Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

44 - Hari Pernikahan

Rafael Lazuardi

Aku berada di ruang tengah sambil memangku Zia. Gadis kecil ini tampaknya menyukaiku, sebab ia akan mengulurkan tangan untuk menjangkau jika aku berada di sekitarnya. Padahal aslinya aku kurang menyukai berada di sekitar anak kecil. Namun, Zia yang tenang sambil memainkan jari-jariku berhasil mengubah pandanganku tentang mereka.

"Zia anteng banget ya," ujar Tante Meta-ibunya Zara-saat melewatiku. "Tunggu sebentar lagi ya, Nak Rafael," sambungnya.

Aku mengangguk dan tersenyum pada beliau. "Iya, Tante."

Om Zayed menginstruksikan kami untuk berangkat bersama ke pernikahan sepupunya Zara. Dan aku, yang lebih dulu selesai bersiap, menawarkan diri untuk memangku Zia sambil menunggu mereka bersiap.

"El, maaf lama ya."

Suara Zara mengalihkan perhatianku dari Zia. Aku mendongak dan terpana selama beberapa saat ketika melihatnya berjalan ke arahku. Zara selalu berhasil membuatku terpesona tanpa ia perlu berusaha keras membubuhkan beragam riasan di wajahnya. Namun kali ini, aku tidak tahu kata apa yang sesuai untuk menggambarkan penampilannya sekarang. Bahkan, kata indah saja tidak cukup.

Ia mengenakan gaun panjang berwarna biru malam, tidak mencetak tubuh, hanya lingkar karet di pinggang yang membuktikan bahwa tubuhnya sangat ramping. Rambut pendeknya dibiarkan terurai, tetapi ada jepit panjang yang mengkilap di sisi kanan rambutnya. Riasannya simpel, tapi Zara sudah tampak seperti seorang dewi.

Sebenarnya kain yang dipakai serupa dengan milik ibunya saat kulihat apa yang beliau kenakan tadi. Bahkan, gaun Zia pun berasal dari bahan yang sama. Mungkin itu adalah dress code khusus keluarga. Aku yang orang asing ini hanya berharap tuxedo hitamku tidak terlalu mencolok jika berada di frame foto yang sama dengan mereka.

Berfoto. Benar, aku harus mengabadikan momen ini bersama Zara. Berfoto berdua dengannya. Aku penasaran, apakah jika kami disandingkan berdua, akan tampak serasi di mata orang-orang?

"El? Kok, melamun?"

Aku mengerjap dan baru menyadari bahwa Zara sudah duduk di sampingku.

"Kamu cantik, Ra. Terlalu indah sampai aku lupa caranya berkedip." Kendati sadar bahwa pujian seperti itu tidak akan membuat Zara tersanjung, tapi aku senang ia menerimanya dengan baik. Pipinya merona dan aku jadi gatal ingin menyentuhnya.

"And you look handsome as usual, El." Zara tersenyum kemudian dan segera mengalihkan pandangannya. "Pasti kedengarannya menggelikan," sambungnya.

"Terima kasih, Ra. Kamu bikin aku mau pergi ke dokter."

"Kenapa? Kamu sakit apa?" Zara bertanya penuh perhatian.

"Jantungku berdebar luar biasa. Aku takut dia sampai melompat keluar," gurauku.

"Kukira ada apa. Padahal akunya udah serius, El."

"Lho, kan, bahaya kalau sampai kejadian? Aku nggak siap ninggalin kamu." Aku terkekeh karena ucapanku sendiri dan menjatuhkan kepalaku di bahunya, bersandar di sana.

Zara sama sekali tidak menghindar, tidak lagi bergerak gelisah seperti yang sudah-sudah. Ia fokus membenahi gaun Zia yang tersingkap karena kupangku. Dan ini merupakan perkembangan yang pesat bagiku. Pernyataanku kemarin tampaknya mengubah sesuatu di antara kami.

Atensiku teralihkan ketika terdengar suara deham yang dibuat-buat. Aku menggulirkan bola mataku dan terkejut sudah ada Om Zayed beberapa meter di depan kami. Beliau juga mengenakan tuxedo hitam dengan kemeja berwarna biru malam. Lantas aku segera menarik kepalaku lagi dan tersenyum kaku. Malu kedapatan nyender-nyender di bahu putrinya seperti tadi.

"Udah siap, Yah?" tanya Zara, seperti tidak terjadi apa pun. Ia berusaha menggendong Zia, tapi diinterupsi oleh tangan Om Zayed yang terulur.

"Biar aja Zia di situ dulu, Ra. Ayah mau foto kalian." Om Zayed mengatakan itu seraya menunjukkan kamera yang terkalung di lehernya.

"Eh, nggak usah, Yah," tolak Zara. Aku meliriknya dan menemukan wajahnya sudah memerah. Hal itu justru membuatku tersenyum geli.

"Nggak papa, Ra. Momen ini nggak datang dua kali. Ayo berpose," suruh ayahnya.

"Tapi, Yah-"

"Kalian berdua cocok."

Pujian Om Zayed membuat pipiku memanas, mungkin sudah memerah seperti milik Zara. Kami bertatapan sebentar, Zara memberiku isyarat untuk menolak melalui gelengan ringan. Namun, aku justru tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

Aku menghapus jarakku dengan Zara dan meletakkan tanganku di pinggangnya. Ia terkejut, tapi aku dengan cepat berkata, "Kami siap difoto, Om."

"Zara, liat ke kamera, Nak. Senyum," suruh Om Zayed seraya memosisikan kameranya ke arah kami. "Nah, bagus. Satu ... dua ... ."

Dan terdengar suara jepretan kamera. Tidak hanya satu, tapi aku juga meminta tolong pada beliau untuk difotokan dengan berbagai pose. Sampai akhirnya sesi ini berubah menjadi sesi foto keluarga-bersama ibunya dan Caca yang datang menyusul tentunya.

***

Acara pernikahan sepupu Zara benar-benar sangat mewah. Aula hotel dibagi menjadi dua dengan jalan lewat pengantin di tengahnya. Satu sisi untuk meja kursi para tamu undangan, satu sisinya lagi kosong, hanya diisi dengan pemusik yang dibayar untuk mengiringi acara. Dengan space kosong seluas itu, para tamu bisa memakainya untuk berdansa.

"Kita kapan kayak gitu, Ra?" tanyaku di dekat telinganya sambil menunjuk sepupunya di pelaminan. Suara musik yang nyaring membuatku harus bicara dekat dengannya agar suaraku terdengar.

"Tunggu sampai kita sama-sama siap, El," sahut Zara, menahan senyum.

Aku jadi ikut tersenyum. Sebab, jika diartikan, Zara sudah bisa menerimaku menjadi suaminya. Dan tentu saja itu membuatku senang.

Atensi kami teralihkan ketika si pembawa acara menawarkan pada para tamu undangan untuk bernyanyi di samping kanan panggung. Aku tergiur tentunya. Sebagai seseorang yang suka bernyanyi, bagian ini adalah yang kutunggu-tunggu, kendati belum tahu lagu apa yang akan kunyanyikan.

Tanpa bicara apa-apa, aku berdiri dan beranjak dari kursi. Bahkan ketika Zara bertanya aku ke mana, aku tidak menjawab dan hanya mengedipkan sebelah mataku padanya.

Sebagian tamu undangan bertepuk tangan ketika aku sudah menaiki panggung. Aku melihat ke sekeliling ruangan yang luas ini dan tersenyum lebar. Terlebih lagi ketika menemukan Om Zayed tampak semringah melihatku berdiri di panggung.

Sayangnya, senyumku harus luntur ketika seorang pria yang tidak kukenal menempati kursi yang sebelumnya kududuki. Mereka tampak akrab, maksudku, sulit menemukan Zara tampak serileks itu pada seorang pria. Kuharap pria itu sepupunya yang lain, tetapi aku tidak bisa menampik fakta bahwa pria itu menatap Zara penuh damba.

"Baik, untuk tamu spesial yang bersedia menghibur kami ini, apakah ada lagu khusus yang ingin dibawakan?"

Aku mengalihkan pandangan ketika resepsionis di sebelahku bicara. Sebentar saja aku berpikir sebelum muncul satu judul yang tentunya akan sangat cocok jika kunyanyikan di saat-saat seperti ini.

"Marry your daughter oleh Brian McKnight," sahutku.

Si pembawa acara tadi tampak antusias. "Waw, sangat pas sekali untuk mewakili sang mempelai pria."

Aku jadi melirik pasangan pengantin yang duduk di kursi pelaminan. Mereka tampak bahagia, dan ketika mereka menatapku, aku tersenyum untuk mereka. Jujur, aku bahkan belum sempat menyalami mereka secara langsung.

Namun, kenyataannya lagu yang akan kubawakan bukan untuk kedua mempelai yang menikah hari ini. Melainkan untuk mengungkapkan perasaanku pada Zara agar ayahnya juga tahu. Anggap saja kode bahwa kelak aku akan melamar putrinya.

"Sir, I'm a bit nervous
'Bout being here today
Still not real sure what I'm going to say
So bare with me please
If I take up too much of your time."

Bait pertama lagu, aku memusatkan pandanganku pada Om Zayed. Liriknya memang ditujukan padanya jika aku benar-benar ingin melamar Zara saat ini. Dan karena acara ini bukan milikku, aku beralih memandang kursi pelaminan dan melanjutkan nyanyianku.

"But see in this box is a ring for your oldest
She's my everything and all that I know is
It would be such a relief if I knew that we were on the same side
'Cause very soon I'm hoping that I... ."

"Can marry your daughter
And make her my wife
I want her to be the only girl that I love for the rest of my life
And give her the best of me 'till the day that I die, yeah."

Kali ini aku memandang Zara. Sengaja untuk memberitahu pria di sebelahnya agar tidak terlalu menempel pada Zara.

Zara yang sadar sedang kutatap pun menunduk malu. Dan itu membuatku tidak tahan untuk tidak tersenyum.

"I'm gonna marry your princess
And make her my queen
She'll be the most beautiful bride that I've ever seen
I can't wait to smile
As she walks down the isle
On the arm of her father
On the day that I marry your daughter."

Seluruh tamu bertepuk tangan ketika ada jeda pada lagu yang kunyanyikan. Kembali kulayangkan pandanganku pada Zara. Ia menatapku malu dan menggeleng ringan, aku hanya tersenyum padanya. Padahal tidak ada satu pun yang tahu jika lagu itu kutujukan padanya.

Namun, aku ingin semua orang tahu. Bahwa seorang dewi berbaju biru malam yang duduk di sebuah meja di seberang panggung adalah calon istriku. Pria yang tertarik padanya harus tahu jika aku adalah calon suaminya. Maka dari itu, di sisa lagu yang kunyanyikan, perhatianku lebih banyak ditujukan padanya. Dan Zara juga melakukan hal yang sama, ia tak mengalihkan pandangannya dariku. Seperti hanya ada aku dan Zara di sini, tak kupedulikan orang lain.

"And give her the best of me 'till the day that I die."

Aku mengakhiri laguku dan segera mengembalikan mikrofon kepada si pembawa acara. Dan seisi ruangan digantikan oleh riuh tepuk para tamu undangan. Bahkan aku mendengar ada beberapa orang yang berteriak agar aku bernyanyi lagi.

Aku mengabaikan mereka dan kembali ke mejaku. Aku menarik kursi di samping Zara agar posisi kami lebih dekat dari sebelumnya. Aku masih tidak bisa membiarkan pria lain mendekati Zara. Karena itu sudah terjadi, maka aku harus lebih dekat dengannya.

"Kamu suka lagunya?" bisikku pada Zara.

"Aku selalu suka suaramu, El. Tapi lagu yang tadi ... terlalu spesial buatku," sahutnya.

Aku tersenyum lembut padanya dan berkata, "Justru spesial itu ada pada dirimu sendiri, Ra." Kemudian tanganku terangkat untuk menyampirkan rambutnya ke belakang telinga.

Tanpa diduga, pria yang mengambil alih kursiku di sebelah kanan Zara berdeham. Kami berdua pun kompak menatapnya.

"Maaf mengabaikanmu, Ren. Perkenalkan dia El,"ujar Zara sebelum kembali menatapku. "El, dia Ren, anak teman ayahku."

Anak teman ayahku, entah kenapa terdengar tidak baik. Aku curiga jika pria itu adalah orang yang akan Om Zayed jodohkan dengan Zara.

Sebagai formalitas, aku mengulurkan tanganku dan tersenyum pada pria bernama Ren itu.

"Ren," ujarnya sambil menjabat tanganku.

Senyumku yang ramah berubah jadi seringai. "Rafael. Calon suami Zara."

Deja vu. Namun, cara berkenalan seperti ini jadi bagian favoritku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro