Bab 4a
Iris begitu terpesona memandang sosok laki-laki yang ada di depannya. Laki-laki yang selama beberapa tahun ini menghiasi mimpi-mimpinya. Tidak peduli kalau cintanya bertepuk sebelah tangan, ia selalu menyimpan harapan pada Nikolai. Laki-laki kaya, tampan, dan berkuasa. Iris mengerti kalau cinta tidak selalu memiliki, tapi menolak untuk menyerah pada kenyataan. Selama Nikolai belum menikah, ia akan menyimpan cinta rapat-rapat dalam hatinya.
Iris menepuk pipinya lalu mengernyit kesakitan. "Aduuh!"
Nikolai ternganga. "Iris, kenapa kamu memukul dirimu sendiri?"
Iris tersenyum. "Untuk memastikan kalau semua bukan mimpi, Tuan. Rasanya masih nggak percaya, kalau Tuan ada di sini dan ingin mengajakku ke pesta."
"Menurutmu, apakah kita berada dalam mimpi sekarang?"
Iris mengangkat tangan, membiarkan matahari menyinari jari jemarinya. "Tidak, ini nyata. Saya bahkan takut berkedip, takut Tuan akan hilang tiba-tiba."
"Aku nggak akan hilang. Jadi, bagaimana dengan tawaranku? Mau menemaniku ke pesta?"
Iris tertawa lirih, mengibaskan roknya yang terkena bulu ayam. Menyesali diri karena tidak sempat mengganti pakaian dengan yang lebih layak. Nikolai pasti memandangnya seperti gadis gembel yang perlu dikasihani dengan rok yang sudah robek di beberapa bagian.
"Kenapa diam?"
Iris mendongak. "Tuan, boleh saya tanya sesuatu?"
"Tentu."
"Pesta yang akan Tuan hadiri, seperti apa? Karena saya tidak pernah ke pesta sebelumnya."
"Hanya pesta makan malam dan berbincang dengan orang-orang membosankan."
Iris menggigit bibir, membayangkan ruangan megah, orang-orang berpenampilan terbaik mereka, obrolan orang kaya, dan dansa. Itu gambaran yang dilihatnya di film-film. Entah kenapa ia yakin kalau kenyataannya pasti tidak jauh berbeda. Baru membayangkan saja sudah sangat menyenangkan, bagaimana kalau ternyata benar-benar bisa datang? Sebelum ia melanjutkan mimpi, ada banyak hal yang harus diperjelas.
"Tuan, kenapa mengajak saya?"
Nikolai menatap lekat-lekat. "Aku merasa kamu gadis yang menarik."
Iris ternganga. "Hah, menarik? Di bagian mana?"
Senyum muncul di bibir Nikolai melihat tingkah Iris yang lucu. "Semuanya, kamu menarik secara keseluruhan sebagai seorang gadis."
"Hanya itu alasannya?"
"Yes, hanya itu."
"Wow, saya tersanjung."
Keduanya saling pandang, dengan angin sore bertiup perlahan. Begitu banyak yang ingin diucapkan Iris pada Nikolai dan semua tertahan di tenggorokannya. Dulu, ia selalu punya bayangan saat bertemu laki-laki ini, akan bicara banyak hal. Tentang keseharian, cita-cita, dan juga semua hal menyangkut Nikolai. Nyatanya, tak satupun mampu diucapkan saat berhadapan secara langsung.
"Iris, apa kamu mau menemaniku ke pesta?"
Iris menggeleng, raut wajahnya muram. "Saya bukannya nggak mau Tuan. Tapi, saya takut membuat Anda malu."
"Membuatku malu kenapa?"
"Saya hanya gadis biasa, tidak berpendidikan tinggi apalagi bukan dari keluarga kaya. Saya takut tidak bisa memenuhi standar pergaulan sosial di lingkungan Tuan."
Nikolai menghela napas panjang, merasa kagum dengan kepolosan Iris. Gadis itu jelas tertarik ikut ke pesta, tapi rasa rendah diri menghalanginya. Tidak seperti banyak perempuan yang dikenalnya, yang akan langsung mengiyakan semua permintaannya, Iris berbeda. Gadis itu mempertimbangkan banyak hal hanya untuk memenuhi permintaannya. Baru kali ini Nikolai menemui orang yang berpikir dua kali saat mendengar tawarannnya.
"Iris, aku yang akan mengajakmu pergi. Kalau aku tidak peduli dengan status sosialmu, kenapa kamu yang peduli?"
"Tuan, rasanya terlalu mustahil."
Nikolai memiringkan kepala, menahan senyum. "Aku mendengar dari Eric kalau kamu ingin menikahiku."
"Eh, gimana?"
"Bagaimana kita bisa menikah kalau ajakan ke pesta saja kamu tolak."
Iris menggeleng bingung. "Bukan begitu, Tuan. Tapi—"
"Kalau kamu ingin menikahiku, setidaknya hal yang pertama kamu lakukan adalah berusaha membuatku bahagia."
Iris terjebak dengan perkataannya sendiri, menatap Nikolai tak berkedip. Bagaimana mengatakan pada laki-laki itu kalau masalah pernikahan, tidak seharusnya diucapkan sembarangan. Ia memang ingin menikah dengan Nikolai, bukan berarti laki-laki itu harus terus menerus mengingatkannya. Semua gara-gara mulut lancang Eric. Iris berniat membuat perhitungan dengan sahabatnya itu.
"Tuan, saya tidak punya gaun yang bagus untuk ke pesta."
Nikolai menggeleng. "Pakai saja baju terbaik yang kamu punya."
"Nggak masalah kalau nggak mewah?"
"Tidak masalah, Iris. Yang penting kamu menemaniku. Aku akan terluka kalau kamu menolakku."
Iris menghela napas panjang lalu mengangguk. "Baiklah, saya akan ke pesta bersama Tuan. Meskipun saya tidak yakin kalau semua akan berjalan baik. Semoga saya tidak membuat masalah."
"Jangan kuatir, Iris. Ada aku, dan masalah tidak akan berani menghampirimu."
Iris masih berdiri tertegun di kebun saat Nikolai berpamitan. Ia menatap kepergian laki-laki itu dengan dada berdebar. Ia memang tidak bermimpi, Nikolai datang ke rumah dan mengajaknya ke pesta. Ia mencubit pipi dan meringis kesakitan.
"Benar-benar bukan mimpi. Tuan Nikolai datang, ternyata kenyataan."
Iris tidak dapat menyembunyikan rasa senangnya. Ia melompat, menari, sambil berteriak gembira. Menumpahkan kebahagiaan karena janji kencan dengan laki-laki yang dicintainya. Saat kembali ke rumah, kedua kakaknya sudah menunggu. Camelia dan Rose, mencecarnya banyak pertanyaan tentang alasan kedatangan Nikolai. Iris mengatakan yang sebenarnya dan membuat mereka terbelalak.
"Apaa? Tuan Nikolai mengajakmu ke pesta?" teriak Rose.
Iris mengangguk. "Iya."
"Kenapa?" tanya Camelia.
"Nggak tahu, aku juga kaget."
Rose mencengkeram bahu Iris. "Cepat, sekarang kamu pergi ke rumah Tuan Nikolai dan katakan padanya, kamu nggak bisa pergi. Biar aku yang gantikan."
Iris menepis tangan Rose. "Kenapa? Aku sudah janji mau ikut."
"Tapi, kamu nggak bisa ikut?" Camelia ikut membantah.
Iris berkacak pinggang, menatap dua kakaknya. "Apa alasannya nggak bisa ikut, hah? Tuan Nikolai sendiri yang mengajakku. Kalian ini ribut sekali."
Rose mendekati adiknya, menatap dari atas ke bawah. Menyipit untuk menilai, kata-kata menyakitkan keluar dari mulutnya sederas hujan.
"Satu, kamu nggak ada pendikan dan nggak pernah bergaul. Bayangkan saja harus bicara dengan orang-orang itu. Apa yang akan kalian obrolkan? Kedua, kamu nggak pernah kemana-mana, nggak ngerti apa itu pesta. Belum lagi soal penampilan, memangnya kamu punya gaun?"
Kali ini Iris menggeleng. "Nggak punya."
"Nah'kan! Masih nggak ngerti. Mau mempermalukan keluarga kita? Terserah, kalau yang malu kamu sendiri. Besok kamu ke rumah Tuan Nikolai dan beritahu dia kamu nggak bisa datang. Suruh ganti, aku atau Camelia."
Memejam sesaat dan membiarkan penghinaan kakak-kakaknya meresap dalam dada, Iris membuka mata dan tersenyum ceria.
"Tidak akan. Pokoknya apa pun yang terjadi. Aku mau ke pesta sama Tuan Nikolai. Nggak peduli ada badai sekalipun!"
.
.
.
Di Karyakarsa sudah bab 14
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro