Masygul
MASYGUL
Oleh: kiikii-
Coba katakan siapa yang tak menyukai sebuah perayaan ulang tahun dan tahun baru? Mungkin, di dunia ini hanya sebagian kecil yang menghidap penyakit anti dengan perayaan semacam itu—atau malahan tak ada sama sekali. Tapi naasnya, dari milyaran penduduk di muka bumi ini, penyakit aneh itu justru menimpa keluarga dari seorang gadis bernama Kamala.
Bagi Kamala, keluarganya seolah terkena sebuah kutukan. Bagaimana tidak, di setiap malam tahun baru salah satu dari orang tuanya selalu ada yang jatuh sakit. Sehingga dia selalu melewatkan acara bakar-bakar ayam di depan rumah seperti yang tetangganya lakukan, melewatkan acara kembang api dan dia juga melewatkan semarak parade akhir tahun yang di adakan di pusat kota.
Bahkan tahun baru lalu, dia—lagi-lagi—harus rela mendekam dalam rumah guna merawat ibunya yang tiba-tiba jatuh sakit. Padahal di hari sebelum malam tahun baru ibunya terlihat sangat sehat. Beliau bahkan masih bisa berguncing ria dengan ibu-ibu komplek dengan tawa yang menggembang di bibir.
Akan tetapi, dari semua itu yang paling parah adalah ketika hari ulang tahun Kamala, ibu dan ayahnya sama sekali tak mengucapkan selamat untuknya. Jangankan mengucapkan, Kamala sendiri ragu apakah kedua orang tuanya itu ingat dengan hari kelahirannya.
Kamala masih ingat, pernah sekali Kamala meminta sebuah hadiah di hari ulang tahun ke-15, dan dia masih ingat bagaimana jawaban ayah dan ibunya yang sangat menyakiti hati.
"Tidak ada hadiah. Untuk apa memberi hadiah untuk anak yang lambat laun akan tutup usia?"
Waktu itu Kamala tak mengerti makna dari kalimat menyayat itu. Sangat kejam, begitulah yang Kamala rasakan. Terlebih saat ayahnya mengucapkan kalimat itu, wajah ayahnya sangat tegang.
Ketika dia meminta hal yang sama kepada ibunya, jawabannya sang ibu juga tak beda jauh.
"Jangan membuang uang utuk hal yang merugikan!" Begitulah ucap ibunya dulu.
Kamala menangis sejadinya kala itu. Orang tuanya begitu tega. Padahal Kamala hanyalah gadis 15 tahun yang ingin mendapatkan hadiah dari orang tuanya lalu memamerkan hadiah yang dia dapat kepada teman di sekolah, seperti yang teman-temannya lakukan.
Semua itu terjadi bukan karena keluarga Kamala adalah keluarga yang religius, di mana kepercayaan yang mereka anut melarang mereka untuk merayakan tahun baru dan ulang tahun. Karena pada dasarnya tak ada keluarga religius yang suka meminum minuman keras untuk merayakan keberhasilan usahanya.
Sekarang, tepat hari ini Kamala berusia tujuh belas tahun. Di usianya yang menjejaki masa legal itu, secara diam-diam Kamala ingin mengadakan sebuah acara di rumahnya menggunakan tabungan hasil uang saku yang dia sisihkan. Kebetulan sekali orang tuanya saat ini juga sedang sibuk dengan bisnis di luar kota.
Gadis itu sudah menyebar undangan kepada teman terdekat sehari sebelumnya. Rumah bagian ruang keluarga pun sudah dia sulap menjadi ruang yang penuh akan kemerlap lampu warna-warni. Berbagai macam kue terpajang memenuhi meja panjang. Balon-balon dia letakkan di setiap sudut ruangan.
Kamala berdiri di tengah-tengah ruangan sambil melihat hasil usahanya sendiri. Malam ini dia sengaja menggunakan gaun berwarna serba biru safir—warna kesukaannya. Warna yang membuat kulitnya terlihat semakin menyala. Rambutnya dia tata model waterfall braid dengan bantuan dari tangan lincah tetangganya membuat Kamala semakin cantik.
Dia menatap jam dinding yang bertengger di sudut ruangan. Jarum pendek sudah menunjuk di angka tujuh dan jarum panjang berada di antara angka sembilan dan sepuluh. Itu artinya acara akan segera di mulai. Namun, anehnya tak ada satupun temannya yang datang. Bahkan DJ yang dia sewa juga belum tampak batang hidungnya.
Beberapa kali Kamala mengirim pesan di grup kelas perihal keterlambatan mereka. Pesan itu sudah terkirim dan terbaca setidaknya tiga belas kontak yang ada. Tapi tak ada yang merespon. Kamala yang gusar akhirnya mengirim beberapa pesan suara yang berisi ucapan kekesalannya di grup.
"Kalian di mana?"
"Kalian jadi datang gak?"
"Kok kalian kompat telat gini?"
"Kalian sedang ngerjain aku ya?"
Pesan demi pesan Kamala kirim. Meski, responnya tetaplah sama—diacuhkan. Kamala tak mau menyerah. Dia tetap setia menunggu dengan perasaan harap-cemas.
Sampai di suatu titik, saat Kamala sudah menunggu hampir tiga puluh menit lamanya. Gadis itu merasa bosan dan dipermainkan. Dia memutuskan untuk mengirim pesan suara lagi.
"Ternyata ini ya yang namanya teman. Sekarang aku sadar, kalian hanya sebatas teman kelas. Itu artinya di luar kelas aku memang bukan siapa-siapa bagi kalian."
"Terima kasih," tutup Kamala mengakhiri pesan suara terakhirnya.
Tanpa disuruh air matanya sudah mengalir melintasi kedua pipi yang berlapis make up. Kamala duduk bersimpuh. Dia tenggelamkan kepala ke dalam lipatan kedua kaki. Hancur sudah. Tak ada pesta malam ini. Kalau tahu akhirnya akan seperiti ini, Kamala tak akan susah-susah mendekor, berdandan dan menyiapkan semuanya. Terlebih dia sudah rela membuang setengah dari tabungannya untuk acara malam ini.
Persetan dengan semuanya. Keluarga, teman, kerabat, semuanya sama saja. Tak ada yang peduli dengan gadis itu. Karena mereka adalah orang asing bagi Kamala, seperti yang dikatakan banyak orang; Dunia adalah tempat perkumpulan orang asing yang dipertemukan oleh benang takdir. Mereka tak terikat. Status hanyalah sebuah kata tanpa ada makna.
Namun di luar dugaan Kamala, di sela-sela isak tangis Kamala, teman-temannya justru mengendap-ngendap masuk lalu berdiri di belakang gadis itu.
"Kejutan!!!" sorak mereka serempat.
Senyum lebar tanpa rasa berdosa menghiasi bibir para remaja yang masing-masing membawa sebuah bungkusan di tangan.
"Ini beneran Kamala si gadis tegas di kelas kita? Kok cengeng?" seru salah satu teman sekelas Kamala dengan nada mengejek.
Kamala mendongak. Dia mengabsen jejeran pasang mata yang kini mengelilinginya, dan dia menemukan DJ sewaannya juga bergabung dengan temannya.
Oh, kalian bekerja sama ya. Pantas saja, batin Kamala.
Alih-alih mencakar wajah teman-temannya yang berani mengerjainya, Kamala justru meremas kuat gaun yang dia kenakan sebagai bentu luapan emosi. Dia berdiri kikuk, bingung harus berreaksi seperti apa. Semua perasaan campur aduk pada diri Kamala saat ini.
Untungnya si Ketua Kelas segera berseru agar acaranya segera di mulai. "Tunggu apa lagi? Ayo kita mulai pestanya!" tukasnya sembari mengepalkan tangan kanannya ke atas udara, penuh semangat.
Suasana menjadi cair seketika. Untuk kedua kalinya mereka bersorak. Tak lupa mereka meletakan kado yang mereka bawa ke sebuah meja kosong yang mereka yakini sebagai tempat khusus meletakan hadiah untuk Kamala. Semua yang hadir di sana mengambil posisi masing-masing. Sementara sang DJ menuju ke singgah sananya dan bersiap untuk menyalakan musik modern.
Namun takdir berkata lain. Tepat sedetik sebelum sang DJ berhasil menyalakan musik, orang tua Kamala datang dengan wajah penuh murka.
"Apa-apaan ini?!" teraik Ayah Kamala dari arah pintu masuk.
Semua yang mendengar kehebohan itu langsung bergeming di tempat, tanpa terkecuali si pemilik rumah.
"Ayah? Ibu?" gumam Kamala.
Bola mata Kamala membulat seolah dirinya baru saja tertangkap basah oleh warga tengah mencuri mangga di perkarangan mereka.
Malam ini berjalan sangat kacau. Kamala tak tahu jika orang tuanya akan pulang dua hari lebih cepat dari tanggal yang dikatakan ibunya pada Kamala sepekan lalu. Alhasil, pesta yang diadakannya harus dibuyarkan sebelum pesta itu sendiri di mulai. Semua teman Kamala diusir oleh ayahnya dengan tak terhormat.
Beberapa saat berlalu, di sinilah Kamala berada sekarang. Duduk di ruang tamu seperti burung perkutut dengan terus mendapat hujaman tatapan tajam dari sang ayah. Sementara sang ibu duduk di sebelah sang suami sambil terus mengusap punggung tangan suaminya agar tak sampai lepas kendali.
"Seseorang jelaskan apa yang terjadi," ucap Ayah Kamala memulai percakapan.
Kamala tak berani menjawab. Dia menelan saliva dengan susah payah. Pandangannya terus menunduk, seolah dirinya tengah menyaksikan pertunjukan epik dari pesta dansa para tungau di atas lantai rumahnya.
"Tak mau angkat bicara juga?" kata Ayah Kamala lagi. Beliau mendesah panjang. "Kamala?" panggilnya dengan suara sedikit lebih rendah dari sebelumnya.
Kamala masih membisu.
"Apa kamu belum sadar juga? Tidakkah kamu ingin bertanya mengapa ayah dan ibu selalu melarangmu mengadakan pesta ulang tahun dan perayaan tahun baru? Tidakkah kamu ingin mengatakan sesuatu pada dua pasangan renta di hadapanmu ini?" tanya Ayah Kamala bertubi-tubi.
Kamala semakin membisu. Namun, dalam kebisuannya itu terselip rasa kecewa pada orang tuanya sendiri. Kamala memejamkan mata sejenak. Mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan apa yang dia pendam selama ini.
"Memangnya apa yang salah dengan pesta ulang tahun dan tahun baru? Seumur hidup Kamala tak pernah merasakannya. Apa salah jika Kamala ingin merasakannya barang sekali saja? Kamala juga tahu jika ayah dan ibu bekerja sama untuk pura-pura sakit setiap malam pergantian tahun. Kenapa kalian egois seperti ini? Kalian tak pernah menjadi Kamala 'kan. Kalian ...." Kamala tak bisa melanjutkan ucapannya karena tangisnya sudah benar-benar pecah.
"Kamala sudah jangan dilanjutkan," lerai Ibu Kamala.
Sedangkan sang suami mulai menyandarkan tubuhnya ke sofa. Lelaki itu memijit kedua pelipisnya pelan. Dia yang tadinya sudah pusing dengan pekerjaan, sekarang semakin bertambah pusing saat melihat tingkah putri semata wayangnya yang berani membantah larangan keluarga.
"Ayah dan ibu membenci perayaan karena kami berdua sadar semakin bertambah usia, maka masa hidup di dunia semakin berkurang. Itu artinya kebersamaan kita akan semakin terkikis. Apakah hal semacam itu patut untuk dirayakan? Apakah perpisahan yang semakin dekat patut untuk kita sambut dengan tawa lebar?" jelas sang ayah.
Kamala tersadar seketika. Dia menatap ayah dan ibunya secara bergantian. Ada rasa sesal saat tahu alasan dibalik larangan ayahnya. Tangis Kamala semakin pecah, kali ini bukan karena dirinya yang dimarahi oleh ayahnya, tapi karena penyesalan yang menyeruak masuk ke dalam diri Kamala.
"Maaf, maafkan Kamala. Kamala tak berpikir sampai ke sana. Kamala janji tak akan mengulanginya lagi," ucap Kamala, sekaligus menjadi kalimat penutup malam panjang hari ini.
Semenjak malam ini juga, Kamala sudah berhenti merengek untuk ikut atau bahkan mengadakan perayaan tahun baru dan ulang tahun ke depannya. Gadis itu ... dia sudah benar-benar sadar maksud dari kedua orang tuanya.
Pemikiran seperti apa yang dipikirkan oleh kedua orang tua Kamala memang untuk sebagian orang terdengar sangat konyol. Tapi percaya atau tidak, orang-orang yang berpikir seperti itu memang benar ada. Atau bahkan mereka ada di antara orang yang kalian kenal.
THE END
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro