Bab 10
Albert menatap dua anak gadisnya yang duduk gelisah di meja makan. Malam ini mereka menyantap hidangan seadanya berupa bakmi dengan daging cincang dan sayur. Camelia yang memasak. Meskipun enggan melakukannya tapi rasa masakannya cukup lumayan enak. Albert menandaskan mi dalam mangkok sambil berdecak nikmat.
"Kemana Iris? Kenapa matahari sudah terbenam dia belum datang?"
Rose mengangkat bahu. "Nggak tahu, Papa. Paling juga keluyuran bersama Eric."
Camelia menghela napas. "Gadis itu, pergi kemana pun sesuka hati dan tidak ada yang melarang."
Albert terkekeh. "Adik kalian memang punya jiwa yang bebas dan berpetualang. Malam gelap bukan halangan untuknya menjelajah. Iris memang selalu luar biasa dalam bersikap."
Rose menyipit. "Papa malah bangga padanya?"
"Hahaha, tentu saja. Iris sudah bekerja kerasa sepanjang hari menanam sayur. Biarkan bersenang-senang, paling juga ke toko buku."
Camelia menyingkirkan mi yang masih tersisa setengah, bangkit dari kursi menuju sofa ruang tamu. Sudah beberapa hari ini perasaannya kacau. Tak lama Rose menyusulnya, terduduk di sofa dan menunduk.
"Aku benci Iris," ucap Rose perlahan.
Camelia menatap adiknya. "Kenapa?"
"Semua orang membicarakannya hanya karena ke pesta bersama Tuan Nikolai." Rose mengangkat wajah, menatap Camelia lekat-lekat. "Kamu tahu apa yang diminta Carla hari ini padaku? Aku pikir saat dia mengajakku bicara secara pribadi akan mengajukan lamaran pernikahan. Ternyata aku salah?"
"Apa yang dimintanya?"
Rose mendengkus. "Kesempatan untuk bertemu Iris. Carla bilang, ingin kenal Iris lebih akrab. Barangkali bisa membantunya untuk mendapatkan investasi dari Tuan Nikolai."
"Damn!" Camelia mendesiskan makian. "Kenapa Carla dan Arlo bisa berpikiran sama? Kenapa mereka berdua terobsesi dengan Tuan Nikolai?"
Rose terbelalak. "Maksudmu, Arlo meminta hal yang sama darimu?"
"Iya, aneh dan menggelikan. Para laki-laki itu berpikir, kalau Iris adalah kekasih Tuan Nikolai. Padahal, tidak begitu kenyataannya."
"Aku tidak tahu kenapa mereka bisa berpikiran naif begitu."
Camelia duduk di samping Rose, berbisik perlahan agar sang papa tidak mendengar. "Lalu, kamu jawab apa ke Carla? Kekasihmu itu sepertinya bukan jenis orang yang mudah ditolak."
Rose mengangguk muram. "Memang. Saat aku mengatakan, tidak berani menjanjikan apa pun. Carla mengamuk. Menuduhku tidak mensuport semua hal yang dilakukannya. Padahal, tidak begitu kenyataannya. Mareka hanya pergi ke pesta bersama, sudah aku jelaskan tapi tetap saja tidak mau mengerti."
"Brengsek! Kenapa kita mengalami hal buruk yang sama gara-gara Iris?"
Deru kendaraan memasuki halaman membuat keduanya saling pandang. Rose bergegas membuka pintu untuk melihat siapa yang datang terdiam seketika. Iris membantu Nikolai turun dari mobil, setelah itu mendorongnya masuk. Rose berdiri tak berkutik di pintu.
"Selamat malam, Rose. Aku kedatanganku tidak menganggu kalian."
Rose menggeleng, tidak menyangka kalau Nikolai akan tahu namanya. Ia menjawab dengan gugup. "Tu-tuan, silakan masuk."
Camelia pun ikut berdiri dan menyambut dengan senyum. "Selamat malam Tuan Nikolai."
"Camelia, senang melihatmu."
Camelia tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Nikolai bisa menyebut namanya dengan lancar seolah mereka sudah pernah saling mengenal sebelumnya.
"Tuan, saya tinggal dulu. Mau panggil Papa." Iris beranjak dari belakang Nikolai, setelah memastikan laki-laki itu duduk dengan nyaman.
Nikolai mengangguk, meletakkan tangan di atas pangkuan. Tidak mengatakan apa pun. Sikap diamnya membuat Rose dan Camelia saling pandang dengan bingung.
"Tuan, ada urusan penting dengan Papa?" Rose memberanikan diri bertanya.
"Iya.." Nikolai menjawab singkat.
"Apakah Papa membuat kesalahan?" Kali ini Camelia yang bertanya. "Ataukah Iris? Gadis itu membuat Anda susah?"
Nikolai menatap Camelia sambil mengernyit. "Kenapa kamu punya dugaan begitu? Iris sama sekali tidak melakukan apa pun."
Camelia berdiri salah tingkah. "Oh, syukurlah kalau begitu."
Ruang tamu kembali hening. Rose dan Camelia tidak lagi bertanya. Jawaban-jawaban yang dilontarkan Nikolai membuat mereka kehilangan keberanian untuk mengajak bicara. Iris muncul bersama Albert. Laki-laki tua itu ternganga saat melihat Nikolai.
"Ya Tuhan, apakah ini benar Tuan Nikolai?" seru Albert. Dalam suaranya terkandung rasa tidak percaya kalau rumahnya akan didatangi Nikolai.
"Pak Albert, apa kabar?" Nikolai mengulurkan tangan, menyapa ramah dan berjabatan.
"Tuan Nikolai, ada yang bisa saya bantu. Ah, saya mau mengucapkan terima kasih."
"Karena apa, Pak?"
"Sudah mengajak Iris ke pesta. Semenjak orang-orang tahu soal kalian, maksud saya soal pesta, mereka banyak membeli sayur mayur dari saya."
Nikolai tersenyum. "Senang mendengarnya, Pak Albert. Silakan duduk, Pak. Aku ingin membicarakan hal penting."
Albert duduk bersebelahan dengan Iris, sementara Rose dan Camelia menyingkir. Keduanya duduk di sofa yang agak jauh dari Nikolai. Suasana sedikit menegangkan karena mereka bertanya-tanya tentang niat Nikolai datang ke rumah ini. Terlebih melihat Iris yang sedari tadi tidak berhenti menebar senyum.
"Pak Albert, yang ingin aku tanyakan adalah, apakah Anda bersedia menerimaku sebagai menantu?"
Albert ternganga, begitu pula Rose dan Camelia.
"Ma-maksudnya, Tuan?" tanya Albert gagap.
Nikolai tersenyum. "Aku datang ingin melamar anakmu, Pak Albert. Ingin menjadikan Iris sebagai istriku."
"Apaa?"
"Tidak mungkin!"
Albert menatap Iris. "Apa ini?"
Iris tersenyum, mengusap bahu sang papa. "Pa, jangan kaget begitu. Yang Tuan Nikolai sampaikan itu benar. Kami ingin menikah, Paa."
Nikolai mengangguk. "Semua biaya pernikahan ditanggung oleh keluarga Danver. Yang perlu Pak Albert lakukan adalah memberi kami doa restu."
Camelia dan Rose memucat, baru kali ini mereka mendengar hal yang begitu mengejutkan. Albert menatap Nikolai dan Iris bergantian. Masih tidak mengerti bagaimana anak bungsunya bisa menjalin hubungan dengan orang paling kaya dan paling berpengaruh di kota ini. Sebagai orang tua, lamaran ini mengejutkannya.
"Tu-tuan, saya kaget mendengarnya terus terang. Iris, anak paling muda."
Nikolai mengangguk. "Benar."
"Apa Tuan tidak salah? Iris tidak menempuh pendidikan tinggi seperti halnya kedua kakaknya. Setiap hari hanya berkebun dan mengurus rumah."
"Tidak masalah, aku mencari istri bukan sekretaris. Tidak penting pendidikan untukku." Nikolai menatap Iris lekat-lekat. "Kesukaan Iris akan buku, sudah cukup membuatku puas."
Albert menggeleng, masih bingung dengan keadaan yang dialaminya. "Pak, kami miskin."
"Lalu?"
"Apakah tidak jadi masalah?"
"Pak Albert, selama Anda mengijinkan Iris menjadi istriku, dijamin tidak ada masalah apa pun. Ini hal paling serius yang ingin aku lakukan dalam hidup. Ingin berumah tangga dan menghabiskan waktuku bersama Iris, untuk selamanya."
Iris menggenggam jemari sang papa. "Paa, Iris udah setuju. Tinggal Papa saja keputusannya."
Albert menatap anak bungsunya. Lamaran Nikolai tidak sepenuhnya membuat senang. Justru dirinya tertekan karena harus melepaskan anak bungsunya.
"Iris, kamu yakin, Nak? Pernikahan bukan hal main-main."
"Tentu saja, Papa. Dari dulu yang aku ingin lakukan adalah menikah dengan Tuan Nikolai."
Albert memejam, menyadari kebenaran dari perkataan anak bungsunya. Iris selalu berangan-angan ini menikah dengan Nikolai, tidak peduli kalau keingianannya membuatnya ditertawakan oleh kedua kakak. Bagi Iris laki-laki paling sempurna di dunia hanya Nikolai. Sekarang, impian anaknya menjadi nyata. Sebagai orang tua, tidak seharusnya menghambat. Ia menatap Rose dan Camelia yang sedari tadi terdiam. Tidak tahu apa yang dipikirkan mereka. Namun, masalah pernikahan ini lebih mendesak.
"Baiklah, Tuan Nikolai. Kalau memang Iris bersedia, saya tidak bisa melarang."
"Argh! Terima kasih, Papaaa!"
Iris melompat dari sofa dan memeluk sang papa. Rose bertukar pandang dengan Camelia, terlalu shock untuk bicara. Bagaiaman mungkin ini terjadi? Iris menikah dengan Nikolai yang kaya raya. Adik bungsu mereka hanya gadis petani lugu, berbeda dengan mereka berdua yang punya pendidikan dan pekerjaan lebih layak.
Nikolai mengatakan, orang-orangnya akan datang untuk mengurus detil pernikahan dengan Albert dan Iris. Setelah itu ia pamit. Sebelum pergi berpesan pada Iris, agar esok malam bersiap-siap dijemput Pram.
"Kita akan makan malam di rumahku."
Iris mengangguk bersemangat. "Baik, Tuan."
Setelah Nikolai pergi, rumah gaduh oleh suara Rose dan Camelia. Mereka mengajukan banyak pertanyaan pada Iris. Menikah dengan keluarga Danver bukan hal main-main, dan Iris ingin melakukannya.
"Bukannya kami iris, tapi mereka semua orang-orang angkuh," ucap Rose.
Camelia mengangguk. "Benar. Kamu nggak takut kalau kelak mereka akan menyulitkanmu?"
Iris menggeleng. "Nggak takut. Aku sudah pernah bertemu mereka di pesta dan menurutku biasa saja. Tidak seangkuh yang diceritakan orang-orang."
"Itui baru di permukaan!" sergah Rose. "Kelak kamu akan tinggal di sana. Memangnya kamu siap setiap hari bertemu masalah?"
"Belum tentu ada masalah," jawab Iris.
"Tapi, kebanyakan orang kaya tidak mau menerima orang miskin seperti kita, Iris."
Iris bukannya tidak mengerti perkataan dua kakaknya. Ia pun punya rasa takut akan tinggal di rumah besar itu bersama keluarga Danver. Namun, cita-citanya dari dulu adalah menikah dengan Nikolai. Tidak mungkin melepaskan kesempatan ini. Ia jatuh cinta pada laki-laki itu, nyaris seumur hidupnya. Sekarang, Nikolai melamar dan masa depan yang indah ada di depan mata. Untuk apa menyimpan pikiran buruk? Iris memutuskan untuk mengabaikan perkataan kedua kakaknya.
"Pernikahan ini adalah hidupku dan aku yang jalani. Suka atau duka, aku siap menerimanya."
**
Sesuai dengan permintaan Nikolai, pihak keluarga Iris tidak boleh membocorkan masalah pernikahan pada siapa pun, sampai ada pengumuman resmi dari keluarga Danver. Semua dilakukan agar mereka tidak menerima gangguan. Lagi pula orang-orang akan menganggap mereka pembohong kalau sampai kabar tersebar sebelum pihak Nikolai mengumumkan.
Nikolai termenung di kursi kerjanya, menatap tumpukan dokumen yang menggunung. Dari hari ke hari, pekerjaan seolah tidak ada habisnya. Sebenarnya, ia tidak akan terlalu repot begini kalau Norris bisa diandalkan. Kakaknya itu, lebih banyak berhura-hura dari pada bekerja. Dickson pun tidak jauh beda. Hanya siap menerima perintah, tanpa ada inisiatif mengambil keputusan.
Nikolai menghela napas panjang, menatap jam di tangan. Dua jam lagi Iris akan datang ke rumah ini. Ia bisa menduga reaksi apa yang akan ditunjukkan keluarganya. Ia tersenyum bahkan sebelum itu terjadi.
Iris gadis yang ceria dan pemberani. Meskipun masih sangat muda tapi seorang pekerja keras. Nikolai mengakui saat ini belum ada cinta untuk calon istrinya itu. Namun, tidak menutup kemungkinan kalau suatu saat dirinya jatuh cinta. Kepribadian Iris membuat orang-orang dengan mudah mencintainya. Kesederhaan bukan hanya dalam gaya hidup tapi juga pola pikir gadis itu memikatnya. Sudah lama ia tidak bertemua seseorang dengan kepolosan alami tanpa dibuat-buat.
Ia tersentak saat ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk dan membuatnya terdiam.
"Nik, apa kabar? Ini aku."
Nomor tanpa nama meski begitu Nikolai tahu siapa pengirimnya dan memilih untuk mengabaikannya. Pesan kedua muncul setengah jam kemudian.
"Aku tahu kamu akan mengabaikan pesanku. Nggak masalah, Sayang. Sebentar lagi kita pulang dan bisa bermesraan lagi seperti dulu."
Perkataan penuh dengan rasa percaya diri dan tingkat egoisme yang tinggi. Perempuan yang mengiriminya pesan memang seperti itu dan Nikolai tidak merasa aneh karenanya. Membiarkan perempuan itu mengatakan apa pun yang diinginkannya adalah jalan terbaik saat ini.
Pram masuk dan mengatakan kalau semua keluarganya sudah menunggu di ruang keluarga. Nikolai mengakhiri pekerjaannya dan ingin mandi. Pram mendorongnya ke kamar, menyiapkan air hangat untuk Nikolai mandi.
"Pram, jangan lupa memberitahu penjaga gerbang untuk membiarkan Iris masuk."
"Sudah, Tuan."
Nikolai mengamati penampilannya dalam celana panjang dan kemeja hitam. Ia bingung apakah untuk malam penting seperti ini harusnya memilih kemeja dengan warna cerah? Memutuskan kalau warna hitam bukan sesuatu yang buruk, ia keluar untuk menemui keluarganya.
"Apakah terjadi sesuatu? Kenapa kita harus berkumpul?" tanya Norris. Di sampingnya sang istri duduk dengan ponsel di tangan.
"Ada hal penting yang ingin aku sampaikan pada kalian semua," jawan Nikolai lugas.
"Hal penting? Sesuatu tentang perusahaan atau pesta?" Popy menyela. "Terus terang rumah ini terlalu dingin. Sudah lama tidak ada kegembiraan pesta. Apa salahnya kalau sesekali mengadakan pesta di rumah ini."
"Setujuu, ide Mama luar biasa." Anya memuji ibunya dengan wajah berseri. Bayangan tentang pesta dan para pemuda yang datang membuat Anya berteriak senang.
Nayla mencibir. "Pesta? Memangnya kalian pikir uang yang dikeluarkan untuk pesta jumlahnya sedikit? Kalian punya uang untuk pesta, hah?"
Anya meleletkan lidah. "Padahal, kamu juga mau kalau ada pesta. Munafik sok menolak."
"Cukup!" Nikolai menghardik. Bosan dengan pertengkaran dua gadis yang seakan tidak ada habisnya. Ia menatap Anya tajam. "Di rumah ini memang sebentar lagi ada pesta. Aku pastikan itu."
Semua orang ternganga sekarang, menatap Nikolai tidak berkedip. Dasha bahkan mengangkat wajah dari atas ponsel.
"Benarkah? Apa aku tidak salah dengar?" Norris berdecak gembira. "Nikolai ingin mengadakan pesta? Dalam rangka apa?"
"Sebentar lagi kalian akan tahu. Harusnya, orangnya sudah datang."
Norris bertukar pandang dengan istrinya. Sikap Nikolai penuh dengan kemisteriusan. Adiknya memang dari dulu tertutup tapi akhir-akhir ini makin tidak bisa ditebak sikapnya.
"Apakah perusahaan membuat kesepakatan baru dan menghasilkan untung besar? Makanya kamu berniat mengadakan pesta?" Dickso bertanya.
Tidak ada yang menjawab pertanyaannya karena semua orang kini tertuju pada pintu ruang tamu. Terdengar suara perempuan yang tidak dikenal. Nikolai menjalankan kursi rodanya dan tersenyum saat melihat Iris berada di pintu rumahnya.
"Iris, selamat datang di rumahku."
Semua orang terpaku di tempat mereka, menatap Iris yang berdiri di tengah pintu. Penampilan gadis itu dalam balutan blus merah muda yang sudah lusuh dan celana panjang abu-abu, sungguh dirasa tidak cocoh berada di ruangan yang mewah. Semua orang bertanya-tanya, apa yang dilakukan Iris di rumah ini?
.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro