Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Awal

Irreversible © Yue.aoi

Rate : T

Characters : Sasuke.U, Sakura.H

Genre : Angst

Disclaimer : All of characters in this fanfiction belongs to Masashi Kishimoto

Note : AU, OOC, Mental illness related story, please don't read this fanfiction if you are uncomfortable with the content

Requested by wulanpermita04

.

.

Sakura menatap plang yang tertera di depan sebuah bangunan yang didominasi dengan warna putih seraya menghembuskan nafas keras-keras dan mengepalkan tangan, memberi semangat pada dirinya sendiri.

Sepanjang dua puluh tahun hidupnya, Sakura tak pernah mengira kalau ia harus menghadapi sekumpulan orang yang dianggap 'gila' oleh masyarakat pada umumnya. Sang dosen memilihkan tempat magang berdasarkan undian, dan secara kebetulan ia mendapatkan tempat magang di sebuah rumah sakit jiwa.

Ketika memutuskan untuk memilih jurusan psikologi, ia memang sudah memperkirakan kalau ia akan mempelajari soal psikologis manusia dan mungkin akan bertemu dengan orang-orang yang mengalami penyakit mental. Tetapi ia tidak pernah berharap kalau ia akan menghadapi banyak orang yang mengalami penyakit mental sekaligus.

Sakura sadar jika ini adalah resiko yang akan dihadapinya ketika ia telah menjadi seorang psikolog. Namun sejujurnya ia merasa lelah secara mental ketika menghadapi orang yang mengalami penyakit mental, khususnya yang mengalami penyakit mental parah. Karena itulah ia berpikir untuk mengambil konsentrasi psikologi industri ketika penjurusan di semester depan.

Sakura memutuskan untuk melangkah dengan pasti dan memasuki bangunan rumah sakit jiwa tersebut. Ia berharap agar orang-orang yang dirawat di rumah sakit tersebut tidak terlalu parah karena sejujurnya ia sendiri merasa takut berhadapan dengan pasien gangguan mental yang cenderung agresif dan menyerang orang lain.

Terdapat dua orang perawat yang berada di bagian resepsionis. Ia tersenyum dan menundukkan kepala dengan sopan serta berkata, "Selamat pagi. Saya Haruno Sakura dari Universitas Teikyo yang akan magang di tempat ini."

Perawat itu tersenyum dan berkata seraya mengulurkan tangan, "Ah, senang bertemu denganmu. Namaku Shizune, perawat yang ditugaskan membimbingmu selama disini."

Sakura membalas uluran tangan wanita berusia dua puluhan akhir itu dan memutuskan untuk bersalaman. Ia berpikir kalau Shizune sepertinya wanita yang cukup ramah hingga langsung mengajaknya berbicara dengan bahasa informal, "Mohon bantuannya."

"Tentu saja. Jangan sungkan bertanya kalau ada yang ingin ditanyakan. Ayo ikut denganku."

Shizune meninggalkan meja dan memberitahu temannya kalau ia akan pergi sebentar dan mengantar Sakura. Ia berjalan bersama Sakura memasuki bagian dalam rumah sakit jiwa.

"Kau mungkin merasa tidak nyaman magang di tempat seperti ini. Tapi percayalah, kau pasti tak akan menyesal. Matamu tidak akan kering ketika berada disini," ujar Shizune dengan ramah.

Sakura mengernyitkan dahi. Apakah perasaannya terlihat begitu jelas dari gesture-nya? Sebetulnya Sakura bukan merasa tidak nyaman, melainkan merasa takut karena ini adalah kali pertamanya pergi ke rumah sakit jiwa sepanjang hidupnya.

"Tidak. Saya sama sekali tidak keberatan magang disini. Sebaliknya saya malah merasa senang karena bisa menambah pengalaman," Sakura memutuskan untuk sedikit berbohong. Setidaknya ucapannya mengandung sedikit kebenaran, ia memang bisa menambah pengalaman dengan bekerja di rumah sakit ini.

"Dan kau akan menemukan pemandangan menarik disini," ucap Shizune sambil tersenyum.

Sakura tak benar-benar paham dengan maksud ucapan Shizune. Apa maksudnya dengan pemandangan menarik? Apakah ia akan bertemu lelaki tampan? Rasanya hampir mustahil seorang lelaki tampan akan mengalami cobaan hidup yang begitu berat hingga dirawat di rumah sakit jiwa.

Realitanya, orang yang berwajah rupawan cenderung lebih mudah menjalani kehidupan. Ketika melamar pekerjaan, orang cenderung melihat penampilan sebelum melihat hal lainnya. Dan biasanya orang-orang juga cenderung bersikap lebih baik pada orang yang berwajah cantik atau tampan. Karena itulah tren operasi plastik bahkan sampai menjamur belakangan ini. Mereka semua merasa harus terlihat rupawan demi diterima masyarakat.

"Pemandangan menarik?"

"Ya. Cowok tampan," bisik Shizune dengan suara pelan.

Sakura hanya menganggukan kepala dan tersenyum tipis. Ia tak mengira Shizune yang terlihat kalem ternyata adalah tipikal wanita penggila lelaki tampan.

Sebagai seorang perempuan heteroseksual, tentu saja Sakura juga menyukai lelaki tampan. Namun ia tak akan memperhatikan ketampanan wajah kliennya, khususnya jika orang itu adalah pasien rumah sakit jiwa. Bagaimanapun juga ia harus bertindak profesional, dan kemungkinan mendapatkan lelaki tampan di tempat ini adalah nol persen.

"Bagaimana kegiatan harian di rumah sakit ini?" Sakura memutuskan untuk bertanya pada Shizune dan mengalihkan topik pembicaraan.

"Pada pukul tujuh pagi para pasien akan dibangunkan dan membersihkan diri. Perawat akan membantu beberapa pasien dengan ganguan mental sedang hingga berat untuk membersihkan diri mereka. Kemudian akan ada senam pagi dan sarapan serta kegiatan bagi para pasien yang dapat bersosialisasi. Jadwal kegiatan secara detil akan diberikan padamu nanti."

Sakura menganggukan kepala. Ia dan Shizune melangkah melewati beberapa bangsal dengan tingkat pengamanan khusus dan ia melihat salah satu bangsal yang diisi oleh seorang wanita yang melotot hingga bola matanya seolah akan terlepas dari matanya dan mulai berteriak-teriak ketika melihat Sakura dan Shizune yang lewat. Terdapat luka-luka di tubuh wanita itu dan tangan serta kaki wanita itu terikat pada kasur, sedangkan seluruh jari tangan kanan wanita itu sudah tidak ada.

Tampaknya Tuhan tak menjawab harapan Sakura soal kondisi pasien yang akan dihadapinya. Ia merasa ngeri dan tubuhnya bergidik tanpa sadar.

Shizune memeriksa kantungnya yang berisi suntikan obat penenang dan berkata, "Ah, efek obat penenangnya sudah habis. Tunggu sebentar, ya."

Sakura mengangguk dan melirik Shizune yang membuka pintu. Ketika pintu terbuka, teriakan terdengar lebih keras. Wanita itu menggeram dan berteriak seolah sedang mendesah serta kesakitan di saat yang sama.

Sakura hanya menatap sekilas dan melihat Shizune yang dengan cekatan menyuntikkan obat penenang ke nadi wanita itu. Sesudahnya wanita itu terdiam tenang dan hanya menatap langit-langit kamar tanpa bereaksi apapun meski Shizune tampaknya berbicara sesuatu padanya.

Sakura memalingkan wajah karena ngeri, tetapi ia tak bisa melupakan ekspresi wajah wanita yang tampak menderita itu. Meski ia berteriak-teriak, tetapi air mata mengalir di wajah wanita itu.

Shizune keluar dari ruangan dan menyadari Sakura yang tampak ketakutan. Ia menepuk bahu Sakura dan tersenyum, "Jangan khawatir. Biasanya mahasiswi magang sepertimu tidak akan ditugaskan merawat Mizuno-san."

Sakura merasa lega ketika mendengar ucapan Shizune. Ia tahu kalau ini bukan urusannya, tetapi ia merasa begitu penasaran hingga memutuskan untuk bertanya, "Maaf. Kalau boleh tahu dia kenapa?"

Shizune menatap Sakura lekat-lekat dan berkata, "Dia diperkosa secara bergiliran di perjalanan pulang dari pekerjaan part time. Ketika dia hamil dan memutuskan memberitahu keluarganya, keluarganya malah mengusirnya karena menganggapnya aib serta menyalahkannya karena dianggap terlalu menggoda."

"Hamil? Bagaimana dengan anaknya?"

"Ketika dia mengalami gangguan jiwa, dia mulai melukai dirinya sendiri hingga memakan seluruh jari tangannya. Ketika dinas sosial menemukannya di tengah jalan, dia dalam kondisi terluka karena menusuk rahimnya sendiri dengan pisau dan berusaha mengeluarkan janinnya."

Sakura menatap dengan miris. Ia tak habis pikir, keluarga macam apa yang menganggap anak perempuan yang diperkosa sebagai aib.

"Astaga! Kasihan sekali. Aku berharap dia akan sembuh."

Shizune menggelengkan kepala, "Sejujurnya aku tidak begitu yakin. Ini sudah tahun kelima dia berada disini dan sama sekali tidak ada kemajuan. Aku mungkin terdengar jahat, tetapi aku sungguh berharap agar dia meninggal ketimbang menderita begini. Selama berada disini, tak seorangpun mengunjunginya."

Sakura mengepalkan tangannya, merasa marah pada orang-orang brengsek yang melukai gadis yang tak bersalah secara fisik dan mental. Ketika ia melihat wanita itu, ia menduga kalau usianya mungkin tak lebih dari tiga puluh. Seharusnya seorang wanita muda seperti itu sedang meniti karier atau malah sudah menikah dan membangun keluarga yang bahagia, bukan menghabiskan hari di rumah sakit jiwa.

Budaya masyarakat yang cenderung patriarki seolah mengutamakan pria dalam segala hal dan menomorduakan wanita. Pria seolah diagungkan dan dipandang benar. Bahkan ketika seorang pria melecehkan atau bahkan memperkosa wanita, masyarakat cenderung berusaha tetap membela kaum pria dengan mencari celah untuk menyalahkan kaum wanita, entah dengan menyalahkan kaum wanita yang tidak berusaha menjaga diri dengan pergi sendirian di malam hari atau memakai pakaian yang dianggap menggoda.

Sakura tak habis pikir bagaimana bisa ada begitu banyak orang yang memiliki pikiran seperti itu. Kalau seorang wanita tinggal sendirian dan sedang sakit di malam hari sehingga harus membeli obat, apakah masih juga disalahkan karena pergi sendirian di malam hari? Menurut pengalaman Sakura sendiri dan cerita orang-orang yang dikenal Sakura, tidak semua orang yang dilecehkan berpakaian menggoda. Ada yang sudah memakai baju lengan panjang dan celana panjang hingga semata kaki tanpa memperlihatkan belahan dada, namun masih menjadi korban pemerkosaan Ada juga yang sudah memakai masker, memakai dress panjang yang longgar, tapi tetap dilecehkan.

Ironisnya, menurut artikel di internet yang pernah dibaca Sakura, tingkat pelecehan di kalangan kaum nudis yang jelas-jelas telanjang adalah nol persen. Kesimpulannya, permasalahan ada di dalam pikiran, bukan pada pakaian.

Sakura tak lagi bicara pada Shizune. Ia terlarut dalam pikirannya sendiri hingga Shizune mengajaknya melewati sebuah taman dimana para pasien rumah sakit jiwa beraktifitas.

Secara tak sengaja tatapan Sakura tertuju pada seorang pria yang terlihat berbeda dibanding pasien rumah sakit jiwa lainnya. Lelaki itu bertubuh tinggi dengan kulit putih serta wajah yang mampu memikat kaum hawa maupun kaum adam yang juga menyukai sesamanya. Lelaki itu tampak sedang berbincang dengan salah seorang petugas yang bekerja di rumah sakit jiwa.

Semula Sakura berpikir kalau lelaki itu adalah dokter atau mungkin petugas di rumah sakit ini, tetapi baik dokter, perawat maupun petugas lain mengenakan seragam dan memakai name tag, sedangkan lelaki itu mengenakan pakaian kasual.

"Ayo."

Sakura mengalihkan pandangan ketika mendengar suara Shizune yang memanggilnya. Ia kembali mengarahkan fokusnya ke depan, melepaskan tatapan dari lelaki menawan itu.

Dalam hati ia bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan lelaki itu hingga berakhir dengan berada di rumah sakit jiwa?

-TBC-

.

.

--------------------------------------

Author's Note :

--------------------------------------

Sejak dulu aku tertarik dengan psikologi dan sempet berpikir untuk masuk jurusan psikologi. Akhirnya aku ambil jurusan lain dan membaca beberapa artikel terkait psikologi di waktu senggang, termasuk mental illness.

Belakangan ini aku mulai bertemu beberapa kenalan yang punya mental illness dan aku merasa penasaran untuk mendalami hal ini. Dan beberapa waktu yang lalu aku juga berkesempatan untuk berinteraksi langsung dengan salah 1 temen yang punya mental illness dan kita juga cukup akrab sampai bisa saling curhat. Pengalamanku berinteraksi dan perasaanku saat itu kumasukkan juga ke fanfict ini.

Latar belakang Sakura dan Sasuke disini bersumber dari jawaban salah satu pertanyaan user di Quora mengenai pengalaman magang di rumah sakit jiwa dengan perubahan, sedangkan beberapa informasi lainnya bersumber dari artikel yang kubaca di internet. Mungkin bakal ada plot hole disini terkait dengan scene yang mungkin nggak sesuai dengan realita. Kalau kalian menemukan, jangan sungkan buat langsung comment karena topik ini memang bukan bidangku.

Sejujurnya aku berniat menulis cerita bertema mental illness dan akhirnya menulis fanfict Symphony of Autumn. Sayangnya fanfict itu cenderung lebih berfokus ke romance ketimbang mental illness sendiri, karena itulah aku memutuskan untuk lebih berfokus ke persoalan mental illness ketimbang romance disini.

Untuk fanfict ini, walaupun di judul tertulis Sasuke x Sakura fanfiction, bisa jadi nggak ada romance yang signifikan di fanfict ini, melainkan lebih berfokus pada kedekatan mereka berdua dan momen bersama. Jadi aku berharap nggak ada pembaca yang nagih soal romance yang kurang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro