Chapter 2
Hal pertama yang bisa Rio lihat saat terbangun adalah tirai berwarna hijau pucat. Sejenak dia tak tahu dirinya ada di mana, atau apa yang telah terjadi. Sampai rasa sakit yang muncul mengembalikan semua memorinya. Ini rumah sakit, simpul Rio.
Sambil meringis, Rio mencoba untuk duduk bersandar di atas tempat tidur. Kedua tangannya bergerak ke sekujur tubuh, meraba-raba bagian mana saja yang terluka. Beberapa kain kasa terbalut di kaki dan tangannya, dan terasa nyeri saat disentuh.
Dirinya baru saja menjadi korban tabrak lari dan perampokan. Semuanya telah dirampas. Uang, laptop, bahkan ponselnya. Menghubungi keluarganya juga pasti tidak akan bisa. Rio hanya bisa menyesal. Andai saja kemarin Rio bisa melupakan gengsinya untuk pulang kampung, mungkin dia tidak akan berakhir seperti ini.
Sayup-sayup terdengar langah kaki mendekat, tirai di sebelah kanan Rio menyibak. Seorang pria muncul, mengenakan setelan hitam kasual. Kaos oblong dan celana jeans, masker medis berwarna hijau, dan tas kecil menggantung di tubuhnya. Rio pikir dialah orang yang telah membawanya ke rumah sakit.
Sembari menepis rasa canggung dengan mengelus lengannya dan memalingkan wajah ke arah berlawanan, Rio berbicara dengan gagap. "T-Terima kasih. Saya nggak tahu gimana harus-"
"Bisa jalan?" potong pria itu. Rio menoleh bingung, dan belum sempat menjawab, kedua tangannya seketika ditarik pelan.
Meskipun belum memahami situasi, tetapi Rio sangat yakin pria itu ingin dirinya beranjak dari sana. "M-Mau ke mana?"
Pria berambut agak ikal itu tidak menjawab, justru cengkaramannya mulai terasa memaksa. Tak ada pilihan lain, Rio akhirnya bangkit.
Dari balik tirai, Rio pikir akan ada banyak orang berlalu-lalang seperti di rumah sakit pada umumnya. Namun, tak ada satu pun orang. Hanya mereka berdua di sana. "Hei ... kita mau ke mana?"
Gerak-geriknya ganjil sekali. Langkah pria itu teramat pelan hingga nyaris tidak ada derap sedikitpun. Sampai di daun pintu, kepalanya menjulur untuk memeriksa keadaan. Rio mulai merasa ada yang tidak beres.
"Apa ... kamu mau antar aku pulang?"
Alih-alih jawaban, pria itu menyiratkan supaya Rio mengikutinya. Berbeda dengannya, Rio berjalan sedikit tergesa-gesa dan menimbulkan suara yang lebih keras.
Pria itu langsung berhenti di belokan lorong, lantas langkah Rio ikut terhenti. Kembali dia mengintip keadaan di luar. Rio merasa tidak nyaman dengan gelagat pria itu, seakan dia sedang bersembunyi dari seseorang.
"Hei. Aku sekali lagi mau ngucapin terima kasih karena udah nolongin aku," ucap Rio mulai berbisik. "Tapi, mungkin kamu bisa jelasin ... kita sebenarnya mau ... apa?"
"Bukan aku yang bawa kamu ke sini."
Perlahan mata Rio melebar, dia duduk mengikuti posisi pria itu agar bisa mendekat.
"Apa? Jadi, bukan kamu yang nyelamatin aku?" ulang Rio memastikan. Pria itu mengangguk.
"Kalau aku yang nyelamatin kamu, harusnya aku bawa kamu ke UGD, bukan di bangsal. Apalagi bagian gedung ini lagi dalam masa renovasi."
Rio mengedipkan matanya berkali-kali, tak menyangka sedikitpun penjelasan pria itu. "Jadi kalau gitu kita-k-kamu sebenarnya mau bawa aku ke mana?" Suara Rio berubah jadi setengah menjerit. Pria itu sigap memintanya diam.
DOR!
Suara itu sontak mengangetkan mereka berdua. Suaranya sangat nyaring dan melentang di sepanjang lorong. Rio terjatuh dan mundur ke belakang. Dia tidak tahu suara apa itu, tetapi dia bisa menduganya.
"Suara apa itu?! Itu suara tembak-"
"Bisa diam, tidak?" tukas pria itu berbisik. Rio tak berkata apa-apa, tetapi mengangguk ketakutan padanya.
"Aku Rafa, anggota O.S.S.A.," sambung pria itu setelah melepaskan maskernya. Rio masih belum tahu dia siapa, tetapi merasa pernah mendengar nama O.S.S.A. di suatu tempat, tetapi dia terlalu panik untuk mengingatnya.
Rafa, mengambil tangan Rio untuk membantunya berdiri, dan menariknya ke arah berlawanan. Mereka masuk ke sebuah ruangan gelap yang setengah terbuka. Rafa tidak menutup kembali pintunya dengan sempurna, menyisahkan celah kecil untuk mengecek keadaan di luar.
Dia membuka tas pinggangnya, dan mengambil sebuah senter kecil. Mereka baru sadar tengah bersembunyi di sebuah gudang. Rafa menyorotkan senternya pada Rio, yang duduk bersandar pada sebuah rak. Napasnya nyaris tak beraturan, dan wajahnya dipenuhi bulir-bulir keringat.
"Itu tadi-itu suara pistol, kan?!" tanya lagi Rio dengan susah payah.
"Tolong tenang sedikit. Kau tidak mau dia menemukanmu, kan?" Rafa sendiri sudah megap-megap, dia mencoba mengatur napasnya sendiri sebelum berkata. "Ya. Itu suara pistol."
"Siapa? Orang gila? Teroris? Apa karena itu kamu mau bawa aku keluar? Gedung ini udah dikepung sama teroris?" cecar Rio tak bisa berhenti panik.
"Bukan. Dia pembunuh bayaran, dan tolong tenangkan dirimu."
"Aku tidak mungkin bisa tenang kalau ada pembunuh dengan pistol berkeliaran di luar sana. Kenapa pula dia kemari? Siapa yang ingin dia bunuh?"
Kali ini Rafa bahkan tidak perlu menjawabnya. Rio sudah langsung tahu. Seperti kata Rafa sebelumnya. Dia mengalami tabrak lari, tetapi bukannya dibawa ke UGD malah ditempatkan di sebuah bangsal, dan tak ada pasien, dokter, perawat, atau staf lain yang Rio temui sejak tadi.
Kengerian merasuki Rio sampai tulang belakangnya. Pembunuh itu mencarinya.
"Ya Tuhan! Dia ingin membunuhku!" Rio tiba-tiba bangkit dan berusaha keluar dari sana, tetapi Rafa sigap menahannya. Tubuh Rafa mungkin lebih kecil, tetapi dia ternyata sangat kuat. Bahkan meski Rio meronta-ronta, dia tidak bisa melewatinya.
"Kubilang tenangkan dirimu."
"Aku harus pergi dari sini! Aku tidak mau mati!"
"Kau tidak akan mati, Rio. Aku akan melindungimu." Rafa terpaksa mendorong mundur tubuh Rio dan menahannya di rak. "Dengarkan aku baik-baik. Kalau kau terus bersuara keras seperti itu, maka pembunuh itu akan menemukanmu dan kita berdua mati, tetapi kalau kau bisa tenang sebentar dan mengikuti arahanku, maka kau akan baik-baik saja."
Rafa tidak menunggu respon Rio. Setelah mengatakan itu dia kembali lagi ke pintu dan mengintip ke luar. Rafa menggigit bibirnya saat menemukan sebuah siluet di ujung matanya. Dia merogoh lagi tasnya, dan mengambil sesuatu di dalam sana.
Rio terkejut lagi setelah menemukan Rafa ternyata membawa senjata api juga, tetapi kali ini dia benar-benar mengikuti perintah Rafa untuk tak bersuara, walau bukan berarti dia berhenti panik. Rafa menyalakan lagi senternya untuk memeriksa sekeliling gudang, dan menemukan setumpuk tabung APAR di sudut ruangan. Dia pergi ke sana untuk mencari satu yang masih penuh.
Menyaksikannya bekerja seperti itu membuat Rio menjadi sedikit lebih tenang. Entah apapun yang dia lakukan, tetapi Rafa juga punya senjata apinya sendiri. Bagi Rio itu sudah cukup. Meski begitu dia masih belum mengerti penuh situasinya.
"Kenapa ada yang mau bunuh aku? Apa yang sudah kulakukan?"
Rafa yang masih sibuk mencari tabung APAR lantas berhenti saat mendengar pertanyaan Rio. Dia berbalik sejenak, menatap tubuh Rio yang gemetar hebat. "Rio. Aku janji akan jelasin semuanya nanti, tapi untuk saat ini, tujuan utamanya adalah mengeluarkanmu dari rumah sakit ini dalam keadaan hidup."
Rafa berhasil mendapatkan satu tabung yang terisi penuh dan kembali ke pintu untuk memeriksa keadaan di luar. Pembunuh itu sudah tidak ada dalam jarak pandangnya, tetapi Rafa yakin dia masih ada berkeliaran di lorong.
"Oke, begini rencananya."
***
Rafa perlahan-lahan mendorong pintu, tidak sampai terbuka lebar, tetapi cukup supaya kepalanya dapat menjulur keluar. Sesuai dugaannya, pembunuh itu masih berisaga di tempatnya. Pembunuh itu tampak percaya diri, barangkali sudah menguasai sudut-sudut gedung ini dengan baik. Dia tahu targetnya sedang bersembunyi.
Lantai tempat mereka berada hanya punya dua jalan keluar, lift dan tangga. Dan satu-satunya jalan untuk mencapai keduanya adalah berhadapan dengan pembunuh itu. Namun, Rafa tahu jalan keluar lain yang bisa digunakan untuk meninggalkan tempat tersebut tanpa harus tertangkap, atau terbunuh.
Cahaya yang tipis membentuk garis lurus di wajah tegang Rafa. Telunjuk kanannya terselip di pelatuk pistol, sementara tangan yang satunya memegang erat ujung APAR.
"Siap?" tanya Rafa pada Rio di belakangnya.
Tatapan Rio kosong untuk beberapa saat. Sebelumnya dia sibuk berdoa selama dua menit penuh, tak berhenti berbisik menyebut nama Tuhan. Dia menggeleng pada pertanyaan Rafa. Tidak. Dia tidak siap.
Rafa menghela napas panjang. "Good."
Seketika tatapannya menjadi setajam pedang saat melihat ke depan. Kakinya menedang pintu dengan keras, menciptakan suara yang menggema. Dia melompat ke luar, dan sesuai dugaannya, pembunuh itu sigap berbalik dan mengarahkan pistolnya, tetapi dia tidak melihat Rafa atau Rio. Pembunuh itu hanya menemukan kepulan asap putih yang memenuhi lorong.
Di saat bersamaan Rio menggunakan kesempatan itu untuk lari dari sana, kembali ke kamar tempatnya terbangun tadi. Sementara Rafa tetap di tempatnya, terus menyemprotkan tabung APAR. Namun, pembunuh itu tidak ingin menunggu sampai asap memudar. Suara tembakan meletus kembali. Rafa bisa merasakan peluru-peluru itu menembus asap putih.
Begitu Rafa merasa kekuatan semprotannya mengendur, tanpa berpikir panjang, dia langsung melemparkan tabung itu ke tempat yang dia perikirakan pembunuh itu berdiri. Matanya melihat kelebat bayangan yang menghindar. Rafa memanfaatkan kesempatan itu untuk menyusul Rio.
Begitu Rafa berhasil masuk, mereka segera menutup pintu. Keduanya mendorong brankar di dalam sana dan membaliknya sebagai penahan.
"Apa itu cukup?" tanya Rio singkat, masih panik.
BRUAK! BRUAK!
"Hampir. Ayo, kita harus keluar." Rafa berlari ke jendela dan membukanya. Angin kuat langsung menerpa dan melambaikan rambutnya. Inilah rencana Rafa sejak awal, kabur lewat jendela. Gedung rumah sakit dalam masa renovasi. Ada banyak rangka bambu yang tersusun rapat di dinding, mereka akan menggunakan itu untuk turun.
Rafa yang pertama, dengan cepat naik ke railing jendela, kemudian satu tangannya meraih bambu terdekat, menggenggam erat untuk memeriksa kepadatannya. Cukup kuat. Satu tangannya ikut terulur, dan dia melompat turun. Kakinya mendarat di pijakan bambu yang tersusun melintang.
Rio di tempatnya memperhatikan bagaimana Rafa-yang mengenakan jeans-nampak sangat mudah melakukannya. Sementara dia meneguk ludah, bahkan hanya untuk menatap ke bawah.
"Apa lagi yang kamu tunggu?! Nisanmu?!"
"Um ... uh ...."
Suara pintu yang berusaha didobrak masih terdengar, brankar di lantai bergetar dan semakin menjauh dari pintu. Tidak butuh waktu lama untuk pembunuh itu masuk. Rio hampir tak dapat mengatakan apa yang ada di kepalanya, tetapi setelah beberapa detik ....
"Aku takut ketinggian!"
"Apa?!" Rafa terperanjat di tempatnya. "Ayolah! Bukannya kau penyelam yang hebat? Memanjat seperti ini tidak ada apa-apanya dibanding menyelam."
"Hei! Nyelam itu beda sama naik ke tempat tinggi! Tunggu, dari mana kamu tau aku bisa nyelam?" racau Rio penasaran.
"Emang penting buat tau itu sekarang?! Turunlah, Rio! Nanti aku bakalan pegang kamu! Nggak usah khawatir!"
Memikirkan antara pintu yang semakin terbuka dan fobianya pada ketinggian, membuat jantung Rio berdegup kencang. Mana di antara keduanya yang berpeluang paling kecil sebagai penyebab kematiannya. Jadi dengan napas yang terhembus cepat, Rio akhirnya naik ke jendela.
Tak sedetikpun Rio mencoba melirik tanah, dia terus menatap bambu yang akan dipegangnya. Tangannya dengan hati-hati mencoba menggenggam erat. Gerakkannya lebih kaku berkat tubuhnya yang penuh luka-luka lecet. Lalu tanpa dia sadari, kakinya sudah mendarat di bambu yang sama, Rafa langsung mengulurkan tangannya untuk menahan keseimbangan Rio.
"Bagus. Kita harus turun." Rafa merasakan ujung telapak tangannya basah oleh keringat Rio. Dia tidak ingin menyalahkannya, tetapi dia sendiri cemas hal itu menganggu konsentrasinya.
Di salah satu rangka bambu yang tersusun persegi, Rafa hati-hati menuntun dirinya untuk turun. Meraih pegangan demi pegangan. Kemudian menjatuhkan tubuhnya dan bergelantungan di bambu tersebut, setelah tubuhnya berhenti berayun, barulah dia dengan hati-hati menumpu kakinya.
"Oke, giliranmu."
Rio menggelengkan kepalanya berkali-kali, kemudian berpegangan pada bambu di sampingnya, sampai-sampai nyaris memeluknya. "Kamu tau aku nggak bisa kayak gitu!"
"Aku bakalan pegang kamu! Jangan khawatir." Sekali lagi Rafa mengulang kalimatnya untuk membuat Rio merasa tenang. Bagaimanapun, hal itu sepertinya sudah tidak terlalu mempan.
Masih dengan tubuh yang gemetar, Rio mengikuti apa yang Rafa lakukan sebelumnya. Dia menurunkan tubuh dan kedua tangannya segera memegang bambu yang menjadi pijakannya. Satu tarikan napas, dia langsung menjatuhkan dirinya. Sebelum bisa berayun, Rafa sudah menahan perut laki-laki itu.
Rio menoleh dengan napas memburu, menemukan Rafa tengah menyeringai padanya. "Sudah kubilang, kan, aku bakalan pegang kamu."
Perasaannya seketika menjadi sedikit lebih tenang, meski ketakutannya masih lebih besar. "Tolong jangan bilang ini lantai berapa."
DOR! DOR! DOR!
Kesenangan mereka tidak bertahan lama ketika suara tembakan menyentakkan mereka. Bahkan terdengar sampai tujuh kali sebelum kemudian berhenti sejenak. Bukan hanya Rio, mereka berdua nyaris kehilangan keseimbangan akibat dentuman itu. Beruntung tak ada peluru yang mengenai mereka.
"Kita harus cepat!"
Sebelum Rio sempat merespons, pria itu kembali mengarahkan moncong pistolnya. DOR! DOR! DOR! Kembali tujuh tembakan dilepaskan, dan salah satunya benar-benar nyaris mengenai mereka, lebih tepatnya mengenai bambu yang dipegang Rafa.
Sayup-sayup terdengar suara lain, bukan tembakan. Mata Rafa melebar begitu sadar. Sejak tadi pembunuh itu memang tak pernah menargetkan mereka, tetapi tali-tali yang mengingat bambu-bambu tersebut. Suara patahan bambu terdengar, dan kini pijakan mereka bergoyang-goyang.
Tali-tali itu mulai terlepas, Rafa mendongak dengan kengerian saat melihat salah satu bambu jatuh ke hadapannya. Sebelum dia bisa berpegangan erat, bambu itu mengenainya, dan dia terjatuh.
"RAFAAAAAAA!" seru Rio panik.
Rio menahan napasnya, dan menutup mata karena tak berani melihat. Rafa akan mati karena jatuh. Sekali lagi kematian terjadi tepat di hadapannya.
Beberapa kali tubuh Rafa membentur dan mematahkan bambu, tetapi dia tidak terjatuh seperti yang Rio bayangkan. Karena bambu terakhir cukup kuat untuk menahan bobot tubuhnya. Rafa segera berpegangan erat, dan meringis saat mencoba bangun. Dia melihat Rio masih di tempatnya, gemetar dan memeluk bambu di sampingnya.
"Rio!" teriak Rafa.
Rio membuka matanya, dengan hati-hati dia melihat ke bawah dan menemukan Rafa di sana, menaikkan jempolnya. "Aku baik-baik saja!"
Napas Rio jadi lega seketika. Dia benar-benar tak menyangka Rafa sekuat itu. Dia baru saja ingin balas berteriak sebelum mendengar lagi suara tembakan yang sama. Pembunuh itu belum menyerah.
Benak Rafa sigap mengatur ulang strateginya di situasi yang makin tak terkendali itu. Dia melihat jendela di hadapannya sejenak, dan segera mengambil senjata api di dalam tasnya. Seharusnya dia menggunakan itu untuk menghadapi si Pembunuh, tetapi Rafa menembak jendela tersebut untuk memecahkannya.
"Tunggu di sana! Aku bakalan naik ke lantai tujuh dan jemput kamu!"
Rafa menghilang dari penglihatan Rio saat dia melompat ke dalam, tetapi dia tak benar-benar memperhatikan bagaimana Rafa bisa berpikir secepat itu saat beberapa detik yang lalu dia hampir saja mati. Melainkan kalimat terakhir Rafa yang terpatri dalam kepalanya.
"Ini lantai tujuh?!" Lalu dia baru sadar sejak tadi sudah menatap ke bawah. Tiba-tiba kepalanya berputar. Pikirannya berhalusinasi, seakan tengah membuat proyeksi kalau dirinya berada di tempat yang lebih tinggi. "Ini lantai tujuh. INI LANTAI TUJUH! AKU BAKAL MATI!"
Ketakutan itu mempengaruhinya. Keringat membuat tangannya jadi sangat licin, kakinya bergetar hebat, dan pijakannya semakin miring. Seolah ada yang berbisik tepat di daun telinganya, bambu yang kau injak akan jatuh juga. Dia tidak melihat bagaimana Rafa bisa selamat, tetapi Rio tahu dirinya tidak akan seberuntung itu.
"Rio!" Tiba-tiba Rafa sudah berada di hadapannya, di balik jendela dan mengulurkan tangannya. Rio coba meraihnya, tetapi jarak mereka terlampau jauh.
"Sekarang bagaimana?"
"Lompat."
Rio terkesiap, lagi-lagi kalimat itu terulang-ulang di kepalanya. Ini lantai tujuh. "Tidak. Aku pasti jatuh!"
"Nggak akan jatuh!" Rafa menggertak balik. Rio terdiam melihat keseriusan di wajah Rafa. "Aku ditugaskan O.S.S.A. untuk melindungimu, dan aku tidak pernah gagal dari tugas."
Tangan Rafa terulur sekali lagi, dan Rio masih diam. Sejenak-dan entah mengapa-pikirannya justru menerawang jauh ke masa lalunya. Ketika adiknya tewas tenggelam, pertemuannya dengan Profesor Nuka, ketika Profesor Nuka meninggal, saat Rio membohongi mamanya, saat dia ditabrak dan semua barang-barangnya dicuri, lalu seseorang ingin membunuhnya. Rekaman itu berputar seperti adegan menjelang kematian dalam film, itu yang kini di hadapi Rio.
Bambu tempat Rio berdiri semakin bergetar, diikuti dengan suara retakan. Rafa langsung berteriak. "LOMPAT! SEKARANG!"
Bambu itu benar-benar rubuh, tepat saat Rio melompat dan berusaha meraih tangan Rafa. Dia berhasil menangkapnya, tetapi tubuhnya tergantung di ketinggian.
"Tarik! TARIK AKU!" racau Rio. Rafa mengerang dan mengernyit saat berusaha menariknya sekuat tenaga. Perlahan-lahan Rio merasakan tubuhnya tertarik ke atas, sebelum akhirnya bisa mencapai jendela. Dengan sisa tenaga dan bantuan Rafa, dia berhasil masuk.
Mereka berdua kelelahan setengah mati dan sama-sama berusaha mengumpulkan napas. Rafa sempat tertawa sejenak, sebelum tiba-tiba saja Rio memeluknya dengan punggung bergetar. "Terima kasih! Terima kasih banyak!"
"Tidak masalah," balas Rafa. "Dengar, mungkin pembunuh itu kehabisan peluru, tetapi kita masih harus keluar dari sini."
Rafa mengusap matanya yang merah, dan mengangguk paham. Rafa berbalik, lalu tersenyum, dan menarik napas panjang. "Ini tugasku," batinnya. Namun, saat baru bangkit ... BRUK!
"Rafa!"
Dari caranya jatuh tersungkur, Rio tahu keadaan Rafa benar-benar gawat. Dia bergegas membaringkan tubuhnya, dan menemukan ada luka memar di balik kaus kusutnya.
"Oh, tidak ...," bisik Rio. Ini semua gara-gara aku, sambungnya berbicara dalam hati. Jika saja aku tidak terlalu takut, begitulah kalimat yang berputar-putar dalam kepalanya.
"Jangan khawatir ... aku masih hidup, kok," ucap Rafa sedikit terengah, berharap kalimatnya dapat menenangkan Rio yang kalut melihat kondisinya. Agar tidak berlarut, Rafa mencoba bangkit dan sekali lagi hampir terjatuh, tetapi kali ini Rio sigap menahannya.
"Kamu beneran masih ... bisa?" tanya Rio cemas.
"Ya ... mungin cuman pendarahan dalam, tapi nggak masalah," balas Rafa dengan tawa hambar. "Ayo cepat, kita harus bergegas, atau pembunuh itu bakalan nemuin kita."
Rio berjalan dengan pelan keluar kamar sembari membopoh Rafa yang tertatih. Dengan kondisinya yang seperti itu, tidak mungkin mereka turun dari lantai tujuh menggunakan tangga. Pilihan satu-satunya adalah memakai lift.
Lorong di lantai tujuh juga sama heningnya. Tak ada tanda-tanda pembunuh di manapun, tetapi hal itu tak cukup menenangkan Rio. Rafa mengatakan pembunuh itu sudah kehabisan amunisi, tetapi bukan berarti dia akan menyerah begitu saja.
Pada akhirnya mereka tiba di depan pintu lift. Rafa menyandarkan tubuhnya pada tembok dan memeriksa kembali luka memar pada di perutnya. Sementara Rafa menekan tombol lift.
Hingga seketika seluruh lantai menjadi gelap, diikuti jeritan dari penghuni rumah sakit beberapa lantai di bawah.
"Oh, sial ...." Tangan Rafa mengepal kuat. Dia menduga pasti pembunuh itu yang telah mematikan lampu lewat ruang listrik di lantai dasar. Tidak butuh waktu lama baginya untuk naik kembali dan menemukan mereka. Pembunuh itu pasti menyadari kalau Rafa terluka dan kesulitan untuk turun lewat tangga, maka menghabisi nyawa Rio akan semudah memotong kue.
Rafa menarik Rio untuk masuk kembali ke salah satu kamar. Kini bukan hanya Rio yang ketakutan setengah mati, tetapi Rafa juga sama cemasnya. Walau yang ada di dalam pikirannya saat ini bukan keselamatan dirinya sendiri, melainkan bagaimana caranya dia harus membawa Rio pergi dengan selamat.
Rafa buru-buru merogoh senter dan pistol di dalam tasnya. Dia berdecak kesal saat mendapati hanya tersisa satu peluru lagi, dia tidak mengatakan itu pada Rio, tetapi Rio bisa melihat wajah frustasi Rafa.
"Kita harus ngapain sekarang?" Sorot senter memperlihatkan tatapan Rio yang penuh harap. Menunggu sebuah jawaban yang dapat menyelamatkannya dari seorang pembunuh yang masih mencarinya di luar sana.
Rafa menyadari kondisi dirinya. Dia terluka, dan meski benci mengakuinya, tetapi dia malah akan mempersulit. Saat itu Rafa hanya terdiam, membuat Rio terus menunggu.
Secara tiba-tiba dirinya masuk ke dalam lamunan. Hanya sebentar. Ingatan beberapa bulan lalu saat dia mendapatkan tugas rahasia dari sekretaris-jenderal O.S.S.A. untuk menyelamatkan seorang pria yang sama sekali tidak menyadari kalau dirinya akan dibunuh.
Kita lebih membutuhkannya daripada dia membutuhkan kita.
Itu yang sekretaris-jenderal katakan padanya. Rio bukan hanya misinya, tetapi prioritas utama O.S.S.A.. Dia tidak boleh mati.
"Rio," panggil Rafa, dan berusaha bangkit dengan menumpu satu tangan di dinding. "Kamu harus keluar dari sini, sendirian."
"Apa?"
"Turun lewat tangga, kamu harus lari dari sini." Rafa mendekatinya, lalu meraih sesuatu dari sakunya. "Pakai ini."
Rio tidak tahu apa yang Rafa berikan padanya. Terlihat seperti sebuah gantungan kunci berbahan baja ringan, berwarna biru mengkilat, dengan ujung agak runcing dan memiliki sebuah tombol kotak kecil. "Pilih satu motor apa pun di bawah sana, masukkan ujungnya ke lubang kunci dan tekan tombol ini," jelas Rafa. Dia juga memberikan ponselnya, di layarnya menampilkan peta.
"Pergi ke sini. Kamu akan aman," ujar Rafa.
"Terus kamu gimana?" Suara Rio nyaris tidak terdengar.
"Tentu saja di sini, dan menahannya," balas Rafa, dan mengangkat senjatanya. "Nggak usah khawatir. Amunisiku masih penuh, jadi bahkan kalau-"
"Tapi ...." Rio terdiam, berulang kali memperhatikan kondisi Rafa yang membuatnya dilema. "Aku memang nggak bisa lawan dia, tapi bukan berarti kamu harus maju sendirian, apalagi sekarang kondisimu kayak gini. Kamu bisa aja-"
"Rio!" sentak Rafa seketika, Rio langsung terdiam. "Kamu harus pergi. Kamu harus selamat."
Rafa menarik napas panjang. Dia tidak akan membiarkan Rio terlibat lebih jauh lagi. "Tugasku adalah menyelamatkanmu."
Setelah itu Rafa langsung keluar dari sana. Senternya menyorot ke sepenjuru lorong untuk memeriksa apakah pembunuh itu sudah naik mencapai lantai tujuh atau belum. Masih kosong dan senyap, kecuali keributan di bawah yang samar-samar terdengar. Rafa mengarahkan senternya ke kamar tempatnya bersembunyi tadi, Rio masih berdiri di pintu. "Pergi ...."
Rio pada akhirnya pergi. Dia bergegas turun dan berhasil mencapai lantai lima. Semuanya gelap, tetapi dia tidak ingin menyalakan senter di ponsel Rafa karena takut akan ketahuan. Tak ada suara selain deru napasnya sendiri di sana.
Hingga dia mendengarkan derap langkah di tangga. Itu pasti pembunuhnya, tak mungkin Rafa. Rio segera bersembunyi dan menutup mulutnya karena takut akan terdengar.
"HEI!" teriakan Rafa terdengar di lantai atas. Pembunuh itu langsung bergegas naik, dan setelah itu ... DOR! Suara tembakan terdengar. Entah itu dari siapa, Rio harap itu senjata milik Rafa.
Rio berlari sekuat tenaga, melompati hingga tingga anak tangga agar segera sampai di lantai satu. Banyak sekali orang berkumpul di lobi, Rio mendengar mereka berbicara soal suara keras yang terdengar entah dari mana. Rio tak ingin tinggal diam untuk memberitahu mereka soal pembunuh bayaran yang berkeliaran di rumah sakit, tetapi memanfaatkan situasi itu untuk segera pergi ke area parkir.
Perintah Rafa jelas, dia ingin Rio mengambil salah satu motor untuk pergi ke titik di peta tadi. Dia hanya memilih motor yang paling dekat dengan pintu keluar.
Sesuai instruksi Rafa, Rio memasukkan ujung tajam dari gantungan kunci tersebut dan menekan tombolnya. Entah bagaimana mesin motor tiba-tiba menyala. Meskipun sempat terkesan, Rio segera memutar gas dan pergi meninggalkan rumah sakit.
Jalanan kota lengang, tidak terlalu kosong maupun ramai, memberikan Rio kesempatan untuk menambah kecepatan. Di tengah jalan dia memeriksa lagi ponsel Rafa. Sekitar 10 Km menuju titik yang dimaksud.
Saat Rio ingin menyimpan ponsel itu, tiba-tiba saja pengendara sepeda motor lain berada di sampingnya. Dia tidak memperhatikan pada awalnya, tetapi setelah menoleh, pengendara itu langsung menendangnya. Rio kehilangan keseimbangan hingga motornya menabrak trotoar jalan.
Sekalilagi, Rio menyaksikan kegelapan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro