Bab 6b
"Kamu menangis?" tanya Nikolai saat melihat mata Iris berembun.
Iris menggeleng. "Tidak, Tuan. Hanya sedang menahan diri untuk tidak berkedip."
"Kenapa?"
"Takut."
Nikolai memiringkan kepala. "Takut apa, Iris?"
"Tuan akan menghilang begitu saya mengedipkan mata, karena ini terlalu indah untuk jadi kenyataan."
Rayuan yang sempurna, hati Nikolai menghangat saat mendengarnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia menerima rayuan dari seorang gadis yang terpaut umur sangat jauh dengannya. Bisa jadi orang-orang akan mengatakan dirinya tidak tahu diri karena berdekatan dengan seorang gadis muda. Sayangnya, untuk kali ini ia sengaja membiarkan hatinya bergetar. Tersenyum manis, Nikolai berusaha mengendalikan diri untuk tidak mengecup bibir Iris.
"Ehm, apa kami menganggu?"
Mereka menoleh bersamaan. Iris meneggakan tubuh menatap beberapa orang yang menghampiri. Ia mengenali tiga orang bersama mereka. Norris, Dasha, dan Anya. Kakak kelasnya dulu. Yang baru saja menyapa adalah seorang perempuan gemuk bergaun biru dengan kipas di tangan. Perempuan berumur lebih dari setengah abad itu menatap Iris dengan pandangan menilai yang tidak ditutupi.
"Gadis muda, apa kamu teman kencan keponakanku?" tanya perempuan itu.
Iris mengangguk. "Iya."
"Namanya Iris, Mama. Dia dulu adik kelasku. Dia bersama sahabatnya yang miskin itu, yang sekarang jadi pengantar susu, mendapat bea siswa di sekolah kita."
"Ah, begitu rupanya. Siapa namamu?"
"Iris."
"Nama yang cantik, Iris itu bunga bukan?"
Iris mengangguk. "Benar."
"Kenapa kamu diberi nama itu?"
"Karena lahir bulan Februari."
"Bukan!" Anya menyela jengkel. "Semua keluarganya bernama bunga setahuku, Camelia, Rose, dan Iris."
Iris menatap Anya. "Kenapa kamu sok tahu sekali? Memang kamu lebih tahu soal aku dari pada orang tuaku yang memberi nama?"
"Apa?" Anya berkacak pinggang, menatap Iris dengan tatapan tajam. "Berani kamu melawanku. Dari dulu aku tidak menyukaimu."
Iris mengangkat gaun dan juga berkacak pinggang. "Kamu pikir aku menyukaimu? Gadis kaya yang terbiasa merundung orang yang lemah!"
Anya melotot, Iris membalasnya dan kedua gadis sebaya itu saling bertentangan tidak mau kalah. Nikolai akhirnya turun tangan.
"Cukup! Anya, kendalikan dirimu. Kalau kamu suka emosi, lebih baik jangan mendekati kami!"
"Kakak! Kamu membela gadis gembel ini?" Anya merajuk.
"Iris adalah pasanganku, tidak peduli kamu puas atau tidak, harus terima kenyataan ini."
Anya melotot dan hendak melontarkan bantahan tapi Popy menahan lengannya. "Anya, jangan kurang ajar dengan kakakmu. Minta maaf."
"Nggak mau. Bukan aku yang salah tapi si rambut merah itu!"
"Anyaaa!"
Iris bertukar pandang dengan Nikolai, merasa tidak enak hati karena menyebabkan perdebatan. Ia meremas tangan di depan tubuh dan tersentak saat Nikolai menggenggam jemarinya.
"Jangan diambil hati, Anya memang manja."
Norris bertukar pandang dengan istrinya. Seorang Nikolai membela gadis yang tidak dikenal, adalah sebuah kemajuan. Ia tersenyum tipis.
"Satu keluarga bertikai, kenapa kita nggak duduk bersama sambil minum?"
"Ide bagus," jawab Dasha. "Sebentar lagi Paman Dickson dan anak istrinya pasti juga ke sini."
"Mana mungkin?" sahut Popy. "Aku melihay Nayla sedang asyik bermesraan dengan seorang pemuda di dekat kolam renang."
Nikolai tersenyum pada Iris. "Bagaimana kalau kamu mengambil minum. Pergilah ke bar dan minta bartender membuatkan dua cocktail untuk kita."
Iris mengangguk. "Baiklah, Tuan."
Saat Iris menjauh, Nikolai menatap keluarganya satu per satu. Berdecak keras yang menandakan ia sedang tidak senang.
"Keluarga Danver terkenal sebagai keluarga terhormat. Tapi sikap orang-orangnya sungguh bar-bar. Ada apa dengan kalian? Terutama kamu, Anya?"
Anya membuka mulut lalu menutupnya kembali. Dari dulu ia tidak pernah berani menentang Nikolai.
"Aku yang membawa Iris kemari dan aku yang akan bertanggung jawab. Kalau kalian tidak suka, protes langsung denganku."
"Tidak ada yang ingin protes, Brother. Tenang saja." Norris berusaha mendinginkan suasana. "Kita semua menerima gadis itu sebagai teman keluarga Danver dengan tangan terbuka."
Semua orang tersenyum mendengar perkataan Norris, tapi Nikolai tahu kalau dalam hati mereka tidak setulus itu. Ia menangkupkan tangan di depan tubuh, menatap keluarganya yang sekarang duduk mengelilingi meja. Bersikap seakan bukan di pesta melainkan di rumah sendiri.
Iris sedikit kesulitan mencapai bar karena banyaknya orang yang berlalu lalang. Dengan terpaksa ia mengangkat sedikit gaun agar bisa berjalan lebih gesit. Tiba di bar ia memesan seperti kata Nikolai. Menunggu sambil bersandar pada meja bar saat seorang laki-laki mendatanginya.
"Kamu Iris bukan?"
Iris mengeedip bingung. "Iya."
"Kamu lupa dengan aku?" Laki-laki berjas abu-abu itu menunjuk diri sendiri sambil tersenyum lebar. "Kita pernah bertemu sekali di rumahmu. Saat aku mengantar kakakmu pulang, ingat?"
Di benak Iris berkelebat bayangan seorang laki-laki dengan mobil hitam. Mengantar Camelia pulang, bahkan tidak perlu repot-repot menyapanya yang saat itu sedang di halaman menanam bunga. Laki-laki yang memandang sekilas dengan penuh cemooh. Sekarang berdiri di depannya dan bersikap seolah mengenal akrab.
"Kak Arlo, pacar Kak Camelia."
Arlo bertepuk tangan. "Benar sekali, Iris. Aku sama sekali nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Ngomong-ngomong, kamu datang bersama Tuan Nikolai?"
Iris menganggguk. "Benar."
"Bisakah kamu cerita sama aku, gimana bisa kenal beliau. Mengingatm, belia orang yang luar bisa misterius dan tidak mudah didekati."
Sekarang Iris tahu alasan Arlo bersikap ramah padanya. Sama seperti orang lain yang terpana karena Nikolai, Arlo tidak jauh berbeda. Sayangnya, ia bukan tipe orang yang suka membanggakan diri sendiri. Bartender memberikan pesanannya. Iris menerima dengan perasaan lega. Mengucapkan terima kasih pada bartender dan sampai jumpa yang lemah pada Arlo.
"Tunggu, Iris. Kita belum selesai bicara."
Iris tersenyum kecil. "Sudah, dan maaf Tuan Nikolai menungguku."
"Iris, bisakah kamu memperkenalkan aku pada Tuan Nikolai?"
Iris berpura-pura tidak mendengar permintaan Arlo. Ia benci dengan orang yang suka memanfaatkan keadaan dan saat ini, Arlo sedang berusaha memanfaatkannya hanya karena laki-laki itu adalah kekasih kakaknya. Menembus keramian dengan minuman di tangan, Iris menuju teras. Untuk menemui laki-laki yang paling ia idamkan saat ini, Nikolai.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro