Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

86 - Made of Stone

Rafael Lazuardi

"Ini aku. Aku bukan Daria."

Hening tercipta selama beberapa saat setelah aku membaca nama kontak si penelepon. Sosok di seberang sana pun belum berencana untuk bicara. Entah itu menungguku, atau ia sudah kesal karena aku salah memanggilnya. Aku memasuki mobil tanpa mematikan sambungan telepon.

Napasku berembus keras setelah mengentakkan pantat di bangku kemudi, kemudian menaruh ponselku di dashboard mobil, tak lupa kuaktifkan speaker hingga memperdengarkan suara embusan napas orang di seberang. Ketika kunyalakan mobil, akhirnya orang itu bicara lebih dulu.

"El, kamu oke?"

"Oke, Kak."

Kak Tiara yang meneleponku. Terakhir kali menghubungiku ia hanya menanyakan tentang hubungan kami dan kabar Zara. Aku sudah memberinya nomor Zara agar bisa langsung meneleponnya, tetapi ia selalu menolak dan berujung bertanya padaku. Katanya, Zara terlalu tertutup untuk didekati. Apalagi Kak Tiara terlalu supel, ia sering kali tidak sabar menghadapi orang yang tertutup.

"Lagi di mana? Sama Zara, nggak?"

Aku menghela napas. Jika bersama Zara, mana mungkin aku akan menerima telepon dari seseorang yang awalnya kukira Daria.

"Di jalan pulang dan nggak sama Zara."

"Tadi kamu nyebut Daria kayak ngegas gitu. Ada masalah?"

Sulit untuk tidak terbuka pada Kak Tiara. Meski jarang mengobrol, tetapi apa yang kukatakan padanya selalu hal-hal yang jujur. Ia punya sesuatu dalam dirinya yang membuat orang lain akan merasa nyaman terbuka dengannya. Namun, untuk masalah ini, apa tidak terlalu terlambat jika kuceritakan padanya? Aku tidak ingin apa yang terjadi sekarang membuatnya kaget dan mungkin memberi usul agar aku membatalkan rencana pernikahan dengan Zara. Tidak, tidak, aku tidak sanggup membayangkan itu terjadi.

"Cuma kesal biasa, Kak." Akhirnya aku membalas seperti itu. Jika dipikir-pikir lagi, mungkin jangan sekarang dulu aku bercerita, tetapi nanti setelah aku tiba di rumah.

"Sebenarnya, Rafael, aku udah denger dari Felix. Dia bilang mantanmu itu masih sering mengganggu. Benarkah?"

Aku lupa. Hubungan di antara kami berempat, tidak ada yang bisa mengalahkan kedekatan Felix dengan Kak Tiara. Aku masih ingat ketika Felix selalu dibela olehnya meski saat berkelahi denganku, dia yang salah karena sudah menggangguku. Itu adalah hubungan adik kakak yang pernah membuatku sangat tidak menginginkan kehadiran Felix.

"Apa yang dikatakan Felix, semuanya benar." Tentu saja, Si Bungsu itu tidak akan bisa berbohong pada Kak Tiara.

"Lalu gimana hubunganmu sama Zara?" Ada nada kekhawatiran yang tertangkap oleh pendengaranku. "Pernikahan kalian udah makin dekat, aku nggak mau hal-hal buruk terjadi sama kalian."

Aku pun selalu berdoa demikian, Kak.

"Sebulan lagi, baru aku bisa bicara sama dia, Kak. Aku benar-benar tersiksa selama sebulan terakhir ini."

Aku mendapati lampu lalu lintas menyala merah beberapa meter di depanku. Jadi, aku segera memperlambat laju mobil sebelum benar-benar berhenti di belakang sebuah mobil berwarna hitam.

"Zara baik banget, ya."

Aku mengernyit tak suka pada responsnya. Entah itu ujaran sarkastik atau Kak Tiara memang menganggapnya begitu. Sebenarnya aku bisa segera menyelesaikan masalah ini tanpa harus menunggu dua bulan lamanya. Soal Daria, aku tidak perlu mempertimbangkan apa-apa lagi. Cukup ia yang perlu lebih sadar diri bahwa sudah tidak ada apa-apa lagi di antara kami.

"Dua bulan yang menyiksa. Kupikir Zara sangat tega padaku, Kak."

"Andai aku jadi Zara, mungkin udah kutinggalin kamu, El."

Apa sekeji itu perbuatanku selama ini? Memori di kepalaku mulai memutar kembali apa-apa saja yang sudah terjadi sebelum masalah ini muncul. Semuanya baik-baik saja kecuali beberapa kebohongan dan janji-janji kecil yang kubatalkan secara sepihak, hingga membiarkan Zara sampai mempersiapkan semuanya sendirian. Hal-hal kecil yang tidak segera diluruskan ternyata memicu hal lebih buruk sampai terjadi.

Peribahasa itu benar, sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit.

"Kamu pasti menyesal sekarang," timpalnya karena aku terdiam cukup lama. "Undangan udah disebar? Takutnya masalah ini malah bikin acara kalian mundur, atau bagian terburuknya malah batal."

Aku langsung melayangkan tatapan marah pada ponsel yang layarnya menampilkan nama kontak Kak Tiara dengan waktu tersambungnya telepon. Belum kurespons dia, karena aku harus melajukan mobilku kembali ketika lampu lalu lintas sudah kembali hijau.

"Pernikahan kami tidak akan batal, aku berani jamin. Dan soal undangan ... Zara sudah minta ditunda mencetaknya ke pihak vendor."

"Seperti yang terlihat, Zara memang wanita yang cerdas. Dia sudah mempersiapkan yang terburuk sebelum kamu menyadari perbuatanmu."

"Maksud Kakak ap-"

"Emangnya untuk apa lagi kamu ngurusi Daria, hah? Kami nggak abis pikir sama kelakuanmu."

Kata 'kami' lantas membuatku panik. "Kami? Mama sama Papa udah tahu?" Serangan adrenalin, aku nyaris menabrak becak di depanku karena kehilangan fokus sebentar.

"Menurutku ngebiarin mereka tahu, masalahnya bakal lebih runyam lagi, El. Kami itu maksudnya aku dan Felix. Aku kepikiran mau ngabarin Naya, tapi dia deket banget sama Daria. Felix bilang Daria jago playing victim. Siapa yang bakal menduga kalau Naya sudah terpengaruh dengan kata-kata Daria selama ini."

Kak Tiara bicara dengan intonasi yang meninggi di beberapa potongan kalimatnya. Aku bisa merasakan kalau ia merasa sangat kesal dengan Daria sekaligus kecewa padaku. Aku pernah melakukan hal yang lebih buruk dari ini-mematahkan hati wanita berkali-kali-tetapi aku tidak pernah tenggelam dalam penyesalan terlalu dalam sampai rasanya seperti yang kurasakan saat ini.

"Aku nggak tahu bagaimana cara membuatnya menjauh. Dengan dia ada di kota ini, semuanya jadi sangat rumit. Daria selalu punya cara buat terus menempeliku."

"Salahmu yang nggak bisa nolak dia." Kak Tiara mendengkus kesal di ujung kalimatnya.

Namun, Kak Tiara benar, pertahananku yang terlalu lemah terhadap wanita itu. Sisa-sisa perasaan yang dulu ada untuknya membuatku kesulitan untuk menolak. Aku sempat dibuat ragu kala dipertemukan kembali dengannya, menyadarkanku bahwa sejak awal aku tidak benar-benar berusaha melupakannya. Dan bersama Zara, aku menemukan sesuatu yang baru, rasa nyaman.

Aku bisa saja mengutamakan egoku dan melepas Zara untuk kembali dengan Daria--aku sampai mengabaikan Zara selama berhari-hari waktu itu karena memikirkan hal ini, hingga mengakibatkan ia pergi ke acara pernikahan sepupunya tanpa mengabariku. Sayangnya, aku tidak sanggup membayangkan lebih jauh tentang rencana meninggalkan Zara. Ia sudah cukup terluka dengan masa lalunya, mana mungkin aku tega menambah luka lagi untuknya.

Kupikir awalnya aku hanya merasa kasihan, tetapi saat itu pula aku menyadari bahwa aku jatuh cinta padanya. Bahkan perasaanku untuk Zara jauh lebih besar daripada yang kurasakan pada Daria dulu.

"El, kamu terdiam cukup lama. Aku nggak bisa lama-lama dengerin deru napasmu. Kumatikan sekarang, nanti kutelepon lagi. Dan aku selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian."

***

"Ada kabar baik hari ini?"

Aku mendengkus dengan keras ketika pertanyaan itu menyambutku tepat ketika aku masuk ke rumah. Felix, dengan laptop di atas meja ruang tamu dan beberapa camilan serta junk food berhamburan di sekitar laptop, melontarkan itu dengan nada yang menyebalkan. Ini kali pertama aku melihatnya ada di sana alih-alih menginvasi ruang tamu. Dan aku sudah telanjur kesal padanya sekadar untuk bertanya kenapa ia berada di sini, di ruang tamu.

Aku tidak merespon dan berjalan melaluinya begitu saja. Namun, belum sempat aku meninggalkan ruang tamu, pintu rumahku diketuk. Felix rupanya ingin membukakan pintu, tetapi aku sudah lebih dulu melakukannya. Yang mana berujung penyesalan karena sosok Daria berdiri di sana dengan senyum di wajah.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku tanpa ada sedikit pun keramahan, sembari menyugar rambutku dengan gusar.

"Kamu susah banget dihubungi," sahutnya dengan kalem, seolah-olah tidak menyadari bahwa muka masamku sudah memberi tahu bahwa aku tidak senang menerima kehadirannya.

"Apa yang harus kulakukan biar kamu nggak menghubungi atau menemuiku lagi?"

Aku tidak peduli dan tidak ingin tahu apa tujuannya sampai repot-repot menyusulku ke rumah. Rasanya seperti tidak ada kata berhenti dalam hidupnya, sampai-sampai aku kewalahan menghadapinya.

"Aku nggak bisa apa-apa tanpa bantuanmu, El." Daria memasang wajah itu lagi; wajah memelas yang dulu membuatku tidak bisa menolak apa pun permintaannya. Sekarang itu berubah menjadi ekspresi paling memuakkan yang pernah kulihat.

"Sebaiknya kamu pulang sekarang, Daria, aku nggak mau berurusan apa-apa lagi denganmu. Tolong. Sebelum aku melakukannya dengan cara yang akan melukaimu." Aku mengancamnya, tetapi juga menyelipkan sedikit nada memohon, sekadar usaha untuk membuatnya terenyuh dan menurutiku. Walau aku sendiri tidak yakin itu akan berhasil.

"Tidak, aku cuma sebentar," ujarnya kemudian merogoh sesuatu dari tas selempangnya. Aku baru menyadari bahwa ia masih mengenakan setelan kerja. Bukan bermaksud sok tahu, tetapi setelan itu terlalu formal untuk sekadar menemuiku. "Ini. Aku sudah bicara dengan seorang notaris untuk mengembalikan namamu untuk surat kuasa atas asuransiku. Kita bisa ke sana be-"

"Daria." Suaraku berat dan sarat akan kemarahan, hingga berhasil membuatnya bungkam.

"Iya, El?"

"Aku akan menikah, dan bukan denganmu. Bisakah hentikan semua ini? Kita bisa berteman, tapi aku nggak bisa bertanggung jawab atas dirimu. Aku punya prioritas lain, aku punya seseorang yang akan mengandalkanku jika sesuatu terjadi padanya. Nggak mungkin membagi prioritasku pada orang lain yang bahkan bukan siapa-siapa." Aku mengerang frustrasi setelahnya.

Kami masih di ambang pintu. Aku ingin ini segera selesai, jadi aku tidak repot-repot mempersilakan dirinya untuk masuk. Ia bisa membuat alasan lain untuk tinggal lebih lama di rumahku. Daria memandangku dengan tatapan sendu bercampur tidak terima. Aneh saja rasanya karena ia bersusah payah memintaku untuk bertanggung jawab atas dirinya.

"Kamu yang memulai semuanya sejak awal, El! Mana mungkin kamu melepas ini gitu aja!" Ia mulai meledak-ledak, seakan-akan aku adalah seorang pria yang kedapatan selingkuh.

"Ingat, siapa yang mengakhirinya?" Itu hanya desisan pelan dariku, tetapi aku yakin itu menghantamnya telak.

"Kamu lupa kalau aku juga korban?"

Kalau Daria pikir air mata yang menggenang itu akan membuatku merasa kasihan, maka ia salah besar. Semuanya tampak memuakkan, bahkan semua kenangan yang pernah kami lalui saat masih bersama pun sudah tak berarti apa-apa, menjadikannya sebagai memori yang ingin kusapu bersih dari kepala-tidak hanya bagian menyedihkannya, tetapi yang indah-indah juga.

"Kamu yang memutuskan untuk menjadi korban, Daria. Jangan tuntut aku atas perbuatanmu sendiri."

"Tante Rena nggak akan suka ini," ancamnya.

"Kamu bebas mengadu, Daria. Mama mungkin menyayangimu, tapi itu nggak pernah lebih dari kasih sayangnya pada anaknya sendiri. Lakukan apa pun yang kamu mau, tapi tolong, jangan ganggu aku ataupun Zara. Kutekankan sekali lagi, di antara kita udah nggak ada apa-apa."

Aku tidak menunggunya bicara lagi, dan kupikir sudah tidak ada lagi yang ingin ia katakan padaku. Jadi aku memundurkan badan dan meraih gagang pintu. Mungkin ini akan jadi sesuatu yang paling kasar yang pernah kulakukan, tetapi hanya ini yang bisa kulakukan untuk membuatnya pergi. Aku menutup pintu dengan kuat, nyaris membantingnya, hingga aku sendiri tersentak karena suaranya. Namun, di sisi lain aku juga merasa tenang, ini lebih melegakan daripada aku harus terus-terusan menurutinya yang tidak berhenti merengek.

"Wow, Bang, dia benar-benar wanita dengan kepala batu." Felix berkomentar.

"Menurutmu dia akan berhenti menemuiku?"

Felix mencebik, tampak berpikir. "Mungkin? Seharusnya dia malu sudah Abang tolak begitu."

"Lupakan. Aku hanya perlu memikirkan cara agar dapat bicara dengan Zara sebelum bulan depan. It's killing me inside!"

***

Selamat lebaran bagi yang merayakan~ Mohon maaf lahir dan batin. Telat, ya? Nggak papa, sih. Daripada nggak sama sekali.

Daria bener-bener kepala batu. Aku sendiri nggak nyangka bakal menulis sosoknya sampai semenyebalkan itu. Kalian penasaran kenapa dia sampai begitu? Aku jadi kepikiran mau buat spin-off tentang masa lalu Daria. Baru rencana, sih. Itu pun kalau kuat nulisnya. Hahaha.

Dikit lagi abis nih, dikit lagi. Masa, sih, Tut? Draft yang kubuat dulu, berkisar sampai 60an bab aja. Sekarang bab berapa? Nyaris 90!
Abisnya ... pas nulis tuh draft 1 bab, eksekusinya jadi 2 bab. Kalau gak gitu bakalan panjang bener 1 babnya. Aku gak tau kenapa rasanya aneh banget kalau nulis banyak dialog dan beruntun tanpa diselipin narasi. Kenapa aku nggak bisa kayak orang-orang? Huhu.

Udah segitu aja aku cuap-cuapnya. Thanks to anyone yang udah sampai di sini. It means a lot to me. Maafkan juga atas kesalahan-kesalahan penulisan (yang baru kutemui setelah baca ulang hiks) aku bakal revisi pas cerita ini udah selesai. Hihi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro