[ 20 ] - Sorot Mata Pak Rama
- Quest Day 20 -
Genre Utama: Teenfiction
Sub-Genre: HTM
• • • o O o • • •
Aku berdiri di podium dengan tangan yang gemetar, memegang mikrofon. Seragam biru IPP yang kukenakan terasa lebih ketat dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaanku saja. Aula besar tempat seminar digelar mulai dipenuhi peserta. Sebagian besar mereka adalah pelajar, tapi ada juga beberapa tamu dari ESI (Esports Indonesia) dan Pemkot. Hari ini, IPP menyelenggarakan seminar tentang Esports sebagai Karier Masa Depan, acara besar yang melibatkan banyak pihak. Dan aku, yang baru saja resmi menjadi kader Angkatan Ke-25, harus menjadi MC.
“Lahya, siap?” Fasya berbisik melalui headset kecil. Dia duduk di depan laptop di belakang ruangan, menjadi operator multimedia.
Aku mengangguk pelan, meski jantungku berdegup keras. “Bismillah,” gumamku, lalu memulai pembukaan acara.
“Sambutan berikutnya akan disampaikan oleh salah satu pembina IPP, Bapak Rama Setiawan,” kataku, berusaha terdengar percaya diri.
Pak Rama naik ke podium dengan langkah tenang. Aku melirik ke arah Fasya, memastikan semuanya berjalan lancar. Tapi Fasya tidak memandang layar laptopnya seperti biasa. Dia malah memandang Pak Rama dengan ekspresi aneh.
Pak Rama memulai sambutannya. Suaranya dalam dan tenang, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya seolah memiliki bobot yang sulit dijelaskan. Wajahnya tampak seperti biasa—ramah, dengan garis-garis tegas yang menunjukkan usia, tapi entah kenapa, setiap kali aku menatap matanya, ada sesuatu yang membuatku merasa tidak nyaman.
“Lahya,” Fasya tiba-tiba berbisik melalui headset. Suaranya terdengar tegang.
“Apa?” aku menjawab tanpa suara.
“Kamu tahu nggak, katanya Pak Rama menguasai ilmu Rawarontek.”
Aku tertegun. Kata itu membangkitkan ingatan cerita rakyat yang pernah kudengar dari nenekku. Rawarontek adalah ilmu kuno dari Jawa, ajian kebal mati yang membuat seseorang tidak bisa meninggal meskipun tubuhnya dihancurkan. Aku menelan ludah, berusaha mengabaikan apa yang baru saja Fasya katakan. Itu hanya rumor, kan?
Tapi sekarang, setiap kali aku melirik Pak Rama, pikiranku dipenuhi gambaran aneh. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dengannya. Sambutannya selesai, dan Pak Rama turun dari podium. Tapi aku tidak bisa mengalihkan perasaan gelisah yang tiba-tiba muncul.
Saat acara istirahat, aku menghampiri Fasya di belakang aula.
“Fasya, serius soal tadi?” tanyaku setengah berbisik.
Fasya mengangguk, wajahnya tampak serius. “Aku dengar dari Bang Karan. Dia bilang, dulu ada kecelakaan besar waktu Pak Rama masih muda. Harusnya dia meninggal, tapi... dia kembali bekerja beberapa hari kemudian seperti tidak ada apa-apa.”
“Cuma rumor, kan?” aku mencoba meyakinkan diriku sendiri.
“Tapi kamu lihat sendiri, kan? Pak Rama itu... aneh.”
Aku tidak menjawab. Kepalaku penuh dengan pikiran liar. Ketika sesi seminar dilanjutkan, aku mulai memperhatikan gerak-gerik Pak Rama lebih intens. Saat dia berbicara dengan tamu dari Pemkot, aku memperhatikan tangan kirinya. Ada bekas luka panjang di sana, tapi tidak seperti luka biasa. Kulitnya terlihat terlalu mulus, seperti bekas jahitan yang sembuh sempurna dalam waktu yang tidak masuk akal.
Sesi terakhir seminar selesai sekitar pukul lima sore. Setelah semua tamu pergi, aku kembali membantu membereskan perlengkapan di aula. Aku berpikir untuk mengabaikan semuanya, menganggap rumor itu hanya omong kosong. Tapi Fasya mendekatiku lagi, kali ini dengan ekspresi yang lebih serius.
“Aku mau memastikan sesuatu. Kamu ikut nggak?” tanyanya.
“Mastikan apa?”
“Aku dengar Pak Rama sering ke gudang belakang setelah acara selesai. Dia biasanya sendirian.”
Aku tidak tahu kenapa aku setuju, tapi lima menit kemudian, kami berdiri di lorong gelap menuju gudang di belakang aula. Lampu di sana remang-remang, dan hanya suara langkah kaki kami yang terdengar. Pintu gudang sedikit terbuka, dan aku melihat bayangan seseorang di dalam.
Pak Rama.
Kami mengintip dari celah pintu. Di dalam gudang, Pak Rama berdiri di depan meja kayu yang dipenuhi botol-botol kecil dan benda-benda aneh lainnya. Dia mengeluarkan pisau kecil dari saku jasnya dan memotong ujung jarinya. Darah menetes ke botol kecil di meja, tapi dalam sekejap, luka di jarinya menutup dengan sendirinya.
Aku terdiam, tubuhku gemetar. Fasya menahan napas di sebelahku. Apa yang baru saja kami lihat tidak masuk akal.
Pak Rama tiba-tiba menoleh ke arah kami, seolah tahu kami ada di sana. Matanya bersinar dalam cahaya redup, dan aku merasakan bulu kudukku berdiri.
“Kalian seharusnya tidak ada di sini,” ucapnya dengan suara rendah tapi penuh otoritas.
Aku dan Fasya berlari secepat mungkin, meninggalkan lorong itu tanpa menoleh ke belakang. Napasku tersengal saat kami akhirnya keluar dari gedung. Rasanya seperti mimpi buruk yang nyata.
Sejak hari itu, aku tidak pernah lagi melihat Pak Rama dengan cara yang sama. Dan setiap kali aku mengingat kejadian di gudang itu, aku bertanya-tanya—berapa banyak rahasia yang sebenarnya disembunyikan oleh dunia ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro