Bab 13
Popy menatap punggung Iris yang menghilang di ruang tengah dengan kebencian yang tidak ditutupi. Sepanjang makan malam ia mencoba bersikap ramah dan tidak banyak bicara karena menghormati Nikolai. Tapi kehadiran gadis itu di rumah ini benar-benar membuatnya terganggu. Tanpa sadar ia menghela napas panjang dan berdecak.
"Keluarkan saja isi hatimu, Bibi Popy. Nikolai sudah membawa gadis gembel itu pergi!" Norris mengisap cerutu, menatap adik perempuan dari papanya itu.
Popy mengerucutkan bibir. Menahan lidah untuk tidak mengumbar kata-kata tapi gagal. "Aku tidak mengerti dengan Nikolai. Kenapa seleranya pada perempuan berubah dratis. Dulu Madeline adalah perempuan paling cantik dan sexy di kota ini. Tidak ada yang tidak mengenalnya karena setiap laki-laki tergoda dengannya." Ia menatap penuh arti pada Norris tapi tidak melanjutkan ucapannya.
"Mungkin Nikolai ingin mencari gadis sederhana," ucap Ida bijak. Istri Dickson itu sangat pendiam, kali ini ikut bicara adalah hal luar biasa.
"Di luar sana banyak gadis sederhana tapi kenapa harus gadis gembel itu?"
Tentu saja makna sederhana bagi keluarga Danver, berbeda dengan orang kebanyakan. Menurut mereka, kata sederhana mengacu pada anak pejabat publik, ataupun pelaku bisnis kelas menengah. Bukan gadis anak petani.
"Popy, bersabarlah. Ini baru permulaan. Nikolai bahkan baru melamarnya. Belum tentu pernikahan itu terjadi. Kenapa kamu emosi sekali?" tegur Dickson.
Popy berdecak, ingin memprotes perkataan sang kakak lalu mengurungkannya kembali. Ia tidak ingin dicap sebagai anggota keluarga paling rewel di rumah ini. Bagaimana pun juga, ia masih memerlukan bantuan finansial dari Nikolai, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan Anya. Almarhum suaminya tidak banyak meninggalkan warisan, dan membuatnya terpaksa kembali ke rumah ini.
"Tapi, aku setuju dengan ucapan Bibi Popy." Dasha yang sedari tadi asyik minum anggur, mengangkat gelas dan mengedarkan pandangan. "Entah apa yang terjadi dengan Nikolai, seleranya pada kekasih berubah drastic. Apakah ada yang mempengaruhi atau mengguna-guna?"
Jeremy memutar bola mata mendengar perkataan sang mama. Meletakkan ponsel yang sedari tadi dimainkannya, ia menatap lekat-lekat.
"Tolonglah, Mama. Abad berapa ini? Masih bicara soal guna-guna."
"Tapi, gelagat uncle kamu memang aneh."
"Setuju, tapi bukan diguna-guna!"
Jeremy yang kesal, bangkit dari sofa. Memberi tanda pada dua saudara perempuannya. Serta merta Anya dan Nayla ikut bangkit dan mereka bertiga menuju lantai atas. Nyala membuka jendela ruang istirahat. Jeremy melemparkan sebungkus rokok dan mereka bertiga merokok bersamaan. Tentu saja setelah menutup pintu dan menyakinkan para orang tua tidak melihat mereka.
"Bagaimana pendapat kalian tentang si gembel itu?" tanya Jeremy.
"Menjengkelkan," jawab Nayla dengan wajah diselubungi asap. "Selain itu, dia cukup berani untuk membantah."
Anya mengangguk. "Memang, Iris sangat keras kepala kalau sedang berpendapat. Contohnya soal sepupu kit aini. Bukankah dia mengaku sudah lebih dari lima tahun jatuh cinta? Hebat bukan?"
"Bukan hebat tapi tidak tahu diri!" sergah Nayla. "Bisa-bisanya gadis gembel mengharap cinta tuan muda."
"Sayangnya, dia berhasil." Jeremy menimpali. "Uncle takluk dan selamat, sebentar lagi kalian akan punya sepupu ipar seorang gadis miskin."
Mereka bertukar pandang geram, meengisap rokok dengan kepala memikirkan Iris. Bukan hanya mereka yang membicarakan gadis itu, di bawah pun sedang percakapan yang sama. Jeremy berdecak, sebuah ide terlintas di kepalanya.
"Kalian tahu bukan, di kota ini tidak ada gadis yang bisa luput dari pesona dan rayuanku."
Nayla dan Anya menatap keponakannya bersamaan.
"Bagaimana kalau aku coba mendekatinya. Menurut kalian bagaimana?"
Anya memiringkan kepala. "Mau mencoba merayunya?"
Jeremy mengangkat bahu. "Tentu saja, layak dicoba bukan? Tidak dapat dipungkiri, Iris menyukai uncle karena bagian dari keluarga Danver yang terkenal tampan dan kaya. Bukankah aku juga? Lagi pula, aku lebiuh muda. Harusnya lebih menarik."
Nayla dan Anya bertukar pandang. Mereka tidak terlalu yakin dengan ide Jeremy. Namun, tidak ada salahnya dicoba. Bukankah Jeremy memang terkenal sebagai pemuda playboy?
"Aku akan memberimu informasi gadis itu." Anya memutuskan untuk bergabung dengan rencana Jeremy. Nayla pun mengangguk dan malam itu, mereka bertiga bicara intens untuk mendiskusikan cara menyingkirkan Iris dari hidup Nikolai.
**
Tidak ada tanggapan atas sapaan Carla pada Nikolai. Laki-laki itu menatap dingin dari kursi roda, membuat senyum lebar Carla perlahan menghilang. Di dunia keartisan yang glamour, Carla dikenal sebagai laki-laki muda yang penuh pesona. Bicara manis dan banyak membuat orang terkesan dengan kata-kata dan sikapnya. Tidak ada orang yang bisa luput dari pesonannya, entah laki-laki atau perempuan. Itu pula yang membuatnya banyak digilai para perempuan, tapi juga mempunyai banyak teman laki-laki. Relasinya sangat luas tapi nyatanya, berhadapan dengan Nikolai ternyata membuatnya tak berkutik.
"Iris, hai. Apa kabar?" Carla mencoba sekali lagi, kali ini menyapa Iris. "Waktu di pesta, aku melihatmu dan Tuan Nikolai. Ingin menyapa, tapi, kalian berada di ruang VIP."
Iris mengangguk kecil, berdiri tegang dengan tidak enak hati.
"Kamu dari rumah Tuan Nikolai? Hahaha, hebat, ya?"
Iris tidak tahu apa arti kata hebat dari bibir Carla, tapi mengakui kalau rumah Nikolai memang hebat. Meski begitu ia tetap diam tak bereaksi. Selama Nikolai diam, ia pun tidak akan bersuara. Sudah semestinya seorang istri mengikuti sikap dan perkataan suaminya. Iris mencoba menanamkan sikap penurut dalam dirinya, sedini mungkin. Diam-diam Pram turun dari kendaraan dan berdiri di samping mereka.
"Ehm, apakah kamu nggak mau memperkenalkan kami?" tanya Carla tanpa malu-malu.
Iris menghela napas panjang, cengkeramannya pada kursi roda menguat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia berucap dengan terbata.
"Tu-tuan, ini Kak Carla."
Carla mengulurkan tangan dan Pram bergerak untuk berdiri di depan laki-laki itu. "Tuan tidak berjabat tangan dengan orang yang tidak dikenal."
Carla menatap Pram dengan bingung. "Tapi, aku sedang berkenalan."
"Berikan kartu namamu!"
Carla mengambil dompet dan mengeluarkan kartu namanya lalu menyerahkan pada Pram. Berdiri berhadapan dengan Pram dengan bingung bercampur kesal. Ia ingin mengajak Nikolai serta Iris bicara tapi laki-laki tinggi berkulit cokelat ini menghalanginya. Kalau Pram adalah orang lain, ia pasti sudah mengamuk dan memukul laki-laki ini. Masalahnya, selain kalah tinggi, tubuhnya juga kalah tegap membuat Carla berpikir dua kali sebelum mengajak berkelahi.
"Tuan Nikolai, terima kasih sudah mengantar adikku pulang." Rose muncul, memecah ketegangan. Ia melihat dari jauh, kekasihnya berhadapan dengan asisten Nikolai dan rasa kuatir menyergapnya.
Iris tersenyum, meninggalkan bagian belakang kursi roda dan berdiri menghadap Nikolai. "Tuan, terima kasih untuk malam ini."
Pram mundur ke arah mobil. Nikolai mengangguk, menatap Iris lekat-lekat. Bersikap dan bercakap seolah tidak orang asing di sekiat mereka. "Sama-sama, Iris. Mulai sekarang, kita akan sering bertemu."
"Iya, Tuan. Senang mendengarnya. Setiap hari aku menunggu kabar, Tuan."
"Kalau kamu ingin mencariku, berkirim kabar saja pada Eric."
Iris mengangguk dan menunduk menahan malu. Tidak seperti orang lain, ia tidak punya alat komunikasi. Di jaman yang serba canggih ini, ia bahkan tidak punya ponsel meskipun bekas. Selama ini Iris tidak pernah memerlukan ponsel karena baginya membaca buku jauh lebih menyenangkan. Siapa sangka justru kini memerlukannya.
"Baiklah, Tuan. Biar Eric yang menjadi tukang pos kita."
Pram maju menyerahkan bungkusan besar sekali pada Iris. "Nona, jangan lupa ini."
Iris terbelalak. "Oh ya, aku sampai lupa. Terima kasih, Pak Pram."
"Sama-sama, Nona."
"Kalau begitu, aku pamit dulu."
Nikolai menggenggam tangan Iris sebentar, mengangguk kecil pada Rose sebelum Pram memutar kursi rodanya menuju mobil. Sikap Nikolai yang mengabaikannya, membuat Carla tercengang. Ia menoleh ke arah kekasihnya.
"Rose, bawa Iris masuk. Aku pulang sekarang."
Rose menggeleng. "Tapi—"
"Kak, aku bawa makanan banyak dari rumah Tuan Nikolai. Ayo, kita coba!"
Rose tercabik antara mengikuti kekasihnya atau Iris. Akhirnya ia membalikkan tubuh dan masuk kje rumah bersama Iris yang bersenandung di depannya. Tiba di ruang makan, Iris membuka bungkusan di mana dalamnya ada banyak sekali kotak berisi makanan. Rose, Camelia, dan Albert tercengang menatap hamparan makanan enak dan mewah di atas meja.
"Ayo, makan. Tadi di sana aku baru makan sedikit. Papa, sini duduk. Kita makan."
Tidak ada waktu untuk bercakap, masing-masing orang mengambil alat makan mereka dan menyantap hidangan lezat dengan suka cita. Menyadari kalau ternyata makanan orang kaya memang enak tiada tara. Rose sendiri melupakan rasa kesalnya pada Iris dan Nikolai, duduk dan makan dengan nikmat.
Di halaman, Carla berlari menyusul Nikolai. Terengah saat tiba di dekat mobil laki-laki itu. Sekali lagi Pram menghalanginya membuat Carla kesal.
"Tolong minggir! Aku ingin bicara dengan Tuan Nikolai."
Pram tidak bergerak. "Bicaralah, Tuan mendengarmu."
"Tapi—"
"Waktu lima menit. Dihitung, sekarang!"
Carla ternganga lalu menghela napas panjang. Siap untuk memaki saat melihat Nikolaiu melihat jam di pergelangan tangan. Akhirnya ia bicara dengan cepat.
"Tuan, bisakah kita berteman lebih akrab, sebagai sesama calon ipar. Setidaknya, ijinkan aku berfoto denganmu satu kali saja. Aku yakin tidak akan menyalahgunakannya. Kantorku sedang membutuhkan investasi, siapa tahu dengan satu lembar fotomu akan berguna. Tuan, aku—"
Suara Carla terputus, saat Nikolai memberi tanda untuk masuk ke mobil. Carla mundur menahan kecewa, menatap Pram yang kini membuka bagasi dan menyimpan kursi di sana. Ia masih tidak percaya kalau Nikolai mendiamkannya. Tangan mengepal menahan geram. Selesai dengan urusan bagasi, Pram menghampiri Carla.
"Ada pesan dari Tuan Nikolai."
Carla mengangguk penuh harap. "Ya?"
"Kata Tuan, belum tentu kamu menikah dengan Rose. Jadi tidak pelu memperkenalkan diri sebagai sesama ipar."
"Apa, aku—"
"Tuan juga mengatakan, kalau sampai berita pernikahannya dengan Iris tersebar sebelum ada pengumuman resmi dari keluarga Danver, beliau akan membuat perhitungan denganmu."
"Apaaa, kalian mengancaku?" teriak Carla.
"Iya," jawab Pram singkat.
Carla menaikkan dagu. "Apa aku terlihat seperti orang yang mudah diancam."
"Ya, mudah sekali menemukan kantor, alamat rumah, dan dengan siapa kamu bergaul. Mau coba?"
Ancaman dari Pram membuat Carla mundur. Ia tahu bagaimana kekuasaan Nikolai sangat besar. Ancaman Pram bukan omong kosong. Lebih baik ia mundur dan mengatur strategi baru. Nikolai tidak suka ditekan dan Carla memilih untuk bersikap bijaksana. Pram mengambil langkah memutar, duduk di balik kemudi dan melajukan kendaraan ke jalan raya. Meninggalkan debu dan kerikil menimpa kaki Carla.
Duduk di jok belakang. Nikolai menyandarkan kepala. "Pram, bantu aku beli ponsel keluaran terbaru. Cari yang warnanya menarik untuk gadis."
"Baik, Tuan."
"Minggu depan, kosongkan jadwal. Aku harus mengaja Iris untuk mengukur gaun pengantin."
"Baik, Tuan."
"Pernikahan kami nanti, akan membawa dampak bagi banyak orang, terutama keluarga Iris. Banyak yang akan mengambil keuntungan dari mereka, contohnya bajingan tadi."
"Kalau Tuan inginkan, saya bisa menghentikannya."
Nikolai menggeleng. "Tidak perlu. Jangan mengotori tanganmu untuk cecunguk macam dia. Lebih baik kita fokus pada hal lain yang lebih berguna. Mengatasi keluargaku misalnya. Aku yakin mereka akan menggunakan segala cara untuk menggagalkan pernikahan kami."
Kendaraan melaju tenang di tengah kegelapan malam. Saat hampir tiba di rumah, lagi-lagi Nikolai menerima pesan yang menanyakan keadaannya. Ia hanya membaca tanpa membalas. Bertahun-tahun sudah berlalu dan perasaannya pada perempuan itu sudah melapuk seperti debu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro