45 - Proposal?
Zara Naulia
"Beneran calon suami Zara?"
Aku menggigit bibir bawahku ketika akhirnya Ren bertanya. Setelah El memperkenalkan dirinya sebagai calon suamiku, putra dari teman ayah itu hanya diam dengan kening berkerut. Ia tampak seperti seseorang yang berusaha membaca kebenaran di wajah El. Aku tidak menyalahkannya jika mengira El berbohong. Sebab dari awal aku datang sendiri dan Ren hanya tahu kalau aku belum dekat dengan siapa-siapa.
Mungkin Ren akan menuduhku berbohong selama ini. Namun, aku bisa apa? Keberadaan El di sini saja sudah membuatku kaget bukan main pada awalnya. Andai aku tahu El menyusul pun aku akan berpikir dua kali untuk mengakui bahwa aku masih sendiri.
"Pasti Zara tidak bilang apa-apa ya?" balas El. Agak melegakan karena aku tidak perlu menjawab Ren sendirian. Tentang status kami, biar El saja yang mengklarifikasi.
"Bahkan Om Zayed juga bilang dia masih sendiri," sahut Ren seraya mencuri-curi pandang padaku. Aku menoleh ketika El menyentuh pundakku.
"Kami memang belum berkata apa pun pada Om Zayed." El berkata dengan tenang sebelum menurunkan pandangannya kepadaku. "Mungkin malam ini?"
El kemudian maju sedikit untuk mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Kita bisa mulai bikin SIM, Ra," bisiknya.
Aku lekas-lekas melayangkan tatapan protes padanya. Dari yang kukenal, El orang yang suka melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa. Ia selalu merasa siap terhadap apa pun. Dan terakhir aku ingat caranya tersenyum sekarang, itu seperti ketika ia berbicara tentang menantang diri dalam hidupnya.
Aku jadi memikirkannya. Jika semua hal adalah tantangan dalam hidupnya, apa dengan bersamaku juga salah satu tantangan baginya?
Tanganku terkepal di bawah meja. Telapak sampai jari-jariku pun dingin karena munculnya rasa takut. Kendati ia sudah menyatakan perasaannya padaku, aku tetap belum bisa membuang rasa takut akan kehidupan rumah tangga. Sedikit saja salah mengambil langkah, risikonya besar.
Aku membuang muka kemudian. Bukan sekarang waktu yang pas untuk membicarakannya, bukan di sini pula. Ren masih ada di sebelahku dan ia akan menemukan rumitnya hubungan kami. Itu tidak hanya membuat El malu karena dengan gamblangnya mengaku sebagai calon suamiku, tapi aku juga.
"Kurasa aku tidak punya alasan untuk berada di sini lebih lama, 'kan?" Ren bersuara sekaligus berdiri dari kursinya. "Sebelum pergi, aku mau ngucapin selamat dulu buat kalian." Ia tersenyum tulus sampai aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.
"Terima kasih," balas El seraya mengusap bahuku.
"Kau pria beruntung, Rafael. Sifat Zara yang tertutup membuat banyak pria tertarik untuk mengenalnya. Mungkin aku juga jadi salah satunya kalau ... kamu nggak datang hari ini."
Mataku membola saat mendengarnya. Aku tidak mengerti apa yang dimaksud itu adalah sesuatu yang baik atau buruk. Yang jelas, ketika ia menyebutkan banyak pria, bulu kudukku meremang.
"Mungkin Zara menyadari itu. Makanya dia minta aku datang ke sini," gurau El.
Kedua pria itu tertawa kemudian, menyisakan aku yang tersenyum masam di tengah-tengah mereka. Bagaimana mungkin aku bisa merasa nyaman jika ada dua orang yang membicarakanku seperti sekarang.
"Aku pergi sekarang, sekali lagi. Sampai jumpa. Senang mengenal kalian." Dan Ren benar-benar meninggalkan kami.
"Dia pria yang sopan," celetuk El beberapa saat kemudian. "Apa dia pria yang ingin dijodohkan denganmu?"
"Ayah nggak bilang apa-apa, tapi Ren diajak buat jemput aku."
"Apa ... dia membuatmu tertarik?"
El menatapku dengan sorot mata yang tidak aku pahami. Aku memang seseorang yang buruk untuk menangkap raut wajah seseorang.
"Jangankan tertarik, niat untuk mengenalnya aja nggak ada," sahutku dengan tenang. Itu jujur, bukan karena ingin membuat El merasa tenang.
"Aku lega," ujarnya kemudian, lalu membuang muka. Aku tidak melihat ekspresinya, tetapi lesung pipitnya yang muncul di pipi sudah pasti menunjukkan bahwa ia sedang tersenyum sekarang.
Di detik berikutnya, ponsel El berdering. El lekas-lekas mengeluarkan ponselnya dari kantong dan mengernyit ketika membaca kontak si penelepon.
Reaksinya membuatku bingung juga. Aku tidak bisa melihat siapa yang meneleponnya, tetapi aku juga menahan diri untuk tidak bertanya padanya. Bisa jadi itu sifatnya privasi.
El melirikku sekaligus meminta izin untuk berbicara dengan orang di telepon sebentar. Setelah aku menangguk, barulah ia mengangkat sambungan telepon tersebut. Ia masih di sini, tidak pergi ke mana-mana. Seperti, membiarkanku mendengar obrolannya di telepon.
"Aku lagi di luar kota, Han. Iya, iya, maaf aku melupakannya. Tolong lanjutkan saja tanpa aku. Dan–"
Aku masih memperhatikannya. Bahkan ketika ia melirikku dan tersenyum, aku menaikkan alisku sebagai respons. Tidak sedikit pun aku curiga padanya. Dari sapaan yang ia pakai untuk memanggil seseorang di seberang sana, aku yakin bahwa El sedang bicara dengan Yohanes.
"–sampaikan maafku pada mereka ya."
El mematikan ponselnya dan memandangku dengan ekspresi paling seriusnya. Sampai-sampai aku mengernyit karena kebingungan.
"Kenapa, El?"
"Aku lupa hari ini acara makan malam kantor."
***
Malamnya, aku, orangtuaku, adik-adikku, dan El pergi makan malam bersama di sebuah rumah makan. Kami terlalu lama berada di acara pernikahan Nanda sampai lupa memasak untuk makan malam. Awalnya Om Edi mengajak kami untuk ikut serta makan malam bersama mereka di hotel. Namun, ayah menolak dengan alasan tidak enak membiarkan tamuku–Rafael–tampak canggung berada di tengah-tengah keluarga kami. Beruntungnya, Om Edi tidak memaksa dan di sinilah kami akhirnya, terjebak macet padahal tersisa satu belokan lagi sebelum kami tiba di rumah makan.
Kami menggunakan mobil besar ayah agar bisa pergi bersama. El menawarkan diri untuk mengemudi dan aku duduk di sampingnya. Ayah dan bunda ada di belakang bersama dua adikku. Kehadiran dua kurcaciku membuat suasana di mobil jadi sangat ramai. Mereka tidak berhenti berebut camilan yang Caca bawa dari rumah.
Sayangnya, atmosfer menyenangkan itu hanya kurasakan dari belakang. Sementara di sebelahku, El lebih banyak diam, persis seperti kali terakhir ia mengantarku pulang. Bedanya, kali ini ia tidak tampak murung, tetapi tegang. Seolah-olah ada sesuatu yang memburunya.
Aku melihat jari-jari sebelah tangannya yang tak berhenti bergerak di atas tuas persneling. Ia tampak mengkhawatirkan sesuatu. Apa mungkin El merasa bersalah karena tidak hadir di acara makan malam kantornya? Bisa saja itu benar. El mungkin ingin menyampaikan sesuatu yang penting, tetapi justru berakhir di sini, bersamaku. Namun, aku tidak ingin repot-repot ikut merasa bersalah karena bukan aku yang memintanya datang ke sini. Siapa yang memberitahu tujuan kepergianku pun masih membuatku bertanya-tanya.
"Kamu baik-baik aja, El?" tanyaku pada akhirnya. Suaraku pelan, agar hanya aku dan El yang bisa mendengar.
El menoleh padaku dan tersenyum sebentar. "Aku baik, Ra. Kenapa?"
"Kamu tampak tegang. Kalau ada apa-apa, ingat untuk cerita ya? Tolong jangan dipendam sendiri," pintaku.
"Tegang?" El tertawa garing. "Tampak sejelas itu ya?"
"Aku nggak akan nanya kalau nggak keliatan."
"Sebentar lagi sampai, kamu akan tahu kenapa aku kayak gini, Ra."
El tersenyum lagi dan kali ini lebih tulus, seperti ingin meyakinkan tentang sesuatu, tetapi aku tidak tahu itu apa. Aku jadi memikirkannya. Karena tahu El tidak akan menjawab, aku urung menanyakan apa yang ia ingin lakukan nanti.
Beberapa saat kemudian kami tiba di rumah makan. Kami keluar lebih dulu sebelum El memarkirkan mobil. Kami memasuki rumah makan bersama dan memesan makanan yang kami inginkan. Aku dan El sempat tertawa ketika melihat jumlah porsi yang dipesan ayah.
"Udah lama nggak makan di sini. Kangen sama rasanya." Itu yang ayah katakan ketika ditanya alasannya memesan sebanyak itu; tiga porsi dengan menu berbeda.
"Itu namanya nafsu, Ayah," sahut bunda.
Kami menempati salah satu meja di balkon rumah makan dengan kolam ikan besar yang menjadi pemandangan di sebelah kanan meja kami.
Bunda sempat kesulitan untuk makan karena Zia terus-terusan ingin meraih apa yang ada di atas meja, padahal di tangannya sudah ada biskuit untuk ia makan. Aku ingin membantu dengan memangku Zia, tetapi tanganku kotor karena harus membantu mengiris lauk milik Caca. Akhirnya, El yang menawarkan diri untuk memangku Zia. Dan gadis kecil itu jadi sangat tenang. Ia sibuk memakan biskuitnya sambil mengoceh tidak jelas.
"Zia masih kecil tapi genit. Tau aja sama pria tampan," celetuk bunda.
El tersenyum karena pujian itu. "Mungkin karena saya masih asing, jadi Zia nggak nyaman mau bertingkah sesukanya, Tante."
"Tapi, El keliatannya udah siap jadi ayah, lho. Nggak mudah bagi pria buat deket sama anak kecil." Kali ini ayah menimpali. Bahkan melirikku sesekali seperti ada maksud tersembunyi.
"Doakan aja, Om," pinta El.
Ayah dan bunda saling lirik. Aku bukan ingin tahu, tapi tak sengaja melihat karena posisi duduk mereka di hadapanku.
"Ren juga sama kayak Rafael. Waktu pertama bertemu Zia pun, langsung lengket."
Aku tidak mengerti kenapa tiba-tiba ayah membawa nama Ren dalam obrolan ini. Apakah karena ayah belum mengurungkan rencananya untuk menjodohkanku?
"Sampai-sampai kami gemas dan berpikir kalau dia akan jadi pria yang baik buat Zara," timpal bunda.
"Bunda!" protesku. Aku tidak senang dengan obrolan ini dan berharap aku bisa pulang lebih dulu. Kulirik El di sampingku dan kutemukan ia menunduk dan rahangnya mengeras.
"Kenapa, Sayang? Zara, kan, belum ngenalin siapa-siapa ke kami. Masa mau didahului sama sepupu terus?" sahut bunda.
Aku menatap isi piringku yang tersisa setengahnya tanpa selera. Menu kesukaanku di rumah makan ini tiba-tiba membuatku muak. Rasanya selalu membuatku ingin meledak jika mereka membicarakan tentang pernikahan. Dan ayah sama sekali tidak membantu. Tidakkah mereka memikirkan apa saja yang kulalui setelah kegagalan pernikahan ayah dan ibu? Minimal bertanya jika aku tidak mengatakan apa pun.
Ketika emosi mulai menguasai diriku, El menyentuh tanganku di bawah meja. Jempolnya bergerak lembut di punggung tanganku. Rupanya El mengerti akan suasana hatiku saat ini. Karena ketika ia menyentuhku, itu membuatku merasa tenang.
"Om, Tante, saya ingin ... menyampaikan sesuatu."
Suara El membuatku lekas-lekas menatapnya. Melihat jakunnya bergerak karena menelan ludah membuatku berdebar bukan main. Kuharap apa yang akan ia katakan bukan sesuatu yang ada dalam pikiranku sekarang.
"Katakan, Nak," balas ayah.
El menatapku dan menggenggam erat tanganku. Sebentar saja sebelum ia kembali menatap ayah dan bunda bergantian.
"Saya ... ingin meneruskan tugas Anda untuk menjaga Zara. Maaf, kalau ini terkesan mendadak, terlebih ini pertemuan pertama kita. Tapi saya sangat yakin–" El menatapku. "–bahwa Zara-lah yang ingin saya bersamai di sisa usia saya."
Bingo! Aku tidak bisa lebih terkejut lagi dengan sifat El yang satu ini. Ia terlalu cepat mengambil keputusan.
Ayah dan bunda saling pandang, tetapi kali ini ada senyum yang merekah di bibir mereka.
"Pancingan kita membuahkan hasil, Bun."
Apa? Pancingan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro