuan, juga sama sepertimu pada awalnya. Mereka menganggapnya sebagai teman dan menghabiskan waktu bersama, namun kemudian secara naluri memutuskan menjaga jarak ketika melihat kondisinya. Terkadang aku berpikir bagaimana perasaan lelaki itu, ya?" jelas Shizune panjang lebar.
Tentu saja, tidak ada satupun mahasiswa yang ingin magang di rumah sakit jiwa jika tidak terpaksa. Sakura mengerti jika para mahasiswa itu pasti merasa nyaman karena mendapatkan teman berbincang yang menyenangkan di tengah situasi yang menyebalkan. Ia sendiri juga merasakannya dan berpikir jika berbincang dengan Sasuke lebih nyaman ketimbang dengan staf lainnya. Namun tidak semua orang bisa menerima kondisi lelaki itu yang sesungguhnya.
"Dia terlihat cuek jika tidak sedang serius," sahut Sakura.
Shizune menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang dan mengeluh, "Kalau dia benar-benar secuek itu, tidak mungkin terluka secara emosional. Belakangan ini dia semakin pintar menyembunyikan emosinya. Lelaki itu sulit dibaca."
Konversasi mengenai Sasuke membuat Sakura semakin penasaran dengan lelaki itu. Ia pikir, ia harus melakukan sesuatu untuk lelaki itu selama ia masih bisa melakukannya.
.
.
Rasa penasaran membawa Sakura untuk pergi ke ruang mencuci tepat pukul delapan malam. Sebelumnya ia berkata kalau ia harus pulang hari ini sehingga tidak bisa belajar piano bersama Sasuke, namun sesungguhnya ia sedang berbohong.
Sakura bertanya pada Shizune sebelumnya mengenai lokasi ruang mencuci dan tak menghiraukan tatapan keheranan wanita itu.
Dan ia terkejut ketika mendapati Sasuke di sana bersama dengan beberapa petugas kebersihan. Ia tak menduga kalau lelaki itu benar-benar merangkap sebagai staf di berbagai bidang.
Sakura baru saja berpura-pura untuk salah jalan dan berbalik, namun seorang petugas kebersihan menyadari keberadaannya dan mengira kalau ia salah jalan karena ruang mencuci terletak di ujung lorong. Dan segera saja Sasuke yang duduk membelakanginya juga menyadari eksistensi Sakura.
"Hn? Ngapain kau di sini?"
Sakura sudah mempelajari sedikit trik untuk mengelak dan segera mempraktikannya.
"Lho? Kau sendiri ngapain?"
Sasuke menjawabnya dengan pertanyaan, "Kau lihat aku sedang apa?"
Sakura merasa dirinya begitu bodoh ketika ia secara spontan berkata, "Mencuci?"
Sasuke tidak berniat menjawab sebuah pertanyaan yang begitu jelas jawabannya. Ia kembali bergumam sebagai bentuk persetujuan, terlalu malas membuka mulutnya untuk menjawab.
"Biar aku membantumu. Ini pasti kali pertamamu mencuci, kan?"
"Kau yakin?"
Sakura merasa lelaki itu seolah meremehkannya. Ia memang tidak menyukai pekerjaan rumah tangga, namun bukan berarti tidak bisa melakukannya. Dan ia ingin menunjukkan pada Sasuke kalau ia sungguh-sungguh bisa melakukan hal itu.
"Tentu saja. Masa mencuci saja tidak bisa, sih?"
"Kau bilang ingin pulang, hn?"
Sakura meringis karena Sasuke seolah ingin mengusirnya namun juga terlihat ragu dengannya, setidaknya begitu menurut persepsinya. Ia segera berkata, "Tidak jadi. Orang tuaku sedang pergi menginap dan aku malas pulang."
Terdapat petugas kebersihan yang tampak menyortir setumpuk pakaian maupun seprai yang bisa dimasukkan ke dalam mesin cuci maupun yang harus disikat terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke mesin cuci secara terpisah.
Para petugas kebersihan itu terlihat tidak enak hati ketika Sakura segera memasukki ruangan. Ia melepaskan alas kaki dan berinisiatif mengambil kursi pendek serta mengambil sikat yang tersedia.
"Tenang saja. Aku sudah terbiasa, kok," ucap Sakura seraya tersenyum.
Proses menyikat dilakukan secara manual. Pakaian yang bernoda dibasahi dan ditaburi detergen, kemudian kembali dibasahi dan disikat.
Sakura mengambil sebuah celana di keranjang dan baru saja akan menyikat ketika ia menyadari apa yang baru saja dilihatnya dan ia secara refleks menjerit serta melempar benda itu.
Sasuke dan petugas kebersihan lainnya menoleh ke arah Sakura dan Sakura segera menunduk. Ia menyesal karena tidak berpikir memakai masker meski sudah memakai sarung tangan karet yang diberikan salah seorang petugas kebersihan.
"Maaf," Sakura menundukkan kepala dan merasa tidak enak.
"Ah, tidak apa-apa," ucap salah seorang wanita paruh baya yang merupakan petugas kebersihan seraya memungut benda yang dilemparkan Sakura.
Sakura masih tak habis pikir jika ia mendapati celana dalam wanita dimana terdapat kotoran manusia. Ia merasa jijik setelah menyentuhnya dan berpikir jika ia tak akan sanggup mencucinya.
"Kau bantu mencuci pakaian di mesin cuci saja," ujar Sasuke seraya menyikat seprai yang terkena urine.
Sakura menatap Sasuke yang bekerja dengan cekatan tanpa mengeluh sedikitpun. Lelaki itu seolah sudah terbiasa dengan hal semacam ini sehingga tidak terlihat jijik.
"Tidak apa-apa. Aku bisa, kok," Sakura bersikeras memaksakan dirinya sendiri meski ia khawatir menemukan sesuatu yang lebih menjijikan.
Ia pikir, kalau Sasuke yang seorang pria saja bisa melakukannya, kenapa ia tidak bisa? Apalagi yang lebih mengerikan? Paling-paling celana dalam penuh darah menstruasi.
"Bersihkan tanganmu dan ambil masker ... " ucapan Sasuke terputus.
Seorang petugas berkata, "Maaf masker sekali pakainya sudah habis. Sepertinya kurir baru akan mengirim besok."
Sasuke segera mencuci tangan dengan air serta melepas maskernya dan memberikannya pada Sakura, "Ambil tisu dan letakkan di bibirmu sebelum memakai maskerku."
"Terima kasih. Tapi kau bagaimana, Sasuke?"
"Bukan urusanmu."
Sakura menerima masker itu dan bangkit berdiri serta mengambil tisu dan menyelipkan di bibirnya sebelum memakai masker. Dan ia berusaha membantu menyikat dengan perasaan risih, meski ia tidak akan bisa makan dan minum selama beberapa jam ke depan.
.
.
"Kau baik-baik saja?" tanya Sakura setelah ia meninggalkan ruang mencuci dan berjalan menemani Sasuke untuk menuju bangsal.
Sasuke sama sekali tak berekspresi, namun Sakura menyadari kalau lelaki itu menghembuskan napas dalam-dalam, seolah ingin mengkonsumsi oksigen secara rakus. Lelaki itu beruntung karena tidak pingsan setelah menyikat seprai maupun pakaian dengan noda menjijikan beraroma memuakkan.
"Hn."
"Aku benar-benar khawatir kalau kau akan pingsan tadi. Kenapa kau memberikan maskermu padaku?"
"Kau tidak akan sanggup bertahan ketika menyentuh kainnya saja sudah risih," ujar Sasuke seraya menoleh dan menatap gadis merah muda itu sejenak.
Sakura membalas tatapan lelaki itu, "Ucapanmu benar. Para petugas kebersihan itu mengagumkan. Namun aku masih tidak mengerti kenapa kau bersedia membantu mereka, padahal bisa saja kau memilih sekadar membantu mencuci pakaian di mesin cuci."
Sakura masih ingat ketika ia melihat sendiri Sasuke mencuci celana dalam dengan noda merah bekas menstruasi yang mungkin merupakan milik salah seorang pasien gangguan jiwa wanita. Padahal darah menstruasi biasanya dianggap menjijikan bagi kaum pria, beberapa wanita juga bahkan merasa risih.
Sakura pernah mendengar kepercayaan di kalangan orang China jika lelaki yang mencuci celana dalam wanita akan sial. Bahkan mencuci celana dalam wanita pun tidak boleh digabung dengan pakaian pria agar tidak mengalami kesialan bagi kaum pria.
"Aku ... "Sasuke hampir saja melanjutkan ucapannya ketika ia segera menyadarinya dan mengatupkan mulutnya. Ia hampir mengatakan jika ia pernah berada di posisi seperti yang dialami pasien dengan gangguan jiwa berat yang ditakuti gadis itu. Ia berpikir jika saat itu ia pasti menyusahkan mereka, karena itulah ia berniat membantu para petugas kebersihan ketika ia bisa melakukannya.
"Ya?"
Sasuke segera mengalihkan topik konversasi, "Bagaimana kalau kita pergi ke ruang petugas dan meminta seseorang menggantikanmu mengunci ruanganku?"
Sakura menyadari kalau lelaki itu berniat mengalihkan topik konversasi dan ia membiarkannya kali ini. Sasuke bukanlah tipe orang yang bisa dipaksa dan lelaki itu pasti tak akan mau menjawab sekalipun ia memaksa.
"Tidak. Aku bisa melakukannya sendiri, kok," tolak Sakura.
Sasuke menyeringai tipis dengan ekspresi jahil yang meremehkan, "Hn? Jangan jatuh lagi. Aku tidak bisa menggendongmu kali ini."
Sakura mengalihkan pandangan, merasa jengkel karena lelaki itu lagi-lagi membahasnya. Sepertinya daya ingat lelaki itu cukup bagus ketika sedang normal.
"Tentu saja. Aku tidak seceroboh itu, kok."
Sasuke menyadari Sakura terlihat tegang begitu mereka melewati bangsal khusus. Gadis itu bahkan mempercepat langkahnya dan Sasuke menepuk pundak gadis itu.
Sakura menoleh, namun kali ini Sasuke tak melepaskan tangannya dari bahu gadis itu dan terus berjalan. Sakura berpikir jika itu adalah cara lelaki itu menenangkannya sehingga ia tak bereaksi.
Sasuke segera berhenti di depan ruangannya dan membuka pintu, namun ia menoleh dan menepuk kepala gadis merah muda itu dengan pelan hingga gadis itu terkejut, "Jangan berlatih berjalan tanpa suara lagi di sini."
Sakura merasa malu ketika lelaki itu bahkan masih mengingat alasan konyol yang ia buat ketika jatuh. Namun sentuhan ringan di puncak kepalanya membuat hatinya terasa ikut menghangat entah kenapa.
"Sasuke." Sakura memanggil, membuat lelaki berambut hitam itu sedikit mendongak sebagai respon.
Sakura bahkan tak sempat berpikir ketika bibirnya bergerak begitu saja, "Aku mengagumimu."
Sasuke terperangah untuk sesaat, tak tahu harus merespon seperti apa. Sedangkan Sakura sendiri terkejut dengan apa yang ia katakan dan berpikir kalau lelaki itu mungkin akan salah paham.
"Maksudku, aku mengagumi pemikiran dan tindakanmu. Bagiku kau mengagumkan," jelas Sakura.
Sasuke tak menjawab. Lelaki itu segera masuk ke dalam kamar tanpa berkata apapun dan Sakura segera mengunci kamar itu.
Hatinya terasa sesak meski dirinya dan lelaki itu juga menyadari bahwa itu adalah sebuah prosedur yang dilakukan.
Kini Sakura menjadikan lelaki itu sebagai impiannya. Bukan untuk memilikinya, melainkan untuk melihat lelaki itu bahagia dan hidup bebas layaknya seorang manusia normal
-TBC-
----------------
Author's Note :
----------------
Di setiap karyaku belakangan ini, aku menyadari jika karyaku tidak memiliki konflik yang berarti dan cenderung datar. Bahkan sebetulnya karya ini juga tidak bisa disebut sebagai romance karena minimnya unsur romansa di antara kedua karakter utama.
Namun aku ingin berfokus pada interaksi antara dua karakter utama dan membiarkan pembaca menentukan sendiri apakah ada unsur romansa di antara kedua karakter.
Ketika menulis karya ini, meskipun cenderung minim riset, namun aku menikmati setiap menulis interaksi antara dua karakter meski sebetulnya sangat OOC. Dan mengenai ending, aku udah menuliskan epilogue dan bahkan bonus chapter di draft, namun masih sedikit ragu.
Aku tidak menjamin akan happy ending, namun belum tentu bakal sad ending juga. Trims buat pembaca yang udah membaca karya ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro