95 - Eternal Wish (END)
Zara Naulia
Baru kemarin rasanya aku dibuat ketakutan bukan main. Baru kemarin aku berpikir untuk tidak menikah dengan siapa pun. Baru kemarin pula rasanya aku memutuskan untuk tidak menikah saja, mengingat di bayanganku kehidupan rumah tangga selalu mengerikan. Semua pria yang mendekat—sebelum El—selalu mengeluarkan aura yang menyeramkan, seolah-olah akan menelanku bagai kabut yang mencekam.
Jantungku berdebar kencang ketika di bawah sana orang-orang bersorak, diiringi tepuk tangan. Saat itulah Nanda memasuki kamar yang dipakai untuk aku dirias, sekaligus menunggu proses akad nikah selesai dan aku bisa menemui El–maksudku, suamiku. Perutku tergelitik oleh ribuan kupu-kupu saat menyebutnya begitu.
"Kak Zara, udah siap, 'kan?"
Karena ditanya seperti itu laju jantungku jadi berkali-kali lipat lebih cepat. Suaranya bahkan terdengar oleh telingaku. Pernahkah aku semendebarkan ini? Tidak. Ini adalah momen di mana aku menghadapi ketakutan terbesarku. Sama sekali tidak pernah terbayangkan akan terjadi secepat ini.
"Kak? Kok, malah bengong?"
Aku menatap Nanda dengan wajah memelas. Saat itu pula Vita mendekat dan meraih tangan kananku. Aku memang tidak sendirian di sini. Ada Vita, Rosetta, dan Dian, sebagaimana kujadikan mereka sebagai orang-orang yang berperan penting di pernikahanku; sebagai bridesmaid. Mereka semua sangat cantik dengan pakaian berwarna merah muda. Sementara di ambang pintu, Nanda mengenakan gaun berwarna hijau. Untuk busana keluarga, aku memilih warna hijau, dan merah muda sendiri El yang memilih. Katanya dua warna itu akan berpadu dengan sangat cantik.
"Anak ini perlu diseret," celetuk Vita seraya menarik-narik tanganku.
"Pelan-pelan, Vit, nanti kebayanya robek." Dian menegur, wanita yang satu itu jauh lebih berperasaan dari Vita yang barbar.
"Aku malu." Akhirnya aku bicara, masih dengan muka memelas yang tadi sembari menahan tanganku yang ditarik-tarik.
"Ih, Kak Zara harusnya bahagia, dong. Lagian di luar masih dihadiri keluarga kita sama Kak Rafael. Belum ada tamu yang lain, kok." Aku tahu Nanda berusaha menenangkanku, tapi aku tidak yakin kalau itu berhasil. Buktinya dentuman jantungku masih terdengar sangat keras.
"Yep. You're supposed to be happy, Zara. El really loves you—I can see that. Of course I knew what really happened between you two yesterday, but now I see the way he looked at you. He adored you that much."
Aku tersenyum, itu adalah kata-kata yang cukup manis untuk didengar dari Vita. Ia membuatku malu, di balik riasan ini mungkin pipiku memerah.
"Baiklah, tolong pelan-pelan jalannya, ya," pintaku.
Meski dengan riasan sederhana dan aksesoris yang tidak terlalu meriah di kepala; hanya mahkota dan beberapa jepit kecil, tetap saja aku merasa agak pusing. Mungkin efek gugup. Perutku mual, tetapi gejolaknya menjalar sampai ke kepala. Mungkin memang seperti ini rasanya menghadapi sesuatu yang ditakuti. Kuharap reaksiku tidak berlebihan menghadapinya.
"Senyum, dong, Kak. Udah cantik gini, lho, riasannya." Nanda berceletuk setibanya ia di sebelah kiriku.
Sekarang aku digandeng Vita dan Nanda. Kami keluar dari kamar dan seluruh mata tertuju padaku. Bagian paling lucu adalah adik-adikku, bahkan Daffa juga, melambaikan tangan dan berteriak memanggil namaku. Suasana yang haru jadi sedikit lebih meriah karena reaksi mereka. Namun, mereka juga tidak berhasil membuatku tenang. Bibirku bahkan sampai bergetar saat dipaksa untuk tersenyum.
El berdiri ketika aku dituntun berjalan menghampirinya. Ia tampak sangat bahagia sampai-sampai mataku mulai berkaca-kaca. Kukerjapkan mataku dengan cepat agar tidak membasahi riasan yang menghabiskan waktu sangat lama ini.
Apa aku bahagia? Di lubuk hatiku, sangat. Ia memberi hidupku warna, menyadarkanku dengan banyak hal, sampai memberi kekuatan padaku agar lebih berani menghadapi ketakutanku—walau aku tidak sepenuhnya tenang saat ini, tetapi Dian bilang kalau semua wanita akan berdebar di hari pernikahannya.
Sekarang aku sudah berdiri di sebelah El, disaksikan oleh banyak orang. Aku meraih tangan El dan mencium punggung tangannya. Dian berkata aku perlu melakukannya, jadi kulakukan–secuil tips dari yang sudah menikah.
"Kamu sangat cantik, Ra, seperti biasa." El mengatakannya dengan sangat lembut, disertai dengan senyuman yang manis. Entah sejak kapan, aku mulai menyukai lesung pipitnya saat tersenyum.
Ia meraih wajahku, menangkupnya sebelum ditundukkan agar bibirnya dapat mendarat di dahiku. El melakukannya cukup lama, semua orang di sini dapat melihatnya dan aku benar-benar sangat malu. Bagaimana orang-orang bisa mengatasi rasa malunya di saat-saat seperti ini?
"Relax, Ra. Aku ada di sini," ujar El sebelum menarikku dalam pelukannya.
Aku melingkarkan tanganku di punggungnya dengan cukup erat. Tidak ada lagi keraguan seperti yang kurasakan dulu setiap kali melakukan kontak fisik dengannya. Ini terlalu nyaman, aku sampai enggan melepaskan diri meski sudah saatnya kami beralih ke agenda acara yang lain.
Terima kasih, El. Terima kasih sudah memberiku kesempatan untuk mencicipi momen mengharukan ini. Kuharap, kamu memang orang yang tepat, yang akan selalu membersamai dan kubersamai, selamanya.
***
Aku kembali ke kamar yang kutempati tadi pagi lagi untuk berganti pakaian. Acara resepsi juga dilakukan hari ini, yang mana mengharuskan kami berdua untuk duduk di panggung pelaminan. Kebaya putih berganti menjadi gaun yang berwarna putih pula. Kain satin mendominasi. Tak ada yang berubah dari riasan wajahku, hanya diperbaiki di beberapa sudut wajah.
Si penata rias baru saja keluar kamar ketika Ayah dan Ibu memasuki kamar nyaris bersamaan. Aku berusaha menyembunyikan gugup dan memamerkan senyum terbaikku. Namun, nyaris gagal setelah menyadari kalau mata mereka berkaca-kaca.
"Anak Ibu cantik banget." Ibu menghampiriku lebih dulu dan duduk di sebelah kanan, sementara Ayah masih menutup pintu. Aku belum menanggalkan senyumku sedikit pun.
"Ibu sama Ayah baik-baik aja?" Aku tidak bisa menahan pertanyaan itu agar tidak lolos dari bibirku ketika menemukan wajah mereka juga agak memerah karena menahan tangis. "Kalian nggak abis bertengkar lagi, 'kan?"
"Kami terharu, Nak." Ayah memulai. Ia menyeka air mata yang lolos dari mata kanannya dengan ibu jari.
"Zara udah sedewasa ini, udah dipinang sama laki-laki yang baik. Memangnya apa yang lebih membahagiakan bagi setiap orangtua selain kepastian bahwa anaknya berada di tangan yang tepat?" ujar Ibu seraya menangkup tangan kananku yang terasa dingin dengan kedua tangannya.
"Ibu yakin kalau El orang yang tepat buat Zara?"
Aku bukan sedang meragukan El, tetapi lebih ke tidak menyangka kalau Ibu akan merasa demikian. Naluri Ibu adalah yang terkuat dari perasaan apa pun di dunia. Karena itu orang bilang kalau restu orangtua adalah nomor satu. Takkan ada yang berhasil tanpa dukungan dan restunya. Aku ingat selalu mengabari Ibu kalau ada sesuatu yang mau kulakukan untuk pertama kali. Melamar pekerjaan dan kenaikan jabatan misalnya. Namun, tidak sesepele itu, suasana ini jauh lebih mengharukan daripada menjadi mahasiswa dengan IPK tertinggi.
"Ibu sama Ayah memantau kalian sejak awal El diperkenalkan. Kami nggak membiarkan Zara didekati sembarang pria. Apalagi ini yang pertama kali. Sebagai laki-laki, Ayah mengerti arti tatapan yang selalu El tunjukkan ke Zara. Tekad untuk membahagiakan Zara berkobar di matanya. Itu adalah cara memandang seorang pria yang penuh perasaan." Ayah menjatuhkan telapak tangannya di bahu kiriku, dan mengusapnya dengan lembut.
"Maaf, Ayah sudah menjadi ayah yang buruk buat Zara selama ini. Ayah kurang memperhatikan Zara, dan rasanya nggak pantas kalau Ayah melarang Zara menikahi pria yang Zara inginkan. Tapi Ayah juga bersyukur, karena Zara bertemu dengan pria yang baik."
"Ayah sama Ibu bikin Zara mau nangis," ujarku dan mendongak untuk menggagalkan air mata yang nyaris terjatuh. Nanda akan mengamuk kalau riasan ini sampai rusak.
"Zara jangan nangis. Ini hari yang spesial, 'kan?"
Aku tersenyum miris. Hari yang spesial, tetapi mereka mendatangiku dengan air mata. Bagaimana bisa aku terus-terusan terlihat bahagia kalau seperti itu?
"Ya sudah, ayo keluar. Nanti El ngamuk pasangannya ditahan lama-lama di sini."
Singkat, tetapi mengharukan. Lagi pula, seminggu ke belakang, mereka sudah banyak memberi wejangan untukku dan El. Ayah adalah yang paling banyak bicara sekaligus membagi pengalamannya.
"Masalah dalam rumah tangga itu nggak akan ada habisnya, tapi seandainya pernah terpikir untuk berpisah, coba diingat-ingat kembali apa tujuan kalian menikah? Sudah berapa lama kalian bersama? Apa satu masalah saja mampu memutus ikatan kalian? Satu lagi, ingatlah selalu anak-anak kalian. Mereka mungkin tak mengerti apa-apa, tapi setelah beranjak dewasa, akan ada banyak hal yang berimbas kepada mereka. Perceraian bukan satu-satunya penyelesaian. Ingat itu, ya?"
***
Ini deja vu. Salah satu rangkaian acara dari resepsi kami adalah melemparkan buket. Aku belum pernah melakukannya, tetapi ini mengingatkanku pada awal kedekatan kami; aku dan El. Bukan maksudku tiba-tiba berubah pikiran dan memercayai kalau mendapat lemparan buket di hari pernikahan seseorang adalah pertanda kita akan menikah selanjutnya. Aku lebih memercayai ini, ketika mitos itu disebarkan dan banyak orang-orang mendengarnya, mereka akan tanpa sadar mendoakan bahwa orang itu akan segera menikah. Mereka pikir mereka percaya, tetapi sebenarnya itu bertransformasi menjadi doa yang diyakini dan diamini mereka dalam hati meski tanpa sadar. Takada keajaiban pada buket pernikahan, yang ada hanyalah kekuatan doa.
Secara tidak langsung, mereka berperan penting atas bersatunya kami. Mereka mendoakan kami akan segera menikah, hingga semesta mengabulkan. Jodoh memang penuh misteri, tetapi mungkin kita perlu menyadari tanda-tandanya sesekali.
"Kita beneran lempar ini?" tanyaku, memastikan lagi dengan El. Kami sudah memegang buket dan berdiri membelakangi tamu yang hanya tersisa teman-teman kami.
"Ayo kita jodohkan tamu yang lain," sahutnya dengan nada riang. Ah, Rafael tampaknya benar-benar sangat bahagia hari ini. Aku tidak tahan untuk tidak tersenyum pada senyumnya yang lebar.
"Kamu yakin yang menerima nanti bukan orang yang sudah menikah?"
El memutar kepalanya sebentar dan menyapu para tamu dengan matanya. "Aku punya target," ujarnya dan tersenyum penuh misteri. Dengan ekspresi seperti itu, siapa yang tidak akan penasaran?
"Siapa?"
Namun, El belum sempat menjawabku, tetapi para tamu undangan sudah berteriak heboh. Terlebih lagi ketika MC acara kami sudah meneriakkan aba-aba. Hingga mau tidak mau, kami sudah harus melemparkannya.
Kami kompak berbalik dan aku terkejut bukan main saat tahu siapa yang menerimanya. Persis seperti kami dulu, buket itu jatuh ke tangan dua orang.
"Tepat sasaran," ujar El dan tersenyum bangga.
"Daria dan Dimas?" Membayangkan kalau mereka bersama rasanya agak sulit. Apalagi aku tahu seberapa besar cinta Daria kepada El. Mungkinkah secepat itu ia berpaling? Walau nyatanya, Dimas berhasil membuat Daris berubah pikiran dan tidak jadi pindah.
"Yap. Daria mantanku, dan Dimas adalah orang yang suka mengejarmu dulu. Mereka cocok, 'kan?"
"Cocok dari mana?"
Aku memperhatikan pasangan yang mendadak tampak canggung itu dengan intens. Aku tidak ingin tahu apa yang membuat mereka terlihat cocok, tetapi pakaian mereka memang serasi, seperti sudah direncanakan.
"Cocok karena mereka sama-sama pengganggu," gurau El. Aku lantas meninju lengannya sebelum tenggelam dalam pelukan.
Ia tanpa tahu malu mengecup dahiku, pipi, hingga berakhir ke bibirku. Sorakan orang-orang semakin menggema. Ini keterlaluan. Begitu ciumannya berakhir, aku hanya bisa menyembunyikan wajah di dadanya. Rasanya tidak mungkin aku memamerkan wajah yang sudah sangat merah ini ke orang-orang.
"Hei, Ra, atau bolehkah kupanggil sayang?"
"Itu menggelikan," sahutku dengan suara yang teredam oleh dadanya.
"Hm hm. Awalnya memang menggelikan, tapi siap-siap mendengarnya terus sampai kamu terbiasa dan ketagihan."
Satu lagi pukulan kudaratkan di dadanya. El yang menjadi suamiku takada bedanya dengan El yang baru kukenal. Ia masih suka menggodaku dan mungkin hari-hariku selanjutnya akan dipenuhi dengan gombalan-gombalan. Ya ... siap-siap saja.
"I love you, Ra."
Aku tersenyum sebelum membalas, "I love you, too, El."
Dengan begitu, tangan kami pun saling tertaut, sebagai awal dari skenario semesta yang menuntut kami untuk saling terikat pada satu sama lain. Sekaligus sebagai bentuk pengharapan bahwa tautan ini takkan pernah terlepas.
The end
Banjarmasin, 23 Juli 2021
.
.
.
*lap ingus pakai tisu*
Akhirnya tamat. Ini menjadikan Intertwined sebagai naskah pertamaku yang tamat di platform Wattpad dan di akunku sendiri. Berat rasanya berpisah dengan 1 anakku ini /hiks.
Sekali lagi, dan aku nggak pernah bosan buat bilang terima kasih kepada teman-teman yang udah berkenan membaca dan mengikuti cerita ini dari awal sampai tamat. Penulis ini nggak akan ada apa-apanya tanpa pembaca. Kuharap kita bisa saling sapa lagi di tempat lain. Atau mungkin ada yang mau berbagi kesan dan pesannya selama membaca? Kupikir bisa jadi catatan untuk memperbaiki tulisanku ke depannya. Hehe.
Setelah ini apa lagi? Aku akan mengedit total naskah ini. Mungkin ada banyak scene mubazir dan kehadiran tokoh yang nggak penting-penting banget. Tentunya itu harus dihilangkan. Entah aku mulai dari kapan nanti.
Sekali lagi, terima kasih banyak atas dukungannya selama setahun setengah ini (aku ingat awal publish cerita ini aa tahun 2020 hehe). Jika kalian menyukai tulisanku, atau mau bertegur sapa lagi, mungkin kalian bisa coba baca cerita yang lain, kali aja ada yang kecantol di hati. Eh?
Sampai jumpa lagi~
🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro