Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 21b

"Iya, perkebunan. Konon ada perempuan cantik anak petinggi balai kota yang meminta sepupu kami menikahinya. Tapi, Kak Nikolai tidak ingin terikat pernikahan dengan perempuan itu, makanya menikahimu demi kedok!"

Nayla bersedekap. "Kamu piikr hebat? Bisa menikahi laki-laki kaya? Kamu salah! Untuk kekayaan, perempuan bernama Maila itu punya segalanya. Sayangnya, sepupu kami tidak suka dipaksa."

"Pastinya akan hebat kalau Kak Nikolai menikahi Maila yang kaya raya dari pada denganmu."

"Kasihan! Menikah hanya untuk formalitas."

"Nggak heran, suami istri tapi tidur terpisah!"

Tawa Nayla dan Anya mengiri langkah Iris kembali ke kamar. Ia terduduk di ujung ranjang dan merenung. Siapa itu Maila? Kenapa jadi ada nama perempuan itu tercetus di pagi pertamanya sebagai istri Nikolai? Meraih ponsel, Iris mengetik sesuatu di pencarian dan terbelalak.

"Hah, apa-apaan ini?"

Kebetulan Jeni baru saja mengetuk pintu, pelayan itu menanyakan soal barang-barang Iris. Meraih lengan gadis itu, Iris menunjukkan foto di layar ponsel.

"Menurutmu, perempuan ini bagaimana?"

Jeni mengamati tak berkedip. "Cantik."

"Memang, maksudku itu, dadanya. Asli nggak?"

Meskipun bingung, Jeni berusaha untuk mengamati. "Nyonya, memang ada dada palsu?"

"Ada tentu saja. Operasi, implant, biar besar."

"Eh, mungkin."

"Tapi, bisa jadi asli. Tubuhnya berisi soalnya."

Iris mengamati tubuhnya yang kurus dan dadanya yang tidak terlalu besar. Ukuran proposional perempuan pada umumnya. Ia menghela napas panjang dan terduduk kembali di ranjang. Memikirkan tentang Maila, dada besar, dan juga dirinya yang merasa sangat biasa saja. Ia masih sibuk merenungi nasib saat Nikolai masuk. Terlalu berkonsentrasi memikirkan Maila membuatnya tidak menyadari kehadiran Nikolai.

"Iris, apa yang kamu pikirkan?"

"Dada!" jawabnya spontan.

Nikolai menaikkan sebelah alis. "Dada siapa?"

Iris menengadah dan tertawa lirih. "Maaf, aku sedang memikirkan sainganku."

"Sainganmu?"

Iris meraih tangan Nikolai dan memainkannya. "Sayang, aku baru tahu kalau ada perempuan lain yang ingin menikah denganmu."

Wajah Nikolai menjadi keruh seketika. "Siapa yang mengatakan. hal seperti itu padamu?"

"Beberapa orang, dan membuatku berpikir keras."

"Beberapa orang? Siapa saja?"

Menyadari kalau perkataan yang diucapkan tidak selaras dengan suaminya, Iris tergelak. Sikapnya membuat Nikolai keheranan.

"Siapa yang bilang, itu nggak penting. Tapi, aku jadi memikirkan sesuatu."

Nikolai mengembuskan napas panjang. "Tentang apa?"

"Apa menurutmu, aku perlu operasi dada?"

Pertanyaan Iris sungguh di luar dugaan. Membuat Nikolai kehilangan kata-kata. Barus aja mereka bicara soal Maila, dan kini istrinya bicara soal dada. Ia mengarahkan pandangannya ke dada sang istri dan menggelengkan kepala. Menurutnya tidak ada yang aneh dengan dada Iris sampai harus dioperasi.

"Kenapa kamu harus operasi dada?" tanyanya bingung.

Iris tersenyum malu. "Maila, berdada besar. Jadi aku pikir—"

Nikolai mengembuskan napas panjang. "Iris, tidak ada yang harus diubah dari dirimu. Kalau aku menginginkan perempuan berdada besar, aku akan menikahinya dan bukan kamu."

"Tapi, mereka bilang—"

Nikolai mengusap pipi lalu rambut istrinya yang bercahaya. "Bisakah kamu berjanji satu hal padaku?"

"Soal apa?"

"Apa pun yang mereka katakan, jangan langsung mempercayai. Ingat, apa pun itu, aku ingin kamu menanyakan semuanya padaku."

Iris tersenyum, mendekap tangan Nikolai di pipinya. "Iya, Sayang. Aku tidak akan mudah percaya perkataan mereka. Hanya saja, tadi merasa sedikit iri dengan Maila yang cantik."

"Kamu juga cantik, Iris."

"Terima kasih sudah memilihku."

Hati Nikolai diliputi kelegaan, istrinya jauh lebih pengertian dari yang dikiranya. Usia muda tidak menjadi alasan Iris untuk mudah marah dan menuduh. Lagi pula, yang ia katakan benar adanya. Ia lebih memilih Iris dibandingkan Maila. Tidak ada hubungannya dengan wajah dan kekayaan. Nikolai mengingatkan diri sendiri untuk menegur keluarganya. Memberi mereka peringatan untuk tidak bicara sembarangan di depan istrinya.

"Kamu mau jalan-jalan di sekitar rumah? Aku sedikit bosan."

Ajakan Nikolai diberi anggukan ceria oleh Iris. Dengan cekatan ia mengambil kursi roda suaminya dan mendorongnya ke arah pintu depan. Rumah sunyi, penghuni lain tidak terlihat. Iris menduga mereka sudah kembali ke tempat masing-masing.

Iris mendorong perlahan kursi roda menyusuri jalanan kecil yang melingkari taman bunga. Jalanan khusus yang sepertinya memang dibuat untuk Nikolai. Udara pagi cukup sejuk, membuat Iris merasa sangat segar.

"Sayang, sepertinya kamu belum sarapan?" tanya Iris saat mereka memutari pohon maple dengan daunnya yang kemerahan.

"Memang belum, dari pagi aku sibuk bekerja. Kamu sudah kenyang bukan?"

"Sudah, aku makan banyak sekali. Mau aku ambilkan sarapan dan makan di sini?"

Nikolai memikirkan sejenak pertanyaan Iris. Makan di luar ruangan bukan ide buruk. Sayangnya, ia bukan tipe orang yang suka melakukan sesuatu di luar kebiasaan.

"Bagaimana kalau sarapan di teras belakang?"

"Ide bagus, kita ke sana selesai jalan-jalan."

Iris membawa Nikolai berkeliling taman. Sesekali mereka berhenti saat menemukan tanaman atau bunga yang unik. Iris yang sepertinya tahu banyak soal tanaman, menjelaskan apa yang diketahuinya pada Nikolai.

"Tanaman ini tumbuh di Asia, bisa digunakan untuk obat dan juga bumbu masakan. Aku heran kalian menanamnya di taman." Iris menunjuk tanaman dengan daun hijau panjang yang berada di dalam pot.

"Mungkin koki rumah yang menanamnya."

"Bisa jadi."

"Kamu banyak tahu tentang jenis tanaman."

Iris mengedipkan sebelah mata. "Cita-citaku ingin jadi petani, Tuan Nikolai."

"Benar juga."

Percakapan mereka terhenti saat Pram datang. Laki-laki itu mengangguk hormat. "Maaf menganggu, Tuan. Tapi, ada sedikit masalah di kantor."

Nikolai menatap arloji di pergelangan tangan. "Bisa ditangani di rumah atau kita harus ke kantor?"

"Harus ke kantor, Tuan," jawab Pram tidak enak hati karena sudah mengganggu waktu bersantai sang tuan. Di hari libur dan mereka baru saja menikah, tapi pekerjaan penting menunggu.

"Tidak bisa besok?"

Pram menggeleng. "Urgent."

Iris mengusap bahu suaminya. "Pergilah, aku menunggu di rumah."

Nikolai menganggguk, meminta Pram mengambil tas kerja. Ia mengulurkan kartu pada Iris. "Kalau kamu ingin belanja sesuatu, pakai kartu ini. Minta sopir dan Jeni menemanimu."

Iris tersenyum, menerima kartu sambil mengucapkan terima kasih. Ia menatap kepergian suaminya dengan kartu tergenggam di telapak tangan. Untuk saat ini, ia memilih untuk menyimpan kartu. Belum ada niat menggunakannya.

Di dalam kendaraan yang melaju kencang di jalan raya, Pram menjelaskan situasi genting di kantor. "Nona Maila mengamuk di kantor, memaksa untuk datang ke rumah tapi dihalangi oleh sekretaris yang sengaja datang untuk menenangkannya."

Nikolai mengernyit. "Apa yang diinginkannya?"

"Bicara dengan Tuan. Terpaksa saya mengajak Tuan ke kantor karena tidak ingin dia datang ke rumah dan bertemu Nyonya."

Nikolai mendesah, menyandarkan kepala pada kursi. Tidak habis pikir dengan sikap Maila yang sangat pemaksa. Rupanya, perempuan itu terbiasa mendapatkan semua yang diinginkan, sampai lupa kalau Nikolai tidak semudah itu dibuat tunduk.

"Keputusanmu sudah benar, Pram. Memang bagus untuk tidak mempertemukan istriku dan Maila."

Nikolai mendadak teringat tentang keingian Iris untuk operasi dada dan tanpa sadar tersenyum.

.

.
Siapkan pulsa, besok tersedia di google playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro