Bab 8a
Kedatangan Iris ke pesta bersama Nikolai menjadi buat bibir masyarakat. Mereka bertanya-tanya, apa hubungan gadis berambut merah itu dengan Nikolai. Apakah ada kesepakatan khusus, hubungan istimewa, atau memang keberuntungan saja karena Nikolai mengajaknya. Tidak sedikit yang menduga kalau itu hanya bentuk dukungan orang kaya pada orang miskin. Bagaimanapun di kota kecil itu, status sosial masih menjadi hal besar untuk diperdebatkan.
Selama beberapa hari, topik percakapan di kafe, restoran, atau pun pasar tidak jauh dari pesta, iris dan Nikolai. Para orang tua mengatakan Nikolai sedang mencari hiburan yang berbeda. Para gadis menginginkan diri mereka beruntung seperti Iris, sedang para pemuda bersikap seolah mereka tidak tertarik dengan topik itu. Padahal, telinga terpasang untuk mendengarkan. Para pemuda hanya terlalu angkuh untuk mengakui kalau mereka tertarik dengan topik itu.
Iris sendiri tidak peduli kalau namanya diperbincangkan. Ia sibuk dengan kesehariannya di kebun untuk menanam sayuran, memanen dan menjualnya ke pasar atau menukarnya dengan bahan makanan. Baginya dunia tidak berubah meskipun ia baru saja pergi ke pesta besar. Satu-satunya hal yang membuatnya bahagia adalah gaun merah yang terlipat rapi di dalam lemarinya. Ia sudah mengirim pesan pada Nikolai dan bertanya tentang kapan gaun boleh dikembalikan. Jawaban Nikolai terkirim melalui Eric.
"Simpan saja untukmu, Iris." Eric berucap dengan dada mengembang bahagia. "Gila, masih nggak habis pikir kalau aku akan sering bicara dengan Tuan Nikolai. Orang tampan dan hebat. Beliau juga baik sekali, sering memberiku tips."
Iris tersenyum mendengar penuturan Eric. "Tuan Nikolai memang baik. Eric, tolong ceritakan bagaimana kondisi rumah Tuan Nikolai. Pasti sangat indah bagian dalamnya."
Eric berdehem dan menggeleng. "Aku nggak pernah lihat bagian dalam secara terperinci, karena pintu belakang selalu tertutup. Tapi, rumahnya memang besar dan indah. Total ada tiga rumah, di dalam satu tanah. Maksudku, satu wilayah."
Iris mengangguk. "Aku paham maksudmu."
"Rumah paling besar atau rumah utama ditempati Tuan Nikolai sendiri. Kadang-kadang sang kakak, Tuan Norris datang untuk menginap. Rumah samping satu untuk Nyonya Popy dan anaknya. Rumah samping dua untuk Tuan Dickson dan keluarganya."
"Wow, mereka keluarga besar."
"Memang, aku dengar dari pelayan yang lain, mereka kuatir dengan kondisi Tuan Nikolai, makanya memutuskan untuk tinggal berdekatan."
"Keluarga yang baik."
Eric berdecak. "No-no-no, kamu salah. Yang ada mereka saling cakar hampir tiap hari, Terutama dua gadis Nayla dan Ayla."
Iris mendengarkan dengan tekun cerita Eric, terutama setelah mengenal mereka secara langsung. Ia juga bertanya tentang bunga apa saja yang tumbuh di sana, sarapan kesukaan Tuan Nikolai, dan jam berapa biasanya laki-laki itu bangun. Hal-hal kecil yang menurutnya sangat penting.
"Semoga suatu saat aku bisa berkunjung ke rumah itu," ucap Iris penuh harap.
Eric mengangguk. "Tentu saja bisa. Tuan Nikolai suatu hari nanti pasti mengundangmu."
Sebuah harapan besar tumbuh di hati Iris, tentang kesempatannya untuk melihat rumah besar di mana laki-laki yang dicintainya tinggal.
"Iris, kamu sangat terkenal sekarang. Semua orang membicarakanmu."
Iris mengangkat bahu, meneruskan pekerjaannya menyiangi rumput. "Terkenal tidak menjamin aku bisa makan kalau nggak kerja, Eric."
"Maksudku, semua orang ingin berkenalan denganmu."
"Nggak ada untungnya buatku. Asal kamu tahu, kebanyakan dari mereka justru ingin melihatku hanya untuk menghinaku. Percaya, deh!"
Eric menghela napas dengan muram. Tentu saja ia percaya perkataan sahabatnya. Orang-orang itu memang ingin berkenalan dengan Iris bukan untuk berteman tapi untuk membandingkan kalau mereka jauh lebih baik dari Iris.
**
Makan malam yang harusnya jadi ajang kemesraan, berubah menjadi sesuatu yang membosankan bagi Camelia. Itu karena kekasihnya terus menerus bicara soal Iris. Arlo dengan jujur mengatakan, ingin lebih dekat dengan adiknya itu.
"Ini kesempatan bagus untuk kita, Sayang. Untuk bisa berkenalan dengan Tuan Nikolai. Bayangkan kalau semua urusan keluarga Danver diserahkan pada firma hukumku, ckckck, dampaknya luar biasa."
"Kesempatan bagus untuk kita? Apa aku nggak salah dengar?" ucap Camila. "Firma hukum kalian, nggak ada hubungannya denganku."
Arlo menggeleng. "Kamu salah, Sayang. Kalau aku sukses, kamu juga akan bahagia. Bukankah kita setuju untuk menikah?"
Camelia terdiam. Sekian lama ia menunggu ajakan menikah dari Arlo dan saat kata-kata itu terlontar justru karena ada maksud lain. Sepanjang malam kekasihnya tidak berhenti bicara tentang Nikolai dan Iris. Sungguh sangat menyebalkan. Ia menatap hidangan di atas meja dengan bosan. Makanan mahal dan enak itu tidak tersentuh karena moodnya sedang tidak bagus. Camelia mengambil tas dan berniat untuk pulang lebih cepat.
"Sorry, aku nggak enak badan. Kita ketemu lain kali."
Arlo bangkit dari kursi, menahan lengan kekasihnya. "Kenapa buru-buru? Kita baru saja sampai. Makananmu bahkan belum habis."
Camelia menepiskan tangan kekasihnya. "Lagi nggak mood makan."
Arlo tersenyum, mengusap bibir Camelia yang merah merona. "Kalau gitu, biarkan aku membuat moodmu naik."
"Arlo, akuu—"
Arlo mendekat, mengecup bibir Camelia. Mereka berada di ruangan privat, tidak masalah kalau berciuman dengan mesra.
"Kamu perlu dibujuk, Sayang. Kenapa, sih, harus kesal untuk hal kecil. Padahal, ini untuk kebaikan kita."
Camelia membiarkan Arlo melumat bibirnya. Ia menikmati sentuhan dan kecupan kekasihnya, meski begitu pikirannya tetap waspada. Arlo memang selalu baik padanya, tapi cenderung pelit. Jarang mengeluarkan uang yang berlebihan seperti sekarang hanya untuk makan malam. Semua berubah karena Iris dan Nikolai. Camelia mencatat semua perubahan ini dan merngingatnya dalam hati.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro