92 - Worried about the Past
Zara Naulia
Aku memandang tiga digit angka di buku catatan kecilku. 100, jumlah undangan yang perlu dicetak. Itu lumayan banyak jika kupikir-pikir, tetapi El pasti akan bilang kalau itu sedikit. Aku tidak banyak mengenal orang-orang. Lagi pula, untuk kenalan jauh, undangan bisa dikirimkan via media sosial. Sudah satu jam aku menghitung perkiraan jumlah yang akan kuundang. Sampai menghabiskan beberapa lembar kertas HVS untuk membuat daftar. Padahal hanya ditulis ulang untuk memastikan siapa saja yang akan kuundang.
"Ra, udah istirahat." Abel menyenggol tanganku hingga aku mencoret catatanku sendiri.
"Ke kantin?" tanyaku sembari membereskan kertas-kertas di mejaku. Aku mendahuluinya hari ini, mengingat selama ini selalu Abel yang lebih dulu mengajakku ke kantin.
"Nggak. Hari ini mau makan siang sama suami. Kamu boleh ikut kalau mau."
Aku mengernyit pada tawaran itu. Sudah bisa kubayangkan akan secanggung apa kalau aku ikut mereka. Aku tidak akan bisa mengobrol banyak dengan Abel, bukan karena bersama adalah suami Abel, tetapi sebagai seorang pria asing. Aku pasti akan buru-buru menghabiskan makanan dan kembali ke kantor lebih dulu. Singkatnya, itu bukan ide yang bagus.
"Nggak. Terima kasih." Aku menjepit penaku di antara buku catatan kecilku bersama kertas-kertas HVS tadi yang sudah kulipat kecil, hanya agar tidak terlihat angkanya. Lalu keluar ruanganku setelah meraih dompet dan ponsel.
Rupanya aku datang terlalu awal, karena kantin masih sepi. Sebenarnya El mengajakku untuk makan siang, tetapi mengingat kejadian kemarin, aku beralasan sedang sibuk. Malunya masih terasa sampai sekarang.
Semangkuk mi kuah dengan porsi sayur lebih banyak dari mi tersaji di atas meja bersama segelas teh hangat dan sebotol air mineral. Kepulan asap dari kuahnya membaui penciuman. Langit sedang mendung di luar sana, hingga aku tidak sabar ingin menyantapnya.
Saat itulah Daria datang, bersama seporsi bubur dan segelas air hangat—aku tahu dari kepulan asap dari gelas tersebut—lalu duduk di seberangku. Aku belum menyuap makananku dan hanya memperhatikan Daria. Sampai akhirnya ia lebih dulu berkata, "Kulihat kamu sendirian, jadi aku duduk di sini. Kenapa nggak bareng El?"
Aku perlu berpikir beberapa saat untuk mempertimbangkan apakah aku harus menjawab pertanyaannya atau tidak. Dan sapaan dari seseorang menyadarkanku bahwa ini masih di kantor. Aku perlu bersikap biasa saja meski yang ditanyakannya di luar dari urusan kerja.
"Nggak apa-apa. Hanya ingin."
Daria mengangguk-angguk, seperti memang perlu tahu tentang itu dan setelah mendapat jawabannya, ia merasa tenang.
"Aku berpikir untuk resign."
Sendokku menggantung di depan mulut karena terkejut. Keputusan itu mungkin sama sekali bukan urusanku, tetapi sebagai seseorang yang pernah mementorinya, itu adalah tindakan yang merugikan. Daria seorang pegawai yang lumayan gigih—aku sedang berusaha mengesampingkan masalah kami dan sedikit memberi evaluasi untuknya. Agak disayangkan kalau kami harus kehilangannya, apalagi ia baru saja mendapat kontrak untuk setahun ke depan.
"Apa yang harus kulakukan?" Ia bicara lagi.
Aku meletakkan sendok ke mangkukku dan menatapnya sedikit lebih serius.
"Kenapa?" Hanya itu yang kukatakan.
Daria memaksa senyum. Dari situ aku tahu, mungkin ia tidak benar-benar ingin melepaskan pekerjaan ini. Entah apa alasannya, aku mendadak ingin tahu. Aku penasaran sebagai atasannya, bukan yang lain—karena ia berada di divisiku, tentu saja jabatanku sebagai submanajer lebih tinggi darinya.
"Kamu lupa apa yang terjadi di antara kita?"
"Hanya karena itu kamu sampai mengorbankan karier?" balasku tidak percaya. "Kamu segitu bencinya sama aku, ya?"
Daria tertawa pelan; sesuatu yang refleks membuatku mengernyit. Di zaman sekarang susah mencari pekerjaan. Keputusannya yang mungkin tanpa pikir panjang itu bisa membuat pengangguran di luar sana ingin menyumpahinya yang tidak bersyukur.
"Ini bukan tentang kamu, Zara. Tapi tentang melepaskan dan merelakan. Mungkin aku nggak akan berhenti mengejar El kalau dia masih ada di sekitarku."
"Memangnya sudah sejauh apa hubungan kalian?"
Aku berdebar, menantikan jawaban Daria. Atau mungkin seharusnya aku tidak bertanya. Sebab Daria sama sekali tidak bicara lagi, hanya diam menikmati nasi uduk yang dibelinya.
***
Sore ini gerimis. Padahal aku dan El berencana untuk pergi ke vendor untuk membahas cetak undangan. El sudah ditelepon mereka untuk segera mengurus pencetakan undangan. Karena itulah aku menghabiskan waktu senggangku dengan menghitung siapa saja yang akan diundang untuk datang.
Aku menunggu di teras kantor karena di pos satpam sudah banyak orang yang berteduh. Awalnya aku sendirian di sini, bersandar di sebuah tiang berbentuk tabung, tetapi kemudian Daria datang dan berdiri di sebelahku. Ia jadi lebih sering mendekatiku akhir-akhir ini. Walau aku sudah mencoba untuk tidak menganggapnya sebagai ancaman, tetapi aku masih merasa tidak nyaman dengan aura yang ia pancarkan kepadaku.
"Nungguin El?" Bahkan Daria menyapaku lebih dulu untuk hal-hal yang sepele.
"Iya."
Aku hanya melihatnya sekilas, dan kembali memusatkan perhatianku pada sebuah mobil yang baru saja melewati gerbang depan. Pengemudinya El, menyadari itu aku mendadak merasa bersemangat. Maksudku, mungkin sejak tadi aku berharap agar bisa segera pulang.
"Dia udah sampai."
Aku menoleh karena Daria bicara sangat tenang. Ia tersenyum; senyum yang aku tidak tahu apa maknanya, dan itu ditujukan pada El yang sedang berjalan kemari berteduhkan payung hitam.
"Hey, sweetheart." Seperti biasa, El menyapa dengan suara yang lembut. "Ayo," ajaknya kemudian.
Aku tidak tahu apakah El tidak menyadari keberadaan Daria atau sengaja bersikap seolah-olah ia tidak ada di sini. Sebagai bentuk sopan santun, aku menatap wanita itu sekadar untuk memberi tahu kalau aku dan El akan pulang lebih dulu. Dan di saat itulah aku melihat Dimas menghampiri Daria dengan ekspresi yang jauh dari kata menyenangkan.
"Daria, Dimas, duluan, ya." Aku melambai ringan pada mereka sebelum El menggandengku pergi. Ia bahkan tidak repot-repot untuk menyapa mantan kekasihnya itu.
Aku berbalik sebentar untuk melihat mereka. Kedekatan mereka membuatku penasaran, sekaligus ingin membuktikan cerita Abel ketika ia melihat mereka bersama. Di tempat yang sama, keduanya mengobrol dan topik yang dibicarakan tampaknya lumayan serius.
"Kita langsung ke vendor?" El bertanya setelah kami sama-sama berada di dalam mobil. Tangannya bergerak lincah memutar kemudi ketika memutar mobil. Awalnya kupikir ia akan mempertanyakan kedekatan Daria dan Dimas, tetapi El tampaknya sangat tidak terganggu akan hal itu. Jujur, itu membuatku lega.
"Aku lapar. Pergi makan, yuk? Cetak undangannya konfirmasi via telepon aja."
Lapar hanya alasan, walau aku juga tidak berbohong karena sekarang merasa agak lapar. Aku ingin mengobrol dengan El, menanyakan tentang bagaimana ia berpisah dengan Daria dulu. Namun, aku tidak yakin El akan langsung memberitahuku jika aku langsung menanyakannya. Untuk alasan makan ini, aku yakin El tidak akan menolak.
"Oke. Mau makan di mana?"
"Tempat biasa aja."
***
Kami sudah tiba di rumah makan tempat kami biasa makan siang setengah jam yang lalu. Posisinya memang tidak jauh dari kantorku. El sudah menghubungi vendor dan menyebutkan jumlah undangan yang perlu dicetak. Porsiku dikurangi menjadi tujuh puluh saja karena El pikir keluarga kami tidak perlu diberi undangan, cukup lisan saja. Apalagi untuk keluarga atau kerabat yang rumahnya jauh-jauh.
El sempat tidak percaya dengan jumlah yang kusebutkan tadi. Baginya itu terlalu sedikit, tetapi aku sungguh tidak ingat pernah mengenal orang lebih banyak dari itu. Sedangkan El sendiri menghitung kenalannya hingga didapat sejumlah 350 orang. Aku penasaran apa semua orang itu memang dikenalnya atau hanya seseorang yang pernah ditemui. Lalu bagaimana ia membagikan undangan sebanyak itu hanya dalam waktu sebulan?
Sebulan. Ya. Sebulan lagi kami akan menikah. Tersadar akan waktu yang tersisa sedikit itu membuatku gugup sekaligus berdebar-debar. Separuh diriku berharap masih ada waktu lebih lama dari ini, sementara separuh lainnya sangat menantikan itu akan terjadi. Rasanya seperti sesuatu yang tidak biasa. Kemarin-kemarin aku menghindari pernikahan, sekarang aku justru akan menghadapinya.
Apa keputusan ini sudah benar? Rencana ini sudah yang terbaik? Yang pasti, aku tidak pernah merasa lebih yakin dari ini sebelumnya. El dengan masa lalunya, aku yakin bisa menerimanya, meski aku belum tahu pasti seperti apa ceritanya. Seharusnya aku sudah bertanya, tetapi aku justru berakhir diam dalam tundukan sembari menyantap makananku.
"Aku tahu kamu mau bicara, Ra." Suara El mengagetkanku ketika aku sedang meletakkan sendok dan garpu yang sudah selesai kupakai ke atas piring kosong.
Aku menghela napas. "Nggak adil. Kenapa kamu bisa membacaku semudah itu? Sementara aku nggak bisa menebak-nebak apa yang ada di pikiranmu."
Tanpa kuduga, El tertawa. Suaranya yang renyah menyadarkan betapa aku merindukan atmosfer yang santai dan tanpa ketegangan ini. Beberapa waktu belakangan sungguh memberiku tekanan sampai aku kesulitan berkonsentrasi dalam hal apa pun.
"Mungkin karena aku suka memperhatikan?" Tatapan El lurus ke mataku.
"Dan aku si cuek yang nggak peduli sekitar, begitu?"
"Nggak peka, lebih tepatnya. Tapi kamu emang gitu, Ra. Cowok-cowok mau deketin kamu aja takut, lho."
Mataku membola, tetapi hanya sebentar karena aku langsung memicing. "Itu pasti bercanda."
"Ini serius, Ra. Jadi apa yang mau kamu bicarain?"
Aku mendekat ke meja, tanganku terlipat di atasnya dan tubuhku agak condong. Aku benar-benar ragu membicarakan ini pada El, tetapi aku sadar tidak bisa terus-terusan menahan rasa penasaran ini.
"Nggak papa kalau kutanya?"
"Ya ampun, Ra ... kayak sama orang asing aja. Aku calon suamimu, lho."
"Itu ... kamu belum cerita tentang gimana kamu pisahan sama Daria dulu. Aku jadi penasaran karena dia mau resign."
Dahi El berkerut dalam-dalam. Sembari menunggu jawabannya, aku menggigit bibir; menekan pemikiran buruk kalau El tidak ingin membahasnya lagi.
"Serius dia mau resign? Gara-gara akukah?"
Karena menyembunyikannya tidak akan berarti apa-apa, jadi aku mengangguk pelan. "Dia bilang nggak sanggup kalau terus-terusan ada di sekitar kamu."
El bersandar pada kursi. Aku penasaran, tetapi aku juga tidak yakin siap mendengar ceritanya. Aku hanya tahu sebatas Daria meninggalkan El, tetapi aku tidak mengerti sekuat apa hubungan mereka. Sampai-sampai Daria nekat melakukan banyak hal untuk mendapatkan El kembali.
"Sebaiknya nggak bicara di sini. Ayo, pergi ke tempat lain."
***
Udah lama update, pendek, ending bab menggantung, nggak penting-penting banget lagi isinya. Hiks.
Sebelumnya, aku say sorry dulu, seminggu kemarin aku lagi penuh tekanan, emosi nggak stabil, susah fokus, dan hal-hal lainnya. Ditambah lagi, ini mau ending, nulisnya gugup banget. Serius. Padahal udah tau mau diakhiri kayak gimana, tapi kayak gak rela pisah sama mereka; Zara sama El.
Itu aja cuap-cuapnya. Maafkan kalau bab ini sangat kurang, tapi tenang aja, akan kubayar di bab depan ehehe. Kuusahakan update cepet deh. 🙈
Terima kasih dan—
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro