Be My Model?
Kang Mina benar-benar tidak suka lorong sekolah yang sepi. Bukan, sebenarnya ia tidak suka semua tempat yang sepi dan gelap. Itu adalah salah satu ketakutan masa kecilnya yang belum berubah hingga sekarang. Sambil terus menatap sepatunya, Mina berkata pada dirinya sendiri untuk berhenti bersikap konyol. Yeri akan menertawakan sikapnya kalau ia tahu. Tapi lebih baik ditertawakan daripada terjebak di situasi tidak menyenangkan seperti ini. Kemana sih semua murid lain? Mengapa tak ada satupun yang terlihat? Mina menggerutu, persis ketika terdengar suara benda jatuh di ruang kelas yang tadi ia lewati.
Oke, cukup. Keberaniannya menciut.
Ia mulai mempercepat langkah, lebih mirip berlari, tapi langsung tersandung dan hampir menabrakkan lututnya ke lantai. Ada sebuah buku yang agak kotor karena terinjak. Mungkin sengaja dibuang, tapi mungkin juga tidak karena sampulnya masih cukup bagus. Gadis itu berpikir sejenak, lalu membawa buku itu bersamanya. Suasana di lapangan sekolah ternyata cukup ramai, sungguh melegakan. Mina menghirup napas panjang, berharap wajahnya tampak normal dan mulai membuka buku yang ia temukan.
Ternyata buku sketsa. Tanpa nama, tanda tangan atau informasi lain. Sang seniman rupanya ingin bersikap misterius. Tapi siapapun dia, gambarnya sangat bagus, apalagi di mata Mina yang tidak tahu apapun soal seni menggambar. Dihalaman pertama, ada gambar seorang pria yang tengah memeriksa handycam dengan wajah serius. sang seniman menggambarnya dengan sangat teliti, hingga seolah ketampanan pria itu terpancar dari halaman tersebut. Dibawahnya, ada tulisan : "Yuta hyung, ruang duduk."
Halaman kedua adalah gambar seorang pria lagi. Ia mengenakan seragam tim basket sekolahnya dan sedang tertawa sambil bersandar di tiang yang menyangga ring. Bahkan tanpa membaca keterangannya, Mina tahu siapa pria itu. Wajahnya langsung memerah. Ia tidak punya foto Xiao Jun, tapi gambar ini bisa jadi penggantinya. Tertulis disitu : "Si bodoh Xiao Jun, lapangan basket."
Selebihnya adalah gambar pemandangan. Sungai Han, taman, danau dengan beberapa helai daun di atasnya, bagian depan sekolah, bahkan kolong jembatan. Sang seniman pasti suka mengunjungi berbagai tempat. Dan jelas, sangat berbakat. Mina tidak bisa menebak apakah ia pria atau wanita. Dilihat dari gambarnya, sepertinya wanita. Tapi tulisan tangannya sedikit berantakan, jadi bisa saja ia pria. Gadis itu membuka halaman berikutnya dan tersentak.
Sepasang mata hitam pekat menatapnya dari halaman itu. Mata yang jelas-jelas adalah miliknya sendiri. Sang seniman menggambarnya saat ia sedang tertawa, sama seperti gambar Xiao Jun. Rambutnya berkibar kebelakang seolah tertiup angin. Ia tampak sangat bahagia di tengah sosok-sosok gelap tanpa wajah disekitarnya. Langkah Mina terhenti. Latar gambar itu tidak terlalu jelas, tapi seperti semua gambar lain, ada keterangan singkat dibawahnya. "Coke bottle, kafetaria, meja 9."
Coke bottle? Mina mengernyit. Julukan apapun rasanya lebih baik daripada itu. Lagipula ia tidak terlalu suka coke! Mina mendekatkan gambar itu kewajahnya, heran sendiri karena ada seseorang yang bisa menggambarnya dengan begitu baik. Lalu, "itu milikku."
Mina terlompat kaget. Sketsa itu terlepas dari genggamannya, dan ngerinya, meluncur ke genangan air yang ada di dekat kakinya, peninggalan hujan semalam. Ia dan pemilik suara tadi berusaha menyambarnya, tapi terlambat. "Oh tidak, tidak, tidak." Mina memungut buku itu, air kotor menetes-netes dari sana, semua gambarnya rusak, termasuk gambar Xiao Jun yang tadinya ingin ia simpan. "Buku-ku..."
"Sebenarnya buku-ku." Mina mendongak dan melihat seorang pria berwajah masam sedang menatapnya dengan tatapan kesal.
Ia meringis. "Aku tidak sengaja. Kalau saja tadi kau tidak mengagetkanku..." suaranya menghilang. Ia sendiri ikut merasa sedih.
Pria itu bersedekap. "Kau menyalahkanku? Memangnya tidak ada yang pernah mengajarimu untuk tidak membuka barang orang lain?"
Ekspresi bersalah tadi lenyap. Sekarang Mina ikut kesal karena gaya bicara sang seniman. Ia tidak lahir untuk diperlakukan tidak adil. "Dengar, ya, sudah kubilang aku tidak sengaja. Buku ini tergeletak di koridor dan bisa saja berakhir ditempat sampah, tapi aku menyelamatkannya. Menyelamatkan buku-mu, brengsek. Aku membukanya karena ingin tahu. Memangnya kau tidak pernah dengar kata 'penasaran'? Huh?"
Sang seniman menghela napas. Ibunya akan membunuhnya kalau tahu ia memarahi seorang gadis seperti tadi. Ia tidak dibesarkan dengan cara seperti itu. Akhirnya ia mengangkat kedua tangan dengan sikap menyerah. Tidak ada gunanya marah, semua sudah terjadi. Lagipula ia jarang sekali menang jika berdebat dengan seorang gadis. "Terserah kau sajalah."
Mina mendadak kebingungan. Mungkin ia tadi sudah keterlaluan. Dipandanginya buku sketsa dan pemiliknya bergantian. Sang seniman sebenarnya tampan, kalau ia mau menata rambutnya dengan benar. Rambut itu mengikal dan mencuat kemana-mana. Terlihat seperti rambut yang sudah di bleaching 7 kali. Atau mungkin memang begitu... warnanya antara pirang dan putih. "Akan kuganti."
Pria itu menatapnya skeptis. "Kau bisa menggambar?"
Ia menggeleng. "Tidak, maksudku, kau tahu kan-"
"Kalau begitu tidak usah." Dengan kalimat itu, sang seniman berbalik dan pergi, meninggalkan Mina dan rasa bersalahnya.
Selain tempat sepi dan gelap, Mina juga tidak suka berada dikelas yang bukan kelasnya dan ditatap oleh orang-orang asing. Ia mencatat hal itu dalam hati. Daftar hal-hal yang tidak ia sukai semakin banyak saja. Tapi ini harus dilakukan. Untuk menghilangkan rasa bersalah, dan... sesuatu yang lain. Jadi setelah mengecek penampilannya melalui layar ponsel mungkin untuk ke 20 kalinya, ia berjalan memasuki sebuah kelas. Syukurlah murid yang tersisa disana hanya tinggal sedikit. Mereka semua menatapnya dengan kening berkerut. Sementara Mina sibuk menatap pria itu, pria yang jadi alasan utamanya kemari. Xiao Jun yang sedang menutup ritsleting tasnya mendongak ketika Mina masuk dan memberinya senyum lebar. "Hei, kau mencariku?"
Ya, oh, ya. Tentu saja. Tapi Mina menggeleng. "Sebenarnya bukan."
Xiao Jun melirik pipinya yang merona dan terkikik. "Jadi?"
Dasar tampan. "Aku mencari seseorang-kau mungkin mengenalnya. Dia tinggi, suka menggambar, dan..." ia mencoba mengingat-ingat ciri-ciri sang seniman. "Rambutnya liar."
Xiao Jun terbahak. "Rambut liar? Itu berarti Mark." Selagi berkata begitu, ia berjalan keluar kelas, dengan Mina mengikuti dibelakangnya. "Apa kalian saling mengenal? Atau mungkin... berkencan?"
Pipi Mina tidak mungkin bisa lebih merona dari itu. "Tentu saja tidak." Semburnya cepat. Ia harus berusaha keras menahan desakan untuk membenturkan kepala Xiao Jun ke tembok dan berteriak, 'KARENA AKU MENYUKAIMU, IDIOT.'
Xiao Jun tersenyum lagi. "Bagus. Jadi aku bisa mengajakmu ke taman hiburan saat tahun baru kan?"
Benaknya butuh waktu sejenak untuk memproses ajakan itu. Selalu seperti ini jika bersama Xiao Jun. Gugup setengah mati hingga pikirannya kosong. Ia tak bisa menyembunyikan kekagetannya. "Kau mau pergi bersamaku?"
"Kalu kau mau, tentu saja."
"Aku mau!" kata Mina, terlalu bersemangat. "Di taman hiburan kan?"
"Benar sekali." Xiao Jun terkekeh sambil memegang bahunya dan membalikkan tubuhnya ke lorong yang mengarah ke taman. "Aku tunggu pukul 10, jangan terlambat. Sekarang pergilah, biasanya Mark ada di taman atau," Xiao Jun menunduk, bernapas di telinga Mina hingga lututnya lemas. "dilapangan basket. Sampai jumpa, Mina."
Mina mematung. Dadanya terasa meledak oleh kebahagiaan hingga ia tak bisa bicara. Bahkan saat berjalan ke taman, yang ada di pikirannya hanyalah : Xiao Jun mengajakkku berkencan, pukul 10 malam tahun baru, taman hiburan. Xiao Jun mengajakkku berkencan, pukul 10 malam tahun baru, taman hiburan. Xiao Jun- lalu ia melihat Mark, sedang duduk sambil membuka bungkus permen karet. "Mark?"
Mark mengerjap. Sesaat, Mina mengira ia sudah dilupakan. "Oh kau."
"Kau ingat aku?" Ia mengangguk, rupanya masih kesal. Dengan hati-hati, Mina duduk disebelahnya. Suasana taman itu tidak terlalu ramai, tapi juga tidak sampai membuatnya takut. Sempurna. "Aku sudah bilang akan mengganti buku sketsamu."
Mark merogoh saku seragamnya, dan mengeluarkan sebungkus permen karet yang ia sodorkan pada Mina. Gadis itu menerimanya dengan bingung. "Tapi kau tidak bisa menggambar kan?" Tidak ada nada ketus atau mencela di suaranya, Mark terdengar sangat tenang.
Mina mendengus dalam hati. Sejak kecil ia selalu mendapat nilai jelek dalam pelajaran menggambar. Ia memberikan buku sketsa yang dibawanya pada Mark. "Memang tidak. Aku akan menggantinya dengan hal lain. Mentraktirmu makan, misalnya."
Kali ini Mark menatap Mina, sambil membentuk gelembung permen karet. "Siapa Namamu?"
"Kang Mina."
Gelembung permen karetnya meletus. Mark menerima buku sketsa itu. Semua halamannya kosong. "Aku menghargai niatmu, Mina, tapi aku ingin buku sketsa lamaku. Bukan buku ini."
Rasa bersalahnya bertambah 2 kali lipat. "Aku sudah mencoba mengeringkannya, tapi buku-mu tetap tidak bisa diselamatkan."
Mark menghela napas, tampak kecewa. "Menggambar itu sulit."
Mina membuka bungkus permen karetnya dan memasukkan permen itu ke mulut, sekedar untuk melakukan sesuatu. "Jadi bagaimana?"
"Ada 9 gambar disana. Kau harus menggantinya dengan menjadi modelku."
"Modelmu?" Tanya Mina, hampir tersedak.
Mark meliriknya dengan sorot mata geli. "Aku tidak akan memintamu untuk telanjang atau semacamnya. Kau hanya perlu berpose dan membiarkanku menggambarmu." Wajah muramnya mendadak lenyap digantikan oleh wajah bersemangat. "Aku belum pernah punya model."
"Tidak bisakah yang lain saja? Aku bisa membelikanmu-"
"Jadi begini, ya, sikap orang Korea? Tidak mau bertanggung jawab atas kesalahan yang mereka buat?"
Sial. Kepala Mina rasanya seperti bom yang hampir meledak. Dasar licik. "Tentu saja tidak! Aku hanya harus melakukannya 9 kali kan? Kapan kita mulai?"
"Sekarang boleh. Aku bawa pensilku."
"S-sekarang?"
Mark tersenyum, terlihat seperti seniman sinting. "Kau ada masalah dengan itu?"
Mina menggeleng. Toh ia ingin semua ini berakhir dengan cepat. Tapi meski mengingatkan diri sendiri bahwa ia melakukannya demi nama baik orang Korea, tetap saja ia merasa kesal.
Hari ke 4 menjadi model Mark, malam tahun baru.
"Pokoknya saat Xiao Jun datang, kau harus cepat-cepat pergi dan jangan mengganggu kami. Ingat itu, Mark Lee."
Mark menghela napas. Modelnya sudah mengatakan itu 3 kali. "Jangan bergerak." Ia sibuk menggambar Mina yang sedang tersenyum seperti orang gila dilatari wahana roller coaster. Tapi itu bukan masalah, ia suka menggambar seseorang yang bahagia. Tapi suasana taman hiburan yang ramai membuatnya sulit berkonsentrasi.
"Kau belum selesai?" Mina yang sengaja datang lebih awal merasa sangat bersemangat. Ia bahkan rela membatalkan rencana tahun barunya bersama Yeri. Dan untunglah, sahabatnya itu bisa menerima asal Mina mau menceritakan detail kencannya secara lengkap.
"Hampir." Mark mengerutkan kening, ia tahu harus cepat-cepat.
Mina, yang sedang duduk dikursi di depan Mark menyipitkan mata, mencoba melihat tanda-tanda kemunculan Xiao Jun ditengah kerumunan orang-orang. Tapi tidak ada. Belum. "Memangnya kau tidak punya rencana tahun baru, ya?"
"Punya," Mark meliriknya sekilas, "menggambarmu."
Modelnya tertawa. "Aku dengar para seniman itu biasanya punya kepribadian yang aneh, ternyata memenag benar." Selama 4 hari ini, mereka rutin bertemu. Mark rupanya teman yang menyenangkan. Ia pendengar yang baik dan punya selera humor yang bagus. Jadi ia tidak keberatan ditemani pria itu disini. Mereka tidak bicara lagi hingga Mark selesai menggambar.
Xiao Jun belum juga datang. Mina, yang tidak ingin berprasangka buruk memilih pindah kursi untuk melihat karya Mark, yang selalu membuatnya kagum. "Apa kau suka menggambar sejak kecil?" Mark mengangguk, sibuk mengunyah permen karet yang selalu ada dalam sakunya. Mina memutar otak, mencoba mencari topik pembicaraan karena tidak ingin dia pergi. "Kenapa kau memberi keterangan 'coke bottle' digambarku yang ada di buku sketsa lama?"
Mark berhenti mengunyah. Wajahnya mendadak memerah. "Bukan apa-apa."
Mina menyikutnya dengan pelan. "Bohong. Ayolah, katakan yang sejujurnya. Apa menurutmu wajahku terlihat seperti coke bottle?"
"Bukan wajahmu," kata Mark, yang setia menunduk. "Tapi bentuk tubuhmu."
"Jadi maksudmu bentuk tubuhku seperti coke bottle?"
Mark meringis. "Jangan tersinggung, itu pujian."
Mina tergelak. Jika bersama Xiao Jun membuatnya berdebar, bersama Mark hanya terasa nyaman. Tak banyak pria yang bisa membuatnya merasa seperti itu. Siapa yang mengira pertemuan pertama mereka yang diwarnai pertengkaran justru berakhir menjadi semacam.. persahabatan? Mina melirik jam tangannya dengan gelisah. "Apa Xiao Jun memang biasa terlambat?"
Mark mengangkat bahu, ekspresinya tampak merenung. "Begitulah. Dia teman yang menyenangkan, tapi tidak terlalu baik."
Disekeliling mereka, puluhan pasangan sibuk merapatkan tubuh dan berbisik-bisik. Beberapa bahkan tidak sungkan berciuman. Semuanya tampak bahagia, kecuali Mina, mungkin. "Apa maksudmu?"
Jawaban Mark adalah permen karet. Mina menerimanya dengan wajah kesal. Kalau sudah seperti itu, berarti Mark tidak mau membahasnya. Ia bukan tipe orang yang bisa didesak. "Telepon dia."
"Sudah kulakukan. Tidak ada jawaban."
Keduanya kembali duduk diam. Mereka menunggu lama sekali disana hingga punggung Mark terasa kaku dan Mina mulai menggerutu dalam hati. "Ayo jalan-jalan. Atau kau mau disini terus?"
Mina menggeleng. Ia buru-buru bangkit sambil merapikan gaun biru-putihnya. Kalau sudah sampai, Xiao Jun pasti menghubunginya kan? Ia tidak mungkin lupa atau tidak datang tanpa pemberitahuan. Pria sejati tidak akan bersikap seperti itu. Mungkin lalu lintasnya sedang buruk...
Mark, yang berjalan 2 langkah didepan mendadak berhenti hingga Mina hampir menabrak punggungnya. "Ada apa?"
"Lihat disana," Mark kembali meringis.
Tatapan Mina terpaku pada pasangan yang tampaknya baru saja turun dari wahana viking. Tangan si gadis mencengkeram lengan si pria dengan erat seperti ular melilit mangsanya. Mina tidak tahu siapa gadis itu, tapi yang pria jelas-jelas adalah Xiao Jun. Ia tidak bisa mengalihkan tatapan, meski pemandangan itu seolah membakar hatinya.
Lalu mereka bertatapan. Mata Xiao Jun membelalak dan ia kelihatan panik hingga teman kencannya bertanya-tanya. Meski tidak mau mengakuinya, gadis itu memang lebih cantik dari Mina. Tapi karena sedang marah, di matanya gadis itu tampak seperti rubah penggoda yang cocok di masukkan ke tempat sampah yang ada di dekat mereka. Xiao Jun tidak menjawab, ia justru menyeret gadisnya pergi dengan langkah-langkah cepat.
Mereka pun pergi, begitu saja.
"Wah," kata Mina, sejenak tidak bisa berbicara. "Jadi ini maksudmu? Kenapa kau tidak bilang dia playboy menjijikkan yang-"
"Sudahlah," potong Mark yang khawatir Mina mengejar mereka dan menghabisi Xiao Jun. Ibunya selalu bilang gadis yang sedang marah bisa melakukan apa saja yang sama sekali tidak terduga. Tapi Mina tampaknya masih terlalu terguncang.
"Akan kubunuh dia. Lihat saja nanti."
"Jangan menangis." Mark menggenggam tangannya dengan erat, entah dari mana datangnya keberanian itu. Selama ini mereka jarang melakukan kontak fisik hingga sentuhan itu membuat Mina kaget.
"Aku tidak menangis!" pekik Mina, meski satu tetes air matanya mulai mengalir menuruni pipi.
Mark menghela napas. Gadis yang menangis selalu membuatnya panik dan tidak nyaman. Ia menoleh ke sekeliling, tempat kios-kios kecil bertebaran disekitar mereka. Lalu dilepasnya tangan Mina, kemudian pergi.
Mina menutup wajahnya dengan kedua tangan. Saat ini tak ada yang lebih di inginkannya daripada mengamuk hingga puas. Ia teringat bagaimana dirinya mempersiapkan diri dengan begitu baik untuk kencan sialan ini, serta harapan konyolnya untuk mengalami adegan-adegan romantis dalam drama yang di akhiri dengan ciuman manis. Yeri pasti akan marah. Yeri.. kalau ada disini, ia pasti tahu harus melakukan apa, dan bukannya meninggalkannya seperti Mark! Dasar pria! Seharusnya ia menghabiskan tahun baru dengan Yeri, atau berkumpul bersama keluarganya-meskipun itu akan sedikit membosankan. Ia mulai mengutuk dalam berbagai bahasa yang diketahuinya sambil berbalik, tapi sebuah tangan menahan bahunya. "APA?!"
Ternyata Mark. Mina memang tidak berharap bertemu Xiao Jun sekarang ini. Tidak tanpa pisau atau kapak ditangan. "Mau kemana?"
"Pulang!" Katanya ketus, tapi memperhatikan bahwa Mark membawa permen kapas, cokelat, setangkai bunga, dan boneka kecil berbentuk kelinci dilengannya.
"Kita sudah terlanjur sampai disini. Kenapa tidak nikmati-" Boneka kelincinya meluncur jatuh. Kali ini Mina berhasil menangkapnya. "Apa ini untukku?"
Mark mengangguk. "Akan kuberikan kalau kau berhenti menangis."
"Sudah kubilang aku tidak menangis!" Mark memutar bola mata sementara Mina mengamati boneka tersebut. "Tapi aku lebih suka kucing..."
"Bukan masalah, modelku." Kata Mark, tersenyum. Karena boneka itu kini dipegang Mina, satu tangannya bebas. Digunakannya tangan itu untuk menggenggam tangan Mina, seperti tadi. "Ayo." Malam semakin larut, tapi masih ada waktu untuk bersenang-senang sebelum berkumpul menyaksikan pertunjukan kembang api. Keduanya melangkah perlahan-kali ini berdampingan-seperti senyum Mina yang juga perlahan terbit. Mungkin malam tahun barunya tidak benar-benar rusak...
Note : Yang ini juga dibikin pas era limitless, jadi bayangin rambut mark kek era itu hehe
STARTED & FINISHED : 10 FEB 2019
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro