11. Determinasi
"Kau bilang budak korporat sepertiku beruntung?" ujar Ino seraya menaikkan alisnya sebelum mengakhirinya dengan tawa miris.
Sakura menatap sahabat berambut pirangnya yang ia temui siang ini. Ia memutuskan mengambil cuti satu kali di akhir pekan demi bertemu dengan gadis itu dan menghabiskan waktu untuk bersenang-senang seharian, bagaikan pasangan kekasih yang sudah lama tak bertemu.
Suasana restoran bertemakan American Diner itu tidak begitu ramai meski makanan yang disajikan cukup lezat. Namun di saat yang sama, suasana restoran itu juga cukup nyaman untuk duduk berlama-lama sambil mengobrol seraya menghabiskan makanan mereka. Terlebih lagi, restoran ini juga mengusung konsep all you can drink sehingga pelanggan bisa meminum apapun yang tersedia sepuasnya.
Sakura menyandarkan tubuh di kursi besi yang terasa dingin dan mengangkat gelas berisi jus apel yang diambilnya di dispenser. Ia berniat menghabiskannya dan berjalan ke tempat pengambilan minuman untuk mengambil minuman lainnya, namun terhenti ketika Ino melanjutkan ucapannya.
"Terkadang aku merasa manusia begitu lucu. Kau melihat budak korporat sepertiku begitu beruntung. Aku melihatmu yang bekerja di rumah sakit jiwa dan tak perlu berurusan dengan segala intrik kantor juga beruntung. Lalu sebenarnya yang beruntung siapa?"
Sakura terdiam. Kata-kata Ino terasa begitu menusuk dan ia bahkan berpikir keras untuk menjawabnya. Apapun yang terlihat dari kejauhan pasti terlihat lebih indah ketimbang dilihat dari dekat. Ia yang tak merasakan langsung pasti menganggap Ino beruntung, begitupun sebaliknya.
"Mungkin sebaiknya kita bertukar tempat magang saja, ya," ucap Sakura tiba-tiba.
Ino tertawa pelan, "Kalau bisa, ya. Siapa tahu saja kau memang lebih cocok bekerja di kantoran ketimbang aku, Forehead."
Sakura bangkit berdiri dan meraih gelasnya. Ia berniat meninggalkan tempat duduknya sebelum berkata, "Mau kuambilkan minuman, pig?"
"Boleh. Jus sirsak, ya. Pakai gelas ini saja," Ino menyerahkan gelas kosong miliknya yang sebelumnya dipakai untuk mengambil jus jambu.
Sakura segera mengambil gelas milik Ino dan berjalan menuju tempat pengambilan minuman, meninggalkan Ino yang terduduk sendirian di kursinya.
Tatapan gadis itu tertuju pada layar televisi yang kebetulan sedang menampilkan beberapa anggota boyband Korea favoritnya yang sedang populer hingga di benua Amerika. Mereka terlihat glamor dan memiliki begitu banyak fans yang mengidolakan mereka. Namun ia yakin kehidupan di belakang panggung tak seindah yang dilihat oleh para fans.
Mendadak ia teringat akan film dokumenter yang menceritakan mengenai kehidupan para anggota boyband itu di belakang panggung. Saat itu ia sempat menonton film itu dan tersadar jika kehidupan para idola itu sangat melelahkan, tak seindah yang selama ini terlihat.
Ino terkejut dengan keberadaan film official tersebut. Ia pikir para idola berusaha keras menyembunyikan kelelahan mereka dengan berusaha selalu terlihat sempurna, namun tidak dengan para anggota boyband yang menunjukkan sedikit mengenai kehidupan mereka di belakang panggung.
Seketika Ino tersadar akan jawaban dari pertanyaan yang ia ajukan sendiri pada Sakura. Ia pikir, tak ada satupun orang yang lebih beruntung di antara mereka. Setiap orang memiliki kesulitan masing-masing dan kemampuan setiap orang menghadapi kesulitan juga berbeda-beda.
Ia pikir, ia pasti akan menyerah dan mati muda jika menjalani kehidupan seperti para anggota boyband itu. Tetapi mereka masih tetap eksis dan baik-baik saja. Namun jika seseorang menjalani kehidupan yang penuh ketidakpastian sebagai seorang mahasiswi berotak pas-pasan, belum tentu akan baik-baik saja.
Sakura kembali dengan membawa dua gelas penuh berisi minuman dan segera meletakkannya di atas meja. Ia mengikuti arah pandang Ino dan menyeringai, "BTS, eh?"
Ino bahkan tak mengalihkan pandangan sama sekali meski Sakura kini duduk di hadapannya.
"Oh, kau sudah balik, Forehead? Terima kasih, ya."
Sakura tersenyum tipis, memaklumi tingkah sahabatnya. Ia mengerti kalau sahabatnya tersebut adalah seorang ARMY (julukan bagi penggemar BTS) dan akan meninggalkan apapun yang sedang ia kerjakan hanya untuk melihat televisi jika MV BTS sedang diputar.
Ino mengalihkan pandangan begitu MV selesai diputar dan meraih gelas berisi jus sirsak miliknya serta meminumnya.
"Omong-omong, bagaimana dengan pasien tampan yang kau ceritakan itu? Suasana di sana enak?"
Sakura meminum seteguk lemon tea yang baru saja diambilnya sebelum berkata, "Semua rekan kerja yang kutemui cukup baik. Anehnya sama sekali tidak ada senioritas. Bahkan ada beberapa senior yang bersedia mengajak makan siang bersama meskipun aku baru masuk kerja."
Ino menatap sahabatnya dan menunggu gadis merah muda itu melanjutkan ucapannya. Inilah hal yang ia cemburui dari Sakura. Di perusahaan tempatnya magang, tak ada suasana seperti itu. Ia beruntung karena seluruh atasan di bagian HRD cukup baik meski terkadang menyuruh Ino melakukan ini dan itu, misalnya saja membuat kopi, atau hal lainnya. Namun hubungan antara atasan dan bawahan terlihat sangat jelas dan ia sendiri merasa gugup setiap seorang atasan mengajaknya berbicara.
"Lalu aku juga sudah cerita, kan? Si lelaki itu mendadak menawarkan untuk mengajariku bermain piano."
"Oh? Lalu dia mengajarimu?"
"Ya. Berkat satu jam bersamanya, aku jadi bisa bermain do-re-mi-fa-sol-la-si-do," ucap Sakura seraya tersenyum.
Ino meringis dan menepuk pergelangan tangan Sakura dengan pelan, "Dasar. Kalau itu saja sih aku juga bisa tanpa harus belajar satu jam."
Sakura tersenyum simpul, tentu saja ia mulai mengenali not yang dimainkan secara acak dan mengingat kunci G. Namun senyuman di wajahnya mendadak sirna ketika menyaksikan sendiri apa yang dilihatnya kemarin.
Ino menyadari perubahan reaksi secara mendadak dan baru saja akan bertanya sebelum Sakura membuka mulutnya untuk berkata.
"Tapi ... " ada jeda sejenak sebelum Sakura melanjutkan ucapannya. Ia masih tak bisa sepenuhnya melupakan kejadian dua hari yang lalu, " ... kurasa aku tak bisa memperlakukannya dengan cara yang sama dibanding sebelum aku melihat apa yang terjadi dua hari yang lalu."
"Dua hari yang lalu?" Ino terdiam sesaat sebelum menjawab ucapannya sendiri serta memekik pelan, "Oh! Kau melihatnya 'kambuh'?"
Sakura mengangguk, "Kali ini lebih parah ketimbang sebelumnya."
Ino ikut menganggukan kepala. Ia memahami ketakutan yang dirasakan Sakura meski tidak mengalaminya secara langsung.
Ino merasa yakin jika Sakura benar-benar ketakutan, terlebih gadis itu sejak awal tidak berpikir kalau ia akan magang di rumah sakit jiwa. Bahkan ketika anak-anak lain merasa berdebar-debar saat mengambil undian, Sakura terlihat tenang-tenang saja.
"Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Saat itu salah satu dokter yang berjaga di ruang CCTV melihat lelaki itu mendadak 'kambuh' dan segera bergegas bersama beberapa perawat untuk menuju ruangannya. Karena kupikir mereka mungkin butuh tenaga tambahan, aku segera ikut. Dan ... "
Sakura lagi-lagi mengambil jeda. Ia kembali meneguk minumannya sebelum berkata, "Aku bahkan ikut membantu menahan kaki dan pinggangnya sedangkan dia berteriak dan dokter berusaha menyuntikkan obat penenang. Bayangkan bagaimana perasaanku menemukan seseorang yang semalam baru saja mengobrol santai dan bahkan mengajarimu bermain piano kini mengamuk seperti orang yang kehilangan kewarasannya meskipun dia memang tidak waras."
"Aku mengerti. Kau pasti merasa canggung, sih."
"Aku tidak bisa tidur saat malam dan pergi ke taman. Mendadak aku malah bertemu dengannya dan psikiater yang menanganinya dan dia menyapaku seolah tidak terjadi apapun, bahkan sampai bertanya apakah aku mau belajar besok malam. Aku benar-benar bingung harus bagaimana. Apa dia tidak ingat dengan apa yang ia lakukan saat pagi?"
Ino menganggukan kepala. Ia sangat mengerti bagaimana perasaan Sakura meski ia akan berusaha bersikap biasa dan berpura-pura tidak tahu jika ia berada di posisi gadis itu.
"Lalu kau menerima tawarannya?"
"Akhirnya aku menolak. Aku berkata kalau aku harus pulang ke rumah karena besok aku akan cuti. Padahal aku sedang melarikan diri darinya."
Ino memutuskan menanggapi cerita sahabatnya dengan sedikit gurauan untuk meringankan suasana, "Melarikan diri? Seperti sedang dikejar pembunuh saja."
Sakura tersenyum tipis, "Aku memang melarikan diri, tahu. Aku bahkan baru minta cuti kemarin dan untungnya dijinkan. Kurasa aku tak bisa bersikap seperti dulu padanya. Kini aku bahkan ketakutan berdua dengannya. Bagaimana kalau dia mengamuk lagi?"
Ino tak segera menanggapi sahabatnya. Ia menatap Sakura lekat-lekat dan berkata, "Hey, aku mengerti perasaanmu, Forehead. Tapi, bagaimana kalau kita melihat dari sudut pandang lain? Kau pasti mengerti maksudku, kan?"
Sakura terdiam. Otaknya cukup pandai untuk memahami ucapan Ino dan biasanya ia bisa melakukannya, namun tidak dengan kali ini. Ia terbelenggu pada ketakutan yang ia rasakan sehingga mematikan logikanya.
"Begini, coba kita lihat dari sudut pandang lelaki itu. Bayangkan kalau kau berada di posisinya dan kau sedang akrab dengan seseorang, lalu orang itu menjauhimu tiba-tiba tanpa alasan yang jelas. Perasaanmu bagaimana?"
Kecewa. Kata itulah yang pertama terlintas di benak Sakura setelah mendengar pertanyaan Ino. Saat duduk di bangku sekolah dasar ia pernah mengalami hal yang sama dan ia merasa sedih karena kehilangan teman.
"Kecewa ... " Sakura mengambil jeda sebelum melanjutkan ucapannya, " ... dan sedih."
"Nah!" seru Ino.
Ino menatap sahabatnya. Raut wajah gadis itu berubah, tak lagi terlihat bimbang dengan sedikit determinasi untuk menjauhi lelaki yang diceritakannya.
"Kau bilang dia terlihat sangat normal ketika sedang tidak kambuh, kan? Perasaannya juga tidak berbeda dengan orang waras seperti kita. Dia juga pasti kecewa kalau kau perlakukan begitu."
Ucapan Ino benar-benar menghujam sanubari Sakura kali ini. Ia bahkan merasa bersalah dan berpikir kalau ia begitu kejam karena berpikir untuk menjauhi Sasuke meski reaksinya sangat manusiawi.
"Lalu aku harus bagaimana, Pig? Aku masih merasa takut sejujurnya."
"Kau bisa berusaha menyembunyikan ketakutanmu di hadapannya. Bersikaplah seolah kau tidak tahu apa yang terjadi. Atau mungkin, kau bisa bertanya pada psikiater yang menanganinya? Dia pasti sudah sering mengalami hal ini."
Sakura mengangguk. Ia akan bertanya pada Kakashi jika ia bertemu dengan lelaki itu besok.
"Ah, lalu kau harus mengingat ini, Forehead. Pada dasarnya, orang 'gila' adalah orang yang sakit. Bedanya, jiwa mereka yang sakit, meskipun ada juga yang sakit secara fisik. Kupikir tidak ada seorangpun yang ingin terkena penyakit."
"Aku mengerti, Pig. Aku berusaha berpandangan begitu dan bertahan selama beberapa minggu di tempat magang. Tapi setiap kali melihat pasien mengamuk, aku tak bisa berpikir seperti yang kau katakan."
Ino melirik Sakura lekat-lekat. Ia sendiri memiliki determinasi yang kuat akan pandangannya berkat pengalamannya, namun tidak dengan Sakura.
"Sakura."
Sakura terkejut karena Ino memanggil namanya, bukan 'forehead' seperti biasa. Tak seperti biasanya, Ino terlihat sangat serius kali ini, mulai dari caranya menatap hingga intonasi suaranya.
"Kau harus mengingat ucapanku ini setiap kali kau menghadapi pasien di tempat magangmu," ucap Ino lamat-lamat.
Atensi Sakura tertuju sepenuhnya pada Ino yang berada di hadapannya. Hamburg steak yang masih tersisa setengah dan pancake dengan es krim teh hijau yang berada di atas meja seolah tak lebih dari dekorasi semata ketika yang menarik atensinya saat ini hanyalah Ino seorang.
Di matanya, Ino terlihat seperti seorang wanita tua bijaksana, bukan teman sebaya yang beberapa waktu lalu berusaha menyebarkan doktrin mengenai prestasi BTS dan ketampanan para personilnya seolah sedang menyebarkan sebuah agama sesat padanya.
"Ketika para pasien di rumah sakit jiwa mengamuk atau menjerit, sebetulnya mereka sedang meneriakkan jeritan kesakitan , sama seperti pasien kanker yang menjerit kesakitan karena tubuh mereka terasa sakit karena digerogoti sel kanker. Yang berbeda, penyakit para pasien rumah sakit jiwa tidak terlihat dengan mata, sedangkan penyakit para pasien kanker terlihat.:
Sakura tak salah mengambil keputusan ketika ia memutuskan untuk bertemu dengan Ino hingga mengambil cuti. Dan kini ia menemukan sebuah determinasi berkat konversasi bersama sahabat pirangnya itu.
-TBC-
------------------------
Author's Note :
------------------------
Entah kenapa, belakangan aku tertarik memasukkan restoran yang pernah kukunjungi ke dalam setiap karyaku sebagai inspirasi.
Kali ini, aku memasukkan salah satu restoran yang pernah kukunjungi di daerah Jakarta Selatan dan sejujurnya restoran itu merupakan restoran favoritku yang memang mengusung konsep American Diner.
Dan foto yang kumasukka merupakan hasil fotoku dan menu yang recommended untuk dicoba kalau kalian berkunjung ke restoran itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro