12. Pertemuan Tak Terduga
Sakura menatap sebuah kantung plastik berisi setengah kilo tomat segar yang ia beli di supermarket terdekat khusus untuk Sasuke. Ia mendengar jika lelaki itu menyukai tomat dan memutuskan untuk membelinya sebagai ucapan terima kasih atas berbagai cemilan manis yang diberikan lelaki itu sebelumnya setelah ibunya datang berkunjung.
Ia berusaha meyakinkan diri jika ia memberikan tomat itu sebagai balasan, namun sesungguhnya ia sengaja melakukannya untuk menghindari kecanggungan jika bertemu dengan Sasuke nanti malam.
Gadis itu melangkahkan kaki menyusuri lorong rumah sakit jiwa tempatnya bekerja. Ia tak bersama dengan siapapun saat ini dan entah kenapa lorong menuju taman terasa jauh lebih panjang ketimbang sebelumnya.
Ia sedikit terkesiap ketika tatapannya bersua dengan sesosok wanita paruh baya dengan wajah yang tak terasa asing baginya. Rasanya ia pernah melihat sosok berkulit putih dengan mata sehitam batu oniks serta hidung mancung bercuping kecil. Secara keseluruhan, paras wanita itu lembut dengan perawakan yang anggun.
Wanita itu menyadari Sakura yang menatapnya dan ia segera tersenyum kecil dengan senyuman yang menawan. Sesaat Sakura seolah terbius dengan sosok menawan wanita itu hingga akhirnya ia tersadar dan membalas senyuman wanita itu serta tersenyum tipis.
"Halo," ucap Sakura dengan gugup begitu ia menyadari bahwa ia terpergok tengah menatap wanita itu.
Ia yakin usia wanita itu pasti lebih dari empat puluh tahun, namun ketika muda pasti wajah wanita itu sangat cantik.
Wajah wanita itu mengingatkannya akan seseorang, terlebih dengan netra hitam pekat yang dengan pupil besar yang khas.
"Halo. Sepertinya aku pernah melihatmu sebelumnya," wanita paruh baya itu memutuskan untuk memulai konversasi.
Rasa gugup tak juga sirna dan Sakura hanya berkata, "Oh, iya?"
Wanita itu masih tersenyum tipis sesaat sebelum senyuman menghilang di wajahnya, "Iya. Bukankah kau dokter di sini? Terima kasih sudah merawat anakku."
Sakura mengernyitkan dahi sesaat. Wanita itu berkata jika anaknya dirawat di rumah sakit ini, dan seketika ia menyadari jika wajah wanita itu benar-benar mirip dengan Sasuke. Kini ia menyadari dari mana lelaki itu mewarisi paras lembutnya.
Sakura tersenyum tipis, merasa sedikit lucu. Ia seolah berhadapan dengan Sasuke versi wanita.
"Ah, tidak juga. Aku cuma mahasiswi yang kebetulan magang di rumah sakit ini."
"Oh, anakku pernah bercerita soal mahasiswi magang yang belajar bermain piano bersamanya. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu."
Sakura menyadari jika konversasi akan lebih dari beberapa detik sehingga ia memutuskan untuk sedikit menyingkir agar tidak menghalangi jalan.
Sebetulnya ia bisa saja memutuskan untuk mengakhiri konversasi secepatnya, namun percakapan dengan ibu Sasuke jauh lebih berharga ketimbang waktu istirahat yang hanya tersisa sepuluh menit.
"Maaf aku merepotkan putramu. Sebetulnya putramu menawarkan untuk mengajariku dan aku sudah berusaha menolak," jelas Sakura secara gamblang.
"Ah, tidak apa-apa," wanita itu mengulas seulas senyum yang terlhat elegan. "Sasuke juga terlihat nyaman melakukannya. Dia benar-benar menyukai piano."
Senyum masih nampak di bibir wanita itu, namun sorot mata wanita itu seolah menyiratkan kesedihan. Senyuman lembut yang terpatri di wajah wanita terlihat seolah dipaksakan.
"Ya. Dia begitu sabar mengajariku," Sakura tersenyum kikuk. Namun sesaat kemudian senyuman yang terpatri di bibirnya tampak getir. Ia masih teringat kejadian dua hari yang lalu dan ia menghindari lelaki itu sesudahnya.
Sakura menyadari kekhawatiran wanita itu dan ia segera menepuk lengan wanita itu dengan pelan secara refleks, "Tenang saja, Sasuke-san akan baik-baik saja. Semua petugas disini berusaha agar dia cepat sembuh. Aku juga mengusahakan hal yang sama."
Wanita itu terdiam sesaat dengan ekspresi wajah yang sulit untuk dibaca. Kemudian ia berkata, "Aku berharap anak itu bisa meninggalkan rumah sakit. Bukan untuk siapapun, tapi demi dirinya sendiri."
Sorot mata wanita itu tampak menerawang, entah apa yang dipikirkannya. Ekspresi getir wanita itu menyiratkan luka dan penyesalan.
Menurut Sakura, ibu Sasuke tampak seperti ibu pada umumnya yang digambarkan penuh cinta pada anak-anaknya. Terlihat jelas jika wanita itu sedih dan khawatir dengan keadaan Sasuke. Namun reaksi Sasuke malah membingungkan.
Entah kenapa, Sasuke seolah tak mengharapkan kesembuhannya sendiri. Lelaki itu bahkan melupakan obatnya sesekali dan terlihat tak memikirkan masa depannya. Ia merasa lelaki itu begitu egois dan memikirkannya membuatnya marah.
Sakura tak tahu apa alasan Sasuke yang seolah tak ingin meninggalkan rumah sakit dan kembali ke masyarakat sebagai lelaki normal. Ia tak ingin berprasangka, namun ia bahkan tak yakin terhadap penilaiannya pada lelaki itu.
Semula ia berpikir jika Sasuke adalah tipe orang yang selfless. Lelaki itu bahkan berusaha menyembunyikan nama keluarganya agar keluarganya tak menanggung malu. Namun setelah bertemu dengan ibu Sasuke, Sakura tak bisa lagi menganggap lelaki itu sebagai sosok yang selfless.
Wanita paruh baya itu melirik jam tangannya sekilas sebelum mengangkat alisnya dan segera berkata, "Oh, astaga. Aku harus segera pergi. Semoga kita berjumpa lagi."
Sakura tersenyum sebagai bentuk kesopanan dan membalas senyuman wanita itu sebelum menyusuri lorong, berharap agar ia bertemu dengan wanita itu lagi setidaknya satu kali sebelum waktu magangnya berakhir.
.
.
"Astaga! Apa yang kau lakukan sampai ngos-ngosan begitu?" tanya Kurenai tepat ketika Sakura memasuki ruangan dengan napas tersengal dan peluh yang bercucuran membasahi wajahnya.
Sakura tak langsung menjawab dan ia menundukkan kepala serta meletakkan satu kantung berisi setengah kilo tomat yang ia beli untuk para staf sedangkan tangan lainnya memegang kantung berisi tomat yang ia beli untuk Sasuke.
"Cemilan," ucap Sakura setelah napasnya sedikit stabil, "Tomat."
Kakashi yang juga berada di dalam ruangan mendongak begitu mendengar kata 'cemilan'. Namun seketika raut wajahnya terlihat kecewa begitu mendengar kata 'tomat'.
"Yah. Kupikir keripik atau semacamnya."
Seorang dokter lelaki paruh baya dengan rambut mangkok seketika menyikut temannya dan berkata, "Sudah bagus dibelikan. Masih banyak permintaan. Tidak tahu diri, ya."
Lelaki itu segera menatap Sakura dan tersenyum, "Terima kasih, ya. Ini makanan yang sehat dan bisa membuat awet muda."
Sakura hanya tersenyum. Psikiater yang sedikit eksentrik itu begitu terobsesi dengan 'semangat muda', 'awet muda' atau semacamnya.
"Untunglah, kupikir aku telat," ujar Sakura seraya menghembuskan napas lega ketika melihat jam yang menunjukkan tepat pukul satu.
Kakashi melirik Sakura dan berkata, "Oh, kau takut telat sampai berlari begitu? Tenang saja, kalau kau telat satu atau dua menit juga tidak masalah, tuh."
"Kakashi!" seru Kurenai dan psikiater eksentrik itu bersamaan.
Kakashi tersenyum kikuk dan meletakkan tangan di belakang kepala, "Yah asal jangan sering-sering. Memangnya kau habis darimana?"
"Aku tadi bertemu ibu Sasuke dan mengobrol sebentar," ucap Sakura.
Kemudian ia segera menambahkan ucapannya, "Aku baru sadar kalau wajahnya sangat mirip dengan anaknya."
Kurenai tertawa dan berkata, "Setiap kali bertemu dan berbincang dengannya, aku seolah merasa sedang bertemu dengan Sasuke versi perempuan. Dia juga sangat baik dan selalu membawa cemilan untuk kita setiap berkunjung."
Sakura kini menyadari sumber kue dan beragam cemilan yang berada di ruangan staf sekitar dua minggu yang lalu dan juga berada di ruangan saat ini.
"Aku jadi berharap anaknya di sini selamanya saja," gurau salah seorang staf laki-laki yang dibalas dengan tatapan tajam.
Sakura hanya tertawa pelan sebagai reaksi dan Kakashi cepat-cepat menambahkan, "Aku sih lebih memilih tidak dapat cemilan lagi ketimbang pasien yang dirawat disini seumur hidup."
"Aku juga," timpal psikiater eksentrik itu.
Psikiater eksentrik itu menatap Sakura dan berkata, "Omong-omong, kudengar untuk wisata minggu depan kau bertanggung jawab untuk menjaga Sasuke?"
Sakura menganggukan kepala dengan bingung, "Ya?"
"Setelah kejadian kemarin, kau bisa mengatasinya kalau terjadi sesuatu tidak? Kalau tidak, aku bisa membantu untuk mengatakannya pada direktur. Tampaknya Tsunade-san juga berniat mempertimbangkan hal itu. Kurasa kondisinya tak cukup stabil untuk meninggalkan rumah sakit."
Sakura hampir menggelengkan kepala. Secara logika, tentu saja ia akan memilih untuk mengatakan kalau ia tidak bisa melakukannya demi keamanannya sendiri. Tetapi ia teringat dengan ucapan Ino dan segera mengiyakan.
"Bisa, kok. Kemarin aku bahkan menahan tubuhnya, kan?"
Kakashi segera menimpali, "Iya, kau tidak perlu khawatir mengenainya. Dia bahkan bisa menahannya dengan mudah, lho. Tenaganya mengerikan."
Kurenai melirik psikiater eksentrik itu sebelum menatap Sakura, "Kalau kau tidak bisa juga tidak apa-apa. Siapa tahu di wisata berikutnya dia akan baik-baik saja dan bisa pergi."
"Tidak. Aku benar-benar bisa melakukannya, kok. Tidak usah khawatir."
"Oke. Nanti kuajarkan bagaimana cara menyuntikkan obat ke pasien yang mengamuk," ujar Kakashi.
Sakura menganggukan kepala dengan ekspresi yakin. Namun sebetulnya ucapan Kakashi membuatnya merasa sedikit takut. Ia khawatir akan kemungkinan terburuk.
.
.
Sakura menunggu jam setelah makan malam dimana Sasuke selesai melakukan gilirannya untuk mengambil piring-piring sisa makanan dan membawanya ke dapur. Dengan sedikit gugup, ia menghampiri lelaki itu dengan sekantung tomat yang ia bawa.
Sakura merasa dirinya begitu konyol karena menunggu lelaki itu dengan sengaja setelah sebelumnya menghindari lelaki itu. Kebetulan ia sedang tak memiliki jadwal mengunci bangsal dan juga sudah selesai mengantar setiap pasien ke dalam ruangan mereka.
"Sasuke."
Suara Sakura sedikit bergetar karena gugup ketika ia menyebutkan nama lelaki itu. Sasuke yang baru saja meninggalkan dapur segera menatap Sakura.
"Oh. Sakura," sapa lelaki itu dengan suara baritone.
"Ah, aku ingin memberikan ini padamu. Kebetulan tomat sedang diskon di supermarket, jadi aku membeli karena kudengar kau suka tomat," ujar Sakura seraya menyerahkan kantung berisi tomat itu.
Sasuke menerima kantung berisi tomat dan menatap isinya dengan tatapan berbinar bak anak kecil yang menerima mainan favoritnya sebelum mengalihkan pandangan dan menatap Sakura dengan seulas senyum tipis yang terpatri, "Terima kasih."
Senyuman lelaki itu sedikit mengingatkan akan sosok sang ibu yang ditemui Sakura tadi siang. Dan seketika pemikiran bahwa lelaki itu adalah orang yang egois menyeruak dalam benaknya meski ia berusaha mengenyahkannya kemudian.
"Kau suka sekali dengan tomat?"
"Hn."
"Kau langsung tersenyum dan menatap tomat begini," ucap Sakura seraya meniru ekspresi Sasuke.
Sasuke tak menghiraukan ucapan Sakura dan ia segera mengambil sebuah tomat serta memakannya.
"Hey! Tomatnya belum dicuci," seru Sakura.
Sasuke meringis jijik, namun tetap memakannya. Ia merasa tak rela membuang tomat itu dan segera berjalan menuju kursi di salah satu meja serta menariknya.
Sakura memutuskan mengikuti lelaki itu dan duduk di kursi yang berhadapan. Ia berusaha terlihat santai, namun ia tetap menatap lelaki itu dengan waspada. Ia bahkan mengenggam suntikan obat penenang yang selalu ia bawa kemana-mana dalam kondisi darurat seandainya menjumpai salah satu pasien yang mengamuk di dekatnya.
Sasuke tak berbicara apapun dan masih sibuk menikmati tomatnya, membiarkan Sakura yang mulai merasa muak dengan keheningan.
Pada akhirnya Sakura merasa tak tahan dan berkata, "Hari jumat nanti para pasien tertentu akan pergi wisata."
Sasuke mengalihkan pandangan sejenak dengan atensi sekedarnya. Informasi Sakura tak lebih menarik ketimbang tomat yang masih tersisa sepertiga di tangannya.
"Tsunade-sama mengatakan kalau kau bisa ikut kali ini."
Kali ini ucapan Sakura sukses membuat Sasuke mengalihkan atensi sepenuhnya dari tomat.
"Aku?" tanya Sasuke dengan heran.
"Ya, kau. Dan kali ini aku yang akan mendampingimu."
Sasuke menatap Sakura dari ujung kepala hingga kaki sebelum berkata, "Aku menolak."
Sakura merasa terkejut sekaligus kecewa dengan ucapan lelaki itu. Padahal ia berusaha mengenyahkan ketakutannya dengan meyakinkan dirinya sendiri dengan probabilitas terbaik dengan pemikiran agar lelaki itu mendapat sedikit hiburan.
"Kenapa? Memangnya kau tidak mau melihat situasi di luar? Siapa tahu bertemu artis JAV yang katanya ingin kau temui itu," goda Sakura dengan niat menjahili lelaki itu.
Sakura mengira Sasuke akan membalas dengan kejahilan seperti biasa, namun kali ini lelaki itu tampak serius dan tak berniat menjahilinya seperti biasa.
"Aku tidak ingin membahayakan siapapun. Terlebih lagi kau perempuan."
"Lalu?"
Sasuke terdiam sesaat sebelum berkata, "Aku tak menyadarinya. Namun kudengar ketika pasien mengamuk, tenaganya akan jauh lebih kuat."
Sakura menatap lelaki itu dengan tatapan miris. Ucapan Sasuke memang benar, tetapi sedikit menyakitkan jika diucapkan oleh yang bersangkutan. Lelaki itu pasti tidak sadar dengan apa yang terjadi padanya saat itu.
Sakura semakin merasa bersyukur karena bertemu Ino dan mendengarkan saran wanita itu. Seandainya ia tetap berpegang teguh pada keputusannya untuk menghindari Sasuke, maka ia baru saja menyakiti seseorang yang bahkan bertindak membahayakan tanpa menyadarinya sama sekali.
"Aku sudah melihatnya sendiri. Namun aku cukup kuat, kok. Tidak percaya?"
Sasuke tak menyahut dan menatap Sakura dengan tatapan tidak percaya.
Sakura segera bangkit berdiri dan mengulum kedua sudut bibirnya serta menarik napas dalam-dalam sebelum menghembuskan perlahan,berusaha agar tidak merasa gugup dan malu.
"Coba berdiri."
"Hn?"
Sasuke terlihat kebingungan, namun ia segera melakukannya. Dan ketika ia berdiri, ia memekik dengan suara rendah secara refleks karena terkejut saat tubuhnya terangkat begitu saja. Kini ia berada di gendongan Sakura dan bisa menatap wanita itu dari angle yang berbeda.
Lengan Sakura terlihat lebih kencang hingga bagian lengan pakaiannya tampak ketat karena otot yang menegang. Dan seketika Sasuke merasa takjub akan kekuatan wanita itu.
"Aku bisa membantingmu kalau kau mau, lho."
Sasuke hanya menampilkan ekspresi ngeri dan Sakura segera mendudukkan lelaki itu di kursi, membuat Sasuke menarik napas lega diam-diam.
"Aku bersimpati pada suami dan anak-anakmu. Bagaimana kalau kau membanting mereka?" ujar Sasuke secara refleks.
"Aku tidak sekejam itu. Bagaimana kalau kau menjadi orang pertama yang kubanting?"
Sasuke memasang ekspresi getir. Ia merasa sedikit malu mengingat ia sendiri sedikit kesulitan menggendong Sakura ketika wanita itu malah menggendongnya dengan mudah. Seandainya tulang belakangnya dalam kondisi baik-baik saja, belum tentu ia akan sekuat Sakura.
"Aku tidak ingin kau melihatnya," ucap Sasuke dengan suara pelan.
"Apa?"
Sasuke terdiam sesaat sebelum berkata, "Kondisiku."
"Aku sudah melihatnya dua hari yang lalu," ucap Sakura secara refleks. Sedetik kemudian ia menyesal mengatakannya setelah melihat ekspresi Sasuke yang tampak bersalah.
"Maaf."
Sasuke kini menyadari mengapa Sakura tampak tidak nyaman saat bertemu dengannya dan terkesan seolah menghindar. Semula ia berusaha menghiraukannya dengan berpikir bahwa itu hanya perasaannya semata. Namun kini ia menyadari apa yang salah dengannya.
Sejak awal ia sudah merasa aneh karena ia tertidur begitu lama dan mendapati Kakashi di dalam ruangannya ketika ia terbangun meski saat itu sudah malam. Biasanya dokter tidak akan berada di ruangan pasien saat malam hari terkecuali karena sebab-sebab tertentu.
"Ini bukan salahmu," sergah Sakura.
Ia meneguk ludah sebelum melanjutkan ucapannya, "Jadi jangan minta maaf padaku."
"Hey idiot," ucap Sasuke dengan nada sedikit jahil.
"Eh, ya?"
Sakura merasa dirinya begitu dungu karena mengiyakan begitu saja saat dipanggil idiot.
"Kau bisa pergi dan tak perlu menemuiku lagi kalau kau mau. Aku tidak keberatan," ujar Sasuke dengan serius.
Sebetulnya lelaki itu seolah tengah menelan pil pahit ketika mengatakannya. Ia tak menampik jika presensi Sakura membuatnya merasa nyaman dan terkadang ia berharap agar bertemu wanita itu. Namun di sisi lain ia tak ingin membuat wanita itu tak nyaman. Ia yakin wanita itu pasti merasa tidak enak hati padanya sehingga tetap menemuinya.
Sakura terlihat ragu sehingga Sasuke kembali berkata dengan tenang meski di saat yang sama ia menyangkal dirinya sendiri, "Jangan pikirkan aku. Aku tidak masalah."
Otak Sakura seolah buntu. Ia bahkan tak tahu apakah lelaki yang memikirkan orang lain seperti ini pantas disebut egois ketika di saat yang sama lelaki itu seolah buta hingga tak menyadari kekhawatiran ibunya.
"Tidak. Aku akan tetap menemanimu," ucap Sakura dengan serius.
Tatapan Sasuke membuat Sakura merasa sedikit tidak nyaman dan ia khawatir kalau lelaki itu akan salah paham. Ia segera berkata, "Mmm ... maksudku, jaman sekarang mencari pekerjaan itu tidak mudah. Bisa saja aku tidak mendapat pekerjaan saat lulus dan harus bekerja di rumah sakit jiwa. Jadi, menghadapimu akan membantuku menghadapi pasien nanti."
"Aku tahu."
Ucapan Sasuke membuat Sakura merasa penasaran dan ia segera bertanya, "Oh? Kok bisa?"
Sasuke mendengus kesal karena pengetahuannya akan isu yang begitu umum diremehkan. Ia memang tidak pernah bekerja, namun setidaknya pernah berada di masyarakat. Teman kuliahnya dulu pernah membahas soal kekhawatiran tidak mendapat pekerjaan.
"Aku juga pernah hidup di masyarakat, Sakura."
Sakura tidak mengira jika Sasuke mampu membahas topik yang cukup serius jika sedang 'normal'. Kini ia mulai mengerti mengapa para staf mempercayakan Sasuke untuk membantu mereka, lelaki itu memang cakap sesungguhnya.
"Aku jadi penasaran, umurmu berapa? Kau pasti sebenarnya lebih tua dariku, kan?"
Sasuke menyeringai jahil, "Kalau perempuan bisa merahasiakan umur, laki-laki juga bisa, hn?"
Sakura menyadari kalau Sasuke berniat mengelak dan ia segera bertanya, "Kalau begitu pasti kau pernah kuliah, kan? Atau malah sudah lulus?"
Sasuke meletakkan kedua jarinya di kening Sakura dengan lembut dan membuat wanita itu terkejut. Ia memutuskan menghiraukannya dan berkata, "Kalau kau bekerja nanti, jangan terlalu penasaran terhadap sesuatu. Itu berbahaya untuk dirimu dan kariermu."
Sakura merasa miris pada dirinya sendiri. Kini ia sedang dinasihati oleh orang yang mengalami gangguan jiwa dan bahkan dirawat di rumah sakit jiwa. Seumur hidup ia tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi padanya.
"Beberapa perusahaan memiliki sisi gelap. Ada baiknya kalau kau memutuskan menutup mata," ujar Sasuke.
"Kau ... bagaimana kau tahu?" tanya Sakura denga seribu tanda tanya yang terpancar melalui tatapannya.
"Kau dengar ucapanku tidak?" balas Sasuke dengan raut wajah jengkel.
"Ah, iya. Maaf."
Sasuke menatap Sakura lekat-lekat. Ia memberikan nasihat karena ia sungguh-sungguh mengkhawatirkan wanita itu. Menurutnya rasa penasaran wanita itu begitu besar dan bisa menjadi boomerang suatu saat nanti.
"Kau sudah tahu seperti apa ketika aku 'kambuh', hn? Kau benar-benar yakin ingin menemaniku? Aku bisa mengatakannya pada Tsunade-sama kalau kau tidak berani menolak permintaannya."
"Aku bahkan ikut membantu para staf. Lagipula sudah kubilang kalau ini latihan."
Sasuke tak menyahut dan raut wajah lelaki itu menyiratkan kekhawatiran.
Sakura segera berkata, "Sudahlah. Jangan terlalu memikirkannya, itu tidak baik untukmu. Kalau kubilang baik-baik saja, maka aku sungguh baik-baik saja. Aku juga tidak akan segan melakukan apapun untuk menghentikanmu kalau kau 'kambuh' meski akan melukaimu sedikit."
Pada umumnya perempuan cenderung emosional dan tidak bisa melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan karena alasan perasaan sehingga Sasuke merasa khawatir. Namun ucapan Sakura membuatnya sedikit lega meski di saat yang sama ia khawatir jika ia sendiri melukai wanita itu. Ia merasa tak tega membayangkannya.
-TBC-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro