4 - Matching
Rafael Lazuardi
"Zara enggak ada cowoknya, El."
Kami sama-sama menoleh ke sumber suara. Vita berjalan menghampiri kami sambil mengangkat kain rok busananya yang lebar. Di belakangnya ada Dian yang kerepotan menggendong putranya sambil membawa es krim.
Anak kecil. Aku tidak terlalu menyukai mereka. Maka, ketika Dian dan putranya ingin duduk, aku langsung berdiri dan membiarkan dia duduk di kursiku. Sementara aku berpindah duduk di seberang Zara. Sebisa mungkin agar tidak berdekatan dengan anak kecil. Dian tersenyum dan menggumamkan terima kasih padaku. Rupanya dia mengira aku sedang membantunya, padahal tidak.
"Suka nolak soalnya," ujar Vita lagi setelah menarik kursi dan mendudukinya.
Di depanku, Zara melotot kaget, seperti melayangkan protes bahwa itu tidak benar. Namun, di situasi seperti ini, aku justru ingin menggodanya.
"Berarti Zara sering ditembak, dong?" Aku tersenyum jenaka.
"Nggak pernah. Jangan percaya Vita. Dia suka melebih-lebihkan." Zara mengelak dengan cepat mendahului Vita yang sudah membuka mulut.
"Jadi, aku harus percaya siapa?"
"Aku, dong. Mau dengar ceritanya selama ini?" tawar Vita.
"Vita!" pekik Zara memperingatkan. Aku melirik wanita itu hanya untuk melihat wajahnya yang memerah. Bukan karena marah, tapi malu. Sebab matanya tidak melotot sebagaimana raut wajah orang-orang yang marah pada umumnya.
"Zara sering dideketin cowok, tapi dia menghindar terus. Sampek si cowok frustrasi terus curhat ke aku. Kan, ngerepotin."
"Jangan ngarang, Vit!"
Aku tertawa setelah mendengar cerita singkat Vita. Jika itu benar terjadi pada Zara, kurasa aku tidak akan heran. Aku sudah bisa merasakannya meski hanya satu jam duduk bersamanya di sini.
Bukan ingin jadi sok tahu, tetapi Zara benar-benar seorang wanita yang sulit diajak mengobrol. Kuakui, yang tadi itu adalah kali pertama aku harus berpikir keras hanya untuk mengobrol. Awalnya kupikir itu karena Zara merasa kami tidak cukup dekat. Aku ingat jarang sekali mengobrol dengannya waktu kuliah. Namun, tidak kusangka ia memang bersikap seperti itu pada setiap laki-laki.
Satu hal yang pasti, ada gejolak dalam diriku ingin mengenal Zara lebih jauh. Bukan untuk mendekatinya secara khusus. Hanya ... penasaran, kurasa.
"Ekhem."
Aku memutar kepala untuk melihat Dian yang sedang menatapku dengan tatapan geli. Rupanya ia satu-satunya yang menyadari bahwa aku terlalu lama menatap Zara. Aku sampai tidak sadar jika putranya sudah berada di asuhan Vita. Malu juga ketahuan orang lain.
"Oh iya, pacarmu yang kemarin mana, El? Kok, nggak diajak?" Dian bertanya. Sayangnya, pertanyaan itu justru membuka luka yang sedang kucoba untuk tutupi rapat-rapat.
"Kamu tau, kan, yang namanya pacaran itu jarang awet." Aku berujar remeh.
Bagiku, pacaran hanyalah fase di mana seorang pria dan wanita memutuskan untuk saling mengenal lebih dalam. Mungkin akan ada banyak orang yang membantah itu, karena mereka yang benar-benar tulus dan yakin, akan segera mengikat kekasihnya dalam sebuah ikatan yang dinamakan pertunangan, atau bisa saja langsung menikahinya. Namun, aku meyakini bahwa pacaran hanyalah masa percobaan, sebelum akhirnya diputuskan kapan harus kami akhiri. Persis seperti yang sudah kualami selama ini.
"Kapan serius nyari calon istri?" Dian bertanya kalem. Meski begitu, kedua bola matanya yang berputar menunjukkan bahwa ia sudah bosan menanyakan itu kepadaku.
Di antara mereka bertiga, aku memang cukup akrab dengan Dian. Selain karena kami satu kelompok saat mengerjakan tugas akhir, ia juga seorang wanita yang supel dan penuh perhatian pada teman-teman di kelas. Hingga semua orang cukup akrab dengannya.
Kembali pada pertanyaannya, sayang sekali aku adalah seorang pria yang suka bersenang-senang. Menuju jenjang pernikahan adalah sesuatu yang berat dan perlu pertimbangan yang matang bagiku. Harus siap membagi waktu untuk keluarga dan bersenang-senang. Aku masih belum siap melepas masa-masa kebebasanku. Meski terkadang keinginan untuk menikah itu sering berkeliaran di kepala.
"Aku udah ada rencana ngelamar dia, tapi terlambat. Ada pria lain yang tampak lebih siap dariku."
Kami terdiam kemudian. Dian menatap iba padaku. Tak berbeda dengan Zara. Ia menatapku dengan sorot mata yang ... entahlah, aku tidak bisa mengartikannya. Yang jelas, ia seperti tidak mengerti apa pun, tetapi mencoba untuk ikut merasakan apa yang kurasakan. Tampak selemah itukah aku bagi mereka?
Padahal di saat-saat seperti ini aku tidak perlu untuk dikasihani. Lagi pula aku tidak memiliki tampang semenyedihkan itu. Orang-orang yang mengenalku bahkan tertawa keras saat kuceritakan itu pada mereka. Sampai-sampai membuatku merasa seperti seorang pecundang yang brengsek.
"Ciyee ciyee yang tadi dapat buketku."
Kami berempat serempak menoleh ke arah Rosetta yang menyusul menghampiri kami. Lengannya tertaut dengan milik Sam. Di belakang mereka, ada teman-temanku yang sejak tadi kunantikan kehadirannya.
"Ke mana aja kalian?" tanyaku tanpa basa-basi, mengabaikan olokan Rosetta.
Kursi yang tersisa di meja ini hanya tiga, itupun sudah diduduki oleh Rosetta, Sam, dan Yohanes. Sisanya menarik kursi dari meja lain hingga kami membentuk lingkaran abstrak yang sangat rapat, seperti tidak ingin membiarkan siapa pun ikut bergabung bersama kami. Lagi pula, tamu yang berhadir semakin sedikit.
"Macet banget. Ada demo di sekitar bundaran. Kami sampai diminta buat ngambil jalan memutar. Itu pun macet juga," keluh Yohanes. Ia mengusap peluh di dahinya dengan pergelangan kemeja dan aku spontan mengambilkan tisu untuknya.
"Jorok, Han. Pakai tisu nih," protesku. Gara-gara itu aku jadi lupa ingin bicara apa padanya.
"Kenapa ada buket bunga di sini?" Evan, satu-satunya pria yang berkacamata di antara kami menyentuh buket bunga yang tergeletak di atas meja.
"Karena bentar lagi El nikah. Tunggu aja undangannya," sahut Sam diiringi kekehan.
Aku memutar kedua bola mata. "Mitos dipercaya. Lagian calonnya belum ada."
"Nikahnya sama Zara aja," celetuk Rosetta.
"Ha?"
Bukan aku atau Zara yang memekik begitu. Namun, teman-teman kami yang beraksi seolah mereka menemukan sesuatu yang mustahil terjadi. Rosetta yang usulannya mendapat respons begitu hanya menunjukkan cengiran. Wanita itu dengan manjanya bersandar pada bahu sang suami, tidak canggung lagi memamerkan kemesraan sebab mereka sudah menjadi pasangan yang sah. Sungguh sesuatu yang membuatku makin iri.
"Kenapa harus Zara?" tanyaku. Meski sebenarnya kuakui ide itu tidak buruk.
"Kalian, kan, nangkap buketnya berdua," jawab Rosetta dengan santai.
Jujur saja, mitos tentang buket bunga pernikahan itu sangatlah konyol. Aku sampai kesal memikirkannya. Padahal kupikir kami memang tampak serasi jika disandingkan berdua. Namun, pemikiran itu justru lebih konyol lagi.
"Mau sama siapa lagi? Cewek di kelas kita udah pada punya pasangan. Tinggal Zara sama Tari yang masih solo. Tapi kamu nggak mau balikan lagi sama mantan, 'kan?" Sam menimpali. Aku mulai merasa keduanya sekongkol ingin menjodohkanku dengan Zara. Entah apa motif mereka.
Aku menatap Zara yang duduk di seberangku. Ia menunduk, seperti tidak nyaman dengan obrolan yang membawa-bawa namanya ini. Sayangnya, tidak ada satu pun yang peka akan hal itu. Entah ini karena aku yang terlalu memperhatikannya atau memang Zara tidak ingin yang lain menyadarinya.
"Ra, ini hanya saran," ujar Vita, menyentuh lengan Zara yang duduk di sampingnya. "Semakin tua kamu nikah, ketuaan juga ngurus anak. Masa anakmu baru SMP tapi rambutmu udah ubanan? Ntar anak kalian malu. Kemarin kubilangin kayak gini juga ke Rosetta. Dia langsung nerima lamaran Sam dan minta tanggal nikahnya dipercepat."
Benar-benar alasan paling konyol yang pernah kudengar. Jika dididik dengan benar, seorang anak tidak akan sampai berpikiran seperti itu terhadap orang tuanya. Mungkin Vita ingin menakut-nakuti Zara saja.
"Kamu ngomong gitu kayak aku nggak mau nikah aja," rengek Zara sembari memukul pelan tangan Vita.
"Jadi gimana? Sama El mau?" Kali ini seorang pria bertubuh gempal yang duduk di sampingku yang bersuara. Namanya Rama. Ia mengatakannya seolah menikah denganku adalah sebuah tawaran menakjubkan dan sangat terbatas.
Aku melirik Zara yang ternyata sudah menatapku lebih dulu. Kami berdua saling pandang sekitar tiga detik, dan aku mencoba mengartikan tatapan yang ia tujukan padaku. Akhirnya aku paham, ia ingin aku mengakhiri obrolan tentang kami berdua.
"Udah ya main jodoh-jodohannya. Doakan aja, siapa tau kami nikah beneran nanti," ujarku sebelum terkekeh. Kemudian melirik Zara sebentar, sekadar memberi isyarat bahwa itu memang rencanaku agar mereka berhenti.
Benar saja, mereka sudah tidak lagi memberondongku maupun Zara tentang menikah. Kini mereka mengobrol dengan topik lain, tetapi ada yang berbeda. Entah karena terbawa suasana obrolan tentang perjodohan tadi, atau dari awal aku sudah terpesona pada penampilannya, aku jadi lebih banyak memperhatikan gerak-gerik Zara. Bahkan saat wanita itu sedang minum pun tak luput dari pandanganku.
***
Kami berada di kediaman orang tua Sam sampai petang. Sayangnya, aku harus pulang lebih dulu. Ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan besok agar hari Senin aku bisa fokus dengan pekerjaanku. Sedangkan teman-temanku yang lain masih belum berencana untuk pulang. Mereka terlalu asyik bermain permainan kartu yang dulu biasa kami mainkan selagi menunggu dosen datang. Mereka benar-benar mengenang masa lalu, 'kan?
Sam sempat menahanku untuk pulang ketika aku pamit padanya. Dia memintaku menginap dan berkata bahwa ia sudah menyiapkan kamar. Namun, aku tidak peduli dan pergi begitu saja setelah mengucapkan selamat padanya sekali lagi. Sekarang giliran berpamitan pada Rosetta. Kuharap wanita itu tidak semerepotkan suaminya.
Aku melihat Rosetta berdiri di dekat pagar dengan Zara yang sudah mengganti pakaiannya dengan yang lebih santai. Ada koper di sebelah kakinya. Tampaknya bukan hanya aku saja yang ingin pulang sekarang. Kedua sudut bibirku terangkat ke atas ketika sesuatu terpikir olehku.
"Nggak papa, Ros. Nanti aku bisa tidur di bus, kok. Nggak bakal kecapekan."
"Tapi kamu sendirian, Ra. Aku takut kamu kenapa-napa. Udah ya, pulangnya besok aja."
"Ros, aku pulang ya," ucapku memotong pembicaraan keduanya. Aku berdiri sambil memegangi kunci mobil. Rosetta menoleh dan menatapku dengan wajah semringah. Seperti ia baru saja mendapat jackpot.
Rosetta kemudian menarik lengan Zara sampai berhadapan denganku. Tarikan Rosetta tampaknya terlalu kuat. Zara sampai kaget dan hampir melepaskan pegangan koper.
"El, sekalian anterin Zara pulang bisa nggak?"
Pertanyaan Rosetta membuatku tersenyum. Ini yang terpikirkan olehku sejak tadi. Namun, sebelum aku sempat menerima, Zara sudah lebih dulu menolaknya.
"Nggak searah, Ros. El, kan, udah pindah," ujarnya sambil menggeleng keras.
Bahu Rosetta lantas jatuh. Tatapannya mendarat padaku dengan sorot kecewa. "Bener juga ya."
"Bisa aja. Biar nggak searah pun aku siap nganterin kamu, Ra."
Bukan maksud menggombal, hanya menyadari situasi yang terjadi di antara dua wanita di hadapanku. Aku ingin pulang cepat. Begitu pula dengan Zara. Sementara Rosetta tampaknya jauh lebih merepotkan daripada tukang parkir di ruko-ruko yang biasa menghadang pengunjung membayar uang parkir.
Ketika wanita-wanita lain tersipu ketika seorang pria bersikap romantis padanya, Zara justru menatapku dengan mata melotot. Sebuah reaksi yang sama sekali tidak pernah kubayangkan. Sementara di sampingnya, Rosetta tersenyum puas. Kurasa setelah ini Sam harus berterima kasih padaku karena membuat istrinya senang dua kali.
"Ra, dengan begini aku bisa tenang. Kamu pulangnya sama El aja ya?" Rosetta mencoba membujuk Zara sekali lagi.
Zara melirikku dengan tatapan ragu dan aku mengangguk untuk meyakinkannya. Daripada rasa tidak nyaman, Zara lebih seperti ketakutan untuk ikut pulang bersamaku. Aku tidak menyangka jika aku tampak semenyeramkan itu baginya.
Akhirnya, setelah beberapa saat digunakan untuk berpikir keras, Zara menghela napas. Mungkin sadar jika mengelak terus hanya akan membuang-buang waktu.
"Titip salam sama Sam dan keluarga kalian, ya, aku pulang duluan," ujar Zara dengan lemah sembari memeluk pengantin baru itu.
"Iya, nanti aku sampaikan," sahut Rosetta. Kemudian beralih menatapku. "El, bawa mobilnya jangan ngebut, ya, kasian temenku nanti takut."
Rosetta berkata begitu dengan tatapan jenaka. Seperti ada maksud lain yang ia coba untuk sampaikan.
"Tenang aja. Sepuluh kilometer per jam. Biar bisa lama-lama berduaan sama Zara," gurauku, mengerti maksud dari tatapan Rosetta.
Aku mengerling pada Zara dan ia hanya membuang muka. Setelah ini, kurasa akan ada hal baik terjadi di antara kami berdua. Ya ... semoga saja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro