94 - Side View
Daria Anastasia
Kutatap undangan yang tergeletak di lantai. Aku baru saja menjatuhkannya dengan tidak sengaja. Sebelumnya undangan dengan amplop tebal itu ada di tanganku, hingga kemudian kulemparkan penuh emosi ke sembarang arah. Awalnya membentur dinding, lalu mendarat di atas tumpukan baju dan akhirnya meluncur ke lantai. Aku bahkan tidak repot-repot membukanya. Nama yang tertera di sana membuatku hancur, sehancur-hancurnya.
You're invited to the wedding of
Zara Naulia
&
Rafael Lazuardi
Aku berharap tidak akan pernah melihat benda itu; tidak pernah membaca nama mereka di satu cetakan kertas yang sama. Pokoknya, apa pun yang berkaitan dengan hubungan mereka berdua. Tidakkah mereka mengerti perasaanku? Tidakkah mereka tahu rasanya terluka? Tidakkah mereka-tentu saja mereka tidak tahu. Semua ini, hanya aku yang merasakannya.
El. Rafael. Lazuardi. Mimpiku tentang menyematkan nama belakangnya di namaku pupus sudah. Takada Daria Anastasia Lazuardi, tetapi Zara Naulia Lazuardi. Sekarang aku sadar, melepasnya adalah penyesalan terbesar di hidupku. Aku terlalu bodoh, terlalu gegabah, terlalu mudah percaya dengan tawaran orang lain. Sayangnya, aku datang terlambat. Ketika kupikir sisa-sisa dari hubungan kami masih bisa terselamatkan, ternyata El sudah bersama dengan wanita lain. Semesta punya banyak cara untuk bermain-main. Wanita itu bahkan seseorang yang ditugaskan untuk menjadi mentorku.
Zara. Wanita itu memang punya sesuatu yang membuat orang-orang menyukainya meski ia cenderung pasif. Aku yang terlalu percaya diri ini nekat menantangnya untuk bersaing mendapatkan El meski tidak secara langsung. Akhirnya aku kalah. Aku kehilangan El untuk yang kedua kalinya.
Air mataku mengalir tanpa sadar. Cintaku kepada El terlalu besar. Aku tidak tahu bagaimana caranya bertahan tanpa ia di sisiku. El adalah rumah, keluarga yang hilang, teman hidup, obat kesepianku. Ia tempat bergantung terbaik. Aku rela melukai diriku sendiri demi mendapat perhatiannya-apalagi hanya itu satu-satunya cara untuk menggapainya.
Lagi-lagi aku harus menyalahkan diriku sendiri atas berpisahnya kami.
"Daria, mungkin Tante kemarin meminta El untuk mengawasimu dan membantu jika kesusahan, tapi sekarang El akan menikah. Tante harap kamu mengerti, karena tidak pantas kalau kamu meminta pada pria yang sudah menikah."
"Tapi, Tante, El bisa membantuku sebagai saudara. Aku masih sangat membutuhkannya."
"Ya. Tante mengerti. Tapi situasinya sudah tidak sama. El punya prioritas yang lebih penting. Tante nggak mau sesuatu yang buruk terjadi pada mereka. El akan sangat sedih jika berpisah dengan Zara. Dan karena keegoisan kamu, pernikahan mereka nyaris gagal. Tante ngasih kamu kemudahan, bukan kesempatan. Harusnya kamu juga sadar, masih banyak laki-laki di dunia ini yang akan tulus mencintai Daria."
Benarkah aku egois? Apa mengambil kembali hakku adalah sebuah keegoisan?
Sayangnya, aku tidak bisa untuk tidak menuruti Tante Rena. Beliau sudah seperti sosok ibu yang harus kuhormati keputusannya. Aku tidak pernah tahu seindah apa kasih sayang orangtua, tetapi Tante Rena memberikannya kepadaku. Keluarganya juga menerimaku dengan sangat baik. Bayangkan saja, kalau aku tidak termakan rayuan Dion waktu itu, mungkin aku dan El sudah menikah. Adakah yang lebih membahagiakan dari itu?
Sekarang keputusanku sudah bulat. Aku akan mengurus surat resign dan kembali ke kota asalku. Dengan begitu, aku tidak perlu lagi dibayang-bayangi oleh sosok El, atau penyesalan seumur hidup yang sampai sekarang akan terus membelenggu.
Kupandangi setumpuk baju dan koper di seberangku. Saat ini aku sedang duduk di pinggiran kasur. Awalnya ingin berkemas, hanya untuk siap-siap sebelum pergi, tetapi Tante Rena datang bersama El. Aku berharap mereka membawa kabar baik. Namun, kabar baik mereka adalah mimpi buruk untukku.
"Datang, ya."
Aku tidak bisa menolak dan dengan kaku tersenyum sebelum mengangguk menerima undangan tersebut. El mungkin adalah kelemahanku, tetapi Tante Rena adalah segalanya. Ia merupakan sosok ibu yang didambakan setiap anak, walau dulu El tidak merasa demikian.
Ponsel di sampingku bergetar. Layarnya menyala dan menampilkan secuplik pesan dari Dimas. Pria itu, aku mengenalnya ketika beberapa kali ke ruangan untuk mencari Zara yang sedang cuti. Sementara aku adalah orang pertama yang muncul di hadapannya ketika itu terjadi. Akhirnya, kami berkenalan dan beberapa kali membuat janji bertemu atau makan siang bersama.
Dimas - Apa beneran mau resign?
Dimas - Nggak bisa bertahan aja?
Dimas - Aku tahu kabar pernikahan mereka terlalu mengejutkan, aku juga merasakannya. Tapi apa pertemanan kita nggak berarti apa-apa buat kamu?
Pertemanan singkat dan sedikit menceritakan tentang masa lalu. Aku juga tahu kalau dia pernah mengejar-ngejar Zara, bahkan beberapa kali ditolaknya. Nasib Dimas sama buruknya denganku.
Satu pesan lagi masuk darinya.
Dimas - Ke kafe, yuk? Kita ngobrolin soal ini. Siapa tahu bisa bikin kamu tenang.
***
Sudah sepuluh menit di kafe, tetapi kami hanya diam, sibuk mengaduk minuman kami masing-masing. Aku bahkan tidak tahu kenapa langsung setuju pada ajakannya. Mungkin aku memang sedang perlu ditemani, tetapi apa harus seperti ini?
Aku membuka mulut. Kemudian menutup. Sudah dua kali kulakukan dan akhirnya tidak ada yang kukatakan. Lagi-lagi memperdengarkan suara pusaran teh dan beberapa kali dentingan suara sendok bertemu badan gelas. Aku berharap Dimas mulai mengatakan sesuatu sebelum aku berubah pikiran tentang berada di sini.
"Daria." Dimas memanggil. Akhirnya.
"Iya?"
"Kamu bisa ngomong apa aja."
Aku menunduk, memandangi lubang yang terbentuk dari teh yang diaduk, berharap aku tersedot ke dalam sana dan lenyap dari dunia ini.
"Apa, ya?" Tanganku masih memainkan sendok kecil, memutarnya sampai tehku tidak lagi beruap. Aku bahkan tidak tahu kenapa menyetujui ajakannya untuk datang ke sini.
"Kalau kamu nggak mau, biar aku yang bicara." Dimas berdeham dan merapikan kerah kaosnya. Gerak-geriknya seperti orang gugup, itu mengingatkanku pada saat El mengutarakan perasaannya padaku.
"Aku tahu. Nggak mungkin kamu ngajak aku keluar tanpa tujuan. Jadi, mau ngomong apa? Udah kutunggu." Aku tersenyum menguatkan. Ya ... sekadar formalitas mengingat aku tidak bisa tampak sedih terus di depannya. "Pasti sesuatu yang penting."
"Aku memikirkan ini sejak kamu bilang mau resign." Dimas mulai memilin jari jemarinya di atas meja. "Bisakah tetap bertahan di sini? Dan anggap saja di antara kita ... ada sesuatu. Aku tahu apa yang kamu rasakan, karena aku juga merasakannya. Kita ... dua orang yang sama."
Senyumku luntur. Meski tidak secara langsung, tetapi maksud Dimas adalah tentang perasaan, bukan? Ia secara tidak langsung menganggap bahwa di antara kami ada sesuatu. Padahal sejak awal aku tidak mengharapkan hal seperti ini akan terjadi. Aku sudah terlalu yakin kalau akhirnya El akan berpisah dengan Zara, lalu kami kembali bersama.
"Aku nggak tahu, Dim. Yang kupikirkan cuma gimana caranya terbebas dari perasaan yang membelenggu ini."
Dimas mengangguk-angguk. Kupikir ia tidak akan bicara lagi ketika menyesap kopi hitamnya.
"Aku patah hati, kamu juga patah hati. Orang-orang yang kita cintai akan menikah. Kita dua orang yang sama-sama ditinggal oleh pujaan hati kita. Apa lagi yang diperlukan agar kita bisa bersama? Bukan. Maksudnya bukan bersama yang kayak gitu, tapi mungkin kita bisa saling mengobati satu sama lain? Mudah bagi dua orang untuk dekat kalau mereka saling mengerti satu sama lain."
"Maksudmu sebagai pengalihan untuk satu sama lain?"
Dimas menggeleng cepat dan melambaikan tangan. "Bukan begitu maksudnya, Dar."
Mungkin dugaanku benar kalau Dimas mulai menyukaiku, karena gelagatnya seperti orang salah tingkah sekarang. Sekarang aku tidak tahu bagaimana menyikapinya. Jika kurespons dengan baik, aku khawatir akan memberinya harapan, tetapi menolak juga akan melukainya. Ini jadi serba salah. Aku menyesal sudah datang ke sini.
"Mungkin kita bisa ngelupain mereka dan saling jadi support system untuk menemukan cinta yang baru. Masalah yang sama membuat kita saling mengerti, jadi nggak akan canggung lagi kalau mau cerita."
Rupanya aku salah menduga. Aku menyesap tehku sedikit, sengaja tampak sibuk agar menjadi alasan untuk tidak lekas-lekas meresponsnya. Apalagi aku tidak tahu harus berkata apa.
"Daria? Pertimbangkan ini biar kamu nggak resign. Sulit mencari pekerjaan di masa-masa sekarang. Dan ... kamu bilang udah nggak punya siapa-siapa, emangnya kamu mau tinggal sama siapa?"
Dimas lagi-lagi mengatakan sesuatu yang benar. Apa aku akan kembali ke rumah paman dan bibiku? Apa aku siap kembali dicecar mereka karena takkunjung menikah? Itulah alasan kenapa aku sampai menerima Dion dan meninggalkan El. Bodohnya aku.
"Entahlah, Dim. Dia sulit dilupakan, dan setiap hari ketemu Zara bikin aku semakin tertelan oleh rasa bersalah. Kamu tahu, gara-gara siapa dia sampai dekat sama Zara? Aku. Aku yang ninggalin dia, padahal perasaannya tulus."
Dimas mengerutkan dahinya padaku, seperti tidak bisa menerima ucapanku sepenuhnya.
"Orang bisa berubah. Sikap dan perasaannya juga. Kalau menurutmu dia udah nggak ada rasa apa-apa ke kamu, ya ... bukan berarti sepenuhnya salahmu, Dar. Bahkan yang udah bersama aja bisa berpisah," tutur Dimas, gurat-gurat wajahnya menuntutku agar mau mengerti. Namun, yang kutangkap justru sesuatu yang lain.
"Maksudmu ... ada kemungkinan mereka akan berpisah?"
Dalam hati aku mulai berdoa itu akan terjadi. Yang berarti akan selalu ada kesempatan untukku.
"Apa kamu mau itu terjadi? Sejahat itukah?"
Entah kenapa pertanyaan Dimas menamparku sangat keras. Tidak. Bukan karena pertanyaannya, tetapi tatapan yang dilayangkannya kepadaku, seperti tidak percaya bercampur jijik. Dimas seakan-akan memberitahuku kalau pemikiran itu sangat tidak benar. Tidak pernah kurasakan sesuatu yang seaneh ini sebelumnya.
"Apa tidak boleh? Aku cuma memanfaatkan peluang yang ada."
"Tapi kata-katamu terkesan seperti mengharapkan mereka berakhir. Aku nggak nyangka aja kamu bisa terpikirkan sesuatu seburuk itu. Mereka akan menikah, dan perceraian adalah mimpi buruk setiap pasangan. Anak-anak mereka akan jadi korban."
Aku mengangguk ringan. "Hanya jika mereka berpisah setelah memiliki anak."
"Daria?" Dimas memamerkan dahinya yang berkerut.
"Apa?"
"Bukan apa-apa. Mungkin kamu sedang nggak bisa berpikir jernih."
***
Betul kata Dimas waktu itu. Aku hanya sedang tidak bisa berpikir jernih. Saat itu aku kalut. Sedih, kecewa, dan marah, beradu di dalam diriku hingga menghasilkan aura yang negatif. Aku tidak bisa membedakan mana keegoisan dan keinginan. Menginginkan sesuatu dengan perasaan yang sebegitu besarnya membuatku menjadi seorang yang egois. Yang kupikirkan hanya diriku dan satu keinginan itu. Padahal masih banyak hal-hal baik lainnya yang kuabaikan.
Aku menyadari semuanya. Seminggu penuh dipakai untuk merenungkan banyak hal hingga kuurungkan untuk resign. Ternyata aku memang harus menerima semua ini; merelakan kepergian El dan terus bertahan bertemu Zara-lagi pula, tak ada alasan untuk membencinya. Wanita itu bukan merebut priaku, tetapi menerima cinta yang memang dirasakan hanya untuknya. El dengan tulus mencintainya, tak ada lagi yang tersisa untukku.
Hari ini adalah puncaknya, aku akan melihat senyum bahagia mereka. Mereka akan menjadi pasangan resmi, yang akan menjalani hidup bersama. Kuharap mereka akan dikaruniai banyak anak agar rumah mereka ramai. Jujur saja, aku masih tidak terbiasa mendoakan yang baik-baik untuk mereka berdua.
Aku mendapat pesan dari Dimas yang memberi tahuku bahwa ia sudah di depan rumahku-rumah kontrakan lebih tepatnya. Mengingat aku akan lama tinggal di kota ini setelah dinyatakan lulus sebagai karyawan tetap, aku memutuskan untuk mencari rumah kontrakan. Dimas-lah yang menawarkan rumah ini kepadaku. Jaraknya pun tidak jauh dari rumahnya.
"Kamu cantik." Dimas membuka obrolan dengan memujiku. Di atas motornya, dia mengenakan sasirangan berwarna biru malam berlengan panjang. Entah disadarinya atau tidak, aku juga mengenakan gaun berwarna biru malam selutut dengan berlapis-lapis kain di bagian roknya.
"Jadi jangan ngebut di jalan biar riasanku nggak berantakan."
Dimas terkekeh. "Tenang aja, kita bakal tiba di resepsi mereka dengan selamat. Pakai ini," ujarnya sembari menyodorkan helm padaku.
Aku tersenyum tatkala menerima helm tersebut dan memasangnya. Aku tahu akan berangkat dengan motor bersama Dimas, jadi aku hanya membiarkan rambutku terurai dengan membuatnya ikal di bagian bawah.
"Ayo naik. Let's go to our heartbreak club!"
Aku yang sudah duduk menyamping di belakang Dimas lantas memukul bahunya sambil tertawa. Sekali lagi, aku tidak menyangka akan seperti ini; aku menghadiri undangan pernikahan El dan Zara bersama pria yang tak pernah terbayangkan olehku. Dimas sangat baik padaku akhir-akhir ini, padahal aku sempat membuatnya kecewa dengan niatku yang buruk. Namun, tiap tutur katanya senantiasa menyadarkanku akan banyak hal. Sakit hati itu, perlahan-lahan mulai terkikis.
"Ayo berangkat."
*
*
*
Hai 👋🏻
Aku melanggar janji lagi 👉🏻👈🏻
Rencananya mau dobel update sekalian menamatkan cerita ini, tapi aku merasa kayak ... kelamaan kalau nunggu aku nulis satu bab lagi 😭
Dan untuk bab ini, thanks to DesyAdilla9 karena sarannya buat nulisin dari sudut pandang Daria. Hehe. Thanks a bunch, bermanfaat banget.
So this is almost the time for saying goodbye 😭
One more chapter and this story is over. Aku nggak akan sampai di sini kalau bukan karena support dan keikhlasan kalian buat membaca 🤧
Kalau ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk berterima kasih ke kalian, mungkin bisa kalian drop di kolom komentar. Mungkin bisa kupertimbangkan hehe. Asal jangan disuruh bayar ya, uang aja masih dicari-cari wkwkwk *me kidding*
Okey. Sampai jumpa di part terakhir, ya, I love you~
💚💚💚
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro