Bab 20
Iris melongo, menatap kamar Nikolai yang sangat luas. Menghadap ke taman dengan jendela besar dan tinggi dengan gorden putih dan krem. Karpet warna krem membentang di bawah ranjang besar, dengan bantal dan selimut lembut. Tidak hanya itu, ada sofa kulit, meja dan kursi rias yang masih kosong, dengan lukisan berada di dinding yang berhadapan dengan ranjang. Sebuah lampu besar dan indah tergantung di langit-langit, dan lantai kamar dilapisi kayu yang licin dan mengkilat. Tidak ada yang biasa dalam kamar ini, semua menunjukkan kemewahan yang didominasi warna krem dan putih.
"Ini tempat tidurmu, lalu di sini lemari pakaianmu."
Nikolai melajukan kursi roda ke arah pintu kaca dan menggesernya. Terdapat sebuah ruangan kecil yang digunakan sebagai walk in closet. Deretakan pakaian dari mulai kemeja, celana, dan sepatu berderet pada lemari kaca dengan lampu yang berpendar terang. Ada kursi kulit berada di tengah-tengah yang sepertinya digunakan untuk memakai sepatu.
"Masih ada banyak ruang untukmu menyimpan pakaian. Kalau kurang, kita bisa memodifikasinya."
Iris meringis malu, bagaimana ia bisa kekurangan tempat sedangkan gaunnya hanya satu koper kecil. Gaun terbaik yang dimilikinya adalah gaun pengantin dan gaun pesta pemberian Nikolai.
"Tuan, aku nggak punya banyak pakaian," ucapnya pelan. "Satu laci saja sudah cukup. Tidak perlu merepotkan."
Nikolai tertegun menatap istrinya lalu tersenyum. "Kita bisa atur nanti. Sekarang sudah malam, aku akan memanggil pelayan pribadimu. Dia yang akan melayanimu dan menemanimu kemanapun kamu pergi."
Iris ternganga. "Pelayan pribadi?"
"Iya, orang yang akan siap membantu kapan pun kamu butuhkan."
"Tuan, nanti dulu. Aku sangat lelah sekarang dan ingin berbaring."
Nikolai mengangguk. "Berbaringlah, pasti punggungmu sakit."
"Memang. Mau istirahat sebentar."
"Tidak mau ganti gaun?"
"Nanti."
Iris membuka sepatu, melepas tiara dan dan mengurai rambut. Mengangkat kaki dan berbaring di ranjang sambil mendesah.
"Ah, empuk dan nyaman. Aku suka."
Ia memejam, menikmati sensasi lembut di bawah tubuhnya. Dari pagi bersiap, sampai tengah malam membuatnya sangat lelah. Menyenangkan bisa merebahkan kepala. Dengan cepat napasnya berubah menjadi perlahan dan dengkur halus terdengar dari bibirnya.
Tidak ingin menganggu istrinya, Nikolai memanggil Pram untuk membantunya mandi dan berganti pakaian. Nikolai memantut diri di depan cermin, menatap bayangannya yang sudah segar.
"Bagaimana dengan masalah perkebunanan hari ini?"
"Sedikit ricuh, Tuan."
"Keluarga Haris?"
"Benar. Mereka mendengar soal pernikahan Tuan dan Nona Maila sempat memaksa untuk datang tapi berhasil dihalangi."
"Ehm, jadi pembukaan perkebunan gagal?"
"Benar, Tuan."
Haris adalah ketua dewan kota. Laki-laki tua yang merasa kalau dunia harus berada di bawah kakinya dan semua orang harus menurut. Dengan kekuasaan yang dimiliki, ingin mengintimidasi semua orang. Haris ingin Nikolai menikahi Maila. Laki-laki itu lupa, ada banyak hal yang tidak dapat ditukar bahkan dengan kekuasaan. Keluarga Danver dari dulu tidak akan mudah takluk pada orang, terlebih dengan manusia semacam Haris yang tidak tahu malu.
Nikolai menoleh pada Pram. "Ngomong-ngomong, Maila itu yang mana? Kenapa dia ngotot ingin menikah denganku?"
Pram berdehem. "Perempuan memakai gaun hitam saat pesta makan malam di rumah Pak Walikota."
"Bukannya hampir semua perempuan bergaun hitam malam itu?"
"Bertubuh agak subur dengan dada yang ...." Perkataan Pram menggantung di udara. Laki-laki itu menunduk salah tingkah.
Nikolai menatapnya lalu mendengkus. "Sepertinya aku tahu siapa yang kamu maksud."
Bagaimana Nikolai bisa lupa, seorang perempuan bergaun hitam dengan tubuh berisi dan dada yang besar. Perempuan itu cukup cantik dan sexy, kalau saja berhenti memamerkan dadanya pada Nikolai. Setiap kali mereka bicara, gaun perempuan itu melorot dan nyaris menampakkan seluruh isinya. Sikap yang membuat Nikolai bertekad untuk berada sejauh mungkin dengan perempuan itu. Haris tidak akan bisa memaksanya menikah dengan Maila. Tidak ada yang bisa memaksa keluarga Danver, bahkan penguasa kota sekalipun.
Pram berpamitan pergi, Nikolai melajukan kursi roda mendekati ranjang. Menatap pengantinnya yang terbaring kelelahan dengan mata terpejam. Wajah mungil dengan titik keringat membasahi dahi dan membuat anak-anak rambut lengket. Ia makin mendekat, dan menatap lekat-lekat pada sosok istrinya. Ia tidak habis pikir bagaimana gadis muda seperti Iris bersedia menghabiskan seluruh hidupnya untuk menikah dengan laki-laki cacat. Selama ini memang tidak sedikit perempuan yang ingin menikah dengannya tapi mereka selalu punya maksud tersembunyi. Berbeda dengan Iris yang memang ingin menikah tanpa maksud lain.
Iris sangat cantik. Dengan rambut merah dan kulit putih. Gadis ceria yang seakan tidak pernah menyimpan rasa marah atau sedih dalam dirinya. Iris selalu tersenyum dan menatapnya dengan pandangan memuja. Tidak semua orang bisa mengerti alasan Iris mencintai Nikolai dan bersedia menikah. Bahkan Nikolai sendiri pun tidak mengerti sampai sekarang. Apa hal istimewa dalam dirinya yang membuat Iris menyimpan perasaan hingga bertahun-tahun lamanya.
"Apa yang kamu harapkan dariku, Iris? Pernikahan seperti apa yang kamu inginkan dari laki-laki tua dan cacat?" bisik Nikolai. Dengan sedikit ragu-ragu menyentuh punggung tangan sang istri dan mengusapnya. "Kenapa saat aku minta untuk menikah, kamu langsung mengiyakan? Apakah kamu tidak takut akan menyia-nyiakan hidupmu?"
Jantung Nikolai hampir copot saat kelopak mata Iris membuka. Ia menarik tangannya dan bertatapan dalam diam dengan Iris. Sang istri tanpa diduga tersenyum lebar.
"Tuan, apa bisa aku memanggilmu, Sayang?"
"Apa?"
Iris bangkit dari ranjang dan duduk do tepi. Menatap suaminya dengan mata sayu. Meraih tangan Nikolai dan menggenggamnya. "Kita sudah resmi menjadi suami istri. Apakah aku boleh memanggilmu dengan sebutan, sayangku, cintaku, atau semacamnya? Seperti pasangan suami istri yang lain?"
Nikolai terganga kebingung. Pertanyaan Iris sedikit sulit untuk dijawab.
"Tentu saja, aku nggak masalah kalau harus memanggilmu, Tuan. Tapi, bukankah itu terlalu kaku untuk suami istri? Sepertinya, sayangku, cintaku, atau kekasihku jauh lebih enak didengar dan mesra."
Melihat Iris tersenyum penuh harap, mau tidak mau Nikolai merasa sangat heran. Baru kali ini ada orang yang berani bertanya soal itu padanya. Namun, dipikir lagi bukanlah hal aneh. Mereka suami istri, sudah semetinya bersikap mesra satu sama lain.
"Baiklah, lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Kamu bebas memanggilku."
Iris mengepalkan tangan di udara. Tanpa aba-aba menubrukkan diri di tubuh Nikolai. "Terima kasih, Sayang."
Nikolai terdiam, berbagai perasaan yang tidak dimengertinya berkecamuk dalam dada. Sepasang lengan yang lembut mendekapnya. Tubuh yang kembut memeluknya dengan erat. Perempuan cantik berambut merah datang begitu saja dalam hidupnya dan mendobrak keangkuhannya. Nikolai mengulurkan lengan, mengusap lembut punggung sang istri.
Nikolai berharap, hari-hari yang akan mereka lewati tetap secerah saat ini. Ia tidak tahu, bagaimana reaksi Iris kalau sampai tahu rahasia besar yang disembunyikannya selama ini. Semoga saja saat rahasia itu terkuak, Iris tidak menyimpan rasa marah dan benci padanya.
"Apakah kamu ingin mandi sekarang?" tanya Nikolai lembut.
Iris melepaskan pelukannya. "Ah, benar. Pantas saja aku mencium bau tubuh kamu sangat wangi. Ternyata aku yang bau, Sayang.,"
Panggilan 'sayang' yang diucapkan dengan luwes membuat Nikolai tersenyum. "Aku akan memanggil Jeni. Dia akan melayanimu."
Nikolai menuju meja di samping tempat tidur, memencet telepon yang ada di sana. Tak lama, suara Pram terdengar nyaring.
"Ya Tuan."
"Panggilkan Jeni. Bilang Nyonya ingin mandi."
Iris tidak dapat mengulum senyum, mendengar dirinya dipanggil Nyonya. Ia bangkit dari ranjang, ingin membuka resleting gaun tapi susah melakukannya.
"Sayang, bisakah kamu membantuku?"
Iris memunggungi Nikolai dengan resleting yang sedikit terbuka. Nikolai berdehem, mengulurkan tangan dan menarik resleting turun. Seketika, punggung yang halus tertutup bra putih terpampang di depan matanya. Gaun melorot hingga ke pinggang. Gaun yang besar dan berita, sedikit menyulitkan Iris untuk melepasnya. Ia berusaha hingga lupa kalau hanya memakai bra, celana dalam, dan juga garter belt yang diikat hingga ke paha. Penampilannya yang provokatif membuat Nikolai menatap tak berkedip.
Iris membalikkan tubuh, tersenyum kecil pada suaminya. "Gaunnya berat. Sekarang tubuhku merasa enteng tanpa gaun."
Senyum menghilang dari bibior Iris saat menyadari arah tatapan Nikolai. Serta merta ia menutup dada dan paha. "Ups, maaf."
Nikolai berdehem, berusaha mengalihkan pandangan dari tubuh istrinya yang molek. Ia bergerak menuju lemari, membuka dan mengambil juba putih lalu mengulurkan pada istrinya.
"Pakai ini, biar nggak dingin."
"Terima kasih, Sayang."
Iris baru selesai memakai jubah saat pintu diketuk. Nikolai menyuruh pelayan yang mengetuk untuk membuka pintu. Seorang gadis seusia Iris dengan kulit kecoklatan karena paparan sinar matahari dan rambut ikal, menyapa gugup.
"Tu-tuan, saya datang untuk membantu Nyonya."
Nikolai menatap istrinya. "Jeni akan membantumu mandi. Aku ke ruang kerja sebentar."
Iris mengangguk. Setelah Nikolai menghilang di balik pintu , ia tersenyum pada Jeni. "Apakah kamu bisa meninjukkan bagaimana cara menggunakan kran air hangat?"
"Baik, Nyonya. Mari."
Awalnya Iris merasa malu kalau ada seseorang yang menunggunya saat mandi tapi Jeni bersikukuh untuk menggosok punggungnya. Iris menikmati pijatan lembut di pundak, dengan air hangat merendam tubuhnya. Aroma terapi menguarkan wangi lavender yang menggoda. Sekali lagi, Iris tergoda untuk terlelap. Selesai mandi, Jeni membantunya mengeringkan rambut setelah itu merapikan kamar, gaun kotor dan membersihkan kamar mandi.
Selesai membersihkan diri, Iris menatap bayangannya di cermin dalam balutan jubah. Ia menggigit bibir, menunggu suaminya datang. Malam ini adalah malam pertama mereka, Iris menunggu dengan berdebar-debar. Ia memang awam dengan percintaan. Tidak pernah mempunya kekasih apalagi dicium laki-laki. Tapi, ia tidak bodoh. Membaca banyak buku membuatnya tahu, apa yang harus dilakukan perempuan dan laki-laki yang baru menikah. Iris merentangkan lengan lalu terjatuh ke ranjang.
"Harusnya, suamiku sekarang datang dan kami akan berciuman."
Memikirkan ciuman membuat wajah Iris memanas. Ia menepuk kedua pipinya dengan malu.
"Setelah ciuman lalu bercumbu. Bagaimana rasanya bercumbu dengan Tuan Nikolai?"
Iris bergumam sendiri, membayangkan Nikolai yang akan mencium dan mencumbunya. Masalahnya, sang suami tidak kunjung datang bahkan setelah menunggu beberapa jam. Iris menguap beberapa kali, menahan kantuk. Sampai akhirnya kalah oleh rasa kantuk dan lelah. Memejam lalu kembali terlelap. Jatuh dalam mimpi panjang tentang bunga, makanan, dan pesta.
Di ruang tengah, sepasang mata menatap ke arah lorong yang menuju kamar Nikolai. Sosok itu bersandar pada dinding di tengah suasana remang-remang yang menyelimuti. Ia memegang gelas anggur dan meneguknya perlahan. Tanpa sadar bibirnya mengulum senyum.
Sepasang pengantin, harusnya melewati waktu malam bersama dengan penuh gairah. Tapi kenyataannya tidak begitu. Sang istri yang polos dan bodoh, berada di kamar. Sedangkan sang suami justru sibuk bekerja. Sudah hampir tiga jam tidak juga keluar. Ia yakin, Nikolai tertidur di ruang kerja.
"Pernikahan yang aneh," gumamnya pada udara yang sepi. "Kita lihat, berapa lama bertahan. Gadis itu, tidak akan bisa mengimbangi Nikolai yang keras kepala."
Ia membalikkan tubuh, menuju teras belakang. Merasa cukup puas dengan apa yang dilihatnya malam ini. Sebuah pernikahan pura-pura, diyakininya tidak akan bertahan lama. Takdir Nikolai adalah sendiri untuk selamanya, tanpa gadis berambut merah yang menjengkelkan itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro