Bab 5b
"Wah-wah, adikku datang juga." Norris yang sudah pulih dari kekagetannya, menyapa dengan suara keras. Membuat orang-orang yang menghalangi pandangannya menyingkir.
Nikolai mengangguk. "Kakak."
Dasha maju, tersenyum pada Iris. Menyadari kalau perempuan bergaun merah ternyata masih sangat muda. "Siapa gadis ini? Kenapa kami belum pernah melihatnya? Dari keluarga mana dia?"
Nikolai mengusap punggung tangan Iris yang sedang memegang kursi rodanya. Memberi tanda pada Iris untuk membungkuk.
"Iris, kenalkan ini kakakku dan istrinya. Kamu ingat nama mereka bukan?"
Iris tersenyum. "Iya, Tuan. Kalau nggak salah Pak Norris dan Nyonya Dasha."
"Benar, seperti itulah kamu memanggil mereka."
Iris meneggakn tubuh, meletakkan kedua tangan di depan tubuh dan mengangguk sopan. "Selamat malam."
Norris mengedip. "Apa aku mengenalmu?"
Iris menggeleng dengan senyum kecil. "Sepertinya tidak, Pak."
"Oh, kita tidak berada di lingkungan pergaulan yang sama?"
"Benar sekali."
Iris tidak mungkin mengatakan pada Norris kalau lingkungan pergaulannya bukan kantor, museum, atau pun pesta mewah. Ia tidak ingin membuat mereka kaget kalau setiap harinya lebih banyak berkutat dengan kebun, pupuk, ayam, dan juga kambing. Dua dunia yang berbeda, yang tidak mungkin bertemu bahkan pada saat paling kebetulan sekalipun. Kecuali, Norris dan istrinya datang ke kebun dengan setelan mahal mereka. Itu sungguh tidak mungkin terjadi.
"Kamu dari keluarga mana?"
Iris belum menjawab, Nikolai berdehem keras. "Maaf, bisakah kalian memberi kami jalan. Pak Walikota dan istrinya sedang menuju kemari."
Dasha dan Norris menyimpan rasa ingin tahu mereka saat walikota datang untuk menyambut Nikolai.
"Sungguh sebuah keburuntangan, Tuan Nikolai bisa hadir malam ini." Walikota adalah seorang laki-laki bertubuh gemuk dengan rambut botak, sementara istrinya seorang perempuan dengan wajah nyaris tanpa senyum, bertubuh tinggi dan langsing.
"Pak Walikota, maaf datang terlambat," ujar Nikolai.
Berbeda dengan sang suami yang ramah, istri walikota hanya mengangguk sekilas.
"Tidak masalah, Tuan. Sebelum kita bersenang-senang, lebih baik kita masuk dulu. Beberapa menteri sudah menunggu."
Nikolai mengangguk, mengulurkan tangan untuk meraih lengan Iris. mengirimkan gelenyar aneh di tubuh gadis itu karena sentuhan tidak terduga mereka.
"Ayo, kita ikuti Pak Walikota," ajak Nikolai.
Iris tersenyum, dengan hati-hati mendorong kursi roda Nikolai. Ia berusa setengah mati menahan gugup saat semua mata tertuju pada mereka. Ia berusaha untuk tetap tenang, melewati orang-orang yang ingin menyapa Nikolai. Tidak sedikit dari mereka yang menatapnya terang-terangan, membuat Iris seolah ditelanjangi.
Walikota membawa mereka masuk ke ruang samping. Iris ternganga dan buru-buru menutup mulut karena tidak ingin dianggap kampungan. Sejujurnya, ia merasa sangat kagum melihat kemegahan dan kemewahan ruangan ini. Lampu kristal, bunga, dengan meja dan kursi kualitas terbaik berjejer di tengah ruangan. Lantai dihisai karpet tebal dengan peralatan makan dan minum dari porselen yang mengkilat. Tidak hanya itu, para perempuan yang ada di ruangan ini semuanya memakai perhiasan dan juga akseris mewah yang menyilaukan mata.
"Ladies and gentlemen, perkenalkan. Tuan Nikolai dan pendampingnya yang cantik." Walikota menatap Iris. "Siapa nama, Nona?"
Iris meneguk ludah. "Iris."
"Ah, nama yang indah. Tuan Nikolai dan Nona Iris."
Orang-orang yang ada di dalam mengangguk kecil. Walikota menunjuk tempat kosong paling ujung sehingga Nikolai tidak perlu turun dari kursi rodanya. Iris menunduk dan bertanya lembut.
"Tuan, apa kursinya perlu saya naikkan? Biar lebih tinggi?"
Nikolai mengangguk. "Iya. Bisakah kamu melakukannya?"
"Tentu saja, Tuan. Hal mudah."
Iris tidak membual, kursi roda Nikolai memang canggih dan modern tapi mudah untuk depelajari. Dalam sekejap, posisi Nikolai sama tinggi dengan kursi lain. Iris duduk di sampingnya dengan dada berdebar tak menentu. Ia memberanikan diri mengedarkan pandangan kesekeliling meja dan mengenali wajah-wajah terkenal yang selama ini hanya dilihatnya di televisi atau koran. Mereka adalah para pejabat pemerintahan pusat dan sebagian adalah pengusaha dengan jumlah kekayaan yang fantastis.
"Tuan Nikolai, kami kaget melihat kemunculan Anda."
"Karena Tuan Nikolai sudah hadir, bagaimana kalau pembicaraan kita tentang proyek pertambangan kita mulai?"
Saat para laki-laki mulai mengobrol, hidangan diedarkan. Iris dengan cekatan membantu Nikolai memasang serbet. Memastikan laki-laki itu duduk nyaman. Pelayan menuang minuman berbuih dan Iris mencecapnya. Campuran rasa manis, sedikit asam, seperti anggur atau cherry, tapi menyegarkan.
"Jangan minum terlalu banyak, nanti kamu mabuk." Nikolai berbisik mengingatkan.
"Iya, Tuan. Hanya mencicip."
Nikolai tidak tahu apakah keputusannya membawa Iris datang adalah hal yang benar. Ia sempat kaget saat mendapati gadis itu menangis dengan gaun rusak di pelukannya. Sempat ada niat untuk membatalkan ajaka tapi entah kenapa hatinya tersentuh. Ia membawa ke perancang langganan, memilih gaun merah yang ternyata sangat cocok untuknya. Dengan sepatu keemasan. Sang perias memberikan sentuhan cepat di wajah dan menata rambut, siapa sangka Iris yang lugu berubah menjadi gadis yang begitu menawan. Dengan rambut merah menyala, menarik perhatian semua orang, termasuk dirinya. Ia bahkan merasa terpesona di luar keingianannya.
Gadis itu sekarang duduk anggun di sampingnya, mencoba semua makanan dan minuman yang dihidangkan dan terlihat menikmati. Tidak seperti perempuan lain yang terlihat bosan dan nyaris tidak menyentuh makanannya.
"Enak?" tanya Nikolai saat Iris menggigit udang panggang dengan saos istimewa.
"Sangat, tapi Tuan. Nggap apa-apa kalau saya habiskan jatah saya? Sepertinya semua yang ada di sini sudah kenyang."
Nikola tersenyum. "Tentu saja. Kamu boleh makan sepuasmu, Iris."
Di jeda percakapan, para laki-laki memutuskan untuk merokok sedangkan Iris bangkit menuju toilet. Ia buang air kecil dan sedang membasuh tangan saat menyadari toilet mendadak pebuh orang. Para nyonya sedang touch up make mereka sambil mengobrol. Iris yang tidak mengenal siapa pun, hanya mendengarkan dalam diam.
"Hei, kalau boleh aku tahu, apa mereka cat rambut yang kamu pakai?"
Seorang perempuan cantik yang merupakan istri dari menteri pertambangan, menghampiri Iris dan bertanya.
Iris mengusap rambutnya. "Rambut saya, Nyonya?"
"Iya, rambutmu. Kenapa bisa begitu merah?"
"Oh, ini asli," jawab Iris sambil tersenyum. "Saya tidak mengecat rambut."
Para perempuan itu saling pandang dengan heran, mereka menatapn Iris dengan rasa ingin tahu yang terang-terangan.
"Gadis berambut merah, setahuku yang paling terkenal adalah anak dari keluarga Rosenwood. Benarkah?" Istri walikota menyeruak, menatap Iris tak berkedip. "Kalau tidak salah, kamu sekolah yang sama dengan anakku?"
Iris mengangguk, lalu menunduk. Tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya setelah para perempuan ini mengetahui statusnya. Apakah mereka akan menghinanya seperti yang biasa diterimanya dari masyarakat saat tahu keluarganya miskin dan banyak utang.
.
.
.
Part terbaru di Karyakarsa akan update sahur nanti.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro