Prolog
Kepalanya sakit, telinganya berdengung dan pandangannya gelap.
Sudah hampir tengah malam, dan lampu jalan kampus belum diperbaiki sejak tujuh bulan lalu, atau setidaknya begitulah yang Nuka bisa ingat. Dia mungkin sudah lima puluh tahun, tetapi kemampuannya dalam berkendara masih baik, pun matanya juga tidak seburuk itu.
Jadi jelas bukan salahnya saat dia menabrak pembatas jalan. Nuka yakin sesuatu baru saja terjadi. Karena tidak mungkin sebuah paku bisa menghancurkan ban mobilnya semudah itu dan membuat Nuka kehilangan kendali mobilnya.
Tidak. Nuka sebelumnya mendengarkan suara itu. DOR! Sangat keras. Dia yakin itu suara pistol. Seseorang menembak ban mobilnya.
Di belakangnya, Nuka bisa mendengarkan suara langkah kaki berjalan mendekati mobil. Nuka bergegas melepaskan sabuk pengaman. Dia yakin harus segera pergi dari sana. Karena siapapun yang punya senjata api dan menembak ban mobil seseorang tidak mungkin ingin melakukan pembicaraan yang menyenangkan.
Nuka sudah diperingati hal ini sebelumnya. Teman-teman penelitinya mengatakan mereka diikuti oleh seseorang, dan meminta Nuka untuk berhati-hati juga. Nuka tak pernah menanggapi itu dengan serius pada awalnya. Dia tinggal di negara yang damai, tak mungkin ada yang diam-diam mengikuti dan ingin menyakitinya. Sekarang dia menyesal telah meragukan mereka.
Nuka sudah membuka pintu dan siap meninggalkan mobilnya, ketika seorang pria juga sudah berdiri di sana. Memakai helm dengan kaca berwarna hitam sehingga wajahnya tidak terlihat, serta kaos oblong hitam berlengan pendek yang menampilkan otot besar dengan urat-urat mengintimidasi.
"Profesor Nuka," kata pria itu sambil menarik kerah kemeja sang profesor. Dengan mudah, ia melemparkan Nuka keluar dari mobil. "Aku perlu bicara denganmu."
Nuka meringis. Kulitnya tergores dan berbercak darah. Dengan susah payah dia bangkit dan lari. Hanya berlari yang bisa Nuka lakukan di tengah kegelapan, walau dia sadar hanya sedang mengulur waktu saja. Nuka sudah tua, staminanya tidak seperti dulu, ditambah kecelakaan tadi telah mengacaukan kepalanya.
Nuka berbalik untuk memeriksa, dan menemukan pria itu mengejarnya. Dia bahkan tidak perlu berlari, dia hanya berjalan dan sudah hampir menyusul Nuka dengan mudah.
Nuka yang terlalu lama menoleh ke belakang, tidak memperhatikan jalan di depannya. Dia tersandung batu besar dan jatuh terjerembab. Sebelum sempat bangkit dan melarikan diri lagi, pria itu sudah berdiri di dekatnya. Dia melepaskan helmnya dengan cepat, lalu membantingnya ke aspal, hampir mengenai kepala Nuka.
Pria itu menurunkan tubuhnya, dan menarik rambut Nuka agar wajah mereka saling bertatapan. Nuka bisa melihatnya, wajah dingin dan penuh dengan ancaman itu, yang membuatnya ketakutan setengah mati.
"Kuulangi sekali lagi. Profesor Nuka, aku perlu berbicara denganmu," kata pria itu. "Di mana kau menyimpan benda itu?"
"A–Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan," balas Nuka gemetar.
Pria itu mencengkram rambut Nuka lebih kuat, dan tanpa aba-aba langsung mendorong turun kepalanya, membuat dahi Nuka terbentur di atas aspal. Dia berteriak keras-keras. Nuka merasa tengkoraknya baru saja retak. Berpikir dirinya akan pingsan saat itu juga, tetapi Nuka masih sadar. Sadar dan kesakitan.
"Tentu kau tahu yang aku bicarakan. Kau benar-benar sangat tahu. Karena teman-temanmu yang lain juga berkata begitu sebelum aku membunuhnya."
Memang Nuka sudah langsung tahu apa yang pria itu maksudkan dengan "benda itu". Penelitiannya. Penelitiannya yang berharga. Penelitian yang dia kerjakan dengan susah payah. Penelitian yang juga telah dihentikan beberapa bulan lalu. Pria itu juga berkata telah membunuh teman-temannya. Jadi mereka semua sudah mati.
Nuka melirik pria itu dengan matanya yang semakin buram. "Kau mau apa dengan benda itu?"
"Kau tidak punya kuasa untuk bertanya sekarang. Hanya aku yang boleh bertanya. Di mana kau menyimpan benda itu?" Pria menarik rambut Nuka lebih kuat, membuatnya menjerit kesakitan.
"Penelitianku sudah dihentikan! Semuanya sudah dihancurkan!" teriak Nuka, tetapi pria itu tak melepaskan tangannya. Dia mendekatkan mulutnya ke telinga Nuka dan berbisik dengan penuh penekanan.
"Kita bisa melakukan ini dalam cara yang mudah atau sulit, tetapi aku tahu kau tak mungkin menghancurkan penelitianmu. Kau hanya menyembunyikannya di suatu tempat."
Pria itu benar. Nuka hanya menyimpannya di suatu tempat. Dia tidak bisa menghancurkannya. Penelitian itu menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan pemikirannya. Dia tidak mungkin menghancurkannya setelah semua yang dia korbankan. Itu penelitiannya yang paling berharga.
Namun, siapapun pria itu, Nuka tahu dia bukanlah seseorang yang bersedia melanjutkan penelitiannya. Pastinya dia ingin melakukan hal lain. Menjualnya adalah alasan paling masuk akal yang bisa Nuka pikirkan.
Nuka dan rekan-rekannya sudah menyimpan benda itu dengan aman dan mereka bersumpah tak akan membiarkan siapapun mengetahuinya. Saat itu Nuka ragu dan berpikir pada akhirnya akan ada dari mereka yang membongkar rahasia, tetapi rekan-rekannya juga sudah mati, dan pembunuh itu ada bersama Nuka sekarang. Artinya mereka berhasil menutup mulut.
Mereka semua menepati janji, itu artinya Nuka juga harus melakukannya. Memang klise, tetapi penelitian itu lebih berharga daripada nyawanya. Benda itu tidak bisa jatuh ke tangan yang salah.
"Di lemari."
"Lemari apa?"
"Lemari pakaian dalam ibumu," kata Nuka tersegal-segal. Lalu mengumpulkan air liur di dalam mulutnya, dan meludahi wajah pria itu.
"Kau tidak akan pernah menemukan benda itu."
Dengan tangan yang satunya, pria itu menyeka wajahnya dari ludah yang menjijikkan. Sementara tangan yang satunya masih memegang erat rambut Nuka.
"Cara yang sulit kalau begitu ...." Tiba-tiba dia mengarahkan bogem mentah tepat ke tengah wajah Nuka. Membuatnya meraung kesakitan karena hidungnya patah. Sementara pria itu mengangkat tubuh Nuka, dengan mudah memanggulnya di pundak dan membawanya ke mobil milik Nuka. Nuka tidak melakukan perlawanan sedikitpun, dia tahu dirinya sudah kalah.
Saat itu dia masih sadar, masih merasakan banyak hal. Nuka masih bisa merasakan tubuhnya ditaruh di kursi belakang, merasakan dingin dari AC di mobil, atau guncangan mesin mobil dinyalakan.
Dia masih bisa berpikir. Dia memikirkan kematian yang tak lama lagi datang. Nuka tidak pernah menginginkan ini. Dia ingin mati yang tenang, di atas kasur, dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya.
Setelah itu tidak ada lagi. Hanya gelap.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro