Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

35 - Ayah Mertua

Zara Naulia

Aku tidak tahu apa yang terjadi pada El sore ini. Sejak melajukan mobilnya dari kantorku tadi, pria itu jadi lebih banyak diam selama di perjalanan. Berbeda sekali dengan sosok El yang kutemui saat makan siang tadi. Seharusnya kami sedang mengobrol sekarang, bukannya tenggelam dalam sunyi dan membuatku bertanya-tanya.

Tanganku terangkat ingin menyentuh lengannya. Namun, setelah kupikir lagi, mungkin aku tidak perlu bertanya padanya dulu. Terkadang, diamnya seseorang bisa berarti ia tidak ingin diganggu. Ditambah lagi, El belum pernah menceritakan masalahnya padaku. Tanganku terkepal dan jatuh kembali ke pangkuanku.

Bahkan sampai berbelok masuk ke komplekku pun El masih diam. Aku melempar pandanganku ke luar jendela dan menemukan minimarket. Aku lantas teringat bahwa ada beberapa bahan makanan yang habis di rumah. Lelah bekerja bukan berarti aku enggan memasak untuk diriku sendiri.

"El, berhenti di depan sana aja ya," ujarku sambil menunjuk minimarket yang tak jauh di depan kami.

El masih tidak bersuara dan itu semakin membuatku penasaran denga  apa yang terjadi padanya. Namun, ia tetap memberhentikan mobilnya di depan minimarket.

"Kamu bisa langsung pulang aja," ujarku sambil melepas sabuk pengaman.

"Nggak mau kutungguin?" Akhirnya ia bersuara dan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.

"Nggak jauh lagi, kok, dari rumahku." Aku meraih kuncian pintu mobil dan menatapnya. "Kamu keliatan terganggu sama sesuatu. Jadi kupikir lebih baik kamu pulang dan tenangkan pikiran. Aku bisa pulang sendiri."

Setelahnya, aku berhasil membuka pintu mobil. Namun, ketika aku akan keluar, El menarik tanganku. Mau tidak mau, aku kembali menatapnya.

"Sorry, Ra. Aku nggak bermaksud mengabaikanmu," ujarnya pelan. Penyesalan terpancar dari sorot matanya yang hitam kelam.

Aku mengangguk dan mengulum senyum. "Pulanglah, El."

Aku lekas-lekas keluar dari mobil sebelum ia bicara lagi. Di depan pintu minimarket, aku berbalik sebentar untuk melihat mobilnya melaju menuju arah ke luar komplek. Menyadari bahwa ia tidak memiliki niat untuk menceritakan apa yang terjadi membuatku tertohok. Awalnya aku mengira El akan tetap menungguku, dan ia akan membagi apa yang sedang mengganggu pikirannya. Sayangnya, itu hanya bayangan di kepalaku saja.

Ingatanku kembali berlabuh ke masa di mana ia mengutarakan akan menikahiku pada orang-orang. Aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Logikanya, apakah mungkin menikahi seseorang yang tidak kita percaya untuk menerima semua keluh kesahnya?

Sekali lagi, El membuatku ragu akan kelanjutan komitmen kami ke depannya.

***

Malamnya, aku sedang menikmati bolu matcha hangat yang baru kukeluarkan dari oven sepuluh menit lalu. Aku duduk di ruang tengah dengan segelas susu cokelat, ponsel, buku, dan TV menyala yang menemani.

Sesekali aku melirik ponsel di atas meja. Biasanya, El akan mengirimkan pesan di jam-jam ini. Entah itu menanyakan apa yang kulakukan, atau mengirim rekaman nyanyiannya. Aku menarik napas kuat-kuat, lalu menghembuskannya dengan keras, berharap kegundahanku tentang El akan melebur bersama karbon dioksida yang memenuhi ruangan.

Satu piring bolu habis. Aku meraih gelas susu cokelatku dan meminumnya sambil mengganti channel TV dengan remote. Malam ini benar-benar membosankan. Dan parahnya, aku baru sadar bahwa malam-malamku selalu kuhabiskan seperti ini sebelum bertemu dengan El lagi.

Aku tidak bisa mengelak bahwa aku menikmati waktu yang kuhabiskan dengan berkirim pesan padanya. Jika tidak, mana mungkin aku sampai segundah ini karena tidak mendapat kabar darinya.

Ketika aku hampir tenggelam dalam lamunan, ponselku berdering. Aku lekas-lekas meraihnya sambil berharap si penelepon adalah El. Namun, yang kutemukan adalah panggilan video dari Ayah.

"Halo, A–" Ucapanku terhenti dan berganti dengan tawa ketika mendapati Zia dan Caca berebut untuk mengambil ponsel ayah.

"Sebentar, Sayang. Sini Ayah dulu yang bicara sama Kakak ya."

Terdengar suara ayah di antara keributan yang dua adikku ciptakan. Tak lama kemudian layar ponselku yang menampilkan gambar acak hasil tangkapan dua adikku, kini berganti dengan wajah Ayah. Tak banyak berubah, beliau masih rajin bercukur dan kini ada kacamata yang bertengger di atas hidung mancungnya.

Satu hal yang membuatku percaya diri dengan wajahku adalah hidungku berasal darinya. Bukan berarti aku tidak menyukai sisanya. Ibuku sangat cantik, dan aku lebih bangga lagi karena wajahnya menurun padaku.

"Halo, Ayah," sapaku.

"Zara sayang, apa kabar, Nak?"

"Baik, Yah. Di sana kabarnya gimana? Zia makin aktif aja ya." Aku terkekeh di ujung kalimat.

Selanjutnya yang kudengar adalah helaan napas Ayah.

"Ayah nggak mau ngasih tau. Biar Zara aja yang nyamperin ke sini." Kemudian Ayah menunduk, mungkin menatap Zia atau Caca. "Ya, Nak, ya?" tanyanya pada mereka.

Aku meringis. Itu adalah bagian yang tidak kusuka dari ayah. Ngambekan. Tanpa peduli beliau sudah punya tiga anak, jika tidak mendapatkan apa yang diinginkan, beliau akan mendiamkan orang-orang.

Bunda sering curhat padaku jika kewalahan menghadapi sikap Ayah yang satu itu. Dan aku hanya tertawa untuk meresponsnya. Tidak ada yang serius dari rajukan Ayah. Paling-paling hanya bertahan beberapa jam. Jika tidak, mungkin Bunda sudah meninggalkannya.

"Tega banget, Yah," keluhku. "Zara, kan, belum bisa ke sana."

"Tapi liburan, kok, bisa?"

Aku membulatkan mataku kemudian. Bagaimana mungkin beliau mengetahuinya? Padahal seingatku aku tidak menceritakan tentang liburan itu pada siapa pun selain Ibu.

Kemudian aku tersadar. Pasti karena Ibu cerita ke Bunda. Lalu Bunda menceritakannya ke Ayah. Kadang agak merepotkan memiliki dua ibu dan mereka akur. Sekarang, aku harus menjawab apa? Apalagi Ayah tidak mengetahuinya langsung dariku.

Aku cengengesan dibuatnya. Karena tidak tahu harus menjawab apa, aku hanya menunjukkan cengiran terbaikku padanya.

"Dua minggu lagi Nanda mau nikah sekalian resepsi, Ra. Awas kalau nggak ke sini."

Oke. Sekarang aku terkejut dengan kabar itu. Nanda adalah sepupuku. Ia baru lulus kuliah tahun lalu dan yang terakhir kudengar ia memiliki kekasih. Keluarga Ayah semuanya memang tinggal di satu kota yang sama. Dengan begitu, mereka tidak akan kerepotan jika ingin mengunjungi satu sama lain. Makanya aku selalu perlu waktu yang panjang jika ingin pergi ke sana. Sebab, bukan hanya rumah Ayah yang kukunjungi, saudara-saudaranya juga.

"Serius udah mau nikah, Yah?" tanyaku, masih belum bisa percaya dengan kabar yang kuterima.

"Nanda nggak kayak Zara. Cari cowok tunggu nanti-nanti. Nah, keduluan, kan, jadinya?"

Aku hanya bisa tertawa mendengarnya. Ayah memang selalu berhasil membuatku terpojok meski aku sadar itu hanya gurauan. Andai beliau tahu apa yang sudah kulalui, beliau tidak mungkin mengatakan itu padaku.

Sakit hati, sih, sebenarnya. Karena semua itu berawal dari dirinya yang tega meninggalkan Ibu. Kemudian perlakuan ayah tiriku yang membuatku semakin sulit untuk percaya pada laki-laki. Bagiku, mereka hadir di dunia ini untuk dua hal, untuk melindungi kami, atau untuk menyakiti kami. Kendati demikian, semuanya memiliki potensi untuk menyakiti.

"Zara, kok, diam?"

Aku kembali menatap wajahnya dan memaksakan seulas senyum. "Nggak papa, Yah," sahutku. Aku tidak ingin membuatnya terbebani dengan masa lalu kelam jika kuceritakan.

Sorot matanya menunjukkan kekhawatiran, tapi sebentar saja karena kemudian ia tersenyum padaku. "Kalau bisa, Zara datang satu minggu sebelum hari-H ya?"

"Seminggu?" Aku teringat akan cutiku yang belum kuambil. Mungkin akan coba kuajukan besok. "Nanti Zara coba ajukan dulu ya, Yah. Semoga aja disetujui."

"Iya, Nak. Jangan lupa bawa pasangan sekalian ya, Ra. Kalau nggak punya, nanti Ayah kenalin sama anak teman Ayah."

Aku melotot ketika Ayah justru tersenyum jahil padaku. Ternyata yang dikatakan bunda waktu itu bukan gurauan. Ayah memang berencana ingin menjodohkanku.

"Ayah nggak serius, 'kan?"

"Ayah, kan, nggak mau kalah dari Om Edi. Masa dia nimang cucu duluan daripada Ayah?"

Aku tersenyum masam. Benar juga, Om Edi adalah adik Ayah dan sepupuku yang akan menikah adalah putrinya. Mungkin benar kata orang-orang, impian orangtua bukan hanya melihat anak-anaknya bahagia, tapi juga mengasuh cucu dari anak-anaknya.

"Tapi, kan, emang udah keduluan Nanda, Yah," elakku.

"Dan Ayah udah nggak sabar pengen jadi mertua, Ra. Uban Ayah udah nambah banyak lho."

"Sabar sedikit lagi ya, Yah," ujarku sambil terkekeh.

"Selalu gitu," keluhnya. "Mana Zia sama Caca tadi ya. Katanya mau ngobrol sama Kakak."

Selanjutnya yang kulihat adalah tangkapan kamera ayah di penjuru rumah ketika ia membawa ponselnya untuk mencari kedua adikku. Selama menunggu, pikiranku langsung tertuju pada El.

Sempat terpikir untuk mengajaknya pergi ke pernikahan Nanda. Sebenarnya mudah saja seandainya ia tidak tiba-tiba diam seperti tadi. Aku jadi tidak enak ingin memberitahunya bahwa aku akan pergi ke luar kota minggu depan.

Sebenarnya aku ingin memperkenalkan El pada Ayah, ingin memberitahu ayah agar ia tidak perlu repot-repot membawaku pada anak temannya. Namun, rasanya sulit sekali. Bagaimana jika saat aku membawa El bertemu ayah, dan Ayah akan bertanya tentang bagaimana kesiapan kami untuk menikah? Ayah tentu tidak akan menunda-nunda lagi seandainya tahu aku bersama El.

Namun, aku yang belum siap untuk hidup bersama El. Bukan hanya aku, tapi aku yakin El juga tidak siap.

"Kak Zara!"

Aku terkesiap mendengar suara Caca. Layar ponsel kembali kutatap dan aku tersenyum pada Caca dan Zia. "Caca, Zia. Udah makan?"

"Udah, Kak," sahut Caca. Usianya dua tahun di bawah Daffa.

"Zia," panggilku. Ia baru berusia satu tahun dan aku tetap memanggilnya meski tidak yakin apa ia sudah bisa bicara atau belum.

"Tat Daya."

Aku tertawa mendengar caranya memanggilku. Suara anak kecil bicara selalu berhasil meringankan beban pikiranku meski kebanyakan aku tidak mengerti apa yang ia ucapkan.

Selama dua jam berikutnya, aku menemani mereka sampai keduanya mengantuk dan tertidur. Aku senang, mengobrol dengan mereka membuatku melupakan kejadian sore tadi. Dan berhasil membuatku semakin bersemangat untuk mengajukan cuti besok. Tekadku bulat untuk pergi ke tempat ayah minggu depan. Sebab pernikahan Nanda tidak boleh kulewatkan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro