Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

43 - I love You

Rafael Lazuardi

Kami memutuskan untuk pulang sore hari. Namun, aku tiba di rumah orang tua Zara sendirian karena sebelumnya Om Zayed meminta untuk diantar sampai hotel tempat acara pernikahan besok. Beliau bilang, istrinya ada di sana. Aku jadi gugup ketika menyadari bahwa aku akan berdua saja dengan Zara di rumah. Terlebih, aku mendapat kesempatan untuk menyelesaikan masalah kami tanpa ada orang lain.

Aku sedang berdiri di depan rumah dan menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya kembali. Aku mengangkat tanganku yang terkepal dan mengetuk pintu tiga kali. Tidak mungkin aku menerobos langsung masuk ke dalam meski menginap beberapa malam di sini.

Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Zara muncul di hadapanku. "El? Ayah mana?" tanyanya sambil celingukan menatap ke belakangku.

"Ayahmu minta diantar ke hotel tadi," sahutku.

"Oh," responsnya. Ekspresinya tampak kecewa, dan aku tidak bisa menebak apa alasannya. Yang pasti, aku tidak senang dengan suasana seperti ini. "Ya udah, ayo masuk, El." Ia menggeser badan, memberiku jalan agar bisa masuk.

"Zara," panggilku ketika ia berjalan melewatiku.

Aku bernapas lega karena ia mau berhenti dan berbalik menatapku. "Iya, El?"

Sebenarnya aku tidak tahu apa yang ingin kukatakan padanya. Aku ingin menyelesaikan masalah kami, ingin hubungan kembali seperti dulu tanpa ada kecanggungan seperti ini. Situasi ini sungguh menyesakkan dan aku menyesal sudah mengabaikan Zara. Aku rindu mengganggunya, rindu menyentuhnya, rindu bicara dengannya. Semakin aku menyadari betapa aku merindukannya, jantungku berdebar semakin kencang.

"El? Kamu mau ngomong sesuatu?"

Alih-alih menjawabnya, aku justru merengkuhnya dalam pelukan. Meletakkan kepalaku di ceruk lehernya agar dapat menghirup aroma yang menguar dari sana. Baru seminggu kami tidak saling bicara, dan aku sudah segila ini.

"Aku merindukanmu, Ra." Akhirnya hanya itu yang keluar dari kedua belah bibirku. Mengingat interaksi kami pagi tadi, aku sudah menantikannya melepaskan diri dariku. Dan dengan egoisnya aku memeluk Zara semakin erat.

"Kukira kamu mau bilang maaf." Suara Zara menyadarkanku. Ia tidak sedikit pun berusaha melepaskan diri dariku.

"Maaf," ujarku, menurutinya. "Ketika menghadapi masalah, aku tidak terbiasa menceritakannya pada orang lain." Aku mengaku. "Menyebalkan ya?"

"Apa sampai harus mendiamkanku juga? Aku nggak tahu apa-apa lho, El."

Aku tertawa di ceruk lehernya sampai kurasakan ia bergidik geli. Meski rambutnya pendek, Zara suka sekali menggelungnya tinggi. Apalagi jika sedang berada di rumah.

"Aku lelah terus-terusan berdiri, El. Bisa kita pindah posisi?" pintanya. Namun, ia tidak sedikit pun berusaha untuk melepaskan diri. Agak merusak suasana sebenarnya. Zara selalu tahu bagaimana terlepas dari skinship dengan orang lain, dan kali ini ada sedikit kemajuan. Ia memintanya dengan nada yang lebih halus.

Akhirnya, dengan berat hati aku melepas pelukan kami dan menarik tangannya menuju sofa terdekat. Kami duduk bersebelahan, dan menatapnya lamat-lamat seperti aku akan kehilangannya jika mengalihkan pandanganku sedetik saja. Jujur, Zara tampak semakin indah saja setiap harinya.

"El? Lama-lama kamu bikin aku takut."

"Ada sesuatu yang menggangguku saat itu. Pikiranku mudah sekali terkecoh oleh hal lainnya sampai mengabaikan sekitar. Tapi aku nggak pernah berniat buat ngabaikan kamu." Aku membungkus tangannya dengan kedua tanganku dan mengusap-usapnya.

"Seminggu itu lama lho, El."

Aku mengangguk. "Benar, seminggu juga lebih dari cukup buat membuatku sadar."

Zara mengerutkan dahinya dan bertanya, "Sadar apa?"

"I love you, Ra."

Jantungku berdebar hebat di dalam sana. Seperti seseorang yang jatuh cinta tentunya. Bedanya, ini terasa sangat menakutkan. Bagaimana jika Zara menolak? Kendati hal seperti itu seharusnya tidak menjadi masalah, karena kelak kami akan menikah, tapi aku tetap takut seandainya Zara tidak merasakan hal yang sama. Atau mungkin ia akan menjauh dariku?

Demi menahan agar Zara tidak ke mana-mana, atau tiba-tiba refleks mengambil jarak sejauh mungkin dariku, aku memegang tangannya erat, dan tidak sedikit pun melepasnya. Kupandangi wajahnya dengan penuh damba. Aku yakin, di mataku terpancar jelas sorot penuh harap kepadanya. Dan aku berharap ia mengerti.

Zara bergeming. Ia menatapku dengan tatapan tidak percaya, tapi juga tampak tidak berniat melepaskan diri dariku sedikit pun. Aku benar-benar tidak bisa menebak apa yang dipikirkannya saat ini. Seandainya ia belum memiliki perasaan apa-apa padaku, setidaknya aku harus siap menunggu sedikit lebih lama lagi. Benar, itulah yang harus kulakukan.

"El, tidakkah ini terlalu cepat?"

Aku menggeleng. "Justru ini terlalu lama bagiku, Ra. Sejak dulu aku menyia-nyiakan mutiara sepertimu. Andai aku tahu bahwa saat-saat bersamamu sangat nyaman, menyenangkan, dan mendebarkan, mungkin kita sudah menikah sekarang."

Kali ini Zara yang menggeleng, ditambah senyum malu-malu, dan ia menunduk untuk menyembunyikannya. "Kalau kamu mendekatiku sejak dulu, kita nggak akan bersama, El. Aku takut, ingat?"

Aku menarik tangannya dan mengecupnya dengan lembut. "Aku lupa. Siapa pun yang ingin memilikimu akan melupakan itu dan nggak akan menyerah gitu aja hanya karena ketakutanmu. Aku di sini untukmu, melenyapkan rasa ketakutanmu. Ingat?"

"Harusnya aku kabur, kan, sekarang?" Zara bertanya, kemudian mengangkat kepalanya lagi dan tatapan kami bertemu. "Harusnya aku jaga jarak dari kamu, jantungku berdegup kencang sekarang. Tapi bukan karena rasa takut itu. Rasanya aneh, El. Menggelikan dan ... aku nggak tau gimana ngomongnya."

Zara tersenyum lebar dan itu menular padaku.

"Kenapa pengakuanmu justru bikin aku senang, El?"

"Karena hatimu sudah mengharapkan cinta, Ra. Kamu terlalu lama mengurung diri dari cinta yang orang lain ingin berikan padamu. Hatimu lelah menunggu sebenarnya, dan ketika harapannya terpenuhi, itulah yang kamu rasakan sekarang." Kali ini aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak tersenyum lebar. Sangat lebar sampai seluruh gigiku mungkin terlihat sekarang.

Aku menikmati bahagia ini, sambil menekan perasaan lama yang masih bersarang; rasa cintaku pada Daria. Hanya bersama Zara aku bisa melupakan bahwa rasa itu pernah ada untuk Daria. Aku yakin dengan terus-terusan bersamanya seperti ini, sosoknya di hatiku benar-benar hilang, dan digantikan oleh Zara dengan segala keistimewaannya sebagai wanita. Aku berjanji akan menerima segala kekurangannya. Karena dengan mencintai berarti aku harus siap menerima segala aspek yang ada pada dirinya.

"Apa aku juga merasakan hal yang sama denganmu?"

Pertanyaan Zara membuatku gemas sebenarnya. Ternyata ia memang sangat baru dalam urusan percintaan. Dan aku bersyukur menjadi orang pertama yang memperkenalkan rasa terindah itu kepadanya.

"Aku nggak memaksa kamu untuk merasakan hal yang sama sekarang. Rasa itu nggak bisa dipaksa untuk datang, tapi sekali kamu sudah merasakannya, jangan tahan dirimu untuk menikmatinya." Aku mencium punggung tangannya. "Dan apa yang kurasakan untukmu tulus, Ra. Kamu nggak perlu takut lagi."

"Aku nggak tahu harus bilang apa, El. Apa boleh aku merasa sebahagia ini?"

Aku tertawa dan menariknya dalam pelukanku. Ekspresinya malu tapi mau-nya terlalu lucu sampai aku tidak sanggup menatapnya lebih lama lagi.

"Kamu berhak bahagia, Ra. Tolong keluarlah dari bayang-bayang masa lalumu, Ra."

Hal yang tidak kusangka terjadi selanjutnya, Zara membalas pelukanku. Menautkan kedua tangannya di punggungku. Aku tidak pernah merasa senyaman ini sebelumnya. Zara memiliki sesuatu yang sangat spesial dalam dirinya dan aku tidak bosan untuk mengatakannya berulang kali.

"Terima kasih, El. Terima kasih karena telah memperkenalkan perasaan itu padaku. Terima kasih sudah membersamaiku untuk melawan ketakutanku. Aku merasa sebanyak apa pun terima kasih yang kuucapkan padamu, nggak akan pernah cukup buat membalas kebaikanmu."

Aku mengusap punggungnya naik turun, membuatnya merasa nyaman. "Cinta nggak mengenal kata terima kasih, Ra. Itu bukan lagi imbalan yang kuharapkan darimu ketika aku melakukan apa pun padamu atas dasar cinta. Tahu bahwa kamu nggak nolak aku saja rasanya sudah lebih membahagiakan dari apa pun."

"Aku masih belum mengerti soal itu."

"Tenang aja, aku bakal nunjukin semuanya ke kamu, sampai kamu juga ngerasain hal yang sama ke aku," ucapku dengan sangat yakin. Aku sudah bertekad, lupakan Daria dan nikahi Zara. Aku tidak bisa lagi membayangkan akan bersama dengan wanita lain selain wanita yang ada dalam pelukanku saat ini.

"Aku menantikan itu, El."

Aku melepaskan pelukan kami dan menatapnya lamat-lamat. "Apa itu artinya kamu udah maafin aku, Ra?"

Alis Zara terangkat keduanya, mungkin lupa kalau sebelum pengakuanku tadi, ia masih marah padaku. Detik berikutnya ia tampak berpikir, dan aku hanya bisa berdoa Zara tidak mengubah pikirannya.

"Mungkin iya," ujarnya lalu menarik kedua sudut bibirnya menjadi satu garis lurus. "Tapi jangan u–"

Dengan cepat kumajukan wajahku dan mencuri ciuman di bibirnya. Hanya menempel dan itu pun tidak sampai satu detik kurasa. Rasa penasaranku selama beberapa bulan ini terobati. Bibirnya benar-benar sangat lembut.

"–langi lagi," sambungnya dengan mata melotot padaku dan mukanya memerah. Aku tidak bisa mengartikan apakah itu merona karena malu, atau karena ia marah.

"Maaf, aku udah nggak bisa menahan diri lagi, Ra," ujarku dan menunjukkan cengiran terbaikku padanya.

Aku agak lengah ketika Zara menarik dirinya dan berdiri, lalu mengambil jarak beberapa langkah dariku. Sebenarnya masih bisa kujangkau, tapi aku mengerti dengan kondisinya, masih tahu bahwa sikapnya itu terjadi secara refleks. Jadi, aku tetap diam di tempatku.

"Kamu ... sebaiknya balik ke kamar dan mandi, El. Aku–aku akan menyiapkan makan malam." Zara mengatakannya agak terbata dan aku bisa menemukan bahwa hal itu membuatnya kesal sendiri. Sebab, ekspresinya jadi berubah masam.

"Nyiapin makan malam? Kamu beneran udah siap jadi istri, Ra," godaku. Wajahnya memerah lagi dan aku menahan diri untuk tidak tertawa.

"Terserah, El. Terserah."

Kemudian ia beranjak meninggalkanku sendirian di ruang tamu. Benar-benar seorang wanita. Kata terserah selalu jadi andalan mereka jika enggan berdebat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro