[ 2 ] - Abang-abang Apoteker
- Quest Day 2 -
Genre Utama: Teenfiction
Sub-Genre: HTM
• • • o O o • • •
Singkat kisah, aku membawa Fasya ke apotek samping stadiun, tak jauh dari koordinat sekolahku.
Bukan karena dia jadi gila, melainkan ketika aku menyadari bahwa tangannya mulai cenderung menekan-nekan permukaan perut kiri yang tertutup seragam olahraga, sejatinya asam lambungnya sedang kambuh.
Kebanyakan tingkah, cecarku, kala mulutnya jujur mengatakan belum menyentuh nasi sejak semalam. Kami habiskan sisa waktu di warung dengan menunggu kondisinya stabil setelah minum air hangat sekaligus obat maag.
Berikutnya, aku berniat mengantarnya pulang. Lucu memang, dia yang menghampiriku, eh, ternyata dia juga yang perlu kuantar pulang.
Hingga akhirnya kami berujung menapak di depan sebuah apotek guna membeli obat maag untuk Fasya, yang ternyata telah menghabisi tetesan terakhirnya.
Dan di sini, sampailah pada alasan yang ke depannya terus membuatku terngiang-ngiang dengan cerita Fasya mengenai IPP di warung tadi.
"Apotek Ahlul Sihat" adalah bangunan kuning gading yang diapit lahan rumput pada masing-masing sisinya. Berdiri mengkiblati stadion sepak bola di seberang jalannya.
Tepat setelah aku memarkirkan motor di depan apotek itu, mataku langsung terpaku. Menyaksikan pola perilaku ganjil dua orang yang memiliki sikap berbeda. Salah satu sedang berjongkok, dengan masker terpasung dan sarung tangan latex yang memegang cunam guna mengumpulkan sedikit demi sedikit lonjongan putih kecil yang berserakan di trotoar jalan. Sementara yang lain, dengan wajah murung tak tertutup masker, sibuk memalingkan wajah ke kiri dan kanan, hanya untuk kembali mendongak ke arah tiang yang di atasnya terpasang CCTV.
"Bang!"
Tak ayal, aku tersentak begitu Fasya menegur sapa, mengira bahwa anak itu salah mengira kenalan.
Namun ternyata, pria yang sejak tadi tolah-toleh sana-sini, membalikkan pandangannya, sepenuhnya menghadap pada calon pelanggannya.
"Eh, dek," ujarnya. Ah, aku hampir lupa kalau Fasya tak ubahnya kupu-kupu sosial. Paguntaka, pulau dengan luas 600 lebih hektar, terasa sempit jika mengetahui seberapa banyak orang yang dikenal gadis periang dari salah satu SMA unggulan di kota itu.
Orang itu kembali berbicara, dengan kalimat yang sarat akan keyakinan mengenai tujuan Fasya ada di sini sekarang. "Obat maag habis ya?"
Fasya balas dengan cengengesan.
Pria yang dipanggil Abang itu hanya geleng-geleng, sembari masuk ke dalam untuk melayani pelanggannya. Aku mengekori, meski ujung mataku selalu tergoda untuk menyaksikan apa yang sedang diperbuat oleh pria jongkok satunya.
"Lagi bang?" Suara di sebelahku menginterupsi. Membuat pendengar sepertiku menekuk alis, berpikir, tentang pertanyaannya yang tidak memiliki konteks.
Akan tetapi, berbeda denganku, si Abang Apoteker mengerti maksud pertanyaan Fasya. Jawabnya, "Iya. Ck, bingung juga Abang, kalau begini terus. Mana CCTV masih mati."
Fasya terlihat merenung serius. Lantas berucap, "Kenapa nggak hubungi Bang Diaz? Minta bantu perbaiki?"
"Lagi di luar dia, kepenuhan job," ucapnya sembari menyerahkan satu kompek berisi obat-obat kebutuhan Fasya. "Rencana Abang sih mau langsung ke reparasi sebentar sore, terus laporin ke polisi aja. Kalau dibiarin, apotek Abang bisa kena tuduh. Hewan-hewan juga bisa mati."
Ah, aku menangkap konteksnya. Sepertinya, ada oknum tak bertanggung jawab yang selalu membuang pil-pil obat berbahaya ke area apotek, entah sengaja atau tidak disengaja. Tapi mendengar penjelasan Abang Apoteker itu, aku jadi yakin kalau kasus ini sudah memasuki ranah pencemaran nama baik.
"Sengaja nggak sih, tuh, bang?" tanya Fasya, menyetujui kalimat batinku.
Orang di hadapanku mengangkat bahu. Plastik obat telah jatuh ke tangan Fasya. Tinggal menunggu proses transaksi.
Begitu Fasya hampir menyodorkan selembar uang berwarna hijau, Abang itu menolak. "Macam sama siapa aja kau nih, dek."
"Ish, Abang nih! 'kan, Abang jualan," mulut dan tangannya tidak sinkron. Sambil ia berujar demikian, selebaran uangnya juga dimasukkan kembali ke kantong. Fasya mengedipkan sebelah matanya padaku.
"Oh iya, bang. Jangan lupa datang pas LDK nanti ya!"
Mata orang itu membulat, "Oh ya? Siap meluncur kalau begitu, mah!"
"Mantap!" Acungan jempol Fasya tertampang di atas etalase Apotek. Lalu tanpa aba-aba, sebelah tangannya langsung merangkul pundakku dan berkata, "Calon saudari, nih, bang!"
"Wah," sekilas mata Abang Apoteker itu seperti berbinar jahat, atau mungkin hanya perasaanku saja. Namun berikutnya, kalimat yang terlontar malah memvalidasi perkiraanku itu, "Semangat ya! Aman kok, paling digoreng aja."
• • • o O o • • •
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro