Bab 19a
Pesta pernikahan kecil yang privat dan elegan, hanya dihadiri oleh keluarg dan kerabat berlangsung meriah. Makanan dan minuman berlimpah ruah dengan orang-orang berusaha saling berbaur dan bercakap-cakap. Meski begitu memang tidak dapat dipungkiri kalau ada sekat yang tidak terlihat antara dua keluarga.
Keluarga Danver berada di barisan kiri, lebih banyak diam dan bercakap seadanya. Menjaga jarak dari keluarga Rosenwood yang berusaha mengajak mereka bicara. Suasana meja di barisan kiri lebih meriah dan hangat. Mereka menikmati sajian yang dihidangkan dengan gembira. Memakan apa pun tanpa sungkan. Pasangan pengantin berdansa diiring musik lembut, dan saat nyanyian berubah ceria, keluar Rosenwood bangkit dari meja mereka untuk menari bersama-sama.
"Kampungan." Nayla tidak dapat menahan celaan dari mulutnya. Bibirnya mengerucut kesal menatap orang-orang yang berteriak sambil menari.
"Biarkan saja mereka. Kapan lagi bisa makan enak kalau bukan di sini." Anya menimpali.
Jeremy mengangkat gelasnya, menatap bosan pada sekitar. "Pesta ini memang membosankan tapi harus diakui kalau kakak adik Rosenwood memang cantik. Dari mulai yang tertua sampai yang paling muda, ketiganya sangat rupawan."
"Kalian para laki-laki hanya memandang wajah!" sungut Nayla.
"Salah! Kami memandang semua dari wajah sampai fisik dan bisa dikatakan, mereka bertiga punya semua!"
"Seleremu memang perempuan gembel seperti mereka."
Jeremy mengangkat bahu, tidak menyahut perkataan Nayla. Tidak ingin berbuat bodoh dengan terlibat adu debat bersama mereka. Pernikahan memang membosankan tapi anggur yang disajikan ada kualitas pertama. Ia menyesap perlahan, berencana untuk mabuk. Pandangannya menyapu kakak-kakak Iris. Berdecak heran perempuan cantik seperti mereka mempunya kekasih pecundang. Tanpa banyak usaha ia cukup tahu kalau dua laki-laki di samping mereka punya niat lain saat datang ke undangan.
"Jeremy, bukannya kamu bilang ingin mendekati Iris? Kenapa dia justru bisa menikah dengan Nikolai?" tanya Nayla.
Jeremy menatap gadis berambut pirang itu, tanpa sadar tergelak. Teringat pengalamannya yang lucu saat di pasar bersama Iris. Gadis berambut merah itu malah meminta dipanggil bibi, sungguh aneh.
"Kenapa tertawa?"
"Nggak ada, tapi memang sepertinya aku kurang cocok dengan Iris. Bukan berarti aku nggak bisa dekati dia, hanya saja kami cocok sebagai teman. Ah, bukan teman tapi bibi dan keponakan."
Nayla dan Anya saling pandang, tidak mengerti dengan perkataan Jeremy. Keduanya sepakat dala diam kalau pesta ini sangat membosankan. Di meja sebelah, Norris dan yang lainnya pun tidak kalah bosan. Hanya Popy yang berusaha untuk bersikap ceria, itu pun tidak bertahan lama karena tidak ada tanggapan dari yang lainnya. Mereka sama sekali tidak menikamati pesta, menganggap kalau ini adalah bagian dari tugas.
Saat pembawa acara mengajak para tamu undangan untuk menyanyi, tidak ada satu pun yang mau. Sampai akhirnya Camelia mendorong Rose ke atas panggung dan suara merdu dengan lagu cinta mengalun indah. Membuat orang-orang terpukau.
"Aku tidak tahu Rose bisa bernyanyi?" gumam Carla heran.
Camelia mendengkus. "Banyak yang kamu tidak tahu soal adikku."
Carla seolah tidak mendengar sindiran Camelia. Sibuk menatap Rose yang bernyanyi. Merasa heran sekaligus kagum. Ternyata kekasihnya punya suara semerdu ini. Dalam benaknya timbul banyak rencana melibatkan Rose dan kemampuan menyanyi dengan suara indah.
Arlo berdecak, memutar gelas di tangan. "Kapan pengantin akan menyapa kita? Aku sudah menunggu dengan lelah."
Arlo datang bukan untuk melihat Iris menikah tapi untuk berkenalan dengan keluarga Danver. Ia berharap banyak, akan ada perkenalan dan perbincangan dengan mereka. Nyatanya, terjadi pemisahan dua keluarga, antara si kaya dan si miskin dan sama sekali tidak ada percakapan. Ia mulai menyesal datang ke acara ini.
Camelia berpura-pura tidak mendengar gerutuan kekasihnya. Ia bertepuk tangan saat Iris ikut naik ke panggung dan bernyanyi bersama Rose. Suara Rose yang lembut, berpadu dengan Iris yang menggelegar. Membuat perpaduan yang enak dan menyenangkan untuk didengar.
"Aku tahu dari dulu kalau keluarga Danver itu angkuh dan sombong, tapi tidak menyangka ternyata mereka melihat kasta!"
Arlo berjuar sedikit keras, Carlo yang mendengar tidak dapat menahan dengkusan.
"Aku sudah pernah bicara dengan Tuan Nikolai secara langsung dan memang sangat angkuh."
Arlo menatap Carlo. "Kalian bicara secara langsung? Di mana?"
"Di halaman rumah kekasihku tentu saja. Saat itu Tuan Nikolai baru mengantar Iris pulang. Aku sengaja menyapa untuk berbasa basi tapi tanggapannya sangat tidak mengenakkan."
"Orang kaya! Mereka pikir bisa mengusai dunia. Tadi aku juga berusaha menyapa Tuan Norris. Menyapa dengan sopan dan memperkenalkan diri dengan baik-baik, tapi dia sama sekali tidak menanggapiku."
Carlo mendengkus. "Aku pun sama, menyapa Tuan Dickson dan sama sekali tidak diindahkan."
"Kedatangan kita ke pesta ini sia-sia."
Tidak tahan dengan pergunjingan dua laki-laki itu, Camelia bangkit. Menghampiri kedua adiknya dan bertepuk tangan di depan panggung. Dari awal Camelia sudah tahu niat Arlo ikut ke pesta dengannya tapi tidak menyangka kalau laki-laki itu tidak menyembunyikan isi hatinya yang buruk. Memangnya kenapa kalau keluarga Danver itu tidak mau bergaul? Toh, tidak ada urusan dengan mereka. Cameli tetap tersenyum, menyembunyikan kegundahan hatinya.
Ia bisa melihat keluarga besar Danver yang asyik dengan dunia mereka sendiri. Enggan menyapa apalagi berbaur bersama. Camelia tidak merasa aneh, karena Nikolai saat pertama kali datang ke rumah pun bersikap sama. Awalnya Camelia dan Rose sangat iri dengan Iris yang bisa menikahi laki-laki kaya raya, tapi saat melihat bagaimana angkuhnya keluarga Nikolai. Mereka merasa kalau kehidupan sekarang tidak terlalu buruk.
Dibandingkan dengan Rose, ia memang tidak terlalu akrab dengan Iris. Tapi bukan berarti bermusuhan. Adik bungsunya itu mempunya sifat yang sedikit bertolak belakang dengannya. Ia selalu beranggap kalau selama ini bekerja dan banting tulang untuk keluarga. Sedangkan Iris hanya di rumah saja, tidak melakukan apa pun selain berkebun. Itulah kenapa ia selalu beranggap kalau Iris berbeda dengannya. Kini, melihat adiknya tampil cantik dalam balutan gaun pengantin dan menikah dengan keluarga kaya raya, Camelia mengerti tidak ada yang bisa menebak jalan hidup.
"Sampai kapan kita di sini?" tanya Ida pada suaminya.
Dickson mengangkat bahu. "Belum potong kue."
"Mereka malah asyik bernyanyi."
"Sayang, orang-orang seperti mereka jarang bersenang-senang, biarkan saja."
Ida mendesah, bertukar pandang dengan Popy dan keduanya menggeleng bersamaan. Merasa sangat bosan tapi tidak ada yang berani beranjak. Mereka takut akan membuat Nikolai marah dengan konsekuensi diusir dari rumah. Lebih baik bertahan dengan sabar dari pada membuat marah si pemilik rumah. Anya dan Nayla sudah menghilang dalam kegelapan bersama Jeremy. Tidak ada yang tahu kemana.
.
.
.Cerita ini akan tersedia di google playbook tanggal 15.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro