Chapter 1
Rio selalu takut dengan mati.
Bukan karena mati itu menyakitkan. Serangan jantung, kecelakaan, jatuh dari ketinggian, dihabisi hewan buas atau beracun, tenggelam, apapun. Itu memang menyakitkan, tetapi bukan karena itu Rio takut.
Rio sebenarnya lebih tidak siap saja. Rio takut dia mati sebelum dapat melakukan apa-apa. Dia baru 22 tahun, dan percaya anak muda sepertinya sudah harus melakukan banyak hal.
Namun, di sinilah Rio. Pria yang tak melakukan apa-apa, yang belum mencapai apa-apa. Teman-temannya sudah punya pekerjaan dan gaji yang besar, yang bisa mereka nikmati atau kirimkan ke orang tua mereka setiap bulan. Sedangkan Rio tidak. Menjadi seorang sarjana di umurnya yang masih muda mungkin sebuah pencapaian, tetapi Rio menganggur.
Rio juga sendirian. Menghabiskan hari-hari kesepiannya di tanah rantau tanpa teman atau pasangan. Teman-temannya sudah hidup di tempat yang jauh dengan kesuksesan masing-masing. Ada yang sudah menikah dan berkeluarga. Bahkan mantan pacarnya saja sudah menikah. Perempuan itu harus putus dengan Rio setahun lalu karena dia akan menikah dengan laki-laki lain yang bekerja di luar negeri, artinya dia sukses.
Tapi bukan pertama kalinya Rio memikirkan hidup-mati seperti sekarang. Dia sering melakukannya. Semuanya di mulai setelah lulus sekolah, ketika dia pergi ke pantai bersama keluarganya untuk merayakan kelulusan Rio sebagai mahasiswa baru. Dia bersama adik laki-lakinya berenang di laut, mereka meloncat dari dermaga yang tinggi dan berenang di air yang segar.
Adiknya saat itu bukanlah orang yang sabar. Dia punya energi dan antusiasme yang besar. Dia bergerak terlalu banyak, melompat dari dermaga terlalu sering, dan berenang terlalu lama. Saat berada di perairan yang dalam, kaki adiknya mengalami kram.
Saat itu Rio beristirahat dengan duduk di tepi dermaga, dan mendapati adiknya dari kejauhan meronta-ronta di atas permukaan air. Rio yang panik sontak berlari, melompat, dan berenang secepat mungkin untuk menyelamatkannya, tetapi tubuh adiknya juga tenggelam dalam waktu yang singkat, air memasuki paru-parunya dan mendorong keluar semua oksigen yang tersimpan.
Rio menyelam untuk mencari adiknya, tetapi kesulitan berkat arus laut yang saat itu tiba-tiba menjadi lebih cepat. Butuh beberapa menit sebelum dia menemukan adiknya di dalam air. Rio bergegas membawanya naik ke permukaan, tetapi dia tahu adiknya tak lagi bernapas.
Adiknya mati di dalam pelukannya.
Adiknya masih kecil, masih muda, banyak yang belum dia lakukan, dan dia mati. Dia mati lebih dulu daripada orang tuanya, lebih dulu daripada kakaknya. Rio selalu memikirkan kematian adiknya, membayangkan bagaimana kalau saat itu malah Rio yang berenang di laut, mengalami kram dan tenggelam sebelum bisa diselamatkan.
Sekarang dia memikirkan mati lagi. Bukan karena dia teringat adiknya, tetapi karena kematian salah satu dosennya.
Sudah sore. Rio berdiri di halaman fakultas yang hampir kosong. Di depan gedung berjejer rangkaian ucapan bela sungkawa yang dibuat dengan bunga hias palsu. Menuliskan nama dosennya, di bawahbta tertera nama siapa yang mengirimkan ucapan tersebut, dan di bawahnya lagi tertulis perusahaan mana yang membuat rangkaian bunga tersebut.
Sudah seminggu sejak kematian Profesor Nuka. Sekarang satu per satu rangkaian bunga tersebut diangkut dan dimasukkan ke dalam bak mobil pick up. Memang tak ada satupun rangkaian bunga tersebut berasal dari Rio pribadi, tetapi jauh di dalam hatinya dia sangat berduka.
Profesor Nuka bukanlah dosen biasa baginya. Dia spesial di antara yang lain. Malah Rio merasa dirinya juga spesial bagi Profesor Nuka. Beliau adalah dosen pembimbingnya dulu, dan meski bukan Rio seorang yang pernah menjadi mahasiswa bimbingannya, tetapi dia satu-satunya mahasiswa yang penelitiannya dibiayai penuh oleh Profesor Nuka.
Rio satu-satunya mahasiswa yang diajak untuk melakukan proyek bersama Profesor Nuka, bersama tim peneliti laut lainnya dari berbagai negara yang sudah sangat ahli di bidangnya. Sekarang dia juga menjadi asisten laboratorium Profesor Nuka. Ya. Sebenarnya Rio bekerja, tetapi dia tidak benar-benar menganggapnya sebagai pekerjaan. Karena asisten tidak benar-benar digaji, tetapi hanya diberi makan siang gratis.
Profesor Nuka sudah mati, tetapi setidaknya sudah mencapai banyak hal. Dia banyak melakukan penelitian di laut, menerbitkan jurnal ilmiah setiap tahunnya, dan bahkan menerima pengakuan internasional. Sementara yang bisa Rio bisa banggakan dalam hidupnya adalah memiliki hubungan dekat dengan Profesor Nuka dibandingkan teman-temannya yang lain.
Rio menghela napas dan masuk ke gedung fakultas. Kampus memang akan segera tutup, tetapi dia baru ingat harus ke kamar kecil dulu sebelum pulang ke kamar kosnya. Rio sengaja berlama-lama saat mencuci tangan di wastafel. Menatap cermin, memperhatikan pantulan wajahnya. Rambutnya sudah semakin lebat, kerutan tumbuh di sudut-sudut mata dan bibirnya, untuk beberapa hari ke belakang dia tidak pernah menemukan ekspresi yang segar di wajahnya sendiri.
Di saat dia masih ingin berdiam diri, ponsel di sakunya berdering. Rio mendesah saat mengetahui Mamanya menelepon. Rio bukannya tidak senang saat Mamanya menelepon. Dia hanya bisa menduga apa yang akan mereka bicarakan, dan Rio tidak menyukai apa yang akan mereka bicarakan.
"Halo, Ma," sahut Rio.
"Rio! Kamu dari mana aja?!" Seperti biasa panggilan telepon akan di mulai dengan amukan dari Mamanya. Karena Rio selalu dengan sengaja tak mengangkat panggilan dan berdalih dengan alasan jaringan terbatas di dalam laboratorium, walau memang itu sering terjadi, tetapi tidak selalu.
Setelah mengatakan alasan kebohongannya, Rio masih harus menghadapi kemarahan Mamanya selama beberapa menit sampai akhirnya dia punya kesempatan untuk bertanya. "Oke, Ma, tapi Mama kenapa nelepon?"
"Kapan kamu mau balik kampung? Kamu di sana kan cuman nganggur. Mama udah bilang kalau di sini Om kamu udah nyiapin posisi jadi teller bank."
Seperti yang sudah diduganya. Ini tentang nasib pengangguran Rio. Dia memutar bola matanya. "Ma, untuk kesekian kalinya aku sarjana kelautan, bukan perbankan. Aku nggak mau kerja jadi teller bank!"
"Terus kamu mau nganggur terus di sana?! Mama udah nggak bisa biayain kamu terus, Nak." Nada bicaranya mamanya menyuratkan kecemasan.
"Ma, aku udah kerja di sini!" Rio langsung membekap mulutnya. Bodoh! Hatinya berteriak murka pada dirinya sendiri karena mampu berkata demikian.
"Kerja apa? Jadi asisten lab itu?"
"Bukan, Ma!" Lagi-lagi kebohongan. Rio merutuki dirinya sendiri sementara mamanya terdiam. Dia pasti percaya kalau anaknya benar-benar telah mendapatkan pekerjaan. "Ini ... aku baru dapat balasan e-mail dari perusahaan di pelabuhan yang kemarin aku bilang. Aku lolos dan mulai kerja bulan depan."
"Beneran?! Wah ...." Rio memang mengajukan lamaran, tetapi dia tidak pernah mendapatkan balasan apapun. Dia hanya bisa tersenyum pahit saat mendengar Mamanya dengan bahagia memanggil-manggil adik perempuan Rio untuk mengabarkan kebohongannya. Ingin rasanya dia berteriak 'tapi boong, Ma'. Namun, anak macam apa dia kalau sampai sedurhaka itu. Bagaimanapun, berbohong juga bentuk kedurhakaan.
"Iya ... bulan ini uang saku terakhir dari Mama, tapi buat bulan depan nggak usah lagi. Aku bakalan pakai uang gaji."
"Iya, Nak. Nanti gaji pertama jangan boros yah, nggak usah traktir-traktir siapapun, apalagi pacarmu. Intinya simpan baik-baik biar kamu bisa hemat."
Selain balasan "iya, Ma", yang ada di pikiran Rio adalah berharap agar panggiilan itu bisa segera berakhir. Butuh lima menit lamanya hingga permintaannya terkabul. Tepat setelah itu dia menyimpan lagi ponselnya di saku, meraih tepi wastafel, dan berteriak sekencang-kencangnya.
"KAMU BODOH BANGET, RIO!"
Dia tidak peduli meski ada seseorang di luar kamar mandi yang mendengarkan. Kini yang bisa dia pikirkan adalah dirinya dalam masalah besar. Jika dalam sebulan dia tidak bisa mendapatkan pekerjaan, maka tamat sudah riwayatnya.
Hidupnya benar-benar kacau. Banyak sekali hal-hal buruk yang terjadi padanya dalam beberapa waktu ke belakang. Sementara hatinya merasa masih ada hal buruk lain yang menunggunya setelah ini.
***
Rio dulunya tidak benar-benar sedekat itu dengan Profesor Nuka.
Sama seperti mahasiswa lainnya, bagi Rio beliau dulu hanyalah seorang dosen yang menjelaskan tentang pencemaran lautan di depan kelas. Semuanya baru di mulai di semester delapan, saat Rio akhirnya mengetahui siapa yang menjadi dosen pembimbing skripsinya.
Awalnya Rio merasa itu aneh, karena dia ingin meneliti tentang karang sementara dia mendapatkan seorang pembimbing yang fokus pada pencemaran laut, tetapi dia tidak terlalu lama memikirkan itu. Terutama setelah Profesor Nuka mulai menunjukkan dirinya tidak sekedar dosen yang akan membimbing Rio sampai sarjana. Dia membantunya.
Profesor Nuka bersedia membiayai penuh penelitian skripsi Rio. Perjalanan, konsumsi, peralatan dan keperluan lainnya. Sebagai gantinya Rio harus mengganti lokasi penelitiannya, ke sebuah pulau kecil di selatan Sulawesi.
"Aku dan beberapa orang berencana melaksanakan penelitian lain di sana, dan setelah kubaca sinopsismu, kurasa akan bagus kalau kau juga bergabung."
Rio tidak mengerti apa maksudnya, tetapi dia juga tidak berpikir dua kali untuk berkata ya.
Tempat itu adalah sebuah pulau kecil yang hanya memiliki satu fasilitas berupa gedung yang sudah berisi asrama, laboratorium, dan segala keperluan bertahan hidup serta penelitian yang akan Profesor Nuka, Rio, dan empat peneliti lainnya lakukan. Mereka semua berasal dari luar negeri, dan itu lah kali pertama Rio mengetahui Profesor Nuka memiliki nama yang besar di antara para ahli laut dunia.
Pulau itu adalah surga bagi ekosistem laut, bukti nyata dari alam yang masih belum tersentuh oleh manusia. Saat Rio pertama kali menyelam di sana, ia langsung disambut oleh gugusan karang yang melekat di sepanjang dinding laut. Ikan-ikan kecil beraneka warna berenang di sekelilingnya, menciptakan pemandangan yang memukau. Menyaksikan keindahan bawah laut seperti itu tidak pernah terlintas dalam pikirannya, apalagi dengan bimbingan para peneliti berpengalaman yang telah menghabiskan bertahun-tahun mempelajari laut.
Mereka berada di pulau itu selama beberapa minggu. Rio mengerjakan skripsinya, dan disaat bersamaan membantu menyelesaikan penelitian Profesor Nuka. Rio tidak benar-benar tahu apa yang dosennya itu lakukan, yang dia tahu adalah penelitian itu akan membantu mengatasi masalah pencemaran di laut.
Profesor Nuka juga senang dengan bantuan Rio karena dia seseorang yang mudah mengerti. Rio tak butuh penjelasan yang panjang-lebar dan langsung dapat melakukan tugas-tugas laboratorium seperti mencapur larutan dan memeriksa komposisi sampel, tetapi yang paling penting adalah Rio pandai menyelam, dan penelitian Profesor Nuka banyak dikerjakan di bawah air. Walau Rio tidak bisa selalu bergabung karena Profesor Nuka lebih banyak melakukan penyelaman di malam hari.
Apapun yang Profesor Nuka lakukan, Rio bisa melihat semangat yang besar dari dosennya itu. Setiap hari di pulau itu Rio melihatnya bekerja dengan keras, berdiskusi setiap saat dengan timnya, menyusun segala rumus dan hal penting lainnya di dalam sebuah catatan.
Di penghujung penelitian, sebelum mereka meninggalkan pulau itu, Rio akhirnya bertanya. "Mengapa Anda melakukan ini?"
Profesor Nuka tersenyum, dan berkata, "Karena ini hidupku, dan aku harus menjaga hidupku."
Kembali dari sana, Rio memutuskan dia ingin menjadi seperti dosen pembimbingnya. Dia ingin punya ambisi yang besar dan bekerja untuk laut. Karena apalah artinya berkuliah dan belajar tentang laut selama empat tahun lebih kalau selanjutnya malah memisahkan diri untuk laut.
Setidaknya begitulah yang Rio inginkan. Sayangnya dia tahu itu sulit untuk dilakukan. Karena dia sama sekali belum mendapatkan pekerjaan di bidang laut. Dia mungkin asisten lab Profesor Nuka, tetapi Rio tidak benar-benar melakukan apapun di sana.
Malah dia sudah bukan lagi seorang asisten. Karena hari ini dia berhenti. Rio mendapatkan kabar itu saat tiba di gedung Pusat Penelitian Kampus, dan bertemu dengan laboran di pintu masuk lab Profesor Nuka. Dia seorang wanita dengan rambut pendek se-leher, selalu mengenakan lipstik merah tebal, dan kulit tubuhnya sudah mulai berkerut.
"Maafkan aku, Rio," kata wanita itu setelah memberitahu Rio diberhentikan menjadi asisten.
"Tapi kenapa?" tanya Rio. Meski sebenarnya dia sudah tahu alasannya. Profesor Nuka sudah mati.
"Rektorat baru saja selesai melaksanakan rapat, dan diputuskan akan ada perubahan susunan kepala laboratorium, termasuk laboratorium Ekotoksikologi," ujar wanita itu. "Itu artinya kepala lab akan memilih asisten yang baru. Bagaimanapun masih ada kemungkinan kecil kau bisa menjadi asisten kembali, tetapi untuk saat ini, kau bisa istirahat."
Istirahat. Bagi Rio kedengaran seperti "selamat tinggal, senang bisa mengenalmu". Siapa pula yang akan menggantikan Profesor Nuka? Rio tidak tahu dosen lain dengan kompetensi, keahlian, dan idealisme yang sama seperti beliau.
Wanita itu tersenyum pada Rio, dan pergi sejenak. Rio di tempatnya hanya bisa terdiam, dan merasa yang baru saja terjadi adalah karma dari dosa pada Mamanya kemarin. Pikirannya beradu, memilih antara harus berterus terang pada Mamanya atau mendapatkan pekerjaan apa saja sebelum bulan depan. Kenyataannya Rio memikirkan itu sejak tadi, sebelum dia datang ke laboratorium. Tujuannya datang ke lab di sore hari karena dia dikabari akan menerima uang pesangon setelah berbulan-bulan menjadi asisten.
Rio hanya tak menyangka dia juga akan diberhentikan.
Wanita itu kembali lagi dengan amplop putih yang langsung diserahkan pada Rio tanpa berkata apa-apa. Dari ketebalannya, Rio tidak yakin kalau isinya akan cukup sampai sebulan ke depan. Seminggu pun Rio ragu.
Lalu wanita itu akhirnya pergi. Rio juga tahu harus pergi dari tempat itu. Dia tidak menyangka hari terakhir di lab tersebut berakhir dengan sangat buruk. Rio selalu membayangkan hari terakhirnya sebagai asisten adalah ketika dia mendapatkan pekerjaan baru dan kemudian diberi selamat oleh Profesor Nuka.
Langit mulai menghitam saat Rio meninggalkan gedung tersebut. Dia mengambil ponselnya untuk memeriksa jam. Rio terkejut sejenak saat mendapati ada e-mail masuk, mengira itu dari perusahaan yang pernah dikiriminya lamaran tiga bulan lalu, tetapi itu hanya notifikasi transfer uang yang baru saja dikirim oleh Mamanya.
Rio menghela napas. Dia kembali berkutat dengan pikirannya. Rio merasa tidak yakin bisa mendapatkan pekerjaan dalam waktu sebulan, tetapi dia juga tak ingin mundur begitu saja, tidak setelah dia membuat Mamanya berteriak bahagia kemarin.
Rio berpikir akan melakukan pekerjaan kecil saja dulu sembari memasukkan lamaran di perusahaan-perusahaan keinginannya. Menjadi pramusaji di sebuah kedai kopi atau melayani keperluan mahasiswa di percetakan. Tentu saja itu tidak pernah masuk dalam daftar pekerjaan impiannya.
Sudah pukul 18:20. Dia pergi ke mesin ATM untuk menarik uang. Rio merasa sangat lelah, hanya satu bahunya saja yang membopong ransel. Fokusnya sedang terpecah, dan itu membuatnya tak menyadari sekitar.
Tidak terlalu jauh darinya seorang pengendara motor yang mengenakan helm hitam mengawasi gerak-geriknya, bahkan sebelum Rio masuk ke bilik ATM. Setelah memeriksa dan yakin Rio berjalan sendirian tanpa ada siapapun di dekatnya, orang itu langsung memutar gas dan melanju ke samping Rio. Menyambarnya hingga dia tersungkur di jalanan.
Rio baik-baik saja, meski dia meringis kesakitan saat berusaha berdiri. Lalu dia terkesiap, Rio tidak ditabrak dengan sengaja. Setelah memeriksa punggungnya, dia sadar tasnya baru saja diambil.
"HOI! BERHENTI!" teriaknya dan langsung berlari mengejar. Jalanan kampus yang sudah sepi membuat tidak seorang pun mendengar suaranya.
"SIAL! SIALAN!" Rio meraung murka. Bukan hanya seluruh uang yang baru saja dia tarik dan diterima dari laboratorium ada di dalam sana, melainkan juga ponsel, laptop, dan kunci kamarnya. Semua barang-barang penting dan berharganya baru saja dirampas.
Napasnya jadi patah-patah. Di tengah jalanan yang mulai gelap Rio merasa sangat putus asa. Semua uangnya—yang dikirimkan mamanya dan yang dia terima dari lab—yang seharusnya digunakan selama sebulan raib begitu saja. Bahkan untuk mengabari Mamanya juga sudah tidak bisa.
Dalam kepanikan, seberkas cahaya mendekatinya. Begitu cepat. Tubuh Rio seketika terhempas sejauh beberapa meter hingga punggungnya menggesek aspal.
Hingga tidak lama cahaya itu perlahan menghilang, melewati Rio. Lalu, jalanan kembali gelap setelahnya.
Begitu pun pandangan Rio.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro