Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[the smiling cashier]

[the smiling cashier]

Hari ini, sedikit banyak, terasa sedikit monoton. Ruas jalan yang dipenuhi mobil dan motor, serta bising oleh teriakan klakson yang sahut-menyahut. Seakan semua marah karena menggunakan barang publik yang sama di waktu yang sama.

Ponselku berdering, dan sekilas lihat, aku tidak berniat menjawabnya. Klienku yang paling rewel mengirimkan pesan. Hanya baris pertama pesannya saja yang muncul di notifikasi, tapi aku sudah tahu dia pasti mengeluh lagi. Kertas dinding yang tidak tepat (dia yang memilih); warna sofa yang terlalu kusam (warna itu memang jelek, tapi dia bersikeras hanya mau warna kuning untuk sofa sialan itu); kurangnya pencahayaan di ruang tengah (ini salah arsitekturnya, tapi dia tetap menimpakannya padaku). Ini sudah kali ketiga dia menghubungiku untuk mengeluh dan segala perbaikanku tetap saja tidak cukup baik.

Aku menghela napas lega saat akhirnya mobilku bisa berbelok ke supermarket terdekat. Akhirnya aku terbebas dari kepadatan yang mengimpit dan tuntutan klien yang membuat otakku semakin tertekan. Ditambah lagi, embusan angin dingin yang menyambutku ketika memasuki supermarket seperti memanjakanku yang sedari tadi dipanggang matahari.

Supermarket tidak terlalu ramai. Menurut pengalaman, biasanya tempat ini lumayan ramai di awal bulan, saat semua orang sudah menerima gaji dan harus mengisi kulkas masing-masing. Hasil dari proyekku yang lain baru saja turun, jadilah aku muncul di supermarket ini di tengah bulan.

Entah kenapa, aku selalu suka berbelanja. Ada kesan menenangkan dari membeli barang-barang. Sejenak aku lupa akan keluhan klien yang belum terbalas dan terik matahari yang kian menjadi. Aku menikmati setiap langkah, menyusuri lorong demi lorong dan memasukkan barang ke dalam troli yang kudorong.

Hanya tiga kasir yang bekerja hari itu, dan meski supermarket tidak ramai, antrian tetaplah mengular. Aku memilih kasir kedua, berhubung para pelanggan yang sudah mengantri di sini tidaklah terlalu banyak—hanya tiga, itu pun yang pertama sudah menyelesaikan urusannya dan menunggu kembalian.

Kasirnya adalah seorang gadis keturunan Asia yang ceria. Sejak pertama kali melihatnya, senyum tidak sekali pun hilang. Dia mengucapkan terima kasih pada pelanggan pertama dan beralih menyapa wanita bertampang jutek yang sudah memindahkan sebagian isi trolinya ke atas meja kasregister.

"Selamat siang, Ma'am! Apakah semua yang Anda butuhkan sudah lengkap?"

Wanita itu berkata sambil mendengus, "Belum. Aku ingin orang lain untuk melayaniku." Aku separuh yakin dia tidak ingin seorang Asia melayaninya. Harus seorang Amerika, seperti dia.

"Sayang sekali saat ini kami tidak bisa memberikannya. Anda harus berpindah ke antrian lain dan saya yakin itu akan mengganggu waktu Anda. Ada hal lain yang Anda butuhkan?"

"Kembalilah ke negaramu."

Kebencian dalam suara wanita itu menular padaku. Aku jadi ingin menonjok wanita rasis itu.

"Sebenarnya, saya juga ingin melakukannya," ujar gadis Asia itu, masih mempertahankan senyumnya. "Karena itulah saya bekerja di sini."

Wanita itu mengomel lebih lanjut—lebih kepada dirinya sendiri atau laki-laki berkulit putih di hadapanku—tentang bagaimana para imigran merebut semua pekerjaan yang seharusnya jadi hak semua orang Amerika. Aku langsung bisa menebak siapa yang dipilih wanita itu saat pemilihan umum dulu. Laki-laki di depanku tidak membalas, memilih untuk mengetikkan sesuatu pada ponselnya.

"Saya akan dengan senang hati memberikan pekerjaan saya pada orang Amerika dan pulang ke negara saya, Ma'am," balas si gadis tenang. "Total belanja Anda $150,43."

Wanita itu mengeluarkan uangnya, lalu berlalu cepat sambil menenteng seluruh belanjaannya. Aku lega wanita itu kini sudah menyingkir dari hadapanku, karena jika aku harus mendengarnya mengucapkan satu kata lagi, mungkin aku sudah akan benar-benar meninjunya.

"Selamat siang!" sapa gadis itu pada laki-laki di hadapanku, seolah-olah tidak sadar akan kenyataan bahwa dia baru saja menerima serangan rasis. "Apakah semua yang kaubutuhkan sudah ada di sini?"

"Kurasa begitu," laki-laki itu tampak berpikir. "Oh, ada yang belum. Aku butuh nomor teleponmu."

Laki-laki ini mungkin mengira dia cukup smooth, tapi menurutku dia menjijikkan.

"Maaf, aku tidak bisa memberikannya padamu. Bukan berarti aku menolakmu, tapi begitulah aturannya." Gadis itu mengangkat bahu. "Totalnya $40,38, ada tambahan lain?"

"Berapa yang harus kubayar untuk nomormu?" laki-laki ini mengedipkan sebelah mata. "Kau manis. Jalang tadi tidak seharusnya memperlakukanmu dengan buruk."

"Aku tersanjung, tapi tetap saja aku tidak bisa memberikan nomorku. Ada barang lain yang kaubutuhkan?"

Laki-laki itu akhirnya menggeleng dan pergi dengan barangnya. Akhirnya, "jalang" rasis dan bajingan itu menyingkir dari hadapanku. Rasanya aku ingin mengambil menghantam mereka dengan melon yang kubeli. Namun, gadis itu tidak terpengaruh. Dia tetap menyapaku dengan senyumnya—yang, harus kuakui, memang sangat manis dan menenangkan.

Aku meletakkan barang-barang belanjaanku di atas meja beserta dua kantong belanja yang sudah kupersiapkan dari rumah.

"Selamat siang, ada lagi yang kauperlukan?" tanya gadis itu seraya mengambil kantong belanjaku.

"Kurasa tidak, tapi aku ingin bertanya padamu jika boleh."

Gadis itu tampak heran—sekilas, aku menangkap kesan "Ah, here we go again," namun kesan itu hilang secepat dia muncul. "Tentu, aku akan berusaha menjawabnya."

"Bagaimana kau bisa tetap tersenyum meski menghadapi dua orang seperti tadi? Aku rasa banyak orang seperti itu di sini, tapi kau tetap tersenyum. Aku saja ingin memukul mereka dengan tongkat bisbol."

Gadis itu tertawa. "Aku memilih untuk tetap bahagia. Itu artinya belajar mengabaikan ucapan-ucapan seperti tadi. Tidak mudah, tapi bisa dilakukan."

Aku menggigit bibir bawahku, ragu. "Apa kau benar-benar bahagia?"

"Yah, setidaknya aku tidak perlu memusingkan banyak hal. Tanpa sadar, kita seringkali memilih untuk memikirkan tentang banyak hal yang membuat kebahagiaan kita berkurang. Aku hanya berusaha memilih untuk memikirkan tentang hal yang membuatku senang." Gadis itu selesai memasukkan belanjaanku di dalam kantong. "Totalnya $83,95. Ada lagi yang kaubutuhkan?"

Aku menggeleng, menyerahkan uang padanya, "Tidak. Semua yang kubutuhkan sudah lengkap."

Gadis itu tersenyum, memberikan kembalianku, lalu mengucapkan selamat tinggal. Aku berjalan menjauhinya. Suara riang gadis itu memenuhi telingaku sebelum aku keluar dari supermarket.

"Selamat siang! Ada lagi yang kaubutuhkan?"

Kini aku tahu bagaimana harus menghadapi klienku tadi.

[Without realizing it, we often choose to think about things that reduce our happiness. I just try to choose things that make me happy.]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro