Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 25a

Iris mendekati Nikolai dengan gugup. Telapak tangan berkeringat padahal ruangan berpendingin udara. Menatap Nikolai yang mematung di atas kursi roda, kepercayaan diri yang sudah dibangunnya runtuh seketika. Tadinya ia membayangkan reaksi suaminya akan terperangah, kagum, dan tersenyum. Ternyata yang terjadi di luar dugaan. Nikolai memang kaget, tapi kerutan di dahi laki-laki itu menggambarkan keheranan. Iris malu setengah mati karena itu. Ia menunduk, menatap lantai dan seolah ingin masuk serta menghilang ke dalam bumi.

"Iris, kenapa diam?"

Iris menunduk dan menggeleng pelan. "Apa aku jelek?"

Nada suaranya yang sedih membuat Nikolai menghela napas panjang. Ia mendekat, dengan perasaan bersalah. "Kamu cantik, bahkan tanpa make up di wajah. Tapi, pakaianmu ...."

Iri menunduk makin dalam, tidak menyangka kalau semua yang direncanakan akan berakhir memalukan seperti ini. Tidak ada pujian, tidak ada decak kekaguman, wajah suaminya justru menyiratkan keheranan dan rasa jijik. Ia menyilangkan dada dan membalikkan tubuh.

"Aku tahu, pakaianku jelek'kan? Tidak cocok aku pakai. Aku pikir, tadinya, kamu akan suka. Ternyata, aku salah."

"Iris, bukan begitu."

"Maaf."

"Kenapa meminta maaf?"

"Karena sudah begini. Aku—"

Iris tidak melanjutkan kata-katanya, berlari ke kamar mandi dan menutupnya. Tidak peduli dengan Nikolai yang berusaha mengejarnya. Ia tertegun menatap cermin, mengambil tisu dan berusaha menghapus riasan di wajah serta bibirnya. Terdengar ketukan di pintu dan ia mengabaikanya.

"Iris, apa kamu baik-baik saja? Keluarlah! Aku minta maaf kalau sudah membuatmu marah."

Iris mencuci muka, kembali mengeringkan dengan tisu sampai tidak ada lagi sisa bedak.

"Iris, aku minta maaf. Ayo, keluarlah!"

Iris tidak menjawab panggilan Nikolai. Karena sama seperti dirinya, laki-laki itu pasti juga tidak tahu tentang kesalahannya. Nikolai tidak bersalah, tidak seharusnya minta maaf. Dirinya yang terlalu vulgar, kurang ajar, dan penuh percaya diri. Mengira kalau Nikolai bisa menerima dirinya setelah mereka menikah. Padahal, umur pernikahan baru beberapa hari. Harusnya mereka saling mengenal lebih dulu, saling mempelajari pribadi masing-masing. Irisnya merasa, seharusnya bertanya pada Nikolai tentang apa yang disukai dan tidak oleh suaminya. Bukan malah menyerang membabi buta dan membuat suaminya ketakutan sekaligus jijik.

"Iris, kalau kamu tidak mau keluar. Aku akan membuka paksa pintu ini!"

Ancaman dari Nikolai membuat Iris tersentak. Ia berdehem untuk menghilangkan gugup. "Sebentar. Lima menit!"

Ia bergegas ke lemari, mengambil gaun rumahan miliknya. Membuka gaun tidur dan celana dalam, meletakkannya kembali le laci. Tanpa sepatu, tanpa make up, ia menguncir rambut dan berdiri di depan pintu. Memejam beberapa saat sebelum jemarinya menyentup knop dan membukanya.

Nikolai duduk dengan mimic kuatir, bernapas lega saat melihat istrinya keluar. "Iris, apa aku menyakiimu?" tanya perlahan.

Iris menggeleng. "Nggak, Tuan."

"Kalau begitu, kenapa kamu masuk?" Nikolai menatap pakaian Iris yang kini berganti gaun rumah yang lusuh dengan warna yang memudar. Ia menyesali diri, karena bereaksi berlebihan dan membuat istrinya terluka. Iris yang muda dan lugu, pasti shock sekarang. "Bisa kita bicara?"

Iris mengangguk, duduk di tepi ranjang dan menatap kakinya yang tanpa alas. Nikolai mengikutinya, duduk tepat di hadapannya. Ia menggigit bibir, sangat takut kalau Nikolai akan marah.

"Kamu pasti mengira aku tidak menyukai penampilanmu. Kamu salah Iris, kamu cantik sekali dengan gaun itu. Hanya saja—"

Iris mengangkat wajah, menatap suaminya dengan sendu. "Hanya kenapa?"

Nikolai menghela napas panjang. "Aku tidak ingin kamu kecewa." Ia menepuk kakinya dengan lembut dan tersenyum muram. "Apakah kamu pernah mempertimbangkan sebelumnya akan menikahi laki-laki cacat? Aku bahkan tidak tahu, apakah mampu melayanimu sebagai suami atau tidak."

Perkataan Nikolai membuat Iris tersentak. "Kenapa bicara begitu?"

"Karena memang kenyataannya begitu, Iris. Aku tidak ingin memberimu janji kosong, mengatakan hal-hal manis yang pada akhirnya membuat kita berdua terluka. Terutama kamu dan kebaikan hatimu. Iris, bisakah aku meminta waktu?"

"Waktu untuk apa?"

"Untuk menyesuaikan diri, untuk mempersiapkan semuanya. Kelak, saat kita harus bercinta, aku ingin melakukannya dengan benar. Bukan seperti sekarang, terlalu terburu-buru. Lagipula, kita masih asing satu sama lain. Kenapa tidak kita gunakan waktu ini untuk saling mencari tahu dan saling mengenal lebih dalam?"

Iris tidak bodoh, mengerti benar dengan permintaan suaminya. Menyingkirkan rasa malu, ia meraih jemari Nikolai dan menggenggamnya. Jemari itu hangat, bersentuhan dengan telapaknya yang dingin, terasa menyenangkan. Iris tersenyum kecil.

"Aku merasa malu, karena sudah membuatmu kaget."

"Tidak perlu malu, yang kamu lakukan hal wajar. Memang seperti itu seorang istri bersikap pada suaminya. Aku saja yang bereaksi berlebihan."

"Aku pikir, tidak cukup cantik."

"Tidaak, bagiku kamu sangat cantik dan memang seperti itu kenyataannya." Nikolai mengangkat dagu istrinya, mengusap bibir Iris perlahan. Ia mendekatkan diri dan mengecup bibir lembut itu. "Aku tidak peduli bagaimana penampilanmu. Di mataku, kamu sangat cantik. Seandainya keadaanku tidak seperti ini, aku pasti sangat bahagia bisa bersamamu, Iris. Maksudku, menjadi suami istri yang sesungguhnya dengan melakukan hubungan sex."

Penuturan suaminya menyentuh hati Iris. Ia tidak lagi merasa malu, tapi kini justru iba. Nikolai yang tampan, kaya, dan berkuasa, terdengar begitu rapuh dan tidak percaya diri kala bicara soal sex. Ia menyesali diri karena tidak mencari tahu lebih dulu sebelum bertindak. Awalnya berpikir kalau merayu suaminya bukan hanya tindakan nekat tapi juga keren. Sekarang, ia sama sekali tidak merasa apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang keren. Terlebih karena sudah membuat Nikolai bersedih.

"Maafkan aku. Kamu benar, Sayang. Harusnya kita saling mengenal lebih dulu. Aku pikir, seorang istri sudah selayaknya melayani dan menyenangkan suaminya. Ternyata aku salah."

Nikolai kembali mengecup bibir Iris. Kali ini dengan penuh kelembutan. Ia ingin istrinya mengerti curahan hatinya dengan sentuhan. Percakapan di antara mereka terdengar begitu menyedihkan. Ia tidak ingin membuat istrinya merasa sedih apalagi terhina.

"Yang kamu lakukan tadi sudah benar. Gaun hitam dan sepatu merah, terlihat sangat sexy. Aku menyukainya, Iris."

Iris terperangah dengan bola mata membulat. "Be-benarkah?"

Nikolai mengangguk. "Benar, aku merasa beruntung mempunyai istri secantik kamu. Bukan hanya cantik, tapi juga muda, sexy, dan baik hati. Sayangnya, keadaanku tidak memungkinkan sekarang untuk menjadi suami seutuhnya."

Iris mengusap pipi Nikolai dan membelai dengan lembut. "Kamu tetap sempurna di mataku. Masih sama seperti laki-laki yang aku lihat bertahun-tahun lalu. Tidak peduli bagaimana keadaanmu sekarang, bagiku kamu istimewa."

Nikolai tertawa lirih. "Rayuanmu maut, istriku. Aku tersanjung mendengarnya."

Iris terbelalak. "Apa kamu bilang?"
.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro