Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Cerita

"Aku benar-benar takut tidak dapat kerja," ujar Sakura ketika ia menyelesaikan kelas piano hariannya bersama Sasuke.

Jam masih menunjukkan pukul setengah sepuluh malam dan lelaki itu mengakhiri pelajaran lebih awal ketimbang biasanya, namun tak berinisiatif untuk segera kembali ke kamar.

Sasuke melirik gadis merah muda itu dan seketika gadis itu meringis. Ia berbicara secara refleks dan malah menceritakan masalah pribadinya pada orang yang tidak stabil dan tidak mengerti soal situasi riil di masyarakat.

Sakura mengutarakan kekhawatirannya setelah baru saja chatting bersama seniornya yang tidak mendapat pekerjaan setelah melamar di lebih dari empat puluh perusahaan. Ia takut kalau ia bernasib sama seperti si senior, terlebih lagi ia akan lulus tahun depan.

"Hn? Mungkin kau bisa melamar di perusahaan outsourcing? Kudengar banyak perusahaan memakai jasa perusahaan semacam itu untuk menyediakan jasa cleaning service atau security."

Sakura memang sudah mendengar soal itu. Saat ini perusahaan memang banyak menggunakan jasa perusahaan seperti itu karena mereka tidak perlu membayar tunjangan hari raya sehingga lebih hemat.

Jika sebuah perusahaan tidak cocok dengan seorang pegawai, mereka hanya perlu menghubungi perusahaan outsourcing tanpa harus membayar uang pesangon dan repot-repot mencari karyawan pengganti.

Ia pernah mendengar jika salah seorang senior-nya bekerja menjadi petugas kebersihan karena tidak berhasil mendapat pekerjaan dan ia merasa takut bernasib sama.

Sakura bukanlah satu-satunya orang yang memiliki kekhawatiran seperti ini. Beberapa temannya juga memiliki kekhawatiran yang sama.

"Iya, sih. Tapi ... " Sakura mengambil jeda dan seketika berkata, "Tunggu, kenapa aku malah menceritakan hal ini padamu?"

Sakura seketika tersadar bahwa ia baru saja bercerita mengenai kekhawatiran pribadi pada seorang pasien gangguan jiwa. Rasanya tindakan yang ia lakukan sangat tidak profesional dan lelaki itu juga tak akan memahaminya.

Ia tak menyadarinya pada awalnya, namun sejujurnya ia merasa terlena. Terkadang ia tak memandang lelaki itu sebagai pasien, melainkan sebagai seorang teman dimana ia bisa bercerita banyak hal di luar hal terkait pekerjaan.

"Hn? Kau pikir aku bisa membaca pikiranmu?" sahut Sasuke seraya mengendikkan bahunya.

Sakura merasa ingin menghilang detik ini juga. Ia lupa jika Sasuke begitu ahli dalam mempermalukannya.

"Kau tidak perlu meresponnya, tahu," ucap Sakura dengan sedikit ketus. Wajahnya sedikit memerah dan ia bahkan tak berani menatap Sasuke, khawatir jika ia akan menemukan seringaian yang membuatnya semakin merasa malu.

"Kalau begitu kenapa bertanya padaku?"

Sakura merasa ingin meremas rambutnya saat ini. Tidak hanya jago mempermalukannya, lelaki itu juga ahli membuatnya jengkel dengan membalikkan ucapannya sendiri yang sialnya memang benar.

"Kalau kau bukan pasien disini, aku akan memukulmu sekarang juga."

Sasuke melirik Sakura dengan ekor mata dan mengamati gadis itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tatapannya tertuju sesaat pada bagian dada Sakura dan ia segera berkata, "Sepertinya kau cocok menjadi security."

Sakura meringis. Lelaki itu tidak sedang berbicara asal karena berhalusinasi, kan? Padahal ia melihat dengan mata kepala sendiri kalau Sasuke baru saja meminum obatnya sehingga mampu berbincang secara normal seperti ini.

"Security? Kenapa? Aku ini calon psikolog, lho."

"Lalu?"

Sakura menyadari jika Sasuke sudah berada di rumah sakit selama beberapa tahun sehingga tidak mengetahui seperti apa kondisi di masyarakat.

"Itu masalahnya. Kalau sekadar menjadi security, untuk apa aku membuang waktu dan uang untuk kuliah di jurusan psikologi? Sejak awal lebih baik aku tidak usah kuliah saja."

"Jadi menurutmu seorang sarjana tidak pantas bekerja menjadi security?"

Pertanyaan Sasuke membuatnya tertohok. Ia tak sadar jika ia pun bahkan termakan stigma yang beredar di masyarakat.

Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau hanya menjadi tukang bersih-bersih?

Begitulah stigma yang ada. Beberapa pekerjaan cenderung dipandang rendah. Bahkan ada orang tua yang menasehati anak untuk rajin belajar agar tidak menjadi petugas kebersihan atau pekerja kasar lainnya.

Dan ketika seseorang melakukan pekerjaan kasar, orang itu cenderung diremehkan oleh orang lain yang seolah menganggap dirinya jauh lebih tinggi.

"Bukan begitu, sih. Maksudku, biaya kuliah cukup mahal. Bukankah rasanya sayang kalau aku yang membayar kuliah dengan harga mahal mendapat gaji yang sama dengan orang yang tidak kuliah? Belum lagi apa kata orang nanti."

Sasuke menatap Sakura dengan tajam seketika dan membuat gadis itu merasa ngeri. Entah kenapa ia merasa jika lelaki itu terlihat sedang marah dan ia mengeratkan genggamannya pada suntikan penenang serta mengamati lelaki itu, bersiap menyuntikkan obat itu kapanpun lelaki itu mulai bersikap agresif.

Ucapan Sakura mengingatkan Sasuke pada masa lalunya dan mendadak dadanya terasa panas. Ia merasa begitu marah hingga kepalanya terasa sakit dan ingin meledak.

Sepanjang hidupnya, Sasuke sangat jarang merasakan amarah yang begitu dahsyat. Namun tidak dengan kali ini.

Sasuke hidup dengan keharusan untuk memenuhi harapan orang lain dan keharusan untuk menjaga citra hingga harus melepaskan mimpimya.

Ia ingin memperdalam musik dan menjadi pianis di suatu masa dalam hidupnya, namun orang tuanya malah memaksanya masuk ke sekolah bisnis dengan alasan agar orang-orang tidak menganggapnya gagal karena menjadi pianis dianggap kurang produktif secara finansial.

Sasuke beruntung karena setidaknya saat ini ia berada dalam pengaruh obat sehingga suara-suara yang terdengar di kepalanya hanya berupa bisikan samar. Ia masih menyadari eksistensinya saat ini dan mampu mengontrol segala tindakan dan ucapannya.

"Lalu kalau kau tidak bekerja, seseorang juga akan mengataimu, hn?" ucap Sasuke dengan nada datar yang dipaksakan, berusaha meredam emosi yang membuncah di dadanya.

"Tentu saja," Sakura mengangguk.

"Kalau kau tidak bekerja, orang-orang itu akan memberimu uang?" Sasuke kembali bertanya.

Sakura menggelengkan kepala, "Mana mungkin. Siapa orang yang akan memberiku uang kalau aku tidak melakukan sesuatu?"

Sasuke menatap gadis di sampingnya lekat-lekat, "Nah kalau begitu tidak usah dengarkan ucapan orang lain."

Sakura terdiam untuk sesaat, tak tahu apa yang harus ia katakan pada lelaki yang mendadak lebih banyak bicara itu.

"Sejujurnya aku malah kagum dengan petugas kebersihan dan security," Sasuke mengutarakan pemikirannya seraya menatap atap bangsal yang terlihat dari tempatnya duduk saat ini.

Sakura berubah menjadi sosok yang tak banyak bicara, membiarkan Sasuke menceritakan pemikirannya sendiri. Ia yakin tindakannya saat ini bisa membantu lelaki itu. Manusia mana yang tak ingin didengarkan oleh orang lain? Bahkan orang dengan gangguan jiwa pun mungkin ingin didengarkan oleh orang lain.

"Menjadi petugas kebersihan berarti melakukan pekerjaan yang menjijikan, harus bekerja di saat orang sedang libur, dipandang rendah dan bergaji rendah. Dan ketika kau menjadi security, kau akan disalahkan kalau terjadi sesuatu mengenai keamanan meskipun itu bukan sepenuhnya salahmu. Jam kerja sebagai security juga melelahkan," ujar Sasuke panjang lebar.

Tatapan Sasuke sedikit menerawang. Ia teringat dengan petugas kebersihan dan security yang bekerja di rumahnya sendiri. Mengingat rumah membuat dadanya terasa sesak sehingga ia cepat-cepat meremas kedua telapak tangannya sendiri, berusaha mengendalikan diri.

Sakura tak bisa mengalihkan pandangannya dari lelaki itu, merasa kagum dengan pemikiran lelaki itu yang bahkan lebih humanis dibanding orang-orang yang menganggap dirinya waras.

Kini Sakura mengerti mengapa para staf begitu mempercayai Sasuke meski faktanya lelaki itu adalah pasien. Bahkan Shizune dan Kurenai juga memiliki kekaguman samar terhadap lelaki itu. Barangkali mereka terpesona dengan pandangan lelaki itu, sama seperti dirinya saat ini.

"Ya. Aku terkadang merasa kasihan dengan petugas kebersihan. Kurasa kita harus berterima kasih pada mereka."

Sasuke tak berniat mengatakannya. Namun terkadang ia memberikan makanan yang didapatnya dari ibunya pada petugas kebersihan dan berterima kasih. Ia menyadari betapa beratnya pekerjaan sebagai petugas kebersihan di rumah sakit jiwa dan ia pasti sudah banyak menyusahkan di masa lalu, ketika ia bahkan tak bisa mengurus dirinya sedikitpun.

"Kau ingin mencoba menjadi petugas kebersihan di sini?" tanya Sasuke tiba-tiba.

Sakura terdiam sesaat, selama ini ia tidak begitu memperhatikan para petugas kebersihan yang terkadang berpapasan dengannya.

"Eh? Aku kan magang di sini dan bertugas mendampingi pasien," sahut Sakura dengan bingung.

"Kalau kau penasaran, kau bisa pergi ke ruang mencuci mulai jam delapan malam."

"Ruang mencuci? Dimana?" Sakura mengernyitkan dahi. Ia bahkan tak mengetahui letak ruang mencuci karena tak seorangpun memberitahunya.

"Akan kutunjukkan."

Sakura kembali mengernyit. Lelaki itu bahkan sudah tahu berbagai area di rumah sakit dan jadwal bekerja petugas.

"Bagaimana kau bisa tahu soal ruang mencuci dan pekerjaan petugas kebersihan? Jangan bilang kalau kau juga pernah membantu mereka."

"Ingat nasihatku waktu itu?"

Sakura terdiam seketika. Belakangan ini Sasuke sering menggunakan nasihat yang pernah dikatakannya sebagai salah satu senjata untuk mengelak dari 

"Kau mengelak?"

Sasuke tak menyahut. Ia meneguk saliva sebelum berkata tanpa menatap gadis itu, "Kau kuat dan mengerikan. Jadi kupikir security cocok untukmu."

"Ya ampun!" Seru Sakura seketika saat mendengar jawaban Sasuke.

Ia kemudian berkata dengan nada main-main, "Kalau aku ingin menjadi pianis saja bagaimana?"

Sakura tidak serius mengatakannya. Menjadi pianis tidak terdengar seperti pekerjaan yang sangat menjanjikan, terlebih baginya yang baru mulai belajar piano di usia dua puluhan. Tentu saja sudah sangat terlambat jika ia benar-benar ingin mempelajari piano dan menjadikannya sebagai profesi sekarang.

"Kalau begitu aku akan mengajarimu selama kau masih di sini. Aku akan meminta ibuku membawakan buku piano lamaku."

Sakura tidak menyangkan jika Sasuke akan menanggapinya dengan serius. Ia cepat-cepat menggelengkan kepala dan berkata, "Eh. Tidak usah repot-repot. Aku hanya bercanda, kok."

"Aku tidak membutuhkannya lagi."

"Oh? Terima kasih."

Sasuke hanya menyahut dengan gumaman yang tidak jelas, yang diinterpretasikan Sakura sebagai persetujuan, entah benar atau tidak.

Kini Sakura menyadari jika Sasuke benar-benar teman yang menyenangkan untuk diajak berbincang meski reaksi lelaki itu terkadang menyebalkan. Dan pertemuan yang terjadi setiap hari membuatnya mulai merasa nyaman bersama lelaki itu.

Ia mulai berpikir, seandainya ia tak bertemu lagi dengan Sasuke, bagaimana perasaannya? Mungkin ia akan merasa seolah ada sesuatu yang hilang setiap malam.

Masih ada lima minggu tersisa sebelum magangnya berakhir. Dan kini ia ingin menikmati setiap momen yang tersisa bersama lelaki itu.

-TBC-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro