Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

79 - Just-Don't lie

Zara Naulia

"Secara, kita semua tahu, menikah itu bukan perkara pergantian status. Bayangkan aja setelah menikah nanti bakal tinggal bersama, terus ngeliat muka yang itu-itu aja, apa nggak bosan? Sebelum nikah mungkin kita nggak akan mikirin itu."

"Ah, aku, kan, sayang banget sama dia, nggak ada tuh bosen-bosenan, yang ada bahagia terus. Alah ... bullshit itu. Kesetiaan pasangan benar-benar diuji pada masa ini."

"Itu sebabnya, sangat diperlukan kesiapan di antara kedua belah pihak. Bahas tuntas rencana kalian di masa depan. Hidup bersama bukan perkara mudah, butuh kepercayaan, keterbukaan, dan kenyamanan. Itu merupakan komponen penting yang-"

"Kok, channel-nya diganti?"

Aku melayangkan tatapan protes pada Daffa yang duduk di sofa lain di sebelah yang kududuki. Di tangannya ada remote TV dan ia sama sekali tidak menghiraukanku. Padahal aku sedang menikmati tayangan tentang pernikahan di TV. Di malam yang cukup membosankan ini aku merasa seperti sedang diajari oleh acara tersebut.

"Daffa?" panggilku lagi dengan suara yang lebih nyaring. "Itu nggak sopan, lho."

"Maaf, Kak, soalnya kartun kesukaan Daffa udah tayang."

"Udah gede, kok, masih nonton kartun?"

"Ya ... daripada nonton sinetron, Kak? Nggak ada yang bener, 'kan?"

Aku tersenyum pada jawaban Daffa. Ah, adikku sudah sebesar ini, dan aku selalu dibuat terkejut pada perkembangannya. Setiap melihatnya selalu memberiku sensasi yang luar biasa, seperti rasa bangga, puas, dan hal-hal menakjubkan lainnya yang tidak bisa terjabarkan. Itu mungkin saja karena pengaruh kami jarang bertemu.

"Tadi ngurus berkas pindahnya udah beres?" Ini bukan sekadar basa-basi, tetapi hari ini Ibu memang mengantar Daffa dan Fia untuk mengurus berkas kepindahan sekolah mereka.

"Udah, tinggal nunggu awal semester baru masuk sekolah, Kak."

Aku menatapnya sambil mengangguk ringan. Ia tampak sangat fokus menonton kartun yang para tokohnya saling menyerukan macam-macam jurus aksi mereka. Matanya bahkan jarang berkedip, seperti tidak ingin melewatkan sepersekian detik pun tayangan di TV.

Ketika aku ingin bicara lagi, ponsel yang sebelumnya kuletakkan di atas meja berdering. Aku segera meraihnya dan menemukan nama kontak karyawan WO yang minggu lalu aku dan El datangi.

"Selamat malam, Mbak." Aku membalas sapaan wanita di seberang telepon.

"Maaf mengganggu semalam ini, Mbak, saya mau mengonfirmasi, apa besok jadi bertemu untuk membahas kelanjutan persiapan pernikahannya?"

"Iya, Mbak, jadi. Mungkin sore setelah pulang kerja kami ke sana."

"Baik, Mbak. Terima kasih."

Aku belum sempat mengucapkan terima kasih, tetapi sambungan telepon sudah terputus. Kupandangi ponselku beberapa saat sebelum akhirnya menghela napas. Sebenarnya aku cukup merasa bersalah pada pegawai WO tadi, karena beberapa kali membatalkan rencana untuk bertemu. Aku bukan sengaja melakukannya, tetapi aku tidak yakin bisa menemuinya tanpa El. Rasanya tidak enak kalau aku yang memutuskan semuanya sendirian.

El bilang kalau seminggu terakhir lebih banyak mengurusi proses pemulihan Daria di rumah sakit, dan menjadikan itu sebagai alasan batalnya rencana bertemu si pegawai WO. Sesak, sih, rasanya, di saat-saat di mana kami harus mempersiapkan pernikahan, ia justru sibuk mengurus yang lain. Terlebih lagi sesuatu yang penting itu Daria.

Mungkin Vita benar, aku harus bisa lebih tegas dengan El. Namun, bagaimana caranya? Apa yang harus kukatakan lebih dulu padanya? Apa pantas aku menuntut agar diprioritaskan? Namun, bukankah seharusnya seorang wanita diratukan oleh pria yang mencintainya? Ah, kalau berharap seperti itu ... bukannya akan terkesan sangat keterlaluan?

Kepalaku jadi dipenuhi oleh banyak pertanyaan yang tidak semudah itu didapatkan jawabannya. Mungkin aku harus mencoba membicarakan tentang itu padanya. Aku jadi mengantuk hanya dengan memikirkannya.

"Daffa, tidur, yuk." Aku mendaratkan sebelah tangan ke bahu Daffa dan meremasnya main-main.

"Baru jam delapan, Kak, Fia aja belum pulang sama Ibu," sahutnya dengan bahu yang digoyangkan; sebuah usaha untuk menjauhkan tanganku yang bertengger di sana karena aku tahu selama ini Daffa selalu merasa risi jika seseorang menyentuh bahunya.

"Ibu sama Fia ke mana?"

"Kakak lupa? Kan, belanja bahan-bahan buat bikin kue."

Ibu tidak bercanda waktu berkata ingin kembali membuka usaha kuenya. Ia sangat jago membuat kue dan itu mengingatkanku ke masa di mana kami hanya memiliki satu sama lain. Kue buatannya sangat enak dan berhasil menjadi pelipur lara di kesunyian yang menyelimuti kami.

"Berarti besok Ibu mulai jualan lagi, ya?"

Daffa menatapku dengan kerutan di dahi, seperti aku baru saja melakukan kesalahan, padahal aku hanya bertanya.

"Ibu, kan, udah cerita tadi sore, Kak, masa udah lupa, sih?"

Aku menunjukkan cengiran terbaikku padanya, menonton acara tadi mungkin sudah membuatku melupakan beberapa hal yang terjadi hari ini.

"Kakak katanya mau tidur? Di sini lama-lama gangguin Daffa aja." Ia beringsut ke ujung sofa, sengaja memberi jarak lebih jauh dariku.

"Selamat malam, Daffa." Sekali lagi aku membuatnya kesal dengan mengacak rambutnya sebelum beranjak ke kamarku.

***

"Care to explain gimana kamu bisa tahu kondisinya Daria?"

Itu adalah hal pertama yang Abel tanyakan padaku begitu kami keluar dari ruang rapat. Kepalaku rasanya sudah mendidih karena bahasan rapat di dalam tadi, dan Abel memperparahnya dengan menanyakan tentang Daria padaku. Salahku juga yang memberitahu orang-orang di rapat kalau Daria tidak berhadir karena masih dirawat di rumah sakit.

"Dia memberitahuku kalau kecelakaan." Rasanya aku sudah mengatakan itu padanya sejak hari pertama Daria absen ke kantor. Namun, aku mengatakannya lagi sekadar untuk mengingatkan Abel.

"Cuma satu kali itu?" Abel kedengarannya tidak bisa menerima jawabanku. "Kamu dengan sangat yakin bilang kalau dia masih dirawat di rumah sakit, padahal ini udah seminggu. Separah apa, sih, kecelakaannya?"

Terima kasih pada El yang sampai kemarin masih meminta izinku untuk menemui Daria di rumah sakit, aku jadi tahu dan konyolnya aku tidak pernah bertanya apa yang tengah diderita Daria sampai dirawat selama itu.

"Nggak tahu. Dia nggak ngasih kabar lagi." Aku menyahut asal.

"Waw, kalian sedekat itu sampai Daria harus berkirim kabar sama kamu," sahut Abel. Aku hanya merespons dengan tawa sambil memencet dua tombol elevator, lantai dua tujuan Abel, lantai satu tujuanku.

"Aku mentornya kalau kamu lupa. Kamu ke kantin, 'kan?"

Pertanyaan ke kantin adalah basa-basi untuk mengalihkan pembicaraan dengan Daria.

"Iya, kamu juga, 'kan? Udah lama nggak makan siang bareng." Abel lalu menggamit lenganku, tampak siap menyeretku ke kantin begitu pintu elevator terbuka.

"Sorry, I have another appointment."

Saat keluar gedung kantor, aku sudah menemukan mobil El terparkir di dekat gerbang. Mungkin dia melihatku berjalan menghampirinya, jadi ia menurunkan kaca jendela mobil dan melambaikan tangan padaku. Ada yang berbeda dari wajahnya, ia tampak lebih cerah? Bukan secara harfiah, sih, tetapi El tampak lebih nyaman dipandang daripada hari-hari sebelumnya; yang mirip awan mendung.

"Ada hal bagus yang terjadi hari ini?" tanyaku setelah menjatuhkan pantat di bangku mobil.

"Ada. Kamu," sahutnya dan mengedipkan sebelah mata.

"Aku nggak lagi bercanda." 

Untuk memberitahunya bahwa aku kesal, aku sengaja merotasikan kedua bola mataku dan membuang muka. Pemandangan jalan lebih menarik dari wajah tampannya. El perlu diperingatkan sesekali, ia terlalu sering bermain-main.

"Aku lega pihak rumah sakit nggak menghubungiku hari ini." Ia bahkan mengatakan itu dengan nada yang riang. "Artinya kita bisa fokus mendiskusikan rencana kita hari ini."

Aku turut senang mendengarnya. Kutatap wajahnya lekat-lekat sekadar untuk menemukan keseriusan di sana. "Berarti sore ini bisa ketemu vendor, 'kan?"

"Iya, bisa. Pulang kerja kita langsung ke sana." Ia tersenyum lembut, yang mana justru membuatku takut berekspektasi lebih. Hal-hal tak terduga bisa saja terjadi di menit-menit terakhir.

"Akhirnya ...." Aku mendesah lega cukup nyaring tanpa disadari. Rasanya memang semelegakan itu setelah tahu bahwa kali ini janji dengan vendor terpenuhi. Aku tidak tahu bagaimana menghadapinya jika sekali lagi aku membatalkan pertemuan kami.

"Sampai segitunya reaksimu, Ra. Nggak sabar pengen cepat-cepat nikah, ya?"

Aku mendelik kesal pada asumsinya yang tak berdasar itu.

"Tanggal udah ditetapin, lagian kapan pun kita sepakat dengan pihak vendor nggak akan mengubah tanggal kita menikah." Aku diam sebentar ketika El memberhentikan mobilnya di depan sebuah resto yang tidak biasa kami datangi. "Lagian bukan karena itu," sambungku sebelum keluar dari mobil lebih dulu.

El mungkin bertanya-tanya dengan apa yang kumaksud, tetapi aku belum mau bicara sampai kami sudah menempati salah satu meja di dalam rumah makan. Itu sebabnya aku mengambil langkah lebih dulu dengan memesan makanan di konter.

"Terus karena apa?" tanyanya setelah tiba di sebelahku.

Namun, aku mengabaikannya dan balas bertanya, "Kamu pesan apa?"

Dahinya berkerut tak suka pada responsku, tetapi ia tidak melakukan apa-apa selain menerima buku menu yang kusodorkan.

Aku mencari meja lebih dulu selagi El membayar. Hari ini jadwalnya yang membayar makan siang kami. Aku tidak ingin terus-terusan memakai uangnya, jadi disepakati bahwa kami akan membayar bergantian. Kedengarannya konyol, sih, dan El juga menolak keras akan itu. Namun, ia terpaksa harus menyetujui itu setelah kuancam tidak akan pergi makan dengannya lagi.

"Kamu sengaja bikin aku penasaran," protesnya seraya menarik kursi untuk ia duduki.

"Ayo mengobrol dengan posisi yang nyaman," sahutku.

"Jadi? Apa yang membuatmu semringah?" Suaranya melembut, dan berhasil mengantarkan getaran menggelikan di hati.

"Karena aku turut senang denganmu."

Bukan. Bukan itu yang mau kukatakan padanya. Aku sudah memikirkan apa yang ingin kukatakan di kepala, tetapi rasanya nyaliku tidak cukup kuat. Aku khawatir jika berkata jujur akan perasaanku terdengar aneh padanya. Terlebih lagi itu ada kaitannya dengan yang apa kupikirkan semalam; tentang prioritas.

"Aku tahu bukan itu yang kamu maksud."

Dan El selalu berhasil membuatku tampak transparan. Kenapa ia bisa dengan mudah membaca pikiranku, sedangkan aku tidak pernah bisa menebak apa yang dipikirkannya?

"Kamu mengenalku cukup baik, tapi aku nggak cukup baik mengenalmu. Kenapa kamu bisa seyakin itu?"

"Aku mungkin pandai mengobservasi? Atau aku sangat memperhatikanmu?"

Aku mengernyit bingung karena setelah mengatakan itu, ia tertawa.

"Aku bercanda, jadi kamu senang karena apa?" Tatapannya yang lembut berhasil mendorongku untuk menyampaikan apa yang bersarang di kepala. Setidaknya kali ini saja aku lebih berani.

"Karena aku nggak perlu batalin janji bertemu dengan vendor."

"Eh?"

"Mana mungkin aku ke sana sendiri, El, aku nggak bisa memutuskan semuanya sendirian tanpa melibatkan kamu. Sedangkan kamu suka sekali menghilang di menit-menit terakhir janji dengan alasan untuk menemui Daria. Aku jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa prioritasmu? Pernikahan kita atau kesembuhan Daria?"

Aku menarik napas kuat-kuat sebelum akhirnya menunduk. Lega, sih, sudah mengatakan itu, tetapi aku mengkhawatirkan reaksi El. Kuharap ia tidak menganggapku tidak punya empati atas tragedi yang terjadi pada mantannya itu.

"Maaf."

Aku kembali mendongak dan raut wajah semringah miliknya melebur di antara gurat-gurat rasa bersalah.

"Aku nggak tau kalau pada akhirnya akan terdengar seburuk itu. Asal kamu tahu, aku nggak ada maksud apa pun selain ingin menuntaskan urusan dengan asuransi itu. Aku terpaksa melakukannya karena nggak tahu harus kuserahkan pada siapa." El diam sebentar ketika seorang pelayan mengantarkan pesanan kami. "Daria mengambil keputusan yang salah dengan tinggal di sini. Nggak ada satu pun sanak saudara yang bisa dihubungi."

"Maaf, apa yang tadi aku terdengar berlebihan? Aku cuma ... mengungkapkan apa yang menggangguku akhir-akhir ini." Aku menunduk, lega yang sempat kurasa tadi berubah jadi rasa bersalah bercampur kesal dalam sekejap; kesal karena El harus dibuat repot dengan kondisi Daria.

"No, Ra. Aku justru sangat berterima kasih karena kamu mau memberitahuku, sekarang aku tahu di mana kesalahanku."

Kami bertemu pandang sebentar sebelum akhirnya sama-sama tersenyum. Mungkin komunikasi benar-benar kunci dari sebuah hubungan.

"Kamu tahu, El? Aku masih bisa memaafkan kesalahan orang lain, kecuali kalau dia sudah berbohong. Sulit bagiku untuk menerima maafnya."

Dan kalimat yang kuucapkan itu mengakhiri obrolan berat kami dan mulai menyantap makan siang kami masing-masing. Namun, di tengah obrolan santai kami, El sempat menerima pesan dan ekspresinya tampak seperti ... kesal? Kuharap aku tidak salah menduga, tetapi kurasa itu bukan sesuatu yang baik.

***

Halo 👐🏻
Duh, rasanya kayak nggak tahu diri banget aku menyapa setelah sekian lama nggak update. 😭🥺
Maaf, sudah membuat kalian lama menunggu (emang ada? 🥺)
Seminggu kemarin agak berat, aku punya side job baru yang mana bikin jam-jam nulisku berantakan. Anggap aja penyesuaian dengan jadwal baru gitu. Hehe.
Mungkin abis ini update selanjutnya bakal dicicil deh nulisnya. (Asal kamu nggak main, sih, Tut)
Ahaha, iya, iya.
Last, I just wanna say, thank you buat kalian yang masih bertahan sampai di sini. Aku nggak tahu cerita ini bakal sampai berapa bab, tapi kuusahakan nggak sampai bikin kalian mual, karena aku yakin kalian sudah eneg membaca tulisan ini. Yakan yakan? 😂 *Itu aku sih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro