Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Perspektif Lain

"Sebenarnya kau hidup untuk apa, sih?" Terdengar suara seorang wanita dewasa.

Seorang wanita lainnya menyahut, "Benar. Kau itu sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding kakakmu. Orang tuamu saja tidak menginginkanmu."

Seorang pria dewasa ikut menyahut, "Lebih baik kau mati saja. Kau aib untuk keluargamu."

Terdengar suara tawa sinis serta suara seorang pria muda, "Memangnya masyarakat bisa menerima seorang pasien rumah sakit jiwa sepertimu, ya?"

Wanita dewasa yang pertama kali berkata segera menimpali, "Jangan-jangan kau malah akan melukai orang lain kalau obatmu habis."

"Mati saja, ya. Kalau kau mati, keluargamu akan senang karena kehilangan beban. Kau 'kan juga tidak perlu menderita."

Seorang lelaki tua berdecih, "Ck. Kau tidak pernah berguna untuk siapapun. Kau sampah masyarakat."

Suara-suara yang saling berujar dengan perkataan yang cenderung negatif terus menerus terdengar di benak Sasuke layaknya sebuah lingkaran setan yang tak berujung.

Selain itu, terlihat pula seorang lelaki dewasa dengan ekspresi wajah yang terlihat marah yang membawa sebuah pedang sepanjang delapan puluh sentimeter yang mendekati Sasuke, membuat Sasuke meringkuk serta membekap mulutnya sendiri.

"Hihi ... kau ini anak haram." Terdengar tawa sinis seorang wanita tua.

"Jelas saja ayahmu membencimu. Kau ini anak hasil perzinahan. ZINAH!" teriak seorang pria dengan suara meninggi.

"Anak hasil selingkuh sepertimu tidak pantas untuk hidup. Cepat mati dan pergilah ke neraka yang merupakan tempatmu."

Sasuke merasa sesak dengan suara-suara yang hanya muncul di benaknya. Suara itu tak akan berhenti sekalipun ia berteriak dan meminta seluruh suara itu untuk berhenti.

Bahkan saat ini memori lama Sasuke kembali muncul dalam bentuk halusinasi. Ia bahkan tidak sadar jika ia sudah meringkuk dengan selimut menutupi tubuh di sudut ruangannya. Tubuhnya bahkan bergetar tak kendali dan bulu kuduknya meremang.

"HENTIKAN!" teriak Sasuke.

Lelaki dewasa yang sebetulnya hanya merupakan halusinasi tersebut berbalik dan memperlihatkan wajah marah serta mulai menggoreskan pedangnya.

Sasuke menjerit hingga pita suara dan paru-parunya seolah terbakar oleh api yang membara. Ia terus menjerit dan tak lama isakan mulai terdengar, memohon agar suara di kepalanya berhenti menganggunya.

Tak lama sesudahnya terdengar suara pintu yang dibuka dengan keras dan Kakashi serta beberapa perawat lainnya segera masuk ke dalam ruangan setelah melihat apa yang terjadi melalui kamera CCTV yang terpasang di setiap ruangan pasien.

Dengan sigap, para perawat berusaha menhan tubuh Sasuke, sedangkan Kakashi berusaha menyuntikkan obat pada pembuluh nadi Sasuke yang masih bergetar ketakutan dan menjerit serta meronta.

Perlahan iris oniks lelaki itu terpejam, dan hal terakhir yang dilihatnya ialah wajah Sakura yang terlihat ketakutan.

.

.

Sakura melangkah meninggalkan ruangan Sasuke bersama Kakashi dan perawat lainnya tanpa berkata apapun. Ia masih tak bisa melupakan apa yang ia saksikan beberapa menit yang lalu dan tak menampik jika sebetulnya ia merasa ketakutan.

Kondisi lelaki itu lebih buruk dibanding sebelumnya dan Sakura merasa ngeri melihatnya meski lelaki itu tak sampai melukai orang lain meski sempat memberontak saat disentuh. Namun ia juga merasa kasihan pada lelaki itu yang diperlakukan bak hewan sembelih yang mengamuk karena hendak dipotong, meski tindakan yang ia lakukan adalah hal yang tepat.

Ia sempat memegang kaki dan pinggang Sasuke yang bergerak-gerak dan ia masih tak bisa melupakan cengkraman kuat yang ia lakukan pada lelaki itu. Seandainya Sasuke sampai mengingatnya, pasti lelaki itu akan merasa kesal padanya.

Sakura teringat dengan ucapan Shizune mengenai pasien gangguan jiwa yang memiliki tenaga kuat. Ucapan wanita itu memang benar, ia menyadari jika Kakashi dan para perawat bahkan sedikit kewalahan seandainya Sakura tidak mengikuti mereka tanpa diminta.

Kakashi menyadari keheningan Sakura yang tak biasa dan memutuskan untuk mencairkan suasana. Ia tersenyum tipis dan menepuk bahu Sakura, "Omong-omong, terima kasih atas bantuanmu. Untung tadi kau ikut, kalau tidak akan susah, nih."

Sakura menoleh dan menganggukan kepala, "Tentu saja. Maaf mendadak aku mengikuti kalian begitu saja. Kupikir mungkin saja aku bisa membantu."

Salah seorang perawat wanita menimpali, "Untung ada Haruno-san yang menahan kaki dan pinggangnya sekaligus. Tenaga Sasuke-san benar-benar kuat dan kami kesulitan setiap dia kambuh."

Perawat pria lainnya ikut menimpali, "Hebat, Haruno-san benar-benar wanita kuat. Kami saja sampai kesulitan, namun kau bisa menahannya dengan mudah."

Sakura tertawa pelan meski bayang-bayang Sasuke masih melekat kuat di benaknya, "Haha ... aku pernah belajar bela diri. Tapi sebenarnya aku juga kesulitan."

Seketika senyum sirna di wajah Sakura dan sorot mata gadis itu memancarkan kesedihan tanpa kata. Ia tak menampik jika ia merasa takut, namun juga merasa miris dengan apa yang dilihatnya.

Terkadang ia meragukan dengan sebutan 'Tuhan Maha Adil' yang terus digaungkan para kaum religius. Ia mempertanyakan keadilan Tuhan, terlebih setelah menyaksikan apa yang dialami Sasuke. Dalam hati ia bertanya-tanya kesalahan sebesar apa yang pernah diperbuat lelaki itu hingga mengalami kehidupan seperti ini.

"Sakura-san."

Suara Kakashi membuyarkan lamunannya dan ia mengalihkan pandangan pada lelaki berambut perak dengan kulit seputih salju. Bibir berwarna ceri yang agak pucat itu sedikit terbuka dan terlihat membangkitkan gairah bagi beberapa kaum hawa.

"Ah, ya?"

"Kau baik-baik saja?"

Gadis bersurai merah muda itu sedikit tersentak, terkejut karena Kakashi seolah bisa membaca pikirannya meski kakinya masih melangkah mengikuti Kakashi menuju ruangan para petugas.

Sakura tak memiliki alasan untuk menyembunyikan apa yang ia pikirkan di hadapan Kakashi. Ia yakin lelaki paruh baya itu mampu menyadari apa yang ia sembunyikan sekalipun ia berusaha melakukannya.

"Aku masih teringat soal tadi dan merasa takut."

Kakashi sedikit mengangguk dan berkata, "Tadi? Maksudmu Sasuke-san?"

"Ya."

Kakashi mengulurkan tangan dan menepuk bahu Sakura dengan pelan, menunjukkan gesture seolah ingin menenangkan gadis itu.

"Aku mengerti. Siapapun pasti merasa takut menghadapi situasi seperti tadi kalau belum terbiasa."

"Oh, ya? Kupikir cuma aku saja."

Kakashi mengangkat sedikit sudut bibirnya dan memperlihatkan senyum menenangkan, "Bahkan psikiater sepertiku awalnya juga ketakutan, tahu. Apalagi kejadian seperti tadi tidak bisa diprediksi."

Sakura mengangguk. Setelah kejadian tadi, ia tak yakin bisa bertindak seperti biasa dengan Sasuke. Kejadian tadi seolah menebalkan tembok pembatas antara dirinya dengan lelaki itu dan ia merasa harus meningkatkan kewaspadaan jika bersama lelaki itu.

"Omong-omong, aku boleh tanya sesuatu, Pak?" tanya Sakura tepat ketika Kakashi membuka pintu menuju ruang petugas yang berjaga.

"Ya?"

"Kejadian tadi ... dia sering mengalaminya?"

Kakashi tak segera menyahut. Ia merasa ragu apakah menjawab pertanyaan gadis magang ini adalah sesuatu yang patut.

Namun seorang perawat wanita yang kebetulan menuju ruangan yang sama dan mendengar pertanyaan Sakura segera menyahut, "Dulu dia selalu begitu jika obatnya habis. Bahkan ... "

Ucapan perawat wanita itu terputus ketika menyadari tatapan tajam dan menusuk dari Kakashi. Ia sama sekali tak menyadari jika ia baru melakukan kesalahan. Ia pikir, tak ada salahnya membahas kondisi seorang pasien pada siapapun yang bekerja di rumah sakit jiwa.

Sakura hampir melonjak mendengar ucapan perawat itu. Ia merasa ngeri dan seketika merinding ketika membayangkannya.

"Kalau dia begini, apa tidak masalah membiarkannya berada di luar kamar setiap malam?" tanya Sakura dengan khawatir.

Kakashi mengendikkan bahu. Ia sendiri merasa bingung harus bersikap seperti apa dan berencana membahasnya dengan sang direktur rumah sakit. 

.

.

Senja telah berlalu dan sang rembulan kembali menaiki singgasana kegelapan serta memancarkan cahaya redup. Gadis bunga sakura itu bahkan tak menyadari waktu yang telah berlalu setelah memutuskan untuk mengisi hari dengan aktivitas berlebihan demi mengenyahkan bayang-bayang lelaki itu di benaknya.

Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menyandarkan tubuhnya di salah satu kursi dan mengarahkan netranya pada sang rembulan, juga pada pepohonan dan bangsal yang berada di kejauhan.

Gadis itu baru saja berpisah dengan Shizune yang mengajaknya untuk kembali ke ruangan dengan alasan ingin menikmati udara malam sejenak sebelum beristirahat.

"Hah ... " Gadis itu menghembuskan napas dengan kasar hingga menimbulkan suara, berusaha mencairkan rasa sesak yang memenuhi rongga dadanya.

Sejak pagi tadi ia sama sekali tak bertemu dengan Sasuke dan merasa sangat bersyukur. Seandainya mereka bertemu sekalipun, ia akan berusaha mati-matian untuk menghindari lelaki itu, meski hanya sekadar bertemu pandang sekalipun.

Sesungguhnya ia tak tahu apa yang seharusnya ia lakukan pada lelaki itu. Ia tak tahu bagaimana seharusnya bersikap ketika rasa takut menguasai dirinya.

Otak gadis itu memikirkan berbagai kemungkinan terburuk jika ia hanya berdua saja dengan lelaki itu. Namun di sisi lain, ia mulai menikmati presensi lelaki itu yang mewarnai hari-hari magang yang semula dianggapnya sebagai sebuah neraka berwujud kesialan.

Ia tak bisa bersikap seperti biasa setelah menyaksikan sisi menyeramkan lelaki itu, meski ia yakin ada sisi yang lebih menyeramkan yang belum dilihatnya dan tak berharap untuk melihatnya.

Seandainya waktu bisa dikembalikan, ia ingin kembali ke masa awal magang dimana ia masih memiliki seribu tanda tanya tak terjawab di benaknya. Seandainya ia tahu akan seperti ini, ia akan memilih membiarkan tanda tanya terlarut dalam benaknya sendiri tanpa berusaha memuaskan hasrat keingitahuan tersebut.

Netra hijau gadis itu memicing ketika menyaksikan sosok yang sangat dikenalnya berjalan ke arahnya bersama Kakashi. Ia secara refleks bangkit berdiri dan segera memalingkan wajah, namun sosok yang sangat tak ingin dijumpainya telah menemukan keberadaannya.

"Sakura."

Demi Tuhan, Sakura sangat tak berharap mendengar suara itu. Ia bahkan memilih bertemu dengan musuhnya ketimbang lelaki itu. Setidaknya, ia tak perlu berada dalam situasi yang canggung dan dapat segera menghindar serta mengambil tindakan yang pasti, sesuatu yang jelas tak bisa ia lakukan saat menghadapi lelaki ini.

"Oh, halo, Kakashi-san ... " Sakura sengaja menyebut nama Kakashi terlebih dahulu dan mengambil jeda sebelum berkata dengan suara yang sedikit dingin, " ... dan Sasuke-san."

Sasuke bukanlah orang bodoh. Ia menyadari perubahan mendadak pada cara Sakura berbicara dan menyebut namanya. Gesture gadis itu bahkan terlihat seolah menjaga jarak darinya.

Malam ini ia terbangun dengan perasaan yang sedikit aneh. Ia memang tak lagi mendengar suara apapun di kepalanya, namun ia merasa jika ada sesuatu yang salah. Seharusnya ia tak akan tidur lebih dari sepuluh jam, terkecuali jika seseorang memberikan obat yang membuatnya terus terlelap.

Ketika ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, ia mendapati Kakashi duduk di ruangannya dan mengajaknya untuk pergi keluar kamar dan menikmati makan malam sendirian ketika seluruh bangsal sudah sepi. Ia tak bisa mengingatnya dengan jelas, tetapi ia yakin pasti ada sesuatu yang telah terjadi sebelumnya meski Kakashi tak membahasnya dan ia juga tak berniat menanyakannya.

Sebelum Kakashi sempat berucap, Sakura cepat-cepat berkata, "Eh, aku ingin kembali ke kamar. Sampai jumpa."

Sakura bergegas meninggalkan kedua lelaki itu dengan langkah yang tergesa-gesa. Namun langkahnya terhenti setelah Sasuke memanggilnya dan ia memaksakan diri untuk menoleh meski tak berniat memandang wajah lelaki itu sama sekali.

"Ya?"

"Besok malam mau belajar?"

Sesungguhnya Sakura benar-benar menikmati pembelajaran piano. Hatinya memerintahkan dirinya untuk mengiyakan tawaran lelaki itu, namun logikanya memerintahkannya untuk berhati-hati dan menjaga jarak.

Ia segera berkata, "Besok siang kukabari, ya. Jangan menungguku."

Sakura segera berbalik tanpa menunggu jawaban Sasuke. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah tindakannya terkesan kejam pada lelaki itu?

-TBC-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro