23 - Peluk
Rafael Lazuardi
Aku belum pulang dari rumah Zara. Tepatnya, enggan untuk pulang. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku masih terlalu asyik bermain dengan Daffa. Tidak kusangka adik Zara sangat jago memainkannya. Zara pun masih ada di sini menonton TV. Sedangkan Fia, sudah terlelap di kamar bersama ibunya.
"Ra, nggak mau ikutan?" tegurku, bergurau tentunya. Ia tampak suntuk dan beberapa kali kudapati menahan kantuk. Entah karena film membosankan yang tayang di TV saat ini, atau karena ia bosan menunggu kami.
"Nggak ngerti," sahut Zara dengan malas.
Aku terkekeh. Mataku fokus pada ponsel ketika aku bersama dengan Daffa fokus menyerang musuh. Sampai beberapa saat kemudian anak ini tertawa keras sekali. Itu berarti kemenangan. Aku mengangkat tanganku ke arahnya, menunggunya untuk ber-high five sebagai bentuk selebrasi.
Daffa rupanya senang sekali bermain denganku. Karena selanjutnya ia mengajakku untuk bermain lagi. Aku bermain dengannya cukup lama sampai lupa tujuanku kemari. Jadi, kutolak ia baik-baik dan mengatakan sudah waktunya untuk tidur. Aku memberikan nomor ponselku, agar jika ia ingin sesekali bermain, ia bisa meneleponku.
Ibu mertua, check. Satu adik ipar, check. Kalian boleh menertawakanku sekarang.
"Oke, lanjut kapan-kapan ya, Bang." Daffa mengatakan itu dengan senyum yang lebar. Melegakan sekali melihatnya sebahagia itu.
"Pastinya," sahutku sambil mengangkat kedua jempol.
Kami sudah cukup akrab meski hanya sekali bertemu. Aku memang mudah dekat dengan orang lain. Setelah ini, aku penasaran apa yang akan Zara pikirkan tentangku. Kuharap ia akan tersentuh melihat kedekatanku dengan adiknya.
Daffa berlari ke kamar yang pintunya berada di samping rak TV. Setelah sebelumnya usil menggelitik telapak kaki Zara yang berada di atas sofa. Zara terlonjak karena tampaknya itu salah satu bagian tubuhnya yang paling sensitif. Aku ingin tertawa melihatnya, tapi melihat ekspresi kesal Zara, aku khawatir ia akan mengomeliku juga.
"Daffa!" pekiknya. Tangannya menangkap udara karena gagal menangkap lengan Daffa yang melesat dengan cepat.
"Daffa usil juga," komentarku seraya menyimpan ponsel ke dalam kantong jaket, lalu menggeser badan agar lebih dekat dengan Zara. Sementara wanita itu sibuk mengganti channel TV di depannya. Tidak berkomentar sedikit pun.
"Nyari apa, Ra? Jam segini udah nggak ada yang seru di TV."
Zara tidak menghiraukanku. Ia masih sibuk dengan remote di tangannya. Aku yang tidak suka diabaikan, merampas remote itu dari Zara. Menjauhkannya saat ia mencoba untuk merebutnya kembali.
"Balikin dong, El," pinta Zara. Tak berhenti berusaha meraih remote yang kini kuangkat tinggi-tinggi.
"Ambil aja kalau bisa."
Ia masih belum menyerah. Sampai tidak sadar hampir menempelkan badannya padaku. Aku tidak tahu acara apa yang ia cari di TV sampai berusaha sekeras ini untuk merebut remote dariku.
Aku tidak tahu apa yang salah dengan mataku, tapi ekspresi seriusnya saat ini berkali-kali lipat lebih cantik. Darahku berdesir, menimbulkan gejolak aneh dan membuat jantungku memompa semakin cepat. Suaranya di dalam sana membuatku tuli. Bahkan suara TV pun tak terdengar lagi. Pusat rotasiku mendadak terfokus pada sepasang mata kecokelatan itu. Berusaha menyelam ke dalam euforia yang timbul dari sensasi mendebarkan ini. Sampai akhirnya Zara sadar akan posisi kami berdua.
Seandainya aku merebahkan tubuhku, ia akan jatuh di atasku. Dan aku tidak akan menunda-nunda lagi untuk mendekapnya dengan erat. Satu hal yang sangat ingin kulakukan sejak lama, tapi teringat akan batasan di antara kami berdua.
Zara akhirnya menyerah. Ia lekas-lekas kembali ke posisinya dan membuang muka. Jujur saja, situasi ini tak berbeda canggungnya dari insiden malam kemarin. Aku mengorbankan seekor ikan demi sebuah momen mendambakan.
Aku menurunkan lagi tanganku, meletakkan remote di atas pangkuan. Ingin sekali tertawa melihat ekspresi kesal Zara.
"Jangan kayak bocah deh, El," keluhnya.
"Siapa yang kayak bocah? Yang cemberut kamu, kok, bukan aku." Aku meledeknya. Telunjukku bergerak usil di dagunya. Dan Zara dengan cepat menepis tanganku.
Aku semakin suka menggodanya saat mendengar Zara berdecak. Semakin lama mengenal wanita itu membuatku menemukan lebih banyak ekspresi yang belum pernah Zara tunjukan pada kami selama ini. Dan Zara benar-benar seorang wanita yang penuh misteri bagiku. Tidak mudah mendekatinya, tapi dia se-worth it itu untuk diperjuangkan.
"Kamu ngapain ke sini, El? Ngambil jaket? Aku sampai panik pas tau ibu nemuin jaketmu. Di mana, sih, kemarin kamu naruhnya? Aku aja nggak liat pas beres-beres rumah." Zara mengomel kemudian. Hilang sudah rasa kesalnya.
Aku menaikkan sebelah alis, mood-nya berubah cepat sekali. Mungkin memang sudah kodratnya wanita dilahirkan dengan kemampuan mengubah mood dengan sangat cepat. Dan aku baru menyadari bahwa wanita seistimewa itu.
"Aku nggak sadar kalau jaketku ketinggalan. Mungkin udah jalannya mau ketemu sama Ibu kamu," jawabku dengan tenang sambil meletakkan remote tadi ke atas meja.
Aku diam sebentar, kemudian menatap Zara penuh lekat-lekat. Sambil berharap ia menoleh dan mengerti arti tatapanku. Tatapan yang menunjukkan betapa aku sangat ingin menyentuhnya. Minimal duduk lebih dengan posisi lebih dekat dari sekarang. Ngode ya? Aku hanya khawatir Zara akan menjauh kalau aku bertindak secara tiba-tiba.
"Enggak tau kenapa aku pengen liat kamu hari ini. Hariku belum lengkap kalau belum ketemu kamu." Aku berkata jujur. Bukan bermaksud cheesy apalagi gombal.
Bisa kulihat dengan jelas kalau Zara menegang. Dengan gerakan lambat, ia menoleh dan menatapku dengan matanya yang membola. Hanya satu yang kurang, rona kemerahan itu tidak ada di pipinya.
"El," panggilnya. Ia mengerutkan dahi, bibirnya bergerak kecil seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi urung.
Akhirnya aku memberanikan diri untuk menggeser badan dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Aroma Zara sangat wangi ketika aku menghirup udara kuat-kuat. Bahkan sampai memejamkan mata saking menikmatinya.
"Sebentar ya, Ra. Rasanya mau meledak kalau ditahan-tahan terus," ujarku hampir mirip gumaman.
"El, duduk yang bener dong. Nanti kalau Ibu ngeliat dan salah paham gimana?" pinta Zara. Bahunya mulai bergerak gelisah, memaksaku untuk mengangkat kepala.
"Ya nggak papa, kan, aku calon menantunya," sahutku dengan entengnya. Aku tersenyum sendiri mengingat obrolanku dengan ibunya tadi.
Rasanya seperti ... restu sudah kudapatkan sebelum diminta.
"Ini udah mau tengah malam lho, El. Kamu nggak mau pulang?" tegur Zara.
Aku bergeming. Bahkan semakin menempelinya. Entah sofa ini memiliki lem, atau daya tarik Zara yang terlalu kuat. Aku enggan untuk pulang. Kalau bisa menginap, sih.
"Nanti dulu, Ra. Qtime kita berdua baru sebentar."
"Apaan sih? Kan, besok-besok masih bisa ketemu. Ini udah malam." Ia bertutur pelan-pelan. Agak tersipu juga. Duh, gemasnya.
Seperti mendapat kabar menggembirakan, aku lekas-lekas menegakkan tubuh. Menyerong sedikit agar dapat melihat wajah Zara dengan jelas. "Besok aku boleh dateng lagi?"
"Kalau besok nggak bisa. Aku mau ngajak adekku jalan-jalan."
"Aku boleh ikut?"
"Ngapain?"
"Biar bisa lebih dekat sama adik ipar, dong," jawabku dengan senyum yang lebar. Sadar bahwa itu adalah ide bagus.
"Nggak ah."
"Ya udah kalau gitu aku nggak pulang," ujarku dan kembali menyandarkan kepala ke bahunya.
Zara menaik-turunkan bahunya lebih kuat kali ini. Hingga mau tidak mau aku harus kembali menegakkan badan. Terpaksa.
"Ya udah besok kamu boleh ikut."
Aku tersenyum, menunjukkan lesung pipitku yang dalam padanya. "Nah, sekarang aku bisa pulang dengan tenang," kataku sambil mengusap puncak kepala Zara.
Kuraih jaket yang tadi diserahkan ibunya Zara padaku, dan menyampirkannya ke bahu. Lalu beranjak dari sofa. Setelah dipikir-pikir lagi, aku memang harus pulang untuk membiarkan Zara istirahat. Kenapa tidak kepikiran sejak tadi?
"Ada apa lagi, El?" tanya Zara saat aku yang sudah berada di samping motor, justru memutar badan. Ia berdiri di teras dengan sebelah alis terangkat. Mungkin bimbang melihat kelabilanku.
Dengan langkah lebar-lebar, aku menghampiri Zara. Seolah jika terlambat sedetik saja, semuanya akan lenyap. Aku merentangkan tangan, lalu membungkusnya dalam sebuah pelukan yang erat dan hangat. Jantungku berdegup kencang, tapi kurasakan milik Zara juga. Dua suara bergemuruh itu seirama. Saling bersahutan. Zara tidak membalas pelukanku, tapi aku senang ia tidak menolak.
Sebenarnya aku tidak tahu kenapa sampai nekat melakukan ini. Semuanya jadi sangat buram. Aku tidak bisa melihat batasan di antara kami berdua. Namun, masih tetap sadar dengan status kami berdua. Untuk kali ini, aku tidak bisa menahan dirin untuk tidak menyentuh Zara.
Wanita ini berhasil mengacaukanku walau belum sampai menyentuh hati. Bersamaan dengan pelukan ini, aku berharap agar Zara bisa lekas-lekas mengisi hatiku. Mengusir penghuni yang lama dan menjadi penghuni baru di ruang kosong tersebut.
Cukup lama aku memeluknya. Sampai akhirnya meski enggan, aku melepaskannya. Kutatap Zara lamat-lamat. Sedang Zara masih mempertahankan raut wajah kagetnya. Wajahnya sangat menggemaskan sampai aku tidak bisa menahan diri lagi. Akuhirnya aku memutar badan, lalu mengusap wajah dengan kasar.
"Kamu kenapa, El?" tanyanya.
Aku berbalik, memaksakan senyum pada Zara yang mulai mengkhawatirkanku. "Ra, kamu masuk ya," pintaku.
"Lho, kan, kamu belum pulang."
"Please, Ra. Menurut aja."
Zara menggigit bibir bawah sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Dalam hati aku berteriak agar Zara berhenti melakukan itu. Bukannya menurut, ia malah menggodaku. Hormon sialan.
"Kamu kenapa sih, El?"
"Kamu ... nggak mau ada yang gosong lagi, 'kan?"
Hanya dengan pertanyaan itu saja, aku mendapat reaksi luar biasa darinya. Zara membulatkan mata. Setelahnya, yang terdengar adalah suara pintu yang dikunci. Zara cepat sekali masuk ke dalam rumahnya sampai aku tidak sadar kapan ia membuka pintu dan melesat masuk.
"Hati-hati, El," ujarnya dari dalam rumah.
Aku terkekeh geli. Tidak sopan sekali aku hari ini. Pertama, memeluk Zara tanpa sebab. Kemudian muncul keinginan untuk menciumnya lagi? Aku merasa ada yang salah denganku. Mungkin sudah saatnya aku menikah. Seiring bertambahnya usia, kontrol hormonku jadi semakin tidak terkendali.
Namun, aku bukan pria yang sebejat itu sampai tidak bisa menahan diri untuk tidak menyentuh lawan jenis. Terkadang, rasa penasaran itu muncul. Terlebih ketika hati sudah terlibat di dalamnya.
"Sampai jumpa besok, Ra." Aku baru membalas setelah beberapa saat berlalu. Kemudian menghampiri motorku, memasang helm, dan melajukannya meninggalkan rumah Zara. Aku ingin cepat-cepat tidur untuk membunuh waktu. Karena besok, akan jadi akhir pekan yang menyenangkan.
Ya ... kuharap begitu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro