Irrational: 50 Years Later
Didekasikan untuk Natsu_Roku
#AlphaSciFiChallenge
.
Disclaimer by Marissa Meyer
.
REMANG. Pandangan pertama yang dilihat Cinder. Matanya masih menyipit, buram masih melanda kedua netranya. Samar-samar cahaya menerobos pandangannya. Seolah-olah layaknya jarum yang tanpa izin menusuk masuk. Berkat itu lagi-lagi Cinder memejamkan matanya sekali lalu berangsur-angsur membuka normal dengan kerlipan tanda tanya.
Pertama, yang Cinder lihat saat ini adalah sebuah ruangan berbentuk persegi panjang. Putih adalah warna yang mengitari ruangan 10x10 meter tersebut. Ruangannya bersih, putih berkilau seperti belum pernah dijamah sekali pun. Lampu putih di atasnya bersinar. Dapat Cinder ketahui dari pemindah sebelah matanya bahwa lampu tersebut termasuk lampu bio bakteri. Cinder tidak heran karena hampir semua penghuni Bumi, bahkan Bulan sudah mulai memakai lampu terobosan terbaru ini. Seingatnya, penemunya di Bumi sendiri adalah Dokter Erland. Dokter pribadi Istana New Beijing, sekaligus merangkap sebagai dokter pribadi Cinder secara tidak langsung. Setidaknya semenjak ia diketahui sebagai orang Bulan serta pewaris sah takhta Kerajaan Bulan.
Cinder abai tak abai dalam perihal tersebut. Seharusnya saat ini ia tengah dalam perjalanan untuk kembali ke New Beijing. Akan tetapi, entah karena perihal apa ia mesti hadir dalam ruangan yang hanya berisikan lampu bio bakteri di atasnya, ranjang berukuran single, serta nakas di samping ranjangnya. Ruangan ini sungguh luas jika hanya menyimpan barang-barang terkait. Entah siapa atau mengapa ruangan ini hanya berisikan beberapa barang saja, padahal masih tersisa banyak area untuk disisipkan barang-barang lain.
Well, yang membuat Cinder tertarik untuk berpikir adalah perihal eksistensinya saat ini. Akalnya tak henti-hentinya bertanya, bahkan sampai menyambungkannya dengan berbagai asumsi yang terjadi atau diterkanya—juga yang diketahuinya sangat irasional, tetapi tetap ia hubung-hubungkan. Sungguh tak habis pikir Cinder kali ini. Bisa-bisa tingkahnya dapat membuat Iko menepuk jidat dengan salah satu tangan android-nya.
Cinder tak mengerti, mengapa ia berada di sini?
Sudah pasti hal lumrah bagi siapapun akan bertanya, bahkan jika itu pada diri sendiri. Dan hal itu sudah berlaku pada Cinder. Siapapun pasti akan kebingungan lalu mempersilakan tanda tanya menguasai, apabila ia sekonyong-konyong berada pada tempat lain yang di mana tidak diketahui sama sekali.
Sempat ia putar berbagai banyak kemungkinan. Salah satunya bahwa tempat ini adalah rumah sakit jiwa. Bisa ia bayangkan bentuk rumah sakit jiwa pada umumnya. Apalagi terhitung tempat yang dijadikannya sebagai bangun tidur memiliki kondisi yang terlihat steril. Dapat saja bukan, jika hal itu memungkinkan? Dan lagi-lagi ia mesti bertanya, mengapa ia dapat terpikir kemungkinan yang memiliki peluang kurang dari tiga puluh persen tersebut. Ditambah, alasan apa yang mendorong ia untuk dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa? Hati Cinder berkata itu tidak logis, serta akalnya yang memiliki kercedasan buatan juga bertutur demikian.
Lagi pula, seharusnya Cinder salah tempat. Tempat yang paling memungkinkan untuk jenis orang sepertinya adalah tempat isolasi, atau semacam pengasingan. Semua manusia normal yang memandang pasti setuju jika ia dimasukkan ke tempat seperti itu. Mengingat dirinya adalah seorang cyborg dengan persentase 36,38% yang menandakan bahwa sebagian tubuhnya telah diganti dengan tubuh cyborg. Manusia pada umumnya pasti takut jika melihatnya. Cyborg di zaman sekarang ini masih terbilang tabu karena mereka memiliki tubuh yang tidak normal dan dapat melampaui manusia normal pada umumnya.
Hal inilah yang dapat Cinder yakini sebagai tempat terlogis untuknya. Meski alasannya berada di sini masih mengumandangkan tanda tanya besar.
Tempat mana lagi yang cocok untuknya selain di sini? Kantor polisi dengan android-android yang menjaganya? Mungkin tidak buruk, pikir Cinder. Apa rumah sakit yang mesti Cinder pertanyakan karena tempat perawatan dan kesehatan tubuhnya bukanlah rumah sakit. Akan tetapi, bengkel dengan suku cadang yang diperlukannya.
Cinder menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Ia makin dibuat pusing dengan pertanyaan sederhananya, tetapi dibuat rumit oleh dirinya sendiri. Cinder bangkit dari tidurnya, duduk bersandar pada dinding di belakangnya. Mungkinkah efek kembalinya dia dari Federasi Eropa membuatnya ia menjadi aneh? Cinder mengangkat bahu, tidak tahu jawaban atas pertanyaannya sendiri.
Jika ada Thorne di sampingnya, pasti lelaki konyol tersebut akan menertawakannya. Lalu diikuti tawa Scarlet dan Wolf. Serta gema tawa Iko yang tengah memonitori Rampion dengan chip yang dipindahkannya dari tubuh android-nya ke monitor pesawat.
Diam-diam Cinder tersenyum membayangkan kejadian-kejadiannya dulu. Senyumnya seakan-akan menyimpan kenangan. Itu merupakan kenangan konyol yang tak dapat Cinder lupakan sebagai buronan internasional. Ah ya, saat ini dirinya merupakan buronan internasional. Ia lupa dengan fakta tersebut. Kini Cinder menarik konklusi lain untuk menyambungkan asumsinya. Apakah ia diisolasi karena tak sengaja menampakkan diri, apalagi dengan statusnya sebagai buronan internasional? Sungguh alasan logis.
Ia tidak memikirkannya, bahkan sudah lupa jika tak tiba-tiba ingat dengan titel buronan internasional. Semenjak pertunangan Ratu Bulan nan Keji dengan Kaisar Kai ia gagalkan, dan terciduk sebagai orang Bulan yang menyamar di Bumi, statusnya meningkat dari seorang cyborg yang diasuh oleh Linh Adri menjadi buronan internasional.
Cinder menghela napas. Tidak ada waktu untuk menyesalinya atas apa yang telah terjadi. Itu sudah jadi keputusannya. Apa pun yang ia ingin lakukan, semuanya bertujuan untuk menggulingkan Ratu Levana dan melindungi Kai dari setiap perbuatannya.
Meski ia tak yakin jika Kai akan memercayainya lagi.
Cinder mendongak. Kepalanya terasa pegal akibat memikirkan Kai. Seorang Kai dapat membuat seorang cyborg sepertinya untuk hidup sengsara. Coba saja ketika itu adiknya tidak terserang letumosis. Pasti pertemuan Cinder dan Kai tidak akan pernah ditakdirkan.
Cinder lelah. Ingin rasanya ia meliburkan diri dari seluruh masalahnya. Terkadang ia juga berharap masalahnya cepat selesai, meski pastinya ia tahu tidak mudah untuk diselesaikan.
Sekarang, Cinder hanya menatap penasaran terhadap sebuah pintu yang sangat kontras di antara dinding-dinding suci. Sebuah pintu besi berdiri. Cinder terheran-heran. Meski sebagian akalnya paham jika sebuah ruangan pastilah memiliki pintu. Namun, pintu tersebut terlalu terlihat. Teknologi sekarang sudahlah sangat canggih. Bukankah seharusnya pintu tersebut turut tersamarkan oleh bentuk dinding? Jika memang ini tempat isolasi, sudah semestinya begitu.
Ia jadi bertanya, motif dirinya berada di sini itu apa?
***
Sudah beberapa hari Cinder terkurung. Perkiraan hari mungkin waktu yang pas baginya. Ia sendiri tidak tahu sudah terhitung berapa waktu ia berada di sini, bahkan belum diketahui waktu yang pasti pertama kali ia diletakkan di ruangan ini. Sebelumnya pun ia tidak ingat. Sama sekali tidak ingat. Berusaha pula ia untuk mengingat, tapi tak ada hasil.
Untuk bertahan hidup pun Cinder hanya mengandalkan sebuah android pembawa makanan di setiap pagi, siang, dan sore. Cinder sendiri tak tahu siapa yang bertitah kepada android itu. Dia hanya sebagai konsumen di mana turut menyaksikan bagaimana android pesuruh itu keluar-masuk dari pintu yang diamatinya. Awal-awal memang Cinder curiga dengan aksi android pembawa makanannya. Meski android itu belum menunjukkan tindakan yang akan menyerang Cinder, tapi tetap saja Cinder mesti merasa waswas setiap saat ketika bersama benda buatan itu.
Cinder makin menguatkan persepsinya bahwa ia seorang tahanan yang ditahan karena status buronan internasional ber-cyborg-nya.
Hanya saja, mengapa jeruji besi yang mesti menahannya tergantikan oleh sebuah pintu canggih? Apa itu akan tampak perubahan?
Jadi, apakah ia sesungguhnya sedang ditahan? Atau terdapat teori lain yang sebenarnya? Cinder menghela napas. Beberapa hari berselang, atau sudah beberapa minggu, bahkan bulan—mungkin. Sudah waktunya untuk ia mengambil langkah yang memungkinkan memuat risiko. Itu perlu. Sangat perlu. Dia mungkin dapat hidup seperti biasa di ruangan ini dikarenakan kebutuhan pangannya disediakan melalui perantara android. Namun, tak selamanya hal itu akan tetap berlangsung, bukan? Ia perlu perubahan guna mendapat masa depan yang lebih baik. Dalam maksud, keterangan dunia di luar sana yang akan memengaruhi masa depan Cinder.
Tidak biasanya Cinder selalu berhati-hati. Ia cenderung gegabah dalam mengambil tindakan. Hanya untuk kali ini ia berpikir panjang yang juga dilandasi oleh faktor firasat dan pertimbangannya baik-baik. Setelah berbagai pertarungan untuk menjatuhkan Ratu Levana, Cinder menjadi orang yang berhati-hati, tajam. Seakan-akan penuh pengalaman, bahkan sorot matanya tak biasa. Seperti ia melalui banyak kepedihan serta penderitaan yang bercampur padu. Maka ia putuskan, untuk membuka pintu yang menjadi jalan keluar satu-satunya.
Cinder ragu. Sangat jarang ia dapat ragu seperti ini. Seolah-olah bukan seperti dirinya. Akan tetapi, ia tidak dapat mundur. Seperti yang ia jadikan motivasinya sejak dahulu secara tidak langsung. Dalam keputusan apapun, ia tidak boleh mundur, ia tidak punya hak untuk menyesali keputusannya. Wajib baginya untuk maju. Demi tujuan yang masih penuh misteri.
Pintu otomatis terbuka ketika Cinder sudah berada di hadapannya. Bunyi khas yang seperti akan mengeluarkan asap begitu terbuka, meski sedikit pun asap tak pasang. Hal pertama yang dilihat Cinder adalah putih. Matanya tak terlalu terkejut. Ia sudah dapat menebaknya karena dari kamarnya saja sudah terlalu jelas dengan warna suci tersebut. Maka daerah luarnya berpeluang sama.
Pertanyaanya, ia bingung untuk ke mana. Lorong panjang berada di hadapannya. Kanan dan kiri semuanya sama! Masing-masing menunjukkan tujuan yang berbeda. Kanan dan kiri... ia harus memilih yang mana? Oh, ini sangat sulit di pikirannya. Di hadapkan oleh dua pilihan ini seperti tengah berada di situasi sulit yang mesti memilih, menculik Kaisar dengan risiko besar dengan nyawanya atau membiarkannya menikah dengan Ratu Levana yang akan menguasai Bumi?
Akan tetapi, Cinder memilih untuk percaya pada instingnya. Instingnya berkata untuk bertolak ke arah kanan. Lagi pula jika Cinder berpikir, mengawalinya dengan sesuatu yang kanan merupakan hal bagus. Toh, kebiasaan negerinya yang selalu begitu membuatnya sulit untuk melupakannya.
Dengan tapak kaki bertelanjang itu ia berjalan. Cinder baru menyadari, bahwa sebelah kakinya yang logam kini telah terganti dengan kaki logam yang menyerupai warna kulit. Ia yakin sebelum bangun kakinya belum terganti. Keningnya sedikit berkerut. Ini aneh. Terhitung pula sebelah kaki barunya itu kemungkinan cukup mahal untuk dibeli.
Retinanya memindai sebelah kakinya itu. Hanya butuh waktu 1,6 detik untuk mendapatkan rincian mendetail terpampang di bagian bawah layar visinya dengan deretan teks hijau. Dan benar saja kaki barunya itu cukup mahal. Selain karena terlihat seperti kaki manusia pada umumnya, bahan yang terkandung terbuat dari titanium. Seratus persen titanium. Selain itu, kaki barunya membuat Cinder dapat bergerak leluasa layaknya memakai kaki aslinya. Kompartemen di dalamnya ketika dibuka lebih luas dari kaki lamanya.
Siapa yang mengganti kakinya itu? Cinder masih belum menemukan jawaban dari pertanyaannya. Lorong panjang yang diikutinya pun belum memberi petunjuk sama sekali.
Seketika ia mendapati pesan dari sistem sensorisnya bahwa ia merasakan kehadiran aktivitas makhluk hidup yang berjarak dua puluh meter darinya. Tidak sedikit aktivitas makhluk hidup yang ia rasakan. Dengan penasaran Cinder mendekatinya, membawanya ke kelokan satu-satunya di situ. Matanya disambut oleh kehadiran insan-insan yang tengah menyantap makanannya dan beberapa membuat antrean panjang untuk mendapatkan jatah makan. Ini seperti kamp pengungsian.
"Kau pasti dari kaum elit," sapa seorang gadis muda di hadapannya. Tatapannya tajam seolah-olah menusukkan rasa angkuh dirinya pada Cinder. Cinder tak mengerti apa maksudnya. Akan tetapi, dari cara bicaranya yang seakan meremehkan serta arti ucapannya yang seolah membedakan kedudukan Cinder di sini membuat Cinder mengerut tidak suka atas impresi gadis tersebut.
"Apa maksudmu?" tanya Cinder yang menuntut penjelasan.
Sebelah tangan gadis tersebut terangkat, mengarahkan telunjuk pada lorong yang tadi dilalui Cinder. Cinder menengok heran. Lorong? "Orang yang keluar dari situ termasuk kaum elit. Dan tidak seharusnya kaum elit di sini." Gadis tersebut memberi penjelasan.
Dahi Cinder makin mengerut. "Bukankah ini kamp pengungsian? Mengapa kau berbicara tentang elit?"
Roman muka sang gadis mengerut masam seakan menahan gejolak di dalamnya. Pikiran Cinder makin mengumandangkan tanda tanya. Jika ia tambah berbicara mungkin saja akan membuat gadis itu meledak. "Kamp pengungsian?" tanyanya yang seperti bukan pertanyaan dan lumayan keras terucap sehingga mengundang banyak pasang mata untuk menontonnya. "Kaum elit memang beda. Mentang-mentang tempat ungsi kalian lebih bagus."
Seketika saja setelah teriakannya barusan, semua orang langsung pada berbisik-bisik satu sama lain. Di sini Cinder makin dibuat bingung.
"Ah, ribut-ribut sejak tadi kukira ada apa, tapi sepertinya ada hal yang tak terduga," sahut seorang pria dengan rambut memutih disertai seragam yang sama. Hanya saja yang membedakan jas lab yang dikenakannya. Cinder yakin pria tersebut adalah dokter di sini.
"Dokter!" panggil gadis tersebut.
Dokter yang dipanggil gadis itu pun menyematkan senyum sejenak. "Kudengar kau membuat keributan, Eme. Dan Nona Muda ini." Pandangannya pun berpaling pada Cinder.
Gadis yang dipanggil Eme itu pun mendesah. "Aku tidak suka dengannya, Dok. Dan orang ini,"—tangannya menunjuk pada Cinder—"sangat, sangat tidak sopan."
"Ya sudah, sudahi saja pertemuan kalian. Kalian tidak malu dilihat banyak orang di sini?" Sang Dokter pun berpaling kembali pada Cinder. "Linh Cinder, bisa kauikut aku? Sampai jumpa Eme, jangan lupa pemeriksaan besok."
Cinder mengekori sang Dokter. Mereka melewati sebuah pintu dan disambut dengan lorong putih bersih. Dalam hati Cinder merasa bosan ketika harus bertemu dengan lorong-lorong putih tersebut.
"Ah, Dokter?"
"Ya? Ada apa Nona Linh?"
"Siapa gadis tersebut?"
"Ah dia Eme, Emerald Goldstein. Salah satu pengungsi tetap di sini."
"Jadi ini sebuah kamp pengungsian?" tanya Cinder.
"Kau benar, tetapi perkataanmu itu sungguh menyakitkan hati lho, Nona Linh," jelas sang dokter.
Tanda tanya tersirat dari kerlipan Cinder. "Umm, jadi aku berkata salah?"
"Tidak sepenuhnya. Tempat ini memang kamp pengungsian. Tapi kau tidak seharusnya berkata begitu bagi mereka yang notabene kaum menengah ke bawah. Mereka itu para pengungsi yang sudah tidak mempunyai tempat tinggal lagi. Kamp pengungsian ini sudah dianggap sebagai rumah mereka."
"Lalu, jika begitu kaum elit di sini adalah status orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal, tapi mempunyai uang?" celetuk Cinder.
Dokter tersebut memberi senyum, seolah sabar dengan pendapat Cinder. "Banyak kalangan atas atau bangsawan yang mencari tempat aman untuk perlindungan di sini. Bukan berarti mereka yang tidak memiliki tempat tinggal. Perang masih berlangsung. Orang-orang Bumi yang memiliki uang dapat kemari untuk mencari perlindungan dari Levana yang berada di bumi."
"Levana? Di Bumi?"
"Ah, kulupa, kau 'kan, baru terbangun sejak lima puluh tahun tertidur."
Tidak ada ekspresi lain selain bola mata Cinder yang membeliak kaget bertanya-tanya.[]
TBC
[
A/N]
Hai. Ini aku persembahkan untuk #AlphaSciFiChallenge
Aku kali ini membawa fandom novel: The Lunar Chronicles. Kutak mau banyak sambutan, karena hbis lelah merevisi ini. Tinggal 2 part lagi sampai ffnya beres. Kuharap alurny pas *cry*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro