Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 31

Iris selalu bermimpi tentang pernikahan yang damai dan indah, dari pertama kali Nikolai melamarnya. Ia merancang masa depan, rencana, dan harapan di dalam hati dan menggaungkan ke seluruh sendi-sendi pikirannya. Tidak peduli akan bisikan dua saudaranya, betapa keluarga Nikolai itu mengerikan. Mengabaikan semua komentar orang-orang yang mengatakan kalau hidupnya akan seperti dalam neraka. Ia juga mengesampingkan fakta kalau Nikolai tidak mencintainya. Dengan seluruh keberanian dan cinta yang dimiliki, menerima lamaran Nikolai dan bertekad menjadikan laki-laki itu suami untuk pertama dan terakhir kali.

Sang papa mengatakan, Iris masih terlalu muda untuk menikah. Harusnya menunggu beberapa tahun lagi, dan melihat lebih banyak dunia luar. Kedua saudaranya mengatakan, kalau cinta Iris pada Nikolai hanya berupa cinta anak-anak. Tidak matang dan cenderung gegabah.

"Kamu harusnya bergaul dengan lebih banyak laki-laki. Dengan begitu kamu bisa melihat ada banyak laki-laki di dunia, selain Tuan Nikolai."

Iris bahkan tidak berani mencoba untuk itu, terlebih setelah melihat pengalaman dua saudaranya dalam memilih kekasih. Mereka mendapatkan pasangan yang tidak sebaik harapan. Arlo sangat arogan dan merasa paling tampan. Carla itu sejenis laki-laki yang memandang tinggi dirinya sendiri. Bagaimana mungkin Rose dan Camila mengharapkan dirinya menemukan laki-laki lain, kalau mereka berdua terlibat hubungan dengan laki-laki yang tidak baik?

Satu-satunya orang yang mendukung hubunganya dengan Nikolai adalah Eric. Sahabatnya itu mengerti betapa besar cinta yang dirasakannya untuk Nikolai. Terlalu besar untuk dihempas dan dilupakan. Ia menyemai semua perasaan dalam dada dari pertama berjumpa hingga hari ini. Tidak pernah berubah bahkan setelah bertahun-tahun berlalu. Menyimpan semua rasa untuk dirinya sendiri tanpa berharap Nikolai akan mengerti. Saat laki-laki itu melamarnya, Iris merasa seluruh dunia berada dalam gengaman. Ia jatuh cinta, jatuh dalam bahagia, dan berharap semuanya akan kekal hingga suatu hari nanti, suaminya juga mencintainya.

Sebuah harapan yang sangat besar bagi gadis muda yang baru menginjak umur dua puluhan. Pengalaman Iris dalam rumah tangga adalah melihat hubungan orang tuanya. Mereka saling mencintai sampai ajal memisahkan. Tidak pernah sedikitpun terbersit untuk bercerai. Bahkan setelah sang mama meninggal, papanya tetap setia. Iris ingin punya pasangan dalam berumah tangga seperti orang tuanya. Tidak peduli kalau keluarga Nikolai sangat angkuh dan arogan. Ia menganggap itu sikap biasa bagi orang kaya. Selama Nikolai memperlakukannya dengan baik, ia siap menanggung beban apa pun itu.

Kenyataan tidak sebanding dengan harapan. Saat seperti ini Iris merasa kalau cintanya ternyata sia-sia. Melihat Nikolai tertegun di kursi roda. Menatap pada Popy yang meringis kesakitan, dengan Anya dan Nayla memberikan banyak keterangan palsu yang dilebih-lebihkan. Ia sendiri berdiri gemetar, bukan karena takut tapi tidak percaya kalau ternyata orang-orang bisa begitu jahat dalam memberikan tuduhan palsu. Ia tidak pernah memukul dan mendorong Popy, tapi Anya dan Nayla memberikan tuduhan berapi-api, seakan ia ada niat membunuh.

"Kamu harus hukum istrimu, Kak. Bisa-bisanya dia mendorong mamaku!" teriak Anya dengan berurai air mata. "Mamaku nggak salah, hanya mengajaknya bicara dan Iris lepas kendali!"

Nayla mengangguk. "Yang dikatakan Anya benar. Aku melihat sendiri bagaimana Iris melakukannya. Kasihan orang tua, didorong sampai jatuh."

Eric memberanikan diri berteriak. "Tidak, Tuaaan. Itu semua bohong, salah paham. Bukan begitu—"

"Diam kamu!" Anya membentak, melotot pada Eric yang sekarang menunduk dengan tangan terlipat di depan tubuh. "Kamu pasti membela Iris. Tapi, lihat kondisi mamaku!"

"Aduuh, pinggangku."

Popy kembali merintih, Nayla dan Anya membisikkan penghiburan. Nikolai melajukan kursi rodanya perlahan, mendekati istrinya.

"Iris, apa yang terjadi?" tanyanya.

Suara Nikolai sangat lembut, tapi terdengar bagaikan ledakan bom. Pancaran mata Nikolai seolah penuh tuduhan membuat hati Iris berdenyut sakit.

"Aku, itu...." Iris tidak menyelesaikan kata-katanya. Tenggorokannya tercekat, terlebih menatap mata Nikolai.

"Apa benar kamu memukul Bibi Popy?" tanya Nikolai.

Iris menggeleng. "Buk—"

"Jangan bohong!" Anya menyela keras. "Bisa terlihat di CCTV. Jangan kamu mengaburkan fakta. Dasar perempuan bar-bar!"

Nikolai menghela napas panjang, memalingkan wajah dan meminta Pram mendekat. "Panggil ambulan atau minta sopir bawa Bibi ke rumah sakit."

Pram mengangguk tapi Popy menggeleng. "Nggak mau, sakiit. Aku ingin dokter yang datang."

"Bukannya kamun kesakitan?" tanya Nikolai. "Di rumah sakit kamu akan mendapat pemeriksaan lengkap."

Popy bersikukuh. "Nggak mau. Nggak suka bau rumah sakit. Aku ingin tetap di sini. Please, Nikolai. Sakittt!"

Nikolai mengangguk. "Baiklah, tapi pelayan akan membantumu ke kamar."

Selanjutnya terjadi kehebohan di teras belakang saat beberapa pelayan berusaha memindahkan Popoy menggunakan kursi roda. Agak sulit dilakukan karena perempuan itu terus mengeluh, merintih, dan bahkan merengek seperti anak kecil. Ditambah dengan Anya yang tidak sabaran, membentak semua orang dan terakhir mengirimkan pandangan mengancam pada Iris yang terdiam.

Setelah semua kehebohan berlalu, Nikolai bicara khusus dengan Eric. "Apakah urusanmu di sini sudah selesai?"

Eric mengangguk. "Sudah, Tuan."

"Bisakah kamu pulang sekarang? Maaf, bukan maksud mengusirmu. Tapi, aku ingin bicara secara pribadi dengan istriku."

Eric tidak menolak tentu saja. Meskipun merasa kasihan dengan Iris, tapi sadar kalau urusan mereka tidak ada hubungan dengannya. Ia berpamitan lirih dengan sahabatnya sebelum melesat meninggalkan rumah besar itu menggunakan sepeda. Kejadian hari ini cukup membuatnya shock. Betapa orang-orang pintar berpura-pura dan memanipulasi orang lain hanya demi saling menjatuhkan. Sepanjang jalan Eric memikirkan sahabatanya dan berharap Iris bisa selamat dari kekacauan.

Tidak ada orang lain di teras belakang, tersisa hanya Iris dan Nikolai. Memandang istrinya yang masih berdiri diam, Nikolai bertanya sekali lagi. Masih dengan suara yang lembut.

"Iris, apa kamu mau menjelaskan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi? Benarkah kamu memukul Bibi?"

Iris menelan ludah lalu menggeleng.

"Tidak? Kenapa Bibi bisa jatuh?"

Iris memejam, pertanyaan Nikolai memang lembut tapi terdengar penuh tuduhan. Ia siap menghadapai apa pun tapi tidak dengan kecurigaan suaminya. Ia tidak peduli kalau seluruh penghuni rumah menentang tapi tidak dengan Nikolai.

"Aku nggak sengaja," ucap Iris lembut.

"Nggak sengaja memukul?"

"Bukan."

"Lalu?"

Iris mengepalkan tangan, menatap suaminya lekat-lekat. Mencoba mencari makna dari pandangan suaminya. Ia tidak menemukan apa pun, selain binar kebingungan. Tentu saja Nikolai bingung, melihat istrinya bersikap kurang ajar pada sang bibi. Tidak peduli kalau mereka suami istri, bagaimana pun Popy masih ada hubungan darah dengan Nikolai. Jauh lebih kuat ikatan itu dari pada dengannya.

"Iris, kenapa diam?"

Pertanyaan Nikolai belum terjawab saat terdengar suara-suara dari dalam. Dokter yang dipanggil sudah datang, dan ingin memeriksa Popy. Nikolai melajukan kursi roda menjauh dari istrinya.

"Aku akan melihat kondisi Bibi. Sebaiknya kamu kembali ke kamar Iris."

Tidak perlu diperintah dua kali, Iris bergegas ke kamarnya dan mengunci diri di sana. Terduduk di ujung ranjang dan termenung. Mencoba mencari letak kesalahan hari ini, yang berjalan begitu muram untuknya. Foto-foto di pesta Maila, ditambah dengan masalah Popy. Semua orang seakan sepakat untuk menentangnya.

Iris merebahkan tubuh, menatap nyalang pada langit-langit kamar. Ia mencoba mencari tahu apa yang terjadi di luar dengan menajamkan pendengaran tapi tidak mendengar apa pun. Tidak mengerti bagaimana orang jatuh bisa berakibat begitu fatal. Jatuh yang ia tahu disengaja untuk menjebaknya. Iris paham kalau Popy berpura-pura. Harusnya ia dengan lantang mengatakan semua pada Nikolai, tapi entah kenapa justru tersumbat di tenggorokannya. Semua pembelaan, kata-kata untuk menangkis, dan juga ucapan penuh kebenaran, tersangkut di sela-sela keraguan yang berpendar dari binar mata Nikolai.

Kalau suaminya sendiri sudah meragukannya, Iris tidak tahu lagi harus bicara dengan siapa. Kalau Nikolai menganggapnya bersalah, tidak ada gunannya lagi pembelaan. Iris termenung dan akhirnya jatuh tertidur dengan posisi gelisah.

"Nyonya, sudah waktunya makan siang."

Samar-samar terdengar panggilan lirih. Iris terbangun dengan kaget. "Jeni? Bagaimana kamu bisa masuk?" Ia mengucek mata, teringat sudah mengunci pintu.

Jeni tersenyum di ujung ranjang. "Nyonya tidak mengunci pintu."

"Benarkah?"

"Iya, saya mengetuk tidak ada reaksi. Makanya memberanikan diri untuk masuk. Nyonya, saya bawakan makan siang ke kamar."

Iris menatap nampan besar berisi bermacam-macam makanan dan lauk pauk. Baru pertama kali terjadi, ia makan di kamar. Menduga kalau semuanya pasti perintah suaminya.

"Jeni, di mana suamiku?"

"Tuan Nikolai pergi, Nyonya. Dari satu jam yang lalu. Beliau yang meminta saja untuk membawa makan siang ke kamar."

Dugaan Iris benar, dan ia merasa tidak senang karena itu. "Bagaimana keadaan Bibi Popy?"

Jeni menggeleng. "Tidak tahu, Nyonya. Tidak ada yang boleh masuk ke kamarnya setelah pemeriksaan., Tapi, beberapa pelayan yang bekerja di rumah Nyonya Popy mengatakan kalau dia terus menerus merintih dan Nona Anya marah tiada henti."

"Begitu rupanya."

"Nyonya, saya akan tinggal sebentar. Silakan makan."

Sendiri di kamar, Iris mencoba menelan makanan tapi terasa alot dan hambar. Akhirnya ia menyerah pada suapan kelima. Saat Jeni datang untuk mengambil nampan, terlihat sedih karena makanan hampir tidak tersentuh. Iris memberi alasan, sarapan terlalu banyak dan sekarang masih kenyang.

Ia bertahan di kamar hingga sore dan terjadi sekali lagi, Jeni mengantar makan malam ke kamar. Tidak ada pesan atau telepon dari suaminya, yang menanyakan keadaannya. Jeni mengatakan Nikolai belum kembali. Sekali lagi Iris mencoba makan dan akhirnya memilih untuk tidak melanjutkannya. Selesai mandi, ia berharap bisa melihat suaminya tapi ternyata, sampai tengah malam Nikolai tidak juga datang. Merasa sendiri dan diasingkan, Iris berusaha untuk tidak menangis. Ia meringkuk di ranjang, mencoba memejamkan mata dan nyatanya justru terjaga hingga pagi hari.

Waktu sarapan, ia memberanikan diri keluar kamar dan mendengar percakapan lirih di ruang tengah. Tertegun saat melihat ada suaminya sedang bicara dengan Noris, Dickson, dan yang lainnya. Iris mendekat dan kini bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas.

"Kamu harusnya bisa mendidik istrimu," tegur Norris. "Bibi Popy sudah tua, kalau terjadi apa-apa, akan repot."

"Aku tahu apa yang harus akun lakukan," jawab Nikolai. "Urusan istriku akan menjadi tanggung jawabku."

"Sudah seharusnya begitu," sela Dickson. "Kita laki-laki, jangan seenaknya saja mengalah pada perempuan. Meskipun itu istri kita sendiri. Kalau memang mereka bersalah, ya, tetap salah."

"Sudah aku katakan. Aku bisa mengurus masalahku sendiri!" Suara Nikolai meninggi. "Kalau memang istriku bersalah, aku yang akan menghukumnya. Apa itu tidak jelas?"

"Kita semua tahu, kamu terlalu lemah dengan Iris. Memang sudah begitu tugas suami pada istri. Membela apa pun yang terjadi, tapi kalau Iris salah, kamu juga ikut bertanggung jawab, Nikolai." Ida ikut bicara. Mengangkat cangkir berisi teh hangat dan mengesapnya. "Bertahun-tahun aku menjadi menantu di keluarga ini, baru kali ini mengalami kejadian yang demikian mengerikan terjadi di rumah ini. Anya dan Nayla memang sering tidak akur, dengan Jeremy pun sama. Tapi mereka tidak akan menyakiti secara fisik."

Semua orang mengangguk dan Iris mengusap dada. Menahan diri untuk tidak menghambur ke kamar. Rupanya, ini alasan Nikolai mengurungnya di kamar. Karena keluarga ini sedang berusaha menguliti kesalahannya. Padahal, ia melakukan semuanya secara tidak sengaja, tapi tuduhan mereka seolah dirinya melakukan dosa besar.

"Nikolai, kami menuntut janjimu!" tegur Dickson.

Nikolai mengernyit. "Janji apa?"

"Adil dalam bersikap. Istrimu bersalah, harus menerima teguran setimpal!"

Semua orang mengangguk, Norris berdehem. "Termasuk soal foto-foto di pesta. Kita memang tidak menyukai keluarga Haris. Tapi sikap istrimu pada Maila sangat kasar dan tidak bisa dibiarkan. Nikolai, kamu harus bertindak."

Hening sesaat sampai akhirnya Nikolai menjawab. "Iya, aku akan menghukum istriku."

Tidak perlu berlama-lama menunggu sampai percakapan mereka selesai, Iris mengurungkan niatnya untuk sarapan dan bergegas kembali ke kamar. Ia mengusap kelopak matanya yang basah. Air mata panas membahasi pipi. Pertama kalinya, merasa begitu sedih dan tidak berharga di rumah ini. Semua orang menentangnya, bahkan suaminya sendiri ingin menghukumnya. Iris merasa tidak dihargai. Bukankah seharusnya mereka mendengarkan pembelaannya juga, bukan hanya mendengar Popy? Kenapa mereka lebih mempercayai selembar foto dari pada penjelasannya?

Iris membuka lemari, mengambil tas besar dan membukanya di atas ranjang. Ia mengambil pakaian miliknya yang lama dan masih tersimpan di bagian bawah lemari. Memasukkan ke dalam tas, berikut barang-barang pribadinya yang lain. Setelah itu mengganti dress dengan celana denim dan kaos. Penampilannya persis saat pertama datang ke rumah ini. Iris sedang menguncir rambut saat pintu membuka. Nikolai duduk tertegun di depan pintu, menatap tas besar di atas ranjang.

"Iris, apa itu?" tanyanya.

Iris menjawab tanpa menoleh dari depan kaca. "Tas berisi pakaianku."

"Kamu mau kemana?" tanya Nikolai.

"Pulang!"

"Pulang kemana? Ini rumahmu."

Iris membalikkan tubuh, menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca, berusaha untuk tetap tenang tapi suaranya terdengar parau saat bicara. "Bukan, ini rumah keluarga Danver. Bukan rumahku."

"Tapi—"

"Tuan Nikolai, aku minta maaf kalau sudah membuat keributan di rumah ini dan juga di pesta."

Nikolai mendesah. "Iris ...."

"Aku juga minta maaf kalau sudah membuat posisimu serba salah. Sebenarnya, aku bisa saja membela diri tapi tidak ingin menyulitkanmu."

"Iris, aku—"

Iris menggelengm dengan berurai air mata. Mengangkat tas dari atas ranjang. "Cukup, Tuan. Jangan bicara lagi. Sebelum Tuan ingin menghukumku, aku sudah menghukum diriku sendiri. Aku keluar dari rumah ini, agar tidak ada lagi masalah. Soal pernikahan kita, terserah Tuan mau bagaimana. Surat cerai bisa dilayangkan ke alamat keluarga Rosenwood."

Nikolai menatap lekat-lekat pasa istrinya yang menuju pintu dengan tas besar di tangan. Ia mengepal, berkata dengan nada rendah.

"Iris, apa kamu sudah pikirkan tindakanmu ini? Menurutku, ini bukan jalan keluar yang benar."

Iris menoleh sebelum membuka pintu. "Aku tidak tahu lagi mana jalan yang benar kalau suamiku tidak lagi percaya."

Iris menutup pintu kamar, melangkah cepat menuju pintu belakang. Ia yakin saat ini keluarga Danver masih berkumpul di ruang tengah. Tidak ingin bertemu mereka, Iris memilih jalan belakang. Terlihat seperti pengecut tapi ia merasa saat ini adalah jalan terbaik. Mengabaikan pertanyaan dan panggilan Jeni, Iris mengayuh sepada dengan kencang, meninggalkan rumah keluarga Danver. Meninggalkan suaminya dengan sakit hati menggumpal di jiwa.

Cerita ini sedang PO


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro