2. After School Love Story
Hari senin tiba dengan lambat.
Ketika kembali ke sekolah hari itu, semua orang setuju bahwa Ryujin jadi lebih ceria dengan cara yang tidak normal. Seolah ada matahari yang menyinarinya dari dalam, dia terus tersenyum sepanjang pelajaran dan berkata pada Lia, si teman sebangku yang sangat penasaran, bahwa nanti dia akan bertemu seorang pangeran一julukan lain yang ia berikan pada No Jam.
Hari itu, tas lusuh Ryujin yang sudah dicuci jadi lebih gendut berkat tambahan sebuah jaket hitam yang sudah ia cuci pula. Nyaris seluruhnya berwarna hitam, jaket itu hanya punya sisipan warna putih di lengan, dan perak untuk ritsletingnya. Uniknya, Ryujin menemukan inisial J di label petunjuk pencucian yang ditulis dengan spidol hitam yang ditebalkan berkali-kali. Seakan itu belum cukup, ada tulisan lain di bagian dalam pinggang jaket itu, yang terdiri dari 4 huruf, "JENO!!!".
Jeno, apa itu namanya?
Tapi kenapa dia perlu menuliskan nama itu?
Apapun alasannya, menurut Ryujin nama Jeno sudah terdengar indah, seperti orang yang (kemungkinan) menyandangnya.
Ketika bel pertanda berakhirnya pelajaran berbunyi, Ryujin bergegas keluar kelas sebelum Lia mencegatnya dan melakukan wawancara. Dia sadar bahwa hari sabtu itu, seharusnya dia menetapkan tempat perjanjian yang spesifik, tapi karena terlalu antusias, dia jadi lupa. Ryujin memutuskan, dia akan mencari di halaman sekolah dulu, lalu menunggu di halte seandainya No Jam tidak bisa ditemukan di manapun.
Rupanya, Ryujin tidak perlu bersusah payah.
Dia melihatnya.
Berdiri dengan tampang bosan di dekat tempat parkir motor khusus siswa sambil memegang ponsel dengan pose khas orang yang sedang main game. Menilik dari ekspresinya, jelas apapun yang dimainkan No Jam tidak berjalan lancar karena dia mengerang dan melakukan gerakan seolah akan membanting ponselnya.
Ryujin menyusup hati-hati di belakangnya, berharap dia tidak mengagetkan cowok itu. "Halo, No Jam."
No Jam menoleh.
Tadinya Ryujin mengira No Jam akan tersenyum, karena dia begitu ramah di pertemuan pertama mereka. Namun kali ini, dia justru mendapat tatapan bingung dan mata curiga yang meneliti Ryujin dari atas ke bawah. "Ya?"
"Aku Ryujin." Ryujin mengangkat jaket yang ia bawa dan memamerkannya berharap pakaian itu akan menggugah ingatan No Jam. "Kita bertemu sepulang sekolah hari sabtu dan kau meminjamkan jaketmu. Ingat kan?"
No Jam tampaknya tidak ingat.
Ekspresinya saat menerima jaket terlihat bingung dan yang menarik perhatian Ryujin, dia lebih dulu memeriksa label cuci dan tempat adanya tulisan "JENO!!!" alih-alih kebersihan jaketnya. "Kau mau mengembalikan ini? Aku akan menyampaikannya nanti."
Menyampaikan?
Kerutan muncul di dahi Ryujin. Bukankah kata 'menyimpan' adalah kata yang lebih tepat?
Sepasang mata Ryujin beraksi, balas meneliti No Jam seperti yang ia lakukan. Pertama, rambut No Jam yang sekarang keliatannya lebih panjang dari malam sabtu kemarin, tapi bisa saja Ryujin salah. No Jam hari ini tidak memakai dasi dan penampilannya agak berantakan, tapi ya, itu dia! Blazer yang melekat di tubuhnya berhias name tag bernama "Lee Jeno" yang mencolok. Ryujin tertawa. "Namamu benar Jeno?"
Cowok di depannya menurunkan pandangan ke name tag-nya mengikuti arah yang ditengok Ryujin. "Hmm ... ya. Jeno. Memangnya aku tidak memberitahu namaku?"
"Kau hanya bilang No Jam!"
Sudut-sudut bibir No Jam一oh, Jeno terangkat membentuk seringai geli. "Itu julukan dari adikku."
"Aku tahu." Sebelah alis Ryujin naik lebih tinggi dari yang lain. "Kau sudah mengatakannya. Apa kau pelupa akut?"
Jeno terbahak dan memasukkan ponselnya ke saku一tanda dia menganggap Ryujin cukup penting untuk diajak bicara lebih lanjut. "Jadi kita bertemu hari sabtu dan aku meminjamkan jaket padamu?"
Sambil melirik waspada ke kanan-kiri, Ryujin mengangguk, berharap tak ada satupun teman sekelasnya yang memergoki ia bicara dengan seorang cowok, atau itu akan jadi gosip menghebohkan keesokan harinya. Berita kalau Ryujin si singa dekat dengan orang setampan Jeno, pasti akan jadi berita besar yang berlebihan.
"Lalu apalagi?"
Bahu Ryujin terangkat. Sebenarnya, dia agak kecewa karena dilupakan dalam kurun waktu sehari. "Aku janji akan mentraktirmu makan di Moon Young."
Mata Jeno berbinar gembira. "Makan?"
"Ya, tapi itu kalau kau ma一"
"Hahahaha, tentu saja aku mau!" Sahutan bersemangat Jeno diselingi tepukan bersemangat juga di pundak Ryujin yang mengejutkannya. "Ayo, kita ke Moon Young sekarang ... Ryujin?"
Ryujin mencoba bercanda. "Bukan ksatria kamus?"
Ekspresi heran kembali menghinggapi wajah Jeno. "Huh? Apa?"
"Sudahlah, lupakan saja." Ryujin mengibaskan tangannya, mendengus keras dan kesal. Demi menghibur diri, dia berkata dalam hati bahwa pertemuan mereka berlangsung singkat一tidak sampai setengah jam!一dan wajar saja Jeno lupa padanya. Mungkin, hal yang sama akan terjadi pada Ryujin seandainya Jeno tidak terlalu mempesona untuk dilupakan.
Tidak adil.
Mengulang apa yang terjadi di hari sabtu, mereka berjalan bersama. Letak cafe Moon Young tidak jauh sehingga mereka tidak butuh kendaraan ke sana. Cukup dengan kaki, menempuh jarak beberapa meter, keduanya telah bisa melihat atap hijau cafe tujuan mereka yang memberi nuansa ceria.
Selama itu, Ryujin terus mengamati Jeno, mencari sesuatu一dia tidak yakin apa itu一yang membuatnya terkesan berbeda.
Pasti bukan karena kacamata, karena tanpa benda itu pun, mata Jeno kelihatan sama saja; lebar dan ekspresif. Hidung sempurna yang sama, bibir yang lekuknya seksi juga. Secara keseluruhan, dia tidak ada bedanya dengan orang yang ditemui Ryujin tempo hari.
Tetap saja, Ryujin merasakan ada sesuatu yang ganjil.
Sebagian, disebabkan oleh lebarnya senyum Jeno saat ini. Ryujin ingat, Jeno di halte punya senyum malu-malu, bukannya nakal seperti itu. "Kenapa? Apa ada sesuatu di wajahku?"
Ryujin kembali menggeleng. "Tidak."
Kemudian, dia teringat satu hal!
Di wajah Jeno memang tidak ada apa-apa, tapi itulah masalahnya! Ryujin tercengang, tidak mengerti mengapa ia tidak segera mengetahui ini. Pipi Jeno, tempat seharusnya ada setitik bintang, sekarang kosong! Pipi itu bersih tanpa tanda apapun!
Kaki Ryujin berhenti berjalan. "Kemana tanda di pipimu?"
Jeno mengikuti jejaknya. "Apa? Ada apa dengan pipiku?"
Frekuensi seringnya Jeno berkata "apa?" membuat Ryujin berdecak sebal. "Pipimu! Kemarin kau punya sebuah mole di pipi kananmu kan? Kemana perginya mole itu?"
Jari tangan Jeno bergerak menyentuh titik yang tepat yang dimaksud Ryujin, dan mengelusnya seakan dia sedang menghapus coretan di papan tulis. "Itu bukan mole. Itu noda spidol."
Spidol?!
"Ayo masuk." Dengan tujuan jelas dia ingin mengalihkan topik menggunakan alasan ngawur, Jeno menarik lengan Ryujin dan mendorong pintu kaca Moon Young yang merefleksikan siluet tubuh mereka hingga terbuka. Senyum di wajahnya bisa saja diartikan bahwa dia baru saja menemukan sekarung emas. "Baunya..." Dia menghirup napas panjang dan nyengir pada Ryujin. "Boleh aku pesan banyak?"
Ryujin merasa terhibur hanya dengan melihat senyum itu. Seseorang yang sangat bahagia karena makanan, Jeno ternyata orang yang sederhana. "Tentu."
Tapi 5 menit selanjutnya, Ryujin menyesali keputusannya.
Jeno pasti sedang bercanda.
Tidak mengingkari ucapannya, dia benar-benar memesan banyak makanan. Kimbap, tteokbokki, sundubu jjigae. Ketika nama-nama makanan itu disebut satu-persatu, Ryujin duduk merosot di kursinya dan melakukan perhitungan dalam kepala; apa uang di dompet beruangnya cukup membayar semua itu?
Senyum Ryujin berubah kaku dan semakin mengecil. "Lapar?"
"Aku belum makan sejak istirahat makan siang." Jeno mengakui terang-terangan, menunjukkan jarinya sesuai jarak antara jam istirahat dan jam pulang. "Kau tidak pesan apa-apa?"
"Ramen." Ryujin berkata dengan lesu pada pelayan yang menunggunya sambil bersiap dengan buku catatan kecil serta sebuah pulpen. "Hanya ramen." Lalu setelah pelayan itu pergi, Ryujin bertanya, "Kau tidak suka ramen?"
Punggung Jeno bertemu dengan sandaran kursi dan ia menggeliatkan tubuhnya dengan cara menarik tangan ke atas. "Ramen itu tidak sehat. Kalau bisa makan sesuatu yang lebih enak, kenapa tidak?"
"Kau benar." Ryujin menyahut masam, diam-diam menambahkan 1 keanehan lain pada diri Jeno yang kini sudah berganti selera makan.
Sebelah mata Jeno mengedip. "Anggap itu biaya sewa untuk jaketku."
Dia tertawa seperti Joker yang secepatnya butuh perawatan.
"Jadi, Ryujin." Siku Jeno beralih mendarat di meja saat dia menyangga dagunya dengan tangan, menampilkan pose sok keren yang sebenarnya memang keren. "Kau datang dari planet mana? Aku merasa pernah melihatmu sebelumnya. Tingkat 2?"
Ryujin mengernyit. "Jeno?"
"Ya?"
"Apa kepalamu terbentur sesuatu dan kau jadi amnesia?"
Tawa keras Jeno yang volumenya tidak terkontrol membahana ke seluruh cafe, bahkan mengakibatkan seorang pelayan yang malang terlompat kaget.
"Aku gampang ... lupa." Wajah Jeno memerah, tapi kali ini bukan karena malu, melainkan menahan tawa. "Anggap saja efek samping pelajaran kimia."
"Bisa dimengerti." Ryujin berbohong. Meski dia pun sering merasa otaknya kacau di praktik kimia atau pelajaran lain yang melibatkan angka-angka dan rumus, tapi dia gagal membohongi dirinya sendiri bahwa Jeno tidak bersikap aneh. Dia benar-benar seperti orang lain! "Aku sekelas dengan Haechan. Dia yang..."
Kalimatnya menggantung; itu sebuah tes.
Tangan Jeno melayang ke dagunya dan dia mengetuk-ngetuk bagian tubuh itu saat berpikir dengan lagak dramatis. "Yang kulitnya eksotis? Aku kenal Haechan. Orang-orang memanggilnya pudu."
Lulus dengan nilai bagus.
Ryujin cemberut, dia mulai berpikir bahwa dia terlalu banyak berpikir一kalau itu masuk akal. Aneh mengira Jeno bukanlah Jeno ketika dia duduk di depannya dengan wajah yang sama persis dan beberapa keanehan yang di situasi tertentu, bisa saja dianggap normal.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi (oke, dia memang terlalu banyak berpikir) Haechan berasal dari planet orang-orang tenar di sekolah. Banyak yang mengenalnya dan berteman dengannya karena Haechan lucu. Mengarang lelucon, menyenangkan orang lain adalah keahliannya. Jadi lulusnya Jeno dari tes tidak resmi Ryujin tak bisa dinilai istimewa.
Di sisi lain, karena tidak memiliki bahan untuk tes kedua, Ryujin makan dengan tenang saat makanannya tiba.
"Selamat makan, Ryujin." Jeno menjepit sumpitnya dan menggerakkannya bolak-balik memilih makanan mana yang hendak ia lahap lebih dulu. "Terimakasih atas makanannya."
Ryujin tersenyum walaupun dia hampir bisa mendengar dompetnya menangis usai membayar makanan mereka, berkat sistem pembayaran Moon Young yang harus membayar di muka.
Dari sudut mata, Ryujin mengawasi Jeno yang makan dengan cepat, memasukkan potongan kimbap ke mulutnya layaknya blender berkekuatan tinggi menghabisi sebuah wortel. Bukan kelaparan, Ryujin mengambil kesimpulan bahwa Jeno hanya suka makan.
Seharusnya dia tidak perlu takjub; siapa sih yang tidak suka makanan gratis?
Ryujin menunduk, menyendok kuah ramennya yang lezat. Dia mengangkat sendok itu dan baru akan menyeruputnya saat seseorang melintas di sampingnya kemudian berseru, "Eric!"
Lalu helaian kertas tebal yang dibentuk menjadi gulungan menghantam kepala Jeno seperti yang pernah Ryujin perbuat dengan kamusnya.
Seorang cowok berdiri sembari mengangkat senjata seadanya itu, siap menggunakannya lagi. "Sudah kubilang jangan memonopoli motor, aku membutuhkannya. Mana kuncinya?"
Seorang cowok yang ngerinya, berwajah sangat amat mirip dengan Jeno.
Jeno mendelik terganggu. "Kau tidak lihat aku sedang makan?"
Tapi cowok asing itu balas mendelik juga sehingga kemiripan mereka semakin membingungkan. "Aku tidak peduli. Berikan kunci motornya, aku punya janji dengan seseorang. Dan demi Tuhan, harus berapa kali kuingatkan untuk mengecek nama dulu sebelum kau memakai sesuatu? Blazer kita tertukar lagi setelah pelajaran olahraga!"
"Masa?" Jeno bahkan tidak berusaha terdengar merasa bersalah. Di hadapkan dengan tatapan marah dan omelan panjang cowok itu, dia masih berkonsentrasi untuk makan. "Maaf, tidak sengaja."
Si ksatria kertas menghela napas, sudah tidak terdengar terlalu marah. Dia melepas blazernya sendiri dan menyerahkannya pada Jeno. Di dada kiri seragam itu, name tag dengan tulisan "Lee Eric" bagai tertawa pada Ryujin yang menganga lebar-lebar. "Ini. Tukar."
Tukar? Lee Eric?
Apa yang sedang terjadi di sini?
Kepala Ryujin rasanya berputar-putar. Dia merasakan sesuatu yang tidak beres mendengar suara si cowok asing yang justru akrab di telinganya. Dia menjatuhkan sendok ramen dan mengamati mereka bolak-balik. Mirip. Sulit dibedakan.
Sulit dibedakan.
"Hei, Ryujin." Menambah meriah suasana, orang yang sempat jadi topik pembahasan dia dengan Jeno di dua pertemuan mereka bergabung dengan ketiganya. "Sedang apa kau bersama Eric?"
Ryujin memaksa kepalanya menoleh pada 1 orang lagi yang marganya Lee, tak lain merupakan teman sekelasnya, Haechan si pudu. "Eric?"
Haechan menggulung lengan seragamnya dan mengiyakan. "Ini Jeno." Dia menyikut cowok yang memegang kertas. "Katanya kalian sudah saling kenal, ya? Kalau dia." Haechan berpindah ke sebelah si tukang makan dan mengambil alih tteokbokki yang belum ia sentuh. "Dia adik kembarnya, namanya Eric."
"Kembar." Ryujin mengulang seperti orang bodoh.
Orang yang diklaim Haechan sebagai Jeno menatap Ryujin dan mengeluarkan senyum malu-malunya karena baru menyadari kehadiran gadis itu. "Ryujin? Kau datang lebih awal?"
Di bawah mata kanannya, terdapat tanda titik bintang yang dirindukan Ryujin dan tidak salah lagi, merupakan tanda bahwa dia adalah Jeno yang asli.
Ryujin mulai tertawa.
"Aku, uh..." Jeno palsu, Eric, atau siapapun dia yang menyeret Ryujin kemari dan menguras dompetnya, berdeham kikuk dan buru-buru berdiri. "Sepertinya aku harus pergi."
"Eric?" Ryujin memastikan, dia turut berdiri. Matanya melirik tas berisi dompetnya yang sekarang cuma menampung uang receh, titik bintang di mata Jeno, dan name tag Lee Eric yang sudah ditukar pemiliknya. "Kau Eric?"
Eric mengerjapkan matanya dengan tampang polos. "Eh ya, benar. Salam kenal, Ryujin."
Dia melewati Haechan yang sudah mencuri kesempatan dalam kesempitan, saudaranya yang tidak memahami situasi, dan mengambil langkah-langkah cepat ke pintu. "Selamat tinggal, semuanya."
Dia melambai.
Gelak tawa Ryujin mengiringi langkahnya yang bergegas menyusul di belakangnya. Dia sudah tidak peduli pada tasnya, dia hanya ingin bicara dengan Eric. Saat itu, dia bukan lagi Ryujin si gadis manis. Dia adalah Ryujin si singa yang amarahnya menyala-nyala. "Hei, hei, kemarilah."
Eric berjalan makin cepat.
"Muntahkan." Ryujin menyusulnya tak kalah cepat.
"Apa?"
"Muntahkan makanannya. Itu seharusnya untuk Jeno." Dia menuntut, berlari dan menangkap tas Eric sebelum dia kian jauh dan lepas dari jangkauannya. Tangannya mencengkeram tas itu ibarat singa yang mengunci mangsanya. "DASAR KAU TUKANG MAKAN PENIPU YANG ***###!!!一"
"Aw, ouh, tolong! Ini penganiayaan! Jeno-hyung, siapapun, tolong!"
Dari meja yang sama yang dihuni Ryujin, Jeno memiringkan kepalanya dan bengong menonton Ryujin menghajar Eric dengan brutal dan berusaha menendang pantatnya sementara Eric meminta pertolongan pada orang-orang.
"Ada apa dengan mereka?"
Haechan yang memperoleh tteokbokki gratis tidak ambil pusing. "Tidak tahu. Yang penting aku bisa ikut makan. Kau mau?"
Dari dulu gua pengen banget bikin ff Jeno-Eric saking miripnya mereka, jadilah ff ini yang mudah2an lucu dikit dan menghibur asique 🙏😳
STARTED : 06-06-2020
FINISHED : 11-06-2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro