[under the moon light]
under the moon light
...
Kukayuh sepedaku, mengendarai jalan pedesaan yang sepi menuju sebuah gubuk tua. Sudah tiga tahun sejak kejadian itu, dan aku masih saja kembali ke sini setiap tanggal ini datang.
Bulan purnama menyinari area itu; cahaya lembut berkilauan mencurah tepat padaku. Ah. Andai hidupku seindah itu. Andai aku bisa memutar ulang waktu dan tidak melakukan kesalahan waktu itu. Sayangnya, mimpi tidak pernah sesuai dengan kenyataan.
Oke, kesalahanku memang cukup berat—aku mengemudi saat mabuk dan tanpa sengaja menabrak seseorang hingga meninggal. Namun saking pengecutnya, aku mengegas mobilku dan kabur meninggalkan korban sejauh mungkin, dan bersembunyi agar polisi tidak menangkapku.
Ah sial. Suram banget hidupku. Aku tidak dipenjara, tapi hidupku seolah terpenjara. Setiap kali ada polisi lewat, aku akan segera mengayuh sepedaku menjauh. Aku terpaksa keluar dari pekerjaanku karena aku tidak lagi bisa fokus. Mobilku juga kuhancurkan di tempat kenalanku agar jejaknya tidak bisa ditelusuri kembali padaku. Orang tuaku juga tidak mau menerimaku sejak aku kuliah karena aku tidak ingin kuliah di jurusan yang mereka mau. Intinya, hidupku ini sangat menyedihkan.
Apa sebaiknya aku akhiri saja ya?
Gampang. Tinggal berdiri di tengah jalan yang padat, membiarkan diri jadi target mudah. Seseorang tinggal menabrakku, mengaku tidak melihatku yang berdiri di tengah jalan, dan dengan mudah lolos dengan "kecelakaan". Atau, pergi menemui orang tuaku, tersenyum lebar di depan pintu mereka, dan ayahku akan menggotong keluar senapan berburunya dan menembakku hingga berlubanglah dadaku. Ada banyak pilihan mati bagiku, tinggal pilih saja yang paling enak dan selesailah sudah.
Semuanya akan selesai.
Dan aku tidak perlu lagi pusing memikirkan akan tidur di mana aku malam ini. Aku tidak perlu bersepeda dengan perut kelaparan hingga menemukan tempat pembagian makanan gratis yang banyak tersedia di kota ini. Aku tidak usah lagi kedinginan saat subuh menjelang dan kepanasan saat siang memanggang. Aku tidak perlu lagi hidup susah.
Mati selalu jadi jalan keluar paling mudah bagi segala permasalahan hidup. Mudah dan permanen.
Ah, kalau tidak salah aku membawa pisau lipatku. Pilihan mati pertamaku terlalu sulit dan pilihan mati keduaku ada di kota sebelah yang akan memakan waktu sangat lama. Lagipula keduanya sama sekali tidak indah, jadi lebih baik aku mati di sini saja. Di bawah cahaya bulan.
Cahaya memantul dari besi berkilau itu. Enaknya leher atau tangan ya? Mungkin leher saja, biar cepat dan mudah. Dalam lima detik aku akan bertemu dengan Malaikat Kematian dan sabit kesayangannya. Kalau di tangan, ada kemungkinan aku berubah pikiran dan mati dengan penyesalan kenapa aku memutuskan untuk bunuh diri.
Kuangkat pinggir pisau yang panjang itu, mengarah pada leherku. Aku menelan ludah, tak dinyana takut juga dengan kemungkinan yang akan aku hadapi. Tapi realita yang sedang aku alami pun tidak menyenangkan sama sekali, jadi untuk apa ragu lagi?
Oke. Di bawah cahaya bulan aku akan mati. Selamat tinggal dunia.
"TUNGGU!"
Sebelum aku sempat menggorok leherku sendiri, seseorang berteriak keras dan menabrakku, menjatuhkanku dan melemparkan pisau lipatku entah ke mana. Sial. Kenapa aku tidak dibiarkan mati saja?! Toh hidupku sudah tidak berguna.
"Apa-apaan?!" seruku pada orang itu.
Aku menoleh, mencari sudut yang lebih baik untuk melihatnya, dan ... dia sangat cantik. Terlalu cantik. Astaga. Apakah sebenarnya aku sudah mati dan sedang dijemput oleh salah satu utusan dari bulan? Ah, biarlah aku jadi salah satu utusanmu juga, Bulan. Biarlah aku berguna bagi seseorang—atau sesuatu—dan bukan beban. Biarlah aku jadi orang yang—
"Hei," gadis itu menepuk pipiku. "Sadar, Mas. Kamu ngapain di sini pegang-pegang pisau? Mau mati ya?"
"Iya, saya mau mati aja."
"Eh, Mas! Kok omongannya kayak gitu! Ndak boleh gitu ah!" Gadis itu cepat-cepat duduk di sebelahku, memperhatikan leher serta tanganku. "Untung Mas e ndak kenapa-napa. Piye toh Mas?"
Gadis desa itu menatapku dengan kecemasan yang tulus. Ah, aku sampai lupa rasanya dimanusiakan seperti itu. Seumur hidupku, rasanya aku diperlakukan seperti kecoa yang kalau ketemu hanya akan dibasmi mati. Aku lupa rasanya diperlakukan seperti manusia yang sederajad dengan manusia-manusia lain.
"Saya memang mau mati, Mbak. Karena saya sudah lupa rasanya dimanusiakan." Aku menatapnya lekat. "Kalau kamu manusia dan tidak dimanusiakan, kamu juga akan ingin mati."
"Sini, saya manusiakan Mas." Gadis itu tersenyum. "Oh ya, kenalan dulu. Saya Wulan."
Aku menatap uluran tangan gadis itu sejenak sebelum menerimanya. "Cahya."
"Wah, jenenge apik tenan, Mas." Gadis itu tampak sumringah. "Memang kenapa Mas, kok pengin bunuh diri? Sini, cerita aja."
Bulan, kenapa kau utus dia ...? Aku jadi ingin menceritakan padanya semua yang kupendam sendirian; semua yang selama ini aku hadapi tanpa siapa-siapa di sampingku. Harapanku untuk hidup kembali naik, padahal seharusnya aku sudah tidak ada lagi di tempat ini. Karena keberadaanku tidak berguna bagi siapapun. Karena aku hanyalah beban.
Tanpa benar-benar bisa kukontrol, aku menceritakan semuanya pada Wulan. Tentang kecelakaan. Tentang kuliahku di kedokteran hewan yang ditentang orang tuaku. Tentang penjara tak terlihat yang mengukungku. Tentang spot-spot pembagian makanan bebas dan jadwalnya. Tentang bagaimana hidupku berubah jadi neraka karena keputusan-keputusan yang kuambil.
"Lalu kenapa Mas Cahya mau bunuh diri?" tanya Wulan, dengan nada yang teramat polos.
"Kamu dengar saya nggak sih?" Aku mendengus. "Hidup saya sudah hancur. Saya hanyalah sampah masyarakat yang nggak bisa berguna bagi masyarakat. Jadi untuk apa saya hidup? Untuk siapa? Nggak ada yang bisa saya lakukan lagi di dunia ini."
"Untuk ... anjing dan kucing jalanan?"
Jawaban Wulan membuatku tertegun. "Maksud kamu?"
"Kan Mas Cahya lulusan kedokteran hewan. Gimana kalau Mas ini nolongin hewan-hewan di jalanan aja Mas? Dirawat. Terus ditawarkan buat diadopsi. Kan jadi dapet duit!"
"Biaya dari mana?" tanyaku sebal. "Kan saya ini gelandangan."
"Tapi setidaknya Mas masih bisa berguna kan!" Gadis itu mendadak berdiri, lalu menarik tanganku. "Ayo Mas, ikut saya! Naik sepedanya ya Mas, boncengin saya. Ndak apa-apa kan?"
"Mau ke mana?" Aku mengernyit, namun tetap saja berdiri dan mengikuti langkahnya.
Wulan duduk menyamping di jok belakang sepedaku; tangan kanannya memelukku agar tidak jatuh. Dengan jantung berdebar aku mengayuh sepedaku ke arah yang dia sebutkan. Apakah aku akan dibawa ke bulan? Apakah pada akhirnya aku akan terbebas dari semua permasalahanku?
Aku dibawanya ke sebuah rumah kayu yang sederhana. Dia melompat turun, lalu berlari ke dalam rumah dan memanggil seseorang entah siapa. Setelah meletakkan sepedaku di dekat rumah, aku berjalan ragu menuju pintu jatinya yang polos.
"Pak, ini temanku, Mas Cahya." Wulan keluar lagi, kali ini bersama seorang pria paruh baya yang tampak mirip dengan Wulan. Ayahnya?
"Malam, Nak Cahya," pria itu menyapaku.
Aku balas menyalaminya. "Selamat malam, Pak."
"Nah, Mas, kan tadi Mas bilang kalau Mas ini lulusan dokter hewan kan? Nah, kebetulan, Bapak punya peternakan Mas! Jadi Mas bisa membantu Bapak kerja di peternakannya!"
Aku melongo. "Lho, tapi—"
"Oh, betul itu, Nak Cahya?" Ayah Wulan tampak bersemangat juga. "Boleh kalau begitu! Tapi saya tidak bisa bayar Nak Cahya, karena saya ini hanya peternak kampung."
"Pak, saya sudah tiga tahun nggak pegang hewan. Nanti kalau ada apa-apa gimana?"
"Ah, saya yakin kamu pasti ingat kok." Ayah Wulan hanya tersenyum.
Aku menoleh lagi pada Wulan. "Tapi—"
"Wis, ndak usah pakai tapi-tapian. Mas Cahya membantu-bantu saja di sini menggantikan saya! Bisa kan Mas?" Wulan menatapku dengan mata berbinar.
"Menggantikan?"
Tapi sebelum Wulan sempat membalas, seberkas cahaya mengarah persis padaku, membuatku kehilangan kesadaran.
...
Akh. Kepalaku terasa pusing. Kukerjapkan mataku, mencoba meraih kembali kesadaran yang lenyap. Aku terbangun di atas sebuah tempat tidur kayu yang berderit saat aku bergerak bangun.
"Ah, kamu sudah bangun." Suara seorang pria yang familiar mengejutkanku.
Aku menoleh dan terkesiap. "Bapak ini ... bapaknya Wulan?"
Gantian pria itu yang terkejut. "Lho, kamu kenal Wulan? Karena itu kamu tidur di gubuk tadi malam?"
"Saya tidak tidur di gubuk. Saya mampir ke gubuk, lalu Wulan datang dan mengajak saya ke sini tadi malam. Katanya saya mau diajak bekerja di peternakan Bapak menggantikan dia ...." Aku terpaku. Pertanyaanku semalam belum terjawab. Ke mana Wulan, dan kenapa aku menggantikan dia, bukan bekerja bersamanya?
"Nak, mungkin kamu ngelindur. Tidak mungkin kamu bertemu Wulan semalam." Pria itu meletakkan segelas kopi yang berbau tajam. "Wulan meninggal karena ditabrak orang di dekat gubuk itu tiga tahun yang lalu. Kemarin adalah hari peringatannya. Sampai saat ini pelakunya masih belum ditemukan."
Petir serasa menyambar tubuhku. Wulan meninggal karena ditrabrak orang di dekat gubuk itu tiga tahun yang lalu. Apakah ... apakah aku yang membunuhnya?
"Jika Wulan sampai datang ke mimpimu, mungkin memang sudah pertanda, Nak. Mungkin Wulan yang mengirim kamu ke sini untuk jadi penolong bagi saya."
Sakit kepalaku bertambah dahsyat. Tidak ada siapapun yang menghampiriku semalam. Aku tertidur, dan gadis cantik dalam mimpiku ternyata adalah orang yang telah kubunuh secara tidak sengaja. Tidak mungkin lagi aku bekerja di peternakan ayah Wulan. Aku hanya akan terbayang-bayang akan hari itu.
Jadi, aku memutuskan untuk mengaku.
Dan malam itu, di bawah curahan lembut cahaya dari bulan, tubuhku ditemukan. Tak lagi utuh dan tak lagi bernyawa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro