Bab 1b
"Ya Tuhan, Iris. Kenapa kamu mimpi begitu tinggi," cemooh Camelia. "Awas aja kalau bangun nanti kamu jatuh dan sakit."
"Iris, kamu naksir Tuan Nikolai? Bahkan anak keluarga yang jauh lebih kaya dari kita pun tidak berani memimpikannya. Bisa-bisanya kamu begitu tidak tahu diri?"
Hinaan dan cemooh kedua kakaknya tidak membuat Iris gentar. Ia mengerti, tidak banyak orang bisa mengerti perasaannya. Rasa cinta yang dirasakannya untuk Nikolai bukan hanya sesaat. Ia memendam begitu lama dan tidak pernah hilang dari dalam dadanya. Selama Nikolai belum menikah, maka rasa cintanya akan selalu ada.
"Aku tidak marah meskipun kalian mencemooh."
Rose menunjuk dada adiknya. "Kamu nggak ada hak untuk marah, Anak Bodoh! Justru kami mengingatkanmu untuk bersikap realistis. Ya Tuhan, Iris. Bisa-bisanya kamu jatuh cinta dengan orang tua seperti itu?"
"Tapi dia tampan!" sela Iris.
Camelia mengangguk. "Memang tampan dan kaya raya. Apa kamu tahu kalau keluarga Danver terkenal sangat angkuh? Terutama Tuan Nikolai. Kekejaman laki-laki itu pada rakyat jelata sangat tersohor. Jangan sampai dia mendengar tentang perasaanmu, Iris. Kalau nggak mau kepalamu hilang!"
Iris tidak mengerti kenapa kedua kakaknya sangat takut dengan Nikolai. Padahal, laki-laki itu sangat baik dengan senyum cemerlang. Iris hanya melihatnya sekali dari dekat, dan membuat hatinya terpikat. Iris meninggalkan kedua kakaknya, merasa sia-sia bicara dengan mereka. Baik Rose maupun Camelia, tidak ada yang mendukung perasaannya. Jadi, untuk apa bertanya? Memangnya salah kalau suka dengan laki-laki yang jauh lebih tua? Kita tentu tidak bisa memilih, akan kemana hati berlabuh.
Iris mengambil sepeda, berniat pergi ke pasar sore. Ia ingin melihat-lihat buku loakan yang biasa dijual di pasar sore. Angin sore berembus agak kencang, menerbangkan daun-daun kering, debu, dan membuat rambut Iris menjadi berantakan. Ia sengaja membiarkan rambut merahnya tergerai, menyukai sensasi saat matahari menyinari dirinya dan membuat rambutnya menyala seperti kobaran api. Rambutnya unik dan ia sangat menyukai keunikan itu.
Iris bersenandung, tersenyum saat berpapasan dengan beberapa orang. Jalan yang dilewatinya bukan jalan utama, itulah kenapa tidak banyak mobil lewat. Di ujung jalan, hampir menabrak seorang pemuda bersepeda.
"Iris, mau ke pasar?"
Iris mengangguk, tersenyum lebar. "Aku tahu kamu menungguku, Eric."
"Menunggumu? Jelas tidak. Nggak sengaja saja ketemu di sini."
Iris tergelak, kembali mengayuh sepeda. Kali ini dengan Eric di sebelahnya. Mereka seumuran, teman satu kelas di sekolah. Bisa dikatakan, Eric adalah sahabat terbaik Iris. Tidak ada teman yang paling mengerti soal dirinya selain Eric. Mereka berhenti pasar yang mulai rame, memarkir sepeda di area khusus dan melangkah ke arah toko buku loakan yang berada di pinggiran jalan. Iris membolak-balikkan buku, memilih dengan penuh semangat buku yang menarik perhatiannya. Tak segan bertanya tentang harga buku, menawar sampai mendapatkan harga terendah. Uang sakunya tidak banyak, harus berhemat kalau tidak ingin bangkrut.
"Buku apa yang kamu beli?" Eric bertanya, mengulurkan tangan untuk melihat tumpukan buku di lengan Iris dan tercengang. "Apa-apaan ini? Cara bercocok tanam? Pertanian di era modern? Bahkan novel yang kamu beli pun kisah tentang petani. Hebaat."
Iris mengambil buku-bukunya sambil mencebik. "Nggak usah ikut campur. Kamu juga paling beli komik. Dasar sok!"
Mereka berdebat sengit di depan kios buku, tarik menarik buku hingga terdengar suara teriakan.
"Toloong! Copeet!"
Iris menoleh saat seorang laki-laki dengan tas di tangan berlari cepat melewatinya. Ia menyerahkan buku pada Eric dan berlari mengejar pencopet itu.
"Iriis, jangan tinggalin akuu!" Eric berteriak tapi percuma, Iris berlari cepat mengejar si pencopet.
Orang-orang menyibak, menatap bingung pada Iris yang berlari cepat. Tidak ada yang membantu.
"Woii, berhenti! Dasar pencopet sinting!" Iris berteriak sambil berlari. "Siapapun itu, hentkan pencopetnyaa!"
Tidak ada yang memperhatikan saat dari ujung gang seorang laki-laki di atas kursi roda muncul. Kemunculan yang mendadak mengagetkan si pencopet dan nyaris membuatnya terjatuh.
"Sialan! Minggir kamu, Orang cacat!"
Si pencopet memaki, Iris mencapai tempat itu. Merenggut leher si pencopet dan membantingnya ke tanah lalu memiting lehernya.
"Hah, mau lari kemana kamu?" Iris mengambil tas yang dipegang si pencopet. Terlalu gembira bisa menangkap pencopet, membuatnya lengah. Rambutnya dijambak dari belakang, saat ia menjerit kesakitan, si pencopet berguling dan bangkit. Laki-laki itu menyerang deangan buas, dan Iris berkelit. Pada satu kesempatan, si pencopet menarik tali tas lalu mendorong bahu Iris. Tak ayal lagi, Iris terjungkal ke belakang. Hampir saja terpelanting ke tanah kalau tidak ada pangkuan kokoh seorang laki-laki.
"Sial! Dia kabur!" Iris memaki sambil tersengal. "Lihat saja nanti kalau ketangkap. Aku jadiin dia pepes!"
"Ehm."
Terdengar suara dehemena, Iris mengerjap dan menyadari di mana dirinya terjatuh.
"Sampai kapan kamu berencana duduk di atas pangkuanku?"
Iris terlonjak, turun dari atas pangkuan laki-laki dan membungkuk menahan malu. "Ma-maaf, aku nggak sengaja. Aku pi-pikir jatuh di tanah. Ta-tapi, kok, empuk?"
Tidak ada jawaban, Iris meneggakkan tubuh dan terbelalak. "Tuan Nikolai?"
Nikolai menatap Iris dengan mat abu-abu yang menyorot tajam. "Kamu mengenalku?"
Iris tersenyum lebar. "Tentu saja aku mengenalmu, Tuan. Ya Tuhan, bertemu denganmu di sini, rasanya seperti menang lotere."
Tentu saja Nikolai tidak mengerti perkataannya. Iris tidak peduli. Setelah sekian lama, akhirnya bisa bertemu dengan Nikolai adalah keberuntungan besar untuknya. Ia sedang sibuk memikirkan kata-kata selanjutnya untuk diucapkan saat dari belakang terdengar lengkingan sahabatnya.
"Iriis, kamu gila, ya? Mengejar dan berkelahi dengan pencopet? Kamu pikir dengan tingkahmu yang bar-bar begini, Tuan Nikolai akan menikahimu?"
"Apaa?"
Eric terdiam, saat mendengar suara seorang laki-laki. Iris terbelalak takut. Eric menoleh perlahan dan melotot.
"Tu-tuan Nikolai?"
"Eric, kamu di sini?"
Yang bertanya adalah laki-laki separuh baya yang berada di belakang Nikolai.
"Iya, Tuan Pram. Ah, Tuan Nikolai. Senang bertemu, Anda."
"Siapa yang kamu bilang ingin menikahiku?" tanya Nikolai.
Eric menggeleng dan nyaris tercekik saat Iris merangkul lehernya dan memitingnya sampai membuatnya tersengal.
"Tuan, Eric bicara omong kosong," ucap Iris cepat. "Maaf, kami harus pergi. Terima kasih atas bantuan, Tuan. Tas ini harus diberikan pada pemiliknya."
Tanpa pikir panjang, Iris menyeret Eric pergi. Tidak peduli dengan tatapan Nikolai. Laki-laki itu pasti menganggapnya aneh dan Iris merasa hatinya retak. Sekian lama ingin bertemu Nikolai, malah berakhir dengan sangat memalukan.
.
.
.
Di Karyakarsa sudah bab 4
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro